Oleh:
Disusun oleh :
Dicki Erlangga (19651005)
Eni Wahyuni (18651007)
Muhammad Waras Danku (19651012)
Suryana (19651018)
Wulan Septianingsih (18651018)
Dosen Pengampu:
Hardividzon, M. Ag
1
Adib bisri dan Munawir AF, Al Bisri kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), 568.
2
Manna Khalil Al-Qaththan, Studi ilmu-Ilmu Al-Quran, Terj, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 457.
Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah Ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafazlafaz Al-Qur`an, tentang petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan maknamakna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.3
Pengertian tafsir mengandung arti, pengetahuan atau ilmu yang berkenaan dengan
kandungan Al-Qur`an dan ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk memperolehnya, atau sebagai
cara kerja ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian, hukum-hukum dan hikmah-hikmah
yang terkandung dalam Al-Qur`an. Tafsir menurut Ali Shabuni adalah ilmu yang digunakan
untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengetahui
penjelasan makna-maknanya serta hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di
dalamnya.4
Tafsir Al-Qur`an adalah penjelasan tentang maksud firman Allah sesuai kemampuan
manusia. Kemampuan itu bertingkattingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh seorang
mufassir dari Al-Qur`an bertingkat-tingkat pula.5 Menafsirkan Al-Qur`an merupakan usaha
sungguh-sungguh yang dikerahkan oleh seorang mufassir untuk memahami dan mendalami
kandungan-kandungan dan berbagai aspek yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur`an.6
Mufassir dituntut untuk menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur`an sejalan
dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga Al-Qur`an dapat benar-benar berfungsi sebagai
petunjuk, pemisah antara yang haq dan yang batil, serta jalan keluar bagi problema kehidupan
yang dihadapi. Di samping itu, mufassir dituntut pula untuk menghapus kesalahpahaman
terhadap Al-Qur`an atau kandungan ayat-ayatnya, sehingga pesan-pesan Al-Qur`an dapat
diterapkan sepenuh hati dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.7
Tafsir ijmali yaitu menafsirkan Al-Qur`an secara singkat dan global. Dengan metode ini,
mufassir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur`an dengan uraian singkat dan bahasa yang
mudah sehingga dapat dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas
sampai orang yang berpengetahuan sekadarnya. Hal ini dilakukan terhadap ayat per ayat dan
surat per surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf sehingga tampak keterkaitan antara makna
satu ayat dan ayat yang lain, antara satu surat dengan surat yang lain.
Dengan metode ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosa kata Al-Qur`an dengan
kosa kata yang ada dalam Al-Qur`an sendiri, sehingga para pembaca yang melihat uraian
tafsirnya tidak jauh dari konteks Al-Qur`an, tidak keluar dari muatan makna yang dikandung
oleh kosakata serupa dalam Al-Qur`an, dan adanya keserasian antara bagian Al-Qur`an yang satu
dan bagian yang lain. Metode ini lebih jelas dan lebih mudah dipahami para pembaca. Ketika
3
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, (Bogor: Litera antar Nusa, 2013), 455-456 lihat juga
Muhammad Husain Az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, 12
4
Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur`an, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2003), 65.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), vii
6
Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa al-Qur`an, (Jakarta: Fikra Publishing, 2006), 3-4.
7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah…….., viii.
menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur`an dengan bantuan Asbab Al-
Nuzul, peristiwa sejarah, Hadis Nabi, atau pendapat ulama.8
Para pakar menganggap bahwa metode ijmali merupakan metode yang pertama kali lahir
dalam sejarah perkembangan metodologi tafsir. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada
era Nabi SAW.dan para sahabat, persoalan Bahasa, teruatama Bahasa Arab bukanlah menjadi
penghambat dalam memahami alQur`an. Tidak saja karena mayoritas sahabat adalah orang Arab
dan ahli Bahasa Arab, tetapi juga mereka mengetahui secara baik latar belakang turunnya (asbab
al-Nuzul) ayat dan bahkan menyaksikan serta terlibat langsung dalam situasi dan kondisi umat
islam ketika ayat Al-Qur`an turun.
