Anda di halaman 1dari 6

BOOK REVIEW

mulai dari Christopher Columbus, Fransisco


Pizzaro, sampai Hernan Cortez mengarang
cerita bahwa orang-orang Indian Amerika
adalah masyarakat barbar (uncivilized)
sehingga menjustifikasi penaklukan oleh
masyarakat Eropa yang ‘tercerahkan’
(civilized). Pasca Perang Dunia II Sekutu
sebagai pihak yang menang punya otoritas
penuh untuk mereka-ulang rancang-bangun
tatanan internasional. Dalam konteks ini,
pendukung setia hegemoni Amerika John
Ikenberry mengatakan dalam bukunya
berjudul ‘After Victory: Institutions, Strategic
Restraint, and the Rebuilding of Order After
Major Wars’ bahwa munculnya institusi-
institusi global semacam GATT yang
kemudian berubah menjadi WTO, IMF, Bank
Dunia, bahkan PBB tak luput dari upaya
Amerika Serikat untuk merekonstruksi dunia
menurut sudut pandangnya.
Jika benar dunia dibentuk oleh
kekuatan besar, lantas bagaimana peran
BOOK REVIEW negara-negara lain, lebih khusus negara-
negara berkembang? Kita semua mahfum
The South in World Politics bahwa negara-negara berkembang dulunya
adalah negara terjajah. Negara-negara ini
rata-rata baru lahir dalam kurun waktu pasca
Mohamad Rosyidin
Perang Dunia II sampai dengan dekade 1960-
Program Studi Hubungan
an. Dari segi geografis, negara-negara ini
InternasionalUniversitas Diponegoro
menempati tiga kawasan besar dunia yakni
Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ketiga
Judul:
kawasan itu secara ekonomi dulunya dianggap
The South in World Politics
sebagai kawasan marjinal, atau periphery
Penulis:
menurut istilah penganut teori dependensia
Chris Alden, Sally Morphet, and Marco
klasik. Kombinasi antara faktor politik sebagai
Antonio Vieira
negara terjajah dan faktor ekonomi sebagai
Penerbit:
negara ‘kelas dua’ membuat negara-negara
Palgrave Macmillan
berkembang tidak memiliki andil besar dalam
Tahun Terbit:
arsitektur tatanan internasional.
2010
Tetapi apakah benar demikian?
Argumen itu ditentang dalam buku ini. Alih-
alih berpendapat bahwa dunia diciptakan oleh
Suara Dari Selatan: Peran Negara
kekuatan-kekuatan dominan, buku ini
Berkembang Dalam Dunia yang Selalu
berangkat dari asumsi bahwa negara-negara
Berubah
berkembang atau ‘Selatan’ (the South)
Pahlawan Perang Dunia II Winston Churchill
memiliki andil besar dalam mewarnai peta
suatu ketika pernah berkata, “Sejarah dibuat
politik internasional. Lebih dari sekedar
oleh para pemenang”. Jika kita membaca dan
negara atau kawasan yang memiliki kesamaan
mencermati sejarah dunia dari masa ke masa,
nasib dan sejarah, ‘the South’ adalah istilah
kata-kata tersebut barangkali ada benarnya.
yang menggambarkan suatu identitas yang
Para penakluk Spanyol (conquistadores)
berimplikasi pada pola perilaku negara-

