Anda di halaman 1dari 36

NERACA PEMBAYARAN

DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI


I
BAB V

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN


LUAR NEGERI

A. PENDAHULUAN

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988


menggariskan bahwa kebijaksanaan pembangunan diarahkan untuk
selalu bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yakni pemerataan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional.
Kebijaksanaan neraca pembayaran sebagai bagian dari kebijaksanaan
pembangunan selalu mengacu pada Trilogi Pembangunan tersebut
secara serasi. Di samping itu juga diusahakan tercapainya perubahan
fundamental dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri
sehingga dapat meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap
guncangan-guncangan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Di bidang perdagangan, melalui deregulasi dan debirokrati-


sasi, kebijaksanaan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan
produktivitas industri dalam negeri, menunjang pengembangan

V/3
ekspor non migas, memelihara kestabilan harga dan penyediaan
barang yang dibutuhkan di dalam negeri, serta menunjang iklim
usaha yang makin menarik bagi penanaman modal. Kebijaksanaan
neraca pambayaran lainnya juga dilanjutkan, antara lain dalam
bentuk pengelolaan hutang dan pinjaman luar negeri secara cermat
dan hati-hati, terpeliharanya kurs valuta asing yang mantap dan
realistis, serta terpeliharanya cadangan devisa yang memadai.

B. PERKEMBANGAN INTERNASIONAL

Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar


negeri selama empat tahun Repelita V sangat dipengaruhi oleh
tantangan yang timbul dari perkembangan situasi politik, ekonomi
dan moneter dunia.

Selama dasawarsa 1980-an, perekonomian dunia mencapai


rekor pertumbuhan tertinggi pada tahun 1988, yaitu sebesar 4,6%.
Setelah itu, perekonomian dunia mengalami kemerosotan hingga
mencapai 0,6% pada tahun 1991. Namun dalam tahun 1992
perekonomian dunia mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan
dengan pertumbuhan sebesar 1,8 % . Dalam tahun 1992, negara-
negara industri dan negara-negara berkembang masing-masing
tumbuh sebesar 1,5 % dan 6, 1 %. Ini merupakan suatu perbaikan dari
tahun 1991 sewaktu kelompok-kelompok negara ini, mencapai
pertumbuhan masing-masing sebesar 0,6% dan 4,2%. Di antara
negara-negara berkembang tersebut, kelompok negara di Asia dapat
mempertahankan laju pertumbuhan ekonominya yang cukup tinggi,
bahkan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 5,8% menjadi
7,9 % . Peningkatan cukup besar ini juga diikuti oleh negara-negara
berkembang di Timur Tengah yang pertumbuhannya meningkat dari
2,1 % pada tahun 1991 menjadi 9,9% pada tahun 1992. Sementara
itu, negara-negara di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet terus
mengalami kemerosotan yang makin parah dalam produksi
nasionalnya. Pada tahun 19.91 kelompok negara-negara ini
ekonominya mengalami penurunan sebesar 10,1 % dan pada

V/4
tahun 1992 mengalami penurunan yang lebih besar lagi, yaitu
15,5% . Perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang Eropa
Timur dan negara-negara bekas Uni Soviet perlu terus diamati
mengingat di masa depan kelompok negara ini akan menjadi saingan
yang cukup berat bagi negara-negara berkembang, apabila mereka
telah selesai dengan tahap konsolidasinya dan ekonominya tumbuh
kembali.

Seiring dengan peningkatan produksi dunia, laju pertumbuhan


perdagangan internasional juga mengalami peningkatan dari 2,3%
dalam tahun 1991 menjadi 4,2% dalam tahun 1992. Volume ekspor
dan impor negara-negara industri dalam tahun 1992 meningkat
masing-masing sebesar 3,2% dan 4,0%, begitu pula volume ekspor
dan impor negara-negara berkembang yang meningkat menjadi 8,4%
dan 10,2% dalam tahun 1992.

Sementara itu harga minyak bumi di pasaran internasional


mengalami penurunan sebesar 0,5 % selama tahun 1992. Namun
demikian, penurunan ini tidak sebesar penurunan yang terjadi pada
tahun 1991 yaitu sebesar 17,0%. Begitu pula harga komoditi primer
lainnya seperti kopi, karet, dan hasil-hasil tambang merosot dengan
0,1% pada tahun 1992. Perkembangan ini menyebabkan turunnya
nilai tukar perdagangan untuk negara-negara berkembang. Dalam
tahun tersebut nilai tukar perdagangan menurun sebesar 1,4% untuk
negara-negara berkembang, sedangkan untuk negara-negara industri
justru meningkat sebesar 1,8%.

Secara keseluruhan dalam tahun 1992 negara-negara industri


mengalami kenaikan dalam defisit transaksi berjalan menjadi
US$ 38,5 miliar. Untuk negara-negara berkembang defisit transaksi
berjalan sedikit menurun dari US$ 81,9 miliar pada tahun 1991
menjadi US$ 78,4 miliar pada tahun 1992.

Berakhirnya perang dingin, restrukturisasi sistem ekonomi dan


politik nasional di berbagai negara serta proses regionalisasi
merupakan peristiwa-peristiwa penting yang dampaknya pada

V/5
tatanan ekonomi dunia baru masih belum jelas dan perlu terus
diamati. Perkembangan yang cukup penting adalah penyatuan
Masyarakat Ekonomi Eropa yang dicanangkan pada pertemuan
puncak Maastricht di bulan Desember 1991. Pertemuan puncak ter-
sebut diadakan dalam rangka melicinkan jalan pembentukan Masya-
rakat Eropa ke dalam satu unit politik, ekonomi dan moneter (EMU)
yang direncanakan terbentuk pada tahun 1999. Tujuan utama pem -
bentukan Masyarakat Eropa adalah untuk meningkatkan kesejahtera-
an sosial dan ekonomi yang harmonis dan berkelanjutan dengan men-
ciptakan suatu kawasan tanpa batas internal serta terciptanya suatu
unit ekonomi dan moneter dengan menggunakan satu mata uang.