Realitas sejarah yang demikian sangat kondusif dalam menyuburkan persemaian metode
Ijmali, karena sahabat tidak memerlukan penjelasan yang rinci dari Nabi, tetapi cukup dengan
isyarat dan uraian sederhana, sebagaimana yang dilakukan beliau ketika menafsirkan kata Zulm
dengan Syirk. Boleh dikatakan bahwa pada awal-awal islam metode ijmali menjadi satu-satunya
opsi dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur`an. Prosedur metode Ijmali yang praktis dan
mudah dipahami rupanya turut memotivasi ulama tafsir belakangan untuk menulis karya tafsir
dengan menerapkan metode ini. Di antara mereka adalah Jalal alDin al-Mahalli (w.864H) dan
Jalal al-Din al-Suyuthi (w.911 H) yang mempublikasikan kitab tafsir yang sangat popular dengan
judul tafsir al-Jalalain. Lebih jauh, akar dari metode penafsiran ini barangkali merujuk pada
karya tafsir yang diatributkan kepada sahabat `Abd Allah bin Abbas, Tanwir al-Miqbas fi Tafsir
ibn Abbas, yang ditulis oleh al-Fairuzzabady (w.1414 M).9
Langkah-langkah yang ditempuh para mufassir dalam penafsiran metode Ijmali:
1. Membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertuang dalam mushaf.
2. Mengemukakan arti global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
3. Makna yang diutarakan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat (ayat diletakkan di
antara dua tanda kurung, sementara tafsirnya diletakkan di luar tanda kurung tersebut)
atau menurut pola yang diakui oleh jumhur Ulama dan mudah dipahami semua orang.
4. Bahasa yang digunakan, diupayakan lafaznya mirip bahkan sama dengan lafaz yang
digunakan Al-Qur`an (dalam bentuk sinonim).10
a). Syarat-Syarat Mufassir
Untuk menafsirkan Al-Qur`an, seorang mufassir setidaknya harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut, diantaranya:
1. Akidah yang benar, sebab aqidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan
seringkali mendorongnya untuk mengubah Nash dan berkhianat dalam penyampaian
berita.
2. Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela
kepentingan mazhabnya.
8
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu`I (ter), (Bandung: Pustaka setia, 2002), 38.
9
9 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 47-48.
10
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 48
3. Menafsirkan lebih dahulu Al-Qur`an dengan Al-Quran, karena sesuatu yang global pada
satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas
di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah al-Qur`an.
5. Mencari penafsiran para sahabat.
6. Mencari penafsiran para tabi`in (generasi setelah sahabat).
7. Pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya.
8. Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Qur`an seperti ilmu
qira`ah.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang
lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syari`at.11
b). Kelebihan dan Kelemahan Metode Tafsir Ijmali
Tafsir sebagai produk pemahaman manusia terhadap teks ayat-ayat Al-Qur`an, tentu
tidak lepas dari kelebihan dan kelemahannya, demikian juga dengan metode tafsir Ijmali, pasti
memiliki kelebihan dan kelemahan yang kalau kita analisa akan saling melengkapi antara yang
satu dengan yang lainnya. Berikut kelebihan dan kelemahan metode tafsir Ijmali:
1. Kelebihan
a. Memiliki karakter yang simplistis dan mudah dimengerti.
b. Tidak mengandung elemen penafsiran israiliyat.
c. Lebih mendekati bahasa Al-Qur`an.
2. Kelemahan
a. Menjadikan petunjuk Al-Quran bersifat parsial.
b. Tidak membuka ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.12
c). Kitab Tafsir yang menggunakan Metode Tafsir Ijmali
Di antara kitab Tafsir yang menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:
1. Tafsir Al-jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal alDin al-Mahally.
2. Tafsir Al-Qur`an al-Azhim karya Muhammad Farid Wajdi.
3. Shafwah al-bayan li Ma`any Al-Qur`an karya Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf
4. Tanwir al-Miqbas min tafsir Ibnu Abbas karya Ibnu Abbas yang dihimpun al-Fairuz
abady.