Indonesian Journal of International Studies (IJIS) 73


BOOK REVIEW

negara berkembang di level global (hlm. 3-4). memanasnya perseteruan antara Barat dan
Sesuai dengan premis dasar konstruktivis Timur, mereka menyatukan visi dalam forum
yang diadopsi buku ini, negara-negara Gerakan Non-Blok (GNB) pada permulaan
berkembang mempunyai andil dalam dekade 1960-an. GNB menegaskan kembali
mendorong lahirnya norma-norma ‘Semangat Bandung’ yang menekankan pada
internasional sebagai pedoman dalam pentingnya penghormatan terhadap
melakukan hubungan antar negara. Negara- kedaulatan dan norma non-intervensi. GNB
negara berkembang aktif dalam pelbagai mencerminkan kepercayaan diri negara-
forum multilateral yang membuahkan negara berkembang untuk menentukan nasib
gagasan, konsepsi, dan norma yang sangat sendiri tanpa kendali politik dari dua kutub
menentukan pola interaksi antar negara. Dua kekuatan adidaya; Amerika Serikat dan Uni
hal yang disoroti dalam buku ini adalah Soviet.
makna kedaulatan dan norma non-intervensi Merasa cukup berhasil dalam
serta tata kelola ekonomi internasional. menunjukkan eksistensinya dalam percaturan
politik internasional, mereka sejurus
Memposisikan Selatan: Antara kemudian melangkah lebih jauh dengan
konfrontasionis dan akomodasionis memperluas agenda ke bidang ekonomi. Pada
Buku ini menelusuri kiprah institusi-institusi 1963 terbentuklah G-77; forum kerjasama
internasional yang dibentuk negara-negara ekonomi negara-negara berkembang, yang
berkembang selama tiga periode waktu, yaitu disusul dengan lahirnya United Nations
pada masa Perang Dingin, pasca Perang Conference on Trade and Development
Dingin, dan permulaan abad-21. Masing- (UNCTAD) pada 1964. G-77 percaya bahwa
masing mengandung pola kesinambungan dengan menciptakan institusi baru atau
(continuity) dan perubahan (change). berpartisipasi aktif dalam institusi
Tonggak sejarah kiprah negara-negara internasional yang sudah ada akan
berkembang dimulai sejak Konferensi Asia- menguntungkan bagi ekonomi negara-negara
Afrika (KAA) atau Konferensi Bandung pada berkembang (hlm. 64). Sekalipun tujuannya
1955. Konferensi ini dianggap sebagai forum ekonomi, G-77 merupakan forum politik
terbesar di luar PBB yang menyatukan visi dimana anggotanya aktif dalam menyikapi
dan misi negara-negara di kawasan Asia dan isu-isu internasional. G77 adalah suatu ‘klub’
Afrika. Untuk pertama kalinya mereka informal yang menyediakan instrumen bagi
menyepakati prinsip hubungan internasional anggota-anggotanya untuk melakukan–
yang didasarkan pada lima prinsip (‘Panch meminjam istilah Andrew Cooper–“network
Shila’ dalam bahasa Sansekerta atau diplomacy”.
‘Pancasila’). Kelima prinsip itu adalah saling Sementara itu, UNCTAD mewakili
menghormati integritas wilayah dan keberhasilan negara-negara berkembang
kedaulatan, non-agresi, non-intervensi, dalam mendesakkan aspirasi mereka kepada
kesetaraan dan saling menguntungkan, serta PBB. Didasari pemikiran bahwa rezim-rezim
hidup berdampingan secara damai (hlm. 39- internasional Bretton Woods buatan Barat
40). seperti GATT, IMF, dan Bank Dunia hanya
Memasuki periode Perang Dingin, mengakomodasi kepentingan negara-negara
pertarungan ideologis antara Barat yang maju, UNCTAD dimaksudkan sebagai solusi
liberal-kapitalis dan Timur yang komunis- alternatif bagi masalah ekonomi di negara-
sosialis memecah belah orientasi politik luar negara berkembang seperti perdagangan,
negeri negara-negara berkembang. investasi, dan pembangunan. Masih dalam
Keadaan/kondisi internasional demikian itu suasana pertarungan wacana ekonomi-politik
mendorong mereka memikirkan ulang antara negara maju dan negara berkembang,
eksistensinya di kancah politik dunia supaya gagasan pembangunan ekonomi alternatif
tidak terjebak dalam pusaran konflik ideologis yang diusung UNCTAD mengkristal menjadi
negara-negara besar. Diilhami oleh ‘Semangat norma tandingan yang lebih radikal dengan
Bandung’ ditambah dengan semakin lahirnya New International Economic Order