Seiring dengan itu, dalam bulan Agustus 1992 ditandatangani


Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) oleh
negara-negara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, yang akan
menjadi efektif pada Januari 1994. Tujuan pembentukan NAFTA
tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan kesempatan kerja melalui usaha menghilangkan
berbagai hambatan perdagangan, menciptakan iklim untuk
mendorong persaingan yang adil, meningkatkan peluang investasi,
memberikan perlindungan terhadap hak milik intelektual, dan
menciptakan prosedur yang efektif dalam penyelesaian perselisihan
perdagangan antara ketiga negara anggotanya.

Dalam pada itu, perundingan perdagangan multilateral dalam


kerangka Putaran Uruguay pada tahun 1992 masih tetap mengalami
hambatan. Belum terdapatnya kesepakatan mengenai perdagangan
hasil-hasil pertanian antara Amerika Serikat, Masyarakat Ekonomi
Eropa dan Jepang merupakan penyebab utama kemacetan
perundingan tersebut. Terhambatnya kesepakatan GATT ini
mempengaruhi prospek terciptanya perdagangan dunia yang terbuka,
transparan dan mempunyai aturan disiplin yang efektif.

Sejalan dengan itu, berbagai upaya terus dilakukan dalam


rangka penyesuaian tujuan dan organisasi berbagai forum kerja sama
internasional, termasuk UNCTAD dan Gerakan Non Blok. Pada

V/6
bulan September 1992, di Jakarta diadakan Konperensi Tingkat
Tinggi Ke-10 Gerakan Non Blok. Melalui Pesan Jakarta, gerakan
tersebut menyerukan agar dilakukan demokratisasi dalam hubungan
antar negara dan dihidupkan kembali dialog Utara-Selatan secara
konstruktif.

Sementara itu, kerja sama antara negara-negara anggota


ASEAN terus dikembangkan. Terdorong oleh berbagai perubahan
struktural dalam perekonomian dunia dan untuk menghadapi kejadian
semakin meluasnya blok-blok perdagangan dengan kecenderungan ke
arah proteksionisme, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN
pada tahun 1991 sepakat untuk mempercepat langkah-langkah kerja
sama ke arah integrasi ekonomi. Sehubungan dengan itu, pada tahun
1992 disetujui Perjanjian mengenai Tarif Preferensial Efektif
Seragam (CEPT) menuju Wilayah Perdagangan Bebas ASEAN
(AFTA), yang efektif mulai berlaku tanggal 1 Januari 1993.

C. PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN


PERDAGANGAN LUAR NEGERI

1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar


Negeri

Selama empat tahun pelaksanaan Repelita V, berbagai


kebijaksanaan di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri telah
diambil dengan tujuan untuk mempertahankan momentum
pembangunan nasional, antara lain kebijaksanaan deregulasi dan
debirokratisasi.

Dalam tahun 1992/93, langkah-langkah deregulasi yang


ditempuh antara lain berupa penyederhanaan tata niaga ekspor dan
impor melalui pengenaan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan,
penurunan dan penghapusan bea masuk dan bea masuk tambahan
komoditi tertentu, peninjauan kembali Daftar Negatif Investasi
(DNI), dan penyederhanaan tata cara penanaman modal.

V/7
Di bidang ekspor, melalui Paket 27 Mei 1992, larangan
ekspor beberapa komoditi seperti kayu bulat/log dalam bentuk ter-
tentu, kayu ramin, serta meranti putih dan agathis bentuk tertentu,
telah diganti dengan pengenaan Pajak Ekspor (PE) dan atau Pajak
Ekspor Tambahan (PET). Sedangkan kulit mentah jenis tertentu yang
sebelumnya dikenakan pajak ekspor secara persentase diganti dengan
pajak ekspor yang dihitung secara spesifik. Selain itu, ketentuan
larangan ekspor rotan juga mengalami penyederhanaan. Mulai Juni
1992, larangan ekspor rotan dalam bentuk bahan mentah dan barang
setengah jadi diganti dengan pengenaan pajak ekspor dan atau pajak
ekspor tambahan.

Untuk memperlancar arus barang dalam rangka menunjang


kegiatan ekonomi, mulai bulan Juli 1992 PT Sucofindo ditunjuk
se ba gai peme riksa b a r a ng e s k por da n ba r a ng yang
dimasukkan/dikeluarkan ke dan dari kawasan berikat di seluruh
Indonesia. Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan tata cara
penyampaian laporan realisasi ekspor dan tata cara pemberian
fasilitas ekspor oleh Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan
Pengolahan Data Keuangan (Bapeksta Keuangan). Dalam pada itu,
terhitung mulai bulan Oktober 1992 produsen pengekspor barang
tidak perlu membuat Laporan Keterkaitan (LK), yang merupakan
laporan pemakaian barang dan bahan impor untuk memproduksi
komoditi ekspor, guna memperoleh pembebasan dan pengembalian
bea masuk ataupun pungutan lainnya. Sejak waktu itu, Laporan
Keterkaitan (LK) diganti menjadi Laporan Pemakaian Bahan (LPB)
yang diterbitkan oleh surveyor yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Tata niaga ekspor kayu (maniok) ke negara-negara Masyarakat


Eropa (ME) juga diatur kembali. Mulai bulan Oktober 1992 kuota
ekspor maniok untuk tahun 1993 ke negara-negara ME dibagikan
secara proporsional ke masing-masing eksportir berdasarkan kinerja
sebelumnya dan atau kemampuan eksportir untuk mengekspor
maniok ke negara-negara di luar ME yang dibuktikan dengan
"Landing Certificate" yang dikeluarkan oleh instansi Bea dan Cukai
di pelabuhan negara tujuan dan "Loading Certificate" yang

V/8
dikeluarkan oleh PT Sucofindo. Pengaturan kembali tata niaga ini
dilakukan untuk lebih meringankan persyaratan bagi eksportir dalam
mengekspor maniok ke nagara-negara ME.

Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan ekspor non migas,


perluasan pasaran ekspor terus digalakkan. Dalam tahun 1992/93
dilaksanakan pengiriman berbagai misi dagang ke luar negeri,
pameran-pameran dagang di luar negeri serta kegiatan promosi untuk
menarik importir luar negeri berkunjung ke Indonesia. Khusus dalam
usaha pemasaran barang kerajinan, pada bulan Juli 1992 Indonesia
mengikuti pameran California Gift Show di Amerika Serikat.