5. Tafsir al-Wasith, produk lembaga Pengkajian Universitas alAzhar Mesir, karya suatu
komite Ulama.
6. Al-Tafsir al-Muyassar karya Syaikh Abd al-jalil Isa.
7. Al-Tafsir al-Mukhtashar, produk Majelis Tinggi Urusan Umat Islam, karya suatu komite
ulama.13
11
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, (Bogor: Litera antar Nusa, 2013), 462-465. Lihat juga Dr.
Thameem ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur`an, 31-33.
12
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 49
13
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 48
d). Contoh Metode Tafsir Ijmali
Contoh penafsiran Ijmali dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain, yang hanya membutuhkan
beberapa baris saja saat menafsirkan lima ayat pertama di dalam surat al Baqarah. Al Jalalain
saat menafsirkan Firman Allah QS al-Baqarah 1 memaparkan “ “المmisalnya dia berkata Allah
Yang Maha Tahu maksudnya.
Demikian pula halnya saat menafsirkan Firman Allah “ “الكتابhanya menyatakan yang
dibaca oleh Muhammad SAW. “ “ )ال فيه ريبla syakka) berfungsi sebagai predikat dan subjeknya
adalah “ ”ذالك.““هدىberfurngsi sebagai predikat kedua bagi “ “ذالكyang mengandung arti
memberi petunjuk bagi orang yang bertaqwa.
Pengertian metode yang bersifat umum dapat digunakan untuk berbagai objek, baik yang
berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi,
metode merupakan salah satu sarana yang teramat penting untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dapat disimpulkan bahwa metode tafsir adalah bentuk penyajian tafsir secara
oprasional yang dipilih oleh seorang mufassir dalam menyusun pembahasan tafsirnya.16
14
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), Cet. 1, h. 117
15
KBBI online
16
Ansori, Tafsir bil Ra’yi Menafsirkan Al-Qur`an dengan Ijtihad, (Ciputat: Gaung Persada Press Jakarta,
2010), Cet. 1, h. 76
17
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 122
dengan hadis Nabi serta membandingkan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-
Qur`an.
Nasaruddin Baidan di dalam bukunya menuturkan bahwa Tafsir Muqaran adalah tafsir
yang menggunakan cara perbandingan atau komparasi. Bahwa yang dimaksud dengan metode
komparatif adalah: metode ini seorang mufassir melakukan perbandingan antara (1). Teks ayat-
ayat Al-Qur`an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih,
atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama, (2). Ayat-ayat Al-Qur`an dengan
Hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, (3). Berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan Al-Qur`an.
Ansori juga mengungkapkan pendapat yang senada di dalam bukunya bahwa Metode
muqaran adalah metode yang membandingkan ayat-ayat Al-Qur`an yang memiliki persamaan
atau kemiripan redaksi yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda dan yang
memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Yang
termasuk juga dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Qur`an
dengan hadis-hadis Nabi Saw. yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-
pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Qur`an. Metode ini oleh mufassir
dilakukan dengan jalan mengambil sejumlah ayat Al-Qur`an kemudian mengemukakan
penjelasan para mufassir baik dari kalangan salaf ataupun khalaf, baik tafsirnya bil ma’tsur
maupun bil ra’yi, dengan kecenderungan yang berbeda-beda, mengungkap dan membandingkan
satu dengan lainnya, menjelaskan siapa diantara para mufassir yang penafsirannya dipengaruhi
perbedaan madzhab atau yang penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi suatu golongan
tertentu atau mendukung aliran tertentu, siapa di antara mereka yang penafsirannya sangat
diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Mufassir dengan metode ini dituntut
untuk mampu menganalisis pendapat para mufassir yang ia kemukakan, untuk kemudian
mengambil sikap mencari penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat
diterima oleh rasio sehingga menjelaskan sikap yang diambilnya. Dengan demikian pembaca
akan merasa puas.
Kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya sebatas pada analisis kebahasaan,
tetapi juga mencakup kandungan makna dan perbedaan kasus yang dibicarakan. Dalam
membahas perbedaan- perbedaan itu, seorang mufassir harus meninjau berbagai aspek yang
menyebabkan timbulnya perbedaan, seperti asbab an-nuzul yang berbeda, pemakaian kata dan
susunannya di dalam ayat berlainan dan juga konteks masing-masing ayat serta situasi dan
kondisi umat ketika ayat tersebut turun. Dalam menganalisis perbedaan-perbedaan tersebut,
mufassir harus pula menelaah pendapat yang telah dikemukakan oleh mufassir lainnya. Adapun
pola narasi pemikiran dalam menerapkan metode muqaran (komparatif) oleh Nasharuddin
Baidan digambarkan dalam bentuk areal yang bundar melingkar sehingga membentuk tataran
horizontal yang lebih luas. Hal itu dimungkinkan karena yang menjadi ciri utama metode ini
adalah perbandingan, baik perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis ataupun
perbandingan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat. Perbandingan semacam ini
menjadi amat luas secara horizontal sehingga seakan-akan membentuk suatu lingkaran.
Digambarkan pola pikir narasinya dalam bentuk lingkaran agar menimbulkan imej bahwa apa
yang dibandingkan itu berada pada dataran yang sama tidak ada kelebihan yang satu dari yang
lain. Kecuali itu gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa wacana yang dikembangkan dalam
tafsir komparatif lebih mengacu kepada upaya memberikan informasi sebanyak mungkin kepada
pembaca atau pendengar kemudian membiarkan mereka mengambil kesimpulan sendiri secara
bebas tanpa perlu digiring pada konklusi tertentu. Itulah sebabnya pembahasan bersifat meluas.
Namun setelah itu, banyak ulama yang mencoba mengintip lebih jauh maknanya. Ada
yang memahaminya sebagai nama surat, atau cara yang digunakan Allah untuk menarik
perhatian pendengar tentang apa yang akan dikemukakan pada ayat-ayat berikutnya. Ada
lagi yang memahami huruf-huruf yang menjadi pembuka surat Al- Qur`an itu sebagai
tantangan kepada yang meragukan Al-Qur`an. Selain itu, ia juga mengutip pandangan
Sayyid Quthub yang kurang lebih mengatakan: "Perihal kemukjizatan Al-Qur`an serupa
dengan perihal ciptaan Allah semuanya dibandingkan dengan ciptaan manusia. Dengan
bahan yang sama Allah dan manusia mencipta. Dari butir-butir tanah, Allah menciptakan
kehidupan, sedangkan manusia paling tinggi hanya mampu membuat batu-bata. Demikian
pula dari huruf-huruf yang sama (huruf hija`iyyah) Allah menjadikan Al-Qur`an dan Al-
Furqân. Dari situ pula manusia membuat prosa dan puisi, tapi manakah yang labih bagus
ciptaannya?" Quraish juga menambahkan dengan mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang
mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat tentang huruf-huruf yang terbanyak dalam
surat-suratnya. Dalam surat Al-Baqarah, huruf terbanyak adalah alif, lam, dan mim. Pendapat
ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun Quraish Shihab terlihat masih
meragukan kebenaran pendapat-pendapat yang dikutipnya hingga beliau mengambil
kesimpulan bahwa pendapat yang menafsirkan املdengan َو هاّللُ أَ ْعل َُمmasih relevan sampai saat
ini.
D. Metode Tafsir Maudu’i
1.pengertian metode maudhu’i
Metode maudu’i adalah metode yang banyak digunakan oleh para penafsir
akhir-akhir ini. Tafsir maudu’i pertama kali lahir atas adanya inspirasi dari perkataan
Ali bin Abi -alib yang mengatakan istant}iq al Qur’an (ajaklah al Qur’an berbicara
atau biarkan ia menguraikan maksudnya). Pesan ini memberikan inspirasi kepada
penafsir untuk merujuk kepada al Qur’an dalam rangka memahami kandungannya.
Seorang penafsir harus menghimpun ayat-ayat al Qur’an yang berkaitan dengan topik
yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah itu, penafsir membahas dan menganalisis
kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan pesan al Qur’an secara
utuh.1 Metode ini dianggap lebih mampu menjawab permasalahan-permasalahan dan
menyuguhkan maksud al Qur’an secara tuntas apalagi dengan perkembangan berbagai
permasalahan yang dihadapi umat muslim dan harus dicarikan prinsip-prinsip
penyelesaiannya dalam al Qur’an.
Tafsir maudu’i mempunyai dua macam bentuk kajian. Pertama, pembahasan
mengenai satu surat secara menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang
bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang
dikandungnya sehingga surat tersebut tampak sebagai kesatuan pesan yang benar-
benar utuh. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dengan topik yang
sama, kemudian disusun dan dijelaskan sebagai satu topik bahasan.
a). Metode Tafsir Maudu’i Muhammad Baqir al SadrBaqir Sadr menyebut tafsir
maudu’I dengan tafsir tauhidi karena menurutnya penafsir yang menggunakan
metode maudu’I harus menyatukan dua upaya yaitu menyatukan ayat-ayat yang terkait
dengan tema tertentu dengan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi
masyarakat. Hal ini merupakan sebuah keharusan agar petunjuk al Qur’an yang
diperoleh dari tafsir tidak berjarak dengan apa yang dialami masyarakat dalam
kehidupan. Hal ini yang ditemukan dalam karya-karya tokoh lain yang membahas tafsir
maudu’i.
Bagi Baqir Sadr, penafsir yang menggunakan metode maudu’itidak
memulai kerjanya dari nas, akan tetapi dimulai dari kejadian-kejadian dalam
kehidupan, penafsir memusatkan perhatian pada satu tema dari tema-tema kehidupan
yaitu masalah akidah, sosial, dan kealaman. Penafsir kemudian mengumpulkan
dasar-dasar dari pengalaman-pengalaman manusia seputar tema tersebut baik
berupa faktor-faktor yang mempungaruhi pengalaman manusia maupun problematika
yang mereka hadapi. Setelah itu penafsir menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan
dicarikan solusinya dari teks-teks al Qur’an.8Penyatuan antara teks al Qur’an dengan
problem realitas inilah yang menjadikan kekuatan metode maudu’i. Sebab, petunjuk-
petunjuk al Qur’an tidak terbatas sedangkan tafsir harfiyyah bersifat terbatas dan
berkekurangan.
Oleh karena itu, kehadiran tafsir maudu’I diharapkan mampu mejelaskan
ketidakterbatasan petunjuk al Qur’an, menciptakan perkembangan yang cepat seiring
dengan perkembangan pengalaman manusia. Dengan demikian, tafsir maudu’i dapat
menghasilkan solusi yang menunjukkan jalan yang sesuai dengan petunjuk al Qur’an.
Ketika al Qur’an dikaji bersamaan dengan pengalaman manusia, maka akan
dihasilkan sebuah penjelasan tafsir yang tidak hanya bersifat doktrin dan normatif tetapi
akan dihasilkan penjelasan tafsir yang bersifat realistis dan aplikatif.9Kelebihan yang
dimiliki tafsir maudu’iseperti telah dijelaskan di atas semakin memperkuat urgensi
kajian tafsir maudu’i. Hal ini juga menjelaskan bahwa secara metodologis, tafsir
maudu’i lebih mempunyai nilai manfaat dan dapat dipertanggungjawabkan. Kelemahan
yang sering disandarkan pada tafsir maudu’i adalah tingkat kapabilitas penafsir dan
tingkat kekuatan penafsir untuk menekan sisi subyektifitasnya, bukan dari segi
metodologinya.
b). Metode Tafsir Maudu’i ‘Abd al-Hayy al-Farmawi. Pada dasarnya, praktek
tafsir maudu’isudah dimulai oleh ulama-ulama terdahulu. Ulama-ulama terdahulu
melakukan pembahasan tafsir mengenai satu surat secara menyeluruh dengan
menjelaskan maksudnya secara umum dan khusus, menghubungkan satu pokok masalah
dengan masalah lain, sehingga pembahasan tentang satu surat ini betul-betul diteliti
dengan cermat dan utuh.
Ulama pertama yang menggunakan metode ini adalah al-‘Allamah al-Fakhr al-
Razi dalam karyanya al-Tafsir al-Wadih. Selain beliau, al-Allamah al-Syatibi dalam
karyanya al-Muwafaqat juga menerapkan hal yang sama. Menurut al-Syatibi, dalam
suatu surat yang mengandung berbagai permasalahan, pada dasarnya masalah-
masalah tersebut adalah satu kesatuan yang tetap menunjuk pada satu maksud atau
masalah-masalah tersebut hadir untuk saling melengkapi meskipun diungkapkan
dalam makna yang berbeda-beda. Selain cara di atas, ada cara lain yaitu dengan
menghimpun ayat-ayat yang mempunyai satu makna, menyusunnya dalam satu
pembahasan, kemudian menafsirkannya secara tematik. Metode ini merupakan metode
baru yang lahir di Fakultas Usul al-Din Universitas al-Azhar. Metode ini dipelopori oleh
usaha-usaha penyusunan metode yang dilakukan oleh sebagian guru besar Fakultas
tersebut.
Hal ini memberikan angin segar bagi perkembangan metode maudu’I yang
sangat perlu diperhatikan di masa kini.Dari penjelasan di atas, dapat diketahui
bahwa tafsir maudu’imempunyai dua macam bentuk kajian. Keduanya bertujuan
untuk menggali hukum-hukum yang terkandung dalam ayat-ayat al Qur’an, kaitan
antar ayat, keteraturan antar ayat, membantah tudingan bahwa dalam al Qur’an
sering terjadi pengulangan. Kajian ini juga menunjukkan betapa besarnya perhatian al
Qur’an terhadap kemaslahatan manusia baik secara umum maupun khusus.
Hal ini terlihat dari syariatnya yang bijaksana dan adil, yang apabila manusia
mengikutinya maka ia akan sampai pada kebahagian di dunia dan di akhirat. Kedua
bentuk kajian maudu’i yang dimaksud adalah, pertama, kajian mengenai satu surat
secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya baik yang masih
bersifat umum maupun khusus, menjelaskan kaitan dari berbagai masalah terhadap
masalah-masalah yang lain, sehingga tampak maksud dari keseluruhan surat tersebut
dengan pembahasan yang utuh dan cermat. Kedua, kajian dengan mengumpulkan
ayat-ayat al Qur’an yang membicarakan masalah yang sama, menyusun dan
meletakkan dalam satu tema bahasan, selanjutnya ditafsirkan dengan metode
maudu’i.Tafsir maudu’i dalam bentuk kajiannya yang kedua merupakan istilah baru
tafsir maudu’i dari ulama-ulama masa kini.
Kajian yang dimaksud adalah tafsir maud}u>’i dengan menghimpun ayat-ayat al
Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dan membicarakan masalah yang sama,
menyusun ayat-ayat tersebut berdasarkan kronologi dan juga sebab-sebab turunnya ayat.
Setelah itu, penafsir mulai memberikan keterangan, penjelasan dan komentar
terhadap ayat-ayat tersebut. Penafsir juga menggali hukum-hukum yang terkandung
dan juga menarik kesimpulan dari ayat-ayat tersebut. Secara khusus, penafsir
melakukan pembahasan tafsirnya ini dengan metode maudu’i. Penafsir meneliti ayat-
ayat tersebut dari seluruh seginya, menggunakan analisa dengan disiplin-disiplin ilmu
yang berkaitan dengan benar, untuk menjelaskan hakikat dari pokok permasalahan
tersebut. Dengan melakukan hal-hal ini, penafsir dapat memahami permasalahan
tersebut dengan mudah, mengetahui dengan baik dari segala sisinya dengan
sempurna, sehingga penafsir mungkin untuk mengetahui makna terdalam dari ayat-
ayat tersebut dan dapat menjawab berbagai kritik yang ditujukan atas penafsirannya.
Pengertian tafsir maud}\u’i dalam bentuk kajian inilah yang digunakan oleh al Farmawi
dalam menjelaskan langkah-langkah metodenya.