74 IJIS Vol.2, No.1, Juni 2015


BOOK REVIEW

(NIEO). Gagasan ini mencuat ketika diadakan anggota WTO pada pertengahan dekade 1990-
pertemuan tingkat tinggi GNB di Algiers pada an. Situasi ini merupakan titik balik dalam
1973. Meskipun sempat disuarakan dengan sejarah hubungan Utara-Selatan walaupun
nyaring oleh para pendukungnya, terutama pada saat yang sama tipikal perlawanan khas
dari negara-negara Amerika Latin, gagasan ini Dunia Ketiga masih tampak seperti menuntut
terbukti hanya retorika yang menentang reformasi DK PBB, IMF, Bank Dunia, serta
ideologi pasar bebas Barat. Selama 12 tahun mengkritik bias budaya dalam mendefinisikan
sejak pertama kali digulirkan tidak ada konsep hak asasi manusia.
kemajuan berarti yang dicapai NIEO (hlm. Memasuki abad-21, pendulum
84). berayun lagi ke kiri yang ditandai dengan
Di penghujung dekade 1980-an, munculnya kekuatan-kekuatan baru dari
pendulum ideologi negara-negara Selatan negara-negara berkembang. Perkembangan
tampaknya mulai berayun dari kiri ke kanan. ini tak lepas dari kemajuan ekonomi pasca
Lelah dengan politik konfrontasionis dengan gegap-gempita industrialisasi yang memacu
jargon-jargon anti-Barat, negara-negara pertumbuhan ekonomi sejumlah negara Asia,
berkembang perlahan-lahan mulai Afrika, dan Amerika Latin. Meningkatnya
mengakomodasi paradigma Barat dalam Produk Domestik Bruto mendorong
memandang hubungan antar negara. Secara meningkatnya kepercayaan diri beberapa
politik, norma kedaulatan dan non-intervensi emerging power untuk memainkan perannya
yang dianggap keramat mulai tergerus oleh di kancah politik global. Beberapa negara itu
fakta adanya pelanggaran kedaulatan yang adalah Tiongkok, India, Brazil, Afrika Selatan,
dilakukan Irak kepada Kuwait dalam Perang dan Malaysia yang dianggap sebagai pivotal
Teluk I tahun 1990. Hal itu masih ditambah state karena pengaruhnya cukup besar dalam
dengan pecahnya konflik di Yugoslavia yang politik internasional abad-21. Ketika kekuatan
memicu pembantaian besar-besaran terhadap nasional mulai membesar, muncul keinginan
warga sipil. Intervensi kemanusiaan lalu kuat dari negara-negara itu untuk melakukan
menjadi semacam kosakata baru bagi negara- soft balancing terhadap dominasi Barat.
negara Selatan yang mendukung upaya PBB Dalam menerapkan strategi soft
melakukan intervensi atas nama hak asasi balancing itu, negara-negara emerging power
manusia. Lebih mengejutkan lagi, pada tidak bekerja sendirian. Mereka
pertemuan tingkat menteri di Ghana pada mendefinisikan ulang konsep regionalisme
1991 anggota GNB menyepakati sebuah yang melulu berdasarkan kedekatan geografis
dokumen yang berisi pengakuan terhadap menjadi kedekatan identitas. Kesamaan
demokrasi dan hak asasi manusia (hlm. 101), identitas yang dimaksud bukanlah kesamaan
suatu hal yang belum pernah terjadi dari segi budaya, politik, maupun demografis
sebelumnya. melainkan lebih pada kesamaan visi dan
Secara ekonomi, kedigdayaan sistem strategi kebijakan luar negeri yang
ekonomi pasar tak mampu diabaikan begitu mengadopsi internasionalisme atau aktivisme
saja oleh negara-negara Selatan. Sebagian (hlm. 184). Multilateralisme menjadi elemen
besar negara di kawasan Asia mulai kunci untuk memahami peran negara-negara
mengadopsi sistem ini meskipun dengan berkembang dalam menyuarakan aspirasinya.
modifikasi setempat. Kemajuan pesat Multilateralisme itu mewujud dalam bentuk
perekonomian sejumlah negara Asia institution coalition building misalnya BRICS
melahirkan istilah yang kemudian dikenal (Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika
dengan New Industrialized Countries (NICs); Selatan), IBSA (India, Brazil, dan Afrika
kemajuan buah dari sistem ekonomi liberal. Selatan), BRICSAM (Brazil, Rusia, India,
Neoliberalisme yang dulunya ditentang habis- Tiongkok, Afrika Selatan, dan Meksiko), di
habisan kini diakui sebagai mesin antara forum-forum sejenis lainnya. Secara
pertumbuhan ekonomi negara-negara garis besar aspirasi politik yang mereka usung
berkembang dan mencapai puncaknya ketika adalah berakhirnya dominasi Barat dan
mereka berbondong-bondong masuk menjadi