Selain itu, untuk menjaga kesinambungan dan memperluas


akses produk ekspor, peran aktif Indonesia di berbagai forum interna-
sional, baik hubungan bilateral, regional dan multilateral terus
ditingkatkan. Dalam kaitan ini, Indonesia berpartisipasi aktif dalam
negosiasi Putaran Uruguay (GATT), Konperensi Perdagangan dan
Pembangunan PBB (UNCTAD), kerja sama ekonomi ASEAN dan
berbagai forum kerja sama internasional seperti Organisasi Kopi
Internasional (ICO), Asosiasi Negara-negara Penghasil Karet Alam
(ANRPC), Asosiasi Negara Produsen Timah (ATPC), dan
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Khusus mengenai timah, untuk menjaga kestabilan harga


timah di pasaran dunia, negara-negara anggota ATPC dalam
sidangnya di Jakarta pada bulan September 1992 telah sepakat
membatasi ekspor timah selama tahun 1993 menjadi 2,7% lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu menjadi 89.400
ton. Dalam kaitan itu, Indonesia memperoleh jatah kuota ekspor
timah sebesar 30.500 ton selama tahun 1993, atau naik 9,0%
dibanding kuota tahun 1992.

Dalam pertemuan puncak di Singapura pada bulan Januari


1992, negara-negara ASEAN sepakat untuk lebih mengintegrasikan
ekonomi ASEAN yang dijabarkan dalam bentuk Kerangka Perjanjian
untuk Meningkatkan Kerja Sama Ekonomi ASEAN (Framework

V/9
Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation). Program
ini ditujukan untuk mewujudkan integrasi yang diawali dengan kese-
pakatan untuk secara bertahap, yaitu mulai 1 Januari 1993 menerap-
kan Tarif Preferensial Efektif •Seragam (CEPT) yang diarahkan pada
pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Untuk
itu, dalam tahun 1992 telah ditetapkan dua program penurunan tarif,
yaitu program penurunan tarif yang dipercepat (Fast Track) dan
program penurunan tarif normal (Normal Track). Program penurun-
an tarif yang dipercepat meliputi 15 kelompok produk yang telah
disepakati. Berdasarkan program tersebut, produk-produk tertentu
yang tarifnya di atas 20% akan diturunkan menjadi 0-5% dalam
waktu 10 tahun. Kemudian untuk komoditi yang mempunyai tarif
lebih kecil atau sama dengan 20% akan dikurangi menjadi 0-5%
dalam waktu 7 tahun. Sementara itu melalui program penurunan
tarif normal, komoditi yang mempunyai tarif di bawah 20 %
akan dikurangi hingga menjadi 0-5% dalam waktu 10 tahun.
Komoditi yang bertarif di atas 20% akan dikurangi dalam dua
tahap, yaitu tahap pertama menjadi 20% dalam waktu 5-8 tahun dan
tahap kedua dikurangi lagi menjadi 0-5 % dalam waktu 7 tahun
berikutnya.

Sebagai kelanjutan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan deregu-


lasi sebelumnya, Pemerintah mengeluarkan Paket 6 Juli 1992 guna
membebaskan dan melonggarkan tata niaga. beberapa komoditi
impor, menyempurnakan mekanisme bea masuk dan bea masuk
tambahan terhadap komoditi tertentu, serta menyederhanakan tata
niaga impor mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai.

Untuk lebih memperlancar arus barang dan pengadaan bahan


baku, bahan penolong dan sarana usaha, sebanyak 241 pos tarif yang
terdiri dari 12 pos tarif produk pertanian, 226 pos tarif produk batik
dan 3 pos tarif produk industri dibebaskan dari tata niaga impor.
Sementara itu dari 464 pos tarif yang masih diatur tata niaganya,
sebanyak 36 pos tarif untuk produk besi dan baja dilonggarkan.

Di samping itu, tingkat bea masuk dan bea masuk tambahan


barang-barang impor disesuaikan. Untuk tingkat bea masuk,

V/10
sebanyak 35 pos tarif dinaikkan, 44 pos tarif diturunkan dan 2 pos
tarif diubah klasifikasinya. Sedangkan tingkat bea masuk tambahan
sebanyak 80 pos tarif dinaikkan, 81 pos tarif diturunkan, dan
sebanyak 184 pos tarif dihapuskan. Selanjutnya tata niaga, klasifikasi
tarif, tingkat bea masuk dan tingkat bea masuk tambahan
barang-barang impor seperti karpet dan permadani, produk kimia
dan tekstil tertentu, serta komponen/suku cadang untuk perbaikan
dan pemeliharaan pesawat terbang disempurnakan kembali.

Untuk menumbuhkan usaha jasa industri baru dalam kemam-


puan rekondisi mesin sekaligus mengurangi biaya investasi, impor
mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai dibebaskan. Dengan
demikian mulai bulan Juli 1992 barang-barang tersebut, selama tidak
tercantum dalam daftar negatif yang disusun oleh Departemen Per-
industrian, dapat diimpor langsung oleh perusahaan pemakai ataupun
oleh perusahaan rekondisi. Sedangkan pemeriksaan atas barang-
barang impor tersebut dilakukan oleh PT Sucofindo dan PT
Surveyor Indonesia.

Selanjutnya untuk meningkatkan tertib administrasi, peng-


awasan dan pengamanan dokumen impor, pada bulan Pebruari 1993
bentuk dan isi dokumen Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai
(PIUD) disempurnakan. Terhitung 60 hari sejak dikeluarkannya
kebijaksanaan tersebut, dokumen PIUD dapat dibedakan menjadi
8 jenis sesuai dengan jenis fasilitas impor yang diperoleh.

Di samping itu untuk menunjang penanaman modal, mening-


katkan perdagangan dalam negeri dan luar negeri, serta untuk me-
ningkatkan kegiatan ekonomi, pada bulan Pebruari 1993 diberla-
kukan ketentuan khusus mengenai Entreport Produksi Untuk Tujuan
Ekspor (EPTE), suatu tempat atau ruang di wilayah pabean Indone-
sia untuk penyimpanan barang (warehousing) dan pengolahan
barang. Mulai bulan tersebut, diberlakukan ketentuan-ketentuan
khusus yaitu: (1) Bea Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT),
Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPn BM) terhadap barang yang dimasukkan dari luar daerah

V/11
pabean ditangguhkan; (2) Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)
tidak dipungut; sedangkan (3) untuk penyerahan dalam negeri penye-
lesaian pungutan-pungutan yang terhutang dilakukan berdasarkan
ketentuan yang berlaku. Perusahaan atau industri yang dapat
ditetapkan sebagai EPTE adalah perusahaan yang berdomisili di luar
ataupun di dalam Kawasan Industri di wilayah pabean Indonesia.

Khusus mengenai pinjaman luar negeri, pada bulan Maret


1992 Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mem-
bubarkan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang dike-
tuai oleh pemerintah Belanda. Sikap tegas tersebut menunjukkan
bahwa Indonesia selalu berpegang teguh kepada pedoman bahwa
pinjaman luar negeri tidak boleh disertai dengan ikatan politik, seba-
gaimana ditetapkan dalam GBHN. Sebagai gantinya dibentuk Con-
sultative Group for Indonesia (CGI) yang diketuai oleh Bank Dunia.

Di bidang jasa jasa, usaha untuk meningkatkan penerimaan


devisa dan sekaligus menghemat penggunaannya terus dilanjutkan.
Di antara jasa jasa, pariwisata merupakan sumber penerimaan devisa
yang makin penting. Untuk itu Indonesia aktif berpartisipasi dalam
forum kepariwisataan internasional seperti Tournament of Roses di
Amerika Serikat, PATA 1992 di Taiwan, dan World Expo 1992 di
Spanyol. Di tingkat nasional tahun 1991 telah ditetapkan sebagai
Tahun Kunjungan Wisata Indonesia yang dilanjutkan dengan Tahun
Kunjungan ASEAN 1992. Selanjutnya telah ditetapkan pula Dekade
Kunjungan Indonesia tahun 1993 sampai tahun 2000. Di samping
sektor pariwisata, terus diusahakan peningkatan penerimaan devisa di
bidang jasa jasa baru seperti transfer penghasilan dari tenaga kerja
Indonesia di luar negeri serta jasa perawatan dan bengkel pesawat
terbang milik Garuda Indonesia.

Untuk mendorong penanaman modal swasta, baik Penanaman


Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing
(PMA), ketentuan-ketentuan mengenai penanaman modal
disempurnakan lagi. Paket kebijaksanaan bulan Juli 1992 meliputi
antara lain penyederhanaan Daftar Negatif Investasi (DNI),

V/12
pengaturan kembali tata cara penanaman modal, dan.penyempurnaan
tentang pemanfaatan tanah hak guna usaha dan hak guna bangunan
untuk usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing.
SeLanjutnya paket kebijaksanaan ini juga mengatur proses
penyelesaian izin kerja bagi tenaga kerja, asing yang keahliannya
belum sepenuhnya dapat diisi oleh tenaga Indonesia.

2. Perkembangan Neraca Pembayaran

Situasi neraca pembayaran selama empat tahun pelaksanaan


Repelita V secara umum tetap terkendali dalam batas-batas yang
wajar. Perkembangan neraca pembayaran tersebut sangat dipengaruhi
oleh perkembangan ekspor, impor dan arus modal luar negeri.

Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V


nilai ekspor secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 15,5%
per tahun, dari US$ 19,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi
US$ 35,3 miliar pada tahun 1992/93 (lihat Tabel V-1). Peningkatan
pertumbuhan ini terutama berasal dari laju pertumbuhan ekspor non
migas yang meningkat rata-rata 19,5% per tahun sehingga mencapai
US$ 24,8 miliar pada tahun 1992/93. Namun peningkatan laju
pertumbuhan ekspor non migas yang pesat ini tidak dibarengi dengan
laju pertumbuhan ekspor minyak bumi dan gas alam cair. Selama
kurun waktu tersebut, ekspor minyak bumi dan gas alam cair
masing-masing hanya meningkat rata-rata sebesar 6,2% dan 11,8%
per tahun, atau masing-masing menjadi sebesar US$ 6,4 miliar dan
US$ 4,1 miliar pada tahun 1992/93.

Sementara itu, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor


keseluruhan semakin mantap sehingga semakin mampu berperan
sebagai sumber penerimaan devisa utama. Dalam tiga tahun terakhir
ini, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan terus
meningkat dari 54,6% pada tahun 1990/91 menjadi 64,0% pada
tahun 1991/92 dan menjadi 70,3 % pada tahun 1992/93.

Dalam pada itu, nilai impor keseluruhaq (f.o.b.) selama empat

V/13
TABEL V-1
NERACA PEMBAYARAN,
1988/89-1992/93
(juta US dolar)

1) Angka sementara
2) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)yang diolah oleh Bank lndonesia
dengan menggunakan "open data system". Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka dari Biro Pusat Statistik
yang mengolah dokumen PEB dengan menggunakan “cut off date system".
3) Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)
4) Termasuk yang dibiayai melalui Bantuan Khusus/Fast Disbursing Assistance.
5) Termasuk Bantuan Khusus/Fast Disbursing Assistance yang tidak berupa Bantuan Program.
6) Pokok pinjaman

V/14
TABEL V- 2
1)
NILAI EKSPOR (F.O.B.),
1988/89-1992/93
(juta US dolar)

1) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang diolah oleh Bank Indonesia dengan menggunakan "open date system".
Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka dari Biro Pusat Statistik yang mengolah dokumen PEB dengan menggunakan "cut-off date system".
2) Angka sementaa
3) Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)

V/15
GRAFIK V - 1
PERKEMBANGAN NILAI EKSPOR (F.O.B.),
1988/89 - 1992/93

V/16
TABEL V-3

NII.AI IMPOR (F.O.B.),


1988/89-1992/93
(juta US dolar)
Repelita V
Akhir
Repelita IV 1)
Jenis Komoditi (1988/89) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93
Nilai Nilai (% Kenaikan/ Nilai (% Kenaikan/ Nilai (% Kenaikan/ Nilai (% Kenaikan/
Penurunan) Penurunan) Penurunan) Penurunan)

Di luar Minyak dan


Gas Bumi 12239 14.845 (21,3) 19.448 (31,0) 21.660 (11,4) 23.751 (9,7)

Minyak Bumi dan


Hasil-hasilnya 2.342 (22,5) 3.388 (44,7) 2.915 (-14,0) 3.314 (13,7)
1.912
160 187 (16,9) 192 (2,7) 228 (18,8) 252 (10,5)
Gas Alam Cair

Jumlah 14.311 17.374 (21,4) 23.028 (32,5) 24.803 (7,7) 27.317 (10,1)

1) Angka sementara

V/17
GRAFIK V - 2
PERKEMBANGAN NILAI IMPOR (F.O.B.),
1988/89 - 1992/93

V/18
tahun pelaksanaan Repelita V bervariasi -sejalan dengan kegiatan
industri dan investasi di dalam negeri. Pada tahun 1992/93 nilai
impor keseluruhan mencapai sebesar US$ 27,3 miliar, atau
meningkat rata-rata sebesar 17,5% per tahun sejak tahun 1988/89.
Dalam dua tahun pertama pelaksanaan Repelita V, suhu
perekonomian Indonesia meningkat dan hal ini antara lain tercermin
dalam peningkatan impor barang, terutama impor bahan baku/
penolong dan barang modal, yang cukup besar. Nilai impor non
migas dalam tahun 1989/90 naik dengan 21,3% dan naik lagi dengan
31,0% dalam tahun 1990/91. Dengan langkah-langkah penyejukan
mesin perekonomian yang ditempuh waktu itu, laju pertumbuhan
nilai impor non migas dalam dua tahun terakhir dapat diturunkan
menjadi 11,4% pada tahun 1991/92 dan 9,7% pada tahun 1992/93.

Pengeluaran devisa neto untuk jasa jasa naik rata-rata sebesar


9,4% per tahun dari sebesar US$ 7,4 miliar pada tahun 1988/89
menjadi sebesar US$ 10,5 miliar pada tahun 1992/93. Kenaikan ini
terutama berasal dari jasa jasa sektor non migas dan sektor gas alam
cair yang masing-masing meningkat rata-rata sebesar 10,1 % dan
15,3 % per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, penerimaan
jasa jasa dari sektor pariwisata meningkat cukup pesat yaitu dari
sebesar US$ 1,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 3,3
miliar pada tahun 1992/93.

Perkembangan ekspor dan impor barang dan jasa tersebut di


atas mengakibatkan besarnya defisit transaksi berjalan Indonesia dari
tahun ke tahun bervariasi. Pada tahun 1988/89 defisit transaksi ber-
jalan adalah sebesar US$ 1,9 miliar, dan karena peningkatan suhu
perekonomian jumlah ini meningkat menjadi US$ 3,7 miliar pada
tahun 1990/91 dan US$ 4,4 miliar pada tahun 1991/92. Selanjutnya
defisit transaksi berjalan turun menjadi US$ 2,6 miliar pada tahun
1992/93.

Dalam 5 tahun terakhir, pinjaman di sektor Pemerintah turun


dari US$ 6.588 juta pada tahun 1988/89 menjadi US$ 5.755 juta
pada tahun 1992/93. Hal ini dimungkinkan oleh keberhasilan

V/19
peningkatan ekspor non migas dan mobilisasi sumber-sumber dana
dari dalam negeri. Pinjaman terbesar diperoleh dalam bentuk bantu-
an proyek bersyarat lunak, di samping bentuk-bentuk pinjaman lain-
nya dan bantuan program. Sementara itu, karena banyak pinjaman
yang sudah jatuh waktu, pelunasan pfnjaman Pemerintah naik dari
US$ 3,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 4,8 miliar pada
tahun 1992/93.

Di sektor swasta, pemasukan modal (neto) sejak tahun


1988/89 menunjukkan peningkatan cukup cepat sampai dengan tahun
1990/91, kemudian melambat berkat adanya kebijaksanaan pengen-
dalian moneter untuk mendinginkan suhu perekonomian. Di antara
transaksi modal tersebut penanaman modal asing meningkat pesat
dari US$ 878 juta dalam tahun 1988/89 menjadi hampir US$ 2,5
miliar dalam tahun 1992/93. Dalam tiga tahun terakhir modal lain-
nya (neto) mengalami penurunan cukup besar yaitu dari US$ 3,6
miliar pada tahun 1990/91 menjadi sebesar US$ 1,3 miliar pada
tahun 1992/93.

Semua perkembangan tersebut di atas telah menyebabkan


cadangan devisa meningkat dari US$ 6.011 juta pada tahun 1988/89
menjadi sebesar US$ 11.981 juta pada akhir tahun 1992/93. Jumlah
cadangan devisa ini cukup untuk membiayai impor (c & f) non migas
selama 5,5 bulan.

D. EKSPOR

Seperti disebutkan di atas, perkembangan ekspor secara kese-


luruhan sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 menun-
jukkan kecenderungan yang meningkat. Seperti terlihat pada Tabel
V-1, nilainya dalam tahun 1992/93 telah mencapai US$ 35,3 miliar,
atau meningkat rata-rata sebesar 15,5% setiap tahunnya. Peningkat-
an yang cukup tinggi tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan
ekspor non migas dan ekspor gas (LNG dan LPG) sementara ekspor
minyak bumi menunjukkan laju pertumbuhan yang melambat.

V/20
Ekspor non migas dalam 4 tahun terakhir meningkat rata-rata
sebesar 19,5% sehingga mencapai US$ 24,8 miliar pada tahun
1992/93. Laju pertumbuhan ekspor non migas yang cukup tinggi ini
merupakan sukses tersendiri mengingat dalam periode yang sama
perekonomian dunia masih ditandai oleh kelesuan. Adanya pening-
katan yang relatif cepat tersebut tidak dapat dipisahkan dari
keberhasilan Iangkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi dalam
mengefisienkan perekonomian, diversifikasi produk ekspor, dan
usaha lainnya, sehingga dapat mendorong peningkatan daya saing
ekspor non migas. Berbagai faktor yang mempengaruhi ekspor non
migas, baik internal maupun eksternal, juga terus diikuti perkem-
bangannya sekaligus diupayakan pemecahannya agar ekspor non
migas dapat terus meningkat.

Selain langkah-langkah kebijakan tersebut di atas, dilanjutkan


upaya peningkatan ekspor melalui cara imbal beli dengan beberapa
negara, yang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mengembangkan
ekspor non migas, baik dalam bentuk peningkatan volume ekspor
maupun dalam jumlah eksportir, jumlah negara tujuan ekspor, jenis
komoditi ekspor dan transaksi ekspor lainnya, sehingga pada
gilirannya akan meningkatkan realisasi nilai ekspor non migas.

Perkembangan nilai ekspor non migas menunjukkan gambaran


sebagai berikut.

Selama 4 tahun terakhir ini ekspor tekstil dan pakaian jadi


meningkat pesat menjadi lebih dari 3,5 kali dari US$ 1.570,7 juta
dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 5.527,1 juta dalam tahun
1992/93, atau meningkat dengan rata-rata 37,0% per tahun (lihat
Tabel V-4). Keberhasilan ekspor tekstil dan pakaian jadi tersebut
terutama karena didukung oleh usaha perluasan pasar, perbaikan
mutu, diversifikasi produksi tekstil, dan penanaman modal asing, yang
secara bertahap terus dikembangkan.

Sementara itu, nilai ekspor kayu lapis meningkat dari


US$ 2.095,0 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 2:861,3 juta

V/21
TABEL V – 4
NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI, 1)
1988/89 – 1992/93
(juta US dolar)

1) Angka ekspor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang diolah oleh Bank Indonesia dengan menggunakan "open date system".
Angka-angka ini berbeda dengan angka-angka dari Biro Pusat Statistik yang mengolah dokumen PEB dengan menggunakan "cut-off date system".
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara

V/22
TABEL V – 5
1)
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR
1988/89 – 1992/93

V/23
dalam tahun 1992/93, atau meningkat rata-rata sebesar 8,1 % per
tahun. Rendahnya peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh
adanya kebijaksanaan diskriminatif yang dilakukan oleh Jepang dan
pembatasan penggunaan produk-produk kayu yang berasal dari kayu
tropis oleh negara-negara Eropa Barat.

Nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan aluminium


meningkat dari US$ 1.089,6 juta dalam tahun 1988/89 menjadi
US$ 1.529,6 juta dalam tahun 1992/93, atau meningkat rata-rata
sebesar 8,8% per tahun. Perkembangan tersebut didukung oleh
meningkatnya ekspor beberapa hasil tambang utama, yaitu tembaga,
batu bara dan emas, sejalan dengan peningkatan kapasitas produksi
hasil-hasil tambang tersebut.

Dalam tahun 1992/93 nilai ekspor udang, ikan dan hasil


hewan lainnya hanya sebesar US$ 1.120,8 juta, atau turun sebesar
2,6% bila dibandingkan dengan tahun 1991/92. Penurunan ini
disebabkan oleh menurunnya harga dari salah satu komoditi penting
dalam kelompok ini, yaitu udang, sebagai akibat adanya kelebihan
pasokan di pasaran Jepang dengan masuknya udang putih dari RRC.
Selain itu, masih ditemui adanya hambatan berupa tingginya bea
masuk ke pasaran Eropa serta masuknya produk udang Indonesia
dalam daftar hitam karena adanya anggapan bahwa Indonesia masih
merupakan daerah rawan wabah penyakit kolera.

Sementara itu, pertumbuhan ekspor karet cenderung


melambat. Nilai ekspornya dalam tahun 1992/93 hanya sebesar
US$ 941,0 juta, atau hanya meningkat sebesar 0,9% dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan ini terutama
karena melemahnya harga karet yang antara lain disebabkan oleh
kegagalan Sidang Organisasi Karet Alam Internasional (INRO) dalam
merumuskan ketentuan mengenai mekanisme harga.

Nilai ekspor hasil-hasil industri pengolahan yang paling


menonjol adalah nilai ekspor alat listrik. Selama 4 tahun terakhir,
nilai ekspornya mengalami peningkatan secara berturut-turut sebesar

V/24
66,2% pada tahun 1989/90, 47,1 % pada tahun 1990/91, 110,3 % pada
tahun 1991/92, dan 61,5 % pada tahun 1992/93, sehingga pada
tahun 1992/93 nilainya mencapai US$ 878,0 juta. Peningkatan
tersebut terutama karena perluasan pasar, peningkatan volume
ekspor, dan peningkatan kapasitas produksi di dalam negeri.
Ekspornya terutama ditujukan ke Singapura, Malaysia dan Amerika
Serikat.

Dalam pada itu, nilai ekspor kerajinan tangan berupa kain


tenun/sulaman, barang kerajinan dari kayu dan anyam-anyaman, juga
mengalami peningkatan. Dibanding dengan tahun sebelumnya
peningkatan ekspor komoditi ini adalah sebesar 36,0% pada tahun
1989/90, 42,1 % pada tahun 1990/91, 37,2% pada tahun 1991/92,
dan 11,9% pada tahun 1992/93.

Sebaliknya, perkembangan ekspor kopi selama 4 tahun


terakhir ini terus menurun. Nilainya adalah sebesar US$ 570,6
juta dalam tahun 1988/89 dan terus menurun sehingga menjadi
US$ 348,8 juta dalam tahun 1992/93. Penurunan ini disebabkan oleh
semakin menurunnya volume ekspor, serta terus menurunnya harga
kopi di pasar internasional.

Ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit dalam 3 tahun


terakhir terus meningkat. Dibanding dengan tahun sebelumnya
peningkatan ekspor komoditi ini adalah sebesar 1,8% pada tahun
1990/91, 23,0% pada tahun ' 1991/92, dan 36,4% pada tahun
1992/93. Peningkatan ini terutama berketiaan dengan meningkatnya
produksi, dihapuskannya tata niaga ekspor kelapa sawit serta
berkurangnya pasokan minyak kedele dan minyak kelapa di pasaran
internasional.

Ekspor alas kaki merupakan salah satu komoditi penting dari


ekspor hasil-hasil lainnya dan menunjukkan perkembangan yang
pesat. Pada tahun 1988/89 nilai ekspornya baru mencapai US$ 110,8
juta, tetapi pada tahun 1992/93 telah mencapai US$ 1,5 miliar.
Peningkatan yang cukup pesat ini antara lain disebabkan oleh

V/25
meningkatnya produksi sebagai hasil relokasi industri sepatu
terutama relokasi perusahaan Korea Selatan yang mendominasi
produk sepatu olahraga.

Sementara itu, harga rata-rata minyak bumi Indonesia yang


dicapai selama tahun 1992/93 adalah sebesar US$ 18,61 per barel
dengan volume ekspor sebesar 348,3 juta barel. Nilai ekspornya
pada tahun itu hanya mencapai US$ 6,4 miliar, atau turun dengan
7,4 % dibandingkan tahun sebelumnya.

Di lain pihak ekspor gas alam cair (LNG dan LPG)


menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Selama 4 tahun
terakhir nilai ekspornya meningkat dari US$ 2.633,0 juta dalam
tahun 1988/89 menjadi US$ 4.118,0 juta dalam tahun 1992/93, atau
meningkat dengan rata-rata 11,8% per tahun. Perkembangan ini
menuju pula ke arah diversifikasi ekspor migas sehingga mengurangi
ketergantungan pada ekspor minyak bumi.

E. IMPOR DAN JASA-JASA

Perkembangan impor selama 4 tahun pelaksanaan Repelita V


berkaitan erat dengan laju pertumbuhan produksi di dalam negeri,
yang berarti semakin besarnya kebutuhan akan impor bahan baku
dan penolong serta barang-barang modal sesuai dengan tahap-tahap
pembangunan. Usaha pemerintah untuk menyehatkan perekonomian
melalui kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi di bidang
perdagangan telah pula mempengaruhi laju pertumbuhan impor.

Pada tahun 1992/93 keseluruhan nilai impor (f.o.b.) telah


mencapai US$ 27,3 miliar, atau meningkat rata-rata per tahun
sebesar 17,5 % sejak tahun 1988/89 (Tabel V-1). Impor non migas
pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 18,0% per tahun
dari US$ 12,2 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 23,8 miliar
pada tahun 1992/93, sedangkan impor migas meningkat rata-rata
sebesar 14,5 % per tahun sehingga mencapai US$ 3,5 miliar.

V/26
Perkembangan dari beberapa komoditi impor non migas
(c.i.f.) menurut golongan ekonomi yang diolah oleh Biro Pusat
Statistik adalah sebagai berikut (Tabel V-6 dan Tabel V-7).

Komposisi impor barang konsumsi dalam tahun 1992


meningkat sedikit dari tahun 1991, yaitu dari 3,9% menjadi 4,6%.
Barang dalam kelompok ini yang menunjukkan peningkatan terbesar
adalah impor pangan dan minuman, yaitu dari US$ 235,8 juta
menjadi US$ 419,9 juta, sebagai penunjang kunjungan wisatawan
mancanegara.

Sementara itu, dominasi impor non migas dalam tahun 1992


masih dipegang oleh impor bahan baku/penolong, yang peranannya
meningkat dari 63,5% dalam tahun 1991 menjadi 66,1 % dalam
tahun 1992. Kenaikan impornya terjadi antara lain pada komoditi
bahan baku industri pangan dan minuman sebesar 15,8%, bahan
baku industri lainnya sebesar 11,4%, serta suku cadang dan
perlengkapan sebesar 9,6%.

Selanjutnya, walaupun peranan impor barang modal menurun


dari 32,6% dalam tahun 1991 menjadi 29,3% dalam tahun 1992,
namun terjadi peningkatan pada barang-barang seperti peralatan
listrik sebesar 65,9%, mesin pembangkit tenaga listrik sebesar 50,1
%, dan alat telekomunikasi sebesar 39,1 %. Sedangkan impor alat
pengangkutan turun sangat tajam sebesar 37,8%.

Perkembangan tersebut di atas mencerminkan makin banyak-


nya barang-barang konsumsi yang diproduksikan di dalam negeri dan
makin mendalamnya serta makin meluasnya kegiatan industri peng-
olahan yang dilakukan di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan
pesatnya pengembangan industri dalam negeri.

Dalam pada itu, berbagai kebijaksanaan di bidang jasa jasa,


terutama yang berkaitan dengan penerimaan devisa, terus disempur-
nakan. Seperti terlihat dalam Tabel V-1 dalam tahun 1992/93
pengeluaran neto untuk jasa jasa telah mencapai US$ 10.548 juta,

V/27
TABEL V – 6

PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI


MENURUT GOLONGAN EKONOMI ( C . I . F . ) , 1)
1988-1992
(juta US dolar)

Go l o n g a n E k o n o m i 1988 1989 1990 1991 1992

A. Barang-barang Konsumsi 4 69 . 4 673,9 854.4 930.3 1.1 72.9

1 . Pa ng a n d an M i n u m a n 141,3 194 ,5 176,2 235,8 419,9


2. Baran g Kon sum si Tahan La ma 58,7 82,2 12 9 ,5 118,6 163,0
3 . Ba ra n g K on s u m s i
Setengah dan Tidak Tahan Lama 150,1 195,9 271,5 345,2 404,6
. 5 . L a in - l ai n 119,3 201,3 277,2 230,7 185,4
B. B a h a n B a k u / P e n o l o n g 9.313,7 10.725,0 12.995,1 14.951,7 16.624,9

1. Bahan Baku Indu str i


Pangan dan Minuman 696,6 78 9 ,4 684,1 837,9 970,1
2. Bahan Baku Indu str i La innya 5.818, 2 7.329,4 8.926,5 9.88 3,6 11 .014, 9
3. Suku Cadang dan Perlengkapan 2 .7 9 2, 1 2 .5 6 0, 8 3.366, 3 4.216,7 4.622,3.
4 . La in - l a in 6,8 45,4 18,2 1 3, 5 17,6
C. B a r a n g M o d a l 2.5 56.2 3.765,5 6.067,0 7.676,6 7.366,7

1 . M es i n Pe m b an g k it L is t r ik 185,9 131,2 171,7 400,1 600,5


2. Alat Telekomunikasi 2 69 , 5 298,4 46 3 ,2 605,4 841,9
3. Pe ra l a ta n Li s t ri k 271,2 348,8 46 8 ,4 563,2 934,3
4. Al a t P en g an g ku t an 113,2 243,4 809,0 945,2 588,1
5. M esin Ind ustr i dan
Ba ra n g M od a l La i nn y a 1.716,4 2.743, 7 4.154,7 5.162,7 4.401, 9

Jumlah 12 .339, 3 15 .164, 4 19 .916, 5 23.55 8,6 25 .164, 5

1) Angka impor berdasarkan dokumen PPUD/PIUD yang diolah oleh Biro Pusat Statistik
dengan menggunakan "cut-off date syatem".

V/28
TABEL V – 7

PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI


MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.LF.), 1)
1988 – 1992
(%)

No. Golongan Ekonomi 1988 1989 1990 1991 1992

1. Barang Konsumsi 3,8 4,5 4,3 3,9 4,6


2. Bahan Baku/Penolong 75,5 70,7 65,2 63,5 66,1
3. Barang Modal 20,7 24,8 30,5 32,6 29,3

Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

1) Angka impor berdasarkan dokumen PPUD/PIUD yang diolah oleh Bico Pusat Statistik
dengan menggunakan "cut-off date system".

V/29
GRAFIK V - 3
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.I.F.),
1988 – 1992

V/30
atau meningkat sebesar 13,9% dibandingkan dengan tahun sebelum-nya.
Di sektor migas, pengeluaran jasa jasa neto telah meningkat
dengan 13,3 % , yaitu dari US$ 3.001 juta pada tahun 1991/92 men-
jadi US$ 3.399 juta pada.tahun 1992/93. Ini terutama disebabkan
oleh meningkatnya biaya produksi minyak bumi.

Sementara itu, pengeluaran neto untuk impor jasa jasa di


sektor non migas telah pula meningkat dari US$ 6.262 juta pada
tahun 1991/92 menjadi US$ 7.149 juta pada tahun 1992/93, atau
meningkat sebesar 14,2 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Peningkatan yang cukup tinggi ini te.rutama disebabkan oleh
meningkatnya pembayaran bunga pinjaman luar negeri, biaya
angkutan barang impor, dan menurunnya penerimaan bunga
bank-bank devisa. Dalam pada itu, penerimaan devisa dari sektor
pariwisata meningkat sebesar 27,4%, yaitu dari US$ 2.602 juta
dalam tahun 1991/92 menjadi US$ 3.314 juta dalam tahun 1992/93.

F. PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI


PEMERINTAH

Sebagaimana digariskan dalam GBHN, pinjaman luar negeri


sebagai sumber pembiayaan pelengkap dalam pembangunan, tidak
boleh disertai dengan ikatan politik apapun, dan harus dimanfaatkan
secara hati-hati, baik mengenai jumlah, persyaratan maupun
penggunaannya, serta digunakan untuk meningkatkan kemampuan
dan kemandirian ekonomi nasional di kemudian hari.

Dalam tahun 1992/93 persetujuan pinjaman luar negeri


Pemerintah mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, yaitu dari US$ 9.121,4 juta menjadi US$ 7.018,8 juta.
Persetujuan pinjaman lunak yang terdiri dari Fast Disbursing
Assistance dan bantuan proyek meningkat dari US$ 5.255,1 juta
dalam tahun 1991/92 menjadi US$. 5.498,7 juta dalam tahun
1992/93. Di lain pihak, persetujuan pinjaman proyek lainnya, yang
terdiri dari kredit ekspor dan kredit komersial menurun dari

V/31
TABEL V – 8
1)
PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,
1988/89 – 1992/93
(juta US dolar)

V/32
TABEL V - 9
1)
PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH
1988/89 – 1992/93
(juta US dolar)

1)P injaman dan hibah IGGI at as dasar pledge dan pinjaman diluar IGGI atas das ar pers et uj uan s ampai dengan t ahun 1991/92. mul ai
t ahun 1992/93 pinjaman dan hi bah IGGI at as dasar pledge dan pinjaman di luar IGGI at as das ar pers et uj uan.
2) A ngka diperbaiki
3) A ngka s ementara
4) Termasuk B antuan Khus us /Fast Disbursing Ass istanc e
5) Termasuk k redit ekspor
6) berupa pinjaman obligas i dan pinjaman dari k elompok bank

V/33
TABEL V-10
PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,
1988/89-1992/93

(juta US dolar)

1) 2)
Tahun Pelunasan Nilai (% dari Nilai
Pinjaman Ekspor Ekspor)

1988/89
Akhir Repelita IV 6.328 19.824 (31,9)
1989/90
Tahun Pettama Repelita V 6.202 23.830 (26,0)
1990/91
Tahun Kedua Repelita V 6.721 28.143 (23,9)
1991/92
Tahun Ketiga Repelita V 6.829 29.714 (23,0)
1992/93 3)
Tahun Keempat Repelita V 7.535 35.304 (21,3)

1) Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah


2) Termasuk ekspor minyak bumi, gas alam cair (LNG)
dan gas minyak bumi cair (LPG) atas dasar bruto
3) Angka sementara

V/34
US$ 3.466,3 juta dalam tahun 1991/92 menjadi US$ 1.520,1 juta
dalam tahun 1992/93. Dalam pada itu, pinjaman tunai (komersial)
mulai tahun 1992/93 ditiadakan (lihat Tabel V-8).

Ditinjau dari komposisi pinjaman, pinjaman luar negeri


Pemerintah sebagian besar tetap dalam bentuk pinjaman lunak.
Peranan pinjaman lunak telah meningkat dari 57,6% pada tahun
1991/92 menjadi 78,3% pada tahun 1992/93 seperti terlihat pada
Tabel V-9. Perkembangan tersebut merupakan perwujudan dari kebi-
jaksanaan pinjaman luar negeri yang berhati-hati dengan senantiasa
memperhatikan kemampuan untuk membayar kembali.

Pelunasan pokok dan pembayaran bunga pinjaman meningkat


terus dari US$ 6.328 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 7.535
juta dalam tahun 1992/93. Perkembangan ini sejalan dengan
meningkatnya proyek-proyek yang dibangun dan memadatnya jatuh
waktu pinjaman.

Sementara itu, perbandingan antara jumlah pelunasan


pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap ekspor (Debt Service
Ratio) terus menurun, dari 31,9% dalam tahun 1988/89 menjadi
21,3% dalam tahun 1992/93.

V/35

Anda mungkin juga menyukai