Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ILMU TAFSIR

“Metode Penafsiran Al-Quran”

Oleh:

Disusun oleh :
Dicki