Indonesian Journal of International Studies (IJIS) 75


BOOK REVIEW

diakomodasinya kepentingan negara-negara keputusan Tiongkok membentuk Asian


berkembang. Infrastructure Investment Bank (AIIB)
Perkembangan lain yang tak kalah sebagai institusi tandingan Bank Dunia yang
penting adalah diakuinya pengaruh negara- segera saja menarik minat banyak negara
negara berkembang oleh negara-negara maju untuk bergabung di dalamnya. Fakta-fakta itu
(G-8) dalam forum G-20. Resesi ekonomi setidaknya membuktikan bahwa negara-
global pada 1998 merobohkan kepongahan negara Selatan memiliki paradigma tersendiri
negara-negara maju sehingga memaksa dalam melihat hubungan internasional.
mereka menyadari perlunya mengajak
negara-negara berkembang untuk ikut berbagi Kebangkitan Selatan: Kasus Indonesia
beban menjaga stabilitas ekonomi dan Buku ini sangat baik dalam menelusuri sepak
finansial global. Langkah ini tak pernah terjang negara-negara Selatan selama kurun
terpikirkan sebelumnya mengingat G-8 telah waktu enam dekade, terhitung sejak
lama menganggap diri mereka sebagai berakhirnya kolonialisme dan lahirnya
aristokrat ekonomi dunia. Melalui forum ‘Semangat Bandung’ pada 1955. Secara
multilateral tersebut, negara-negara metodologis, buku ini konsisten dengan
berkembang memanfaatkan pengaruh mereka asumsi dasar konstruktivis bahwa institusi
untuk mengadvokasi kepentingan mereka. bisa berperan sebagai ‘pembawa norma’ untuk
Dalam pertemuan tingkat menteri keuangan diakomodasi dan diadopsi sebagai prinsip
di Cancun pada 2003, emerging power hubungan antar negara yang ideal. Secara
seperti Brazil, Tiongkok, India, dan Afrika substansial, buku ini dapat disandingkan
Selatan menolak keras kebijakan subsidi dengan karya lain yang terbit lebih dulu
pertanian Amerika Serikat dan Uni Eropa misalnya buku karya Jacqueline Anne
yang dianggap merugikan produk-produk Braveboy-Wagner berjudul Institutions of the
pertanian dari negara berkembang (hlm. 120). Global South. Keduanya sama-sama
Sekalipun masih terdapat perbedaan menyoroti institusi yang dibentuk oleh
pandangan antar sesama negara berkembang negara-negara Selatan dalam menyikapi
dalam G-20, setidaknya forum itu menjadi pelbagai isu internasional. Di samping itu,
panggung politik bagi negara-negara keduanya juga menggarisbawahi aktivisme
berkembang untuk menunjukkan politik luar negeri negara-negara Selatan
eksistensinya di hadapan negara-negara maju. dalam forum-forum multilateral. Hanya saja,
Sampai di sini, politik luar negeri keduanya berbeda dalam hal variabel yang
negara-negara Selatan masih memperlihatkan ingin dijelaskan. Sementara buku ini
karakteristik tradisionalnya yang cenderung menjelaskan tentang peran institusi
melawan kekuasaan dominan. Kontras internasional yang dibentuk oleh negara-
dengan anggapan para pengamat Barat yang negara Selatan, buku Wagner mencoba
mengira Dunia Ketiga telah berakhir, menjelaskan motivasi di balik kebijakan
aktivisme politik luar negeri negara-negara negara-negara Selatan melibatkan diri dalam
emerging power dalam forum-forum institusi-institusi multilateral. Dengan kata
multilateral mencerminkan ideologi ‘Third lain, jika buku ini bersifat outward-looking
Worldism’ meskipun dengan format yang buku Wagner bersifat inward-looking.
agak berbeda. Aspirasi-aspirasi tradisional Sehingga dengan demikian, buku ini
semisal perluasan keanggotaan DK PBB, melengkapi literatur sebelumnya dengan
reformasi rezim-rezim Barat (IMF, WTO, dan membahas bagaimana institusi-institusi dari
Bank Dunia) masih nyaring terdengar di Selatan mempengaruhi hubungan
pelbagai forum internasional. Sebagai contoh, internasional dari waktu ke waktu.
BRICS menyuarakan visi ‘Post-Western Namun demikian, buku ini lemah
World’ seiring dengan menurunnya dominasi dalam beberapa hal. Satu di antara kelemahan
Amerika Serikat dalam mengelola tatanan itu adalah penulis luput mengidentifikasi
internasional. Perkembangan terbaru Indonesia sebagai salah satu kekuatan penting
menguatkan aspirasi itu seperti tampak pada abad-21. Penulis justru memasukkan Malaysia

76 IJIS Vol.2, No.1, Juni 2015


BOOK REVIEW

sebagai pivotal state bersama-sama dengan Bali Democracy Forum pada 2007,
emerging power dari negara berkembang. pengiriman Pasukan Garuda ke kawasan
Padahal, reputasi Indonesia sebagai negara konflik, menjadi anggota tidak tetap DK PBB
middle power selama ini mendapatkan dan Dewan HAM PBB, mendorong dialog
tempat yang cukup bergengsi di mata antar peradaban, merangkul Rusia dan
komunitas internasional. Dalam sebuah buku Amerika Serikat dalam forum East Asian
berjudul The Pivotal States: A New Summit, serta sejumlah peran penting di
Framework for US Policy in the Developing kawasan seperti menginisiasi kode tata
World yang terbit tahun 1998, Robert Chase, berperilaku (Code of Conduct) konflik Laut
Emily Hill dan Paul Kennedy memasukkan Cina Selatan dan menengahi konflik Thailand-
Indonesia sebagai salah satu dari sembilan Kamboja. Indonesia juga menjadi contoh
kekuatan penting di dunia. Proyeksi itu negara yang berhasil mengawinkan sistem
semakin menguat tatkala Goldman Sachs demokrasi dan Islam (moderat) yang oleh
pada 2007 merilis daftar emerging market di sebagian kalangan Barat dianggap mustahil
luar BRICS yakni ‘The Next-11’ atau ‘N-11’ dilakukan. Dengan sederet prestasi itu -
yang memasukkan Indonesia di antara meminjam istilah Daniel Kliman– Indonesia
negara-negara lain. Tak mengherankan jika merupakan Global Swing States; negara yang
pakar sekaliber Fareed Zakaria dalam sangat penting bagi stabilitas tatanan
bukunya berjudul The Post-American World internasional.
menyebut Indonesia sebagai salah satu poros Sebagaimana tesis buku ini bahwa
kekuatan Asia yang sedang bangkit (the rise of kebangkitan negara-negara Selatan dapat
the rest) selain Tiongkok dan India. mendorong munculnya norma baru dalam
Bagaimana kita yakin Indonesia hubungan internasional, kebangkitan
sebagai negara pivot? Ada dua kriteria untuk Indonesia seperti telah dideskripsikan
menentukan apakah suatu negara dapat sebelumnya merupakan modal awal bagi
dikategorikan sebagai negara pivot atau tidak. Indonesia untuk memanfaatkan momentum
Pertama adalah faktor material, yaitu sumber- kebangkitan negara-negara Selatan untuk
sumber kekuatan nasional berupa lebih giat memainkan peran di lingkup global.
kemampuan ekonomi yang diukur dari PDB, Bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi
kekuatan militer, kualitas penduduk, dan agenda setter atau norm setter seperti
sebagainya. Berdasarkan kriteria ini ditunjukkan oleh Korea Selatan di forum G-
Indonesia sudah memenuhi syarat sebagai 20. Beberapa negara berkembang di Asia
negara pivot. Sejak 2008 perekonomian (China dan India), Afrika (Afrika Selatan), dan
Indonesia tumbuh rata-rata enam persen per Amerika Latin (Brazil) berambisi menjadi
tahun. Secara peringkat, ekonomi Indonesia kekuatan utama vis a vis Barat. Tinggal
terus mengalami kenaikan hingga mencapai bagaimana Indonesia mentransformasi
posisi 10 besar dunia pada 2011 menurut potensi-potensi yang dimiliknya untuk turut
laporan Bank Dunia. Secara militer, anggaran memperkuat suara-suara dari Selatan dalam
pertahanan Indonesia selalu mengalami menyikapi isu-isu yang menjadi perhatian
kenaikan dari tahun ke tahun. Di Asia semua negara di dunia. Di sinilah kemudian
Tenggara, jumlah anggaran militer Indonesia ambisi pemerintah teramat penting. Tanpa
menduduki peringkat kedua setelah ambisi tidak ada kebijakan luar negeri yang
Singapura. Faktor-faktor lainnya juga berpengaruh.
menunjukkan tren positif.
Faktor kedua adalah peran Indonesia *Mohamad Rosyidin adalah Dosen di
di kancah internasional. Pasca reformasi Program Studi Hubungan Internasional
Indonesia melakukan reorientasi kebijakan Universitas Diponegoro. Mohamad
luar negeri dengan penekanan pada diplomasi menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu
aktivisme. Selain sebagai anggota G-20 Hubungan Internasional di Universitas
Indonesia juga aktif dalam pelbagai forum- Jember dan memperoleh gelar S2 di bidang
forum multilateral global seperti menginisiasi Hubungan Internasional dari Universitas

Indonesian Journal of International Studies (IJIS) 77


BOOK REVIEW

Gadjah Mada. Ia memiliki minat penelitian


dalam sub-kajian analisis politik luar negeri,
middle power diplomacy, politik luar negeri
Indonesia, dan teori hubungan internasional.
Mohamad telah mempublikasikan lebih dari
20 artikel ilmiah yang diterbitkan oleh jurnal
nasional, dua artikel opini di media massa
nasional, serta beberapa prosiding
internasional. Publikasi terbarunya berjudul
“Etika Kebijakan Luar Negeri Indonesia
dalam Isu Rohingya” yang dimuat dalam
jurnal Analisis CSIS dan “Konflik
Internasional Abad-21? Benturan Antar
Negara Demokrasi dan Masa Depan Politik
Dunia” yang dimuat dalam Jurnal Sosial
Politik. Bukunya yang baru saja terbit
berjudul “The Power of Ideas:
Konstruktivisme dalam Studi Hubungan
Internasional” (penerbit Tiara Wacana) dan
diberi kata pengantar oleh Nicholas Onuf.
Mohamad bisa dihubungi melalui:
mohamad.rosyidin@gmail.com

78 IJIS Vol.2, No.1, Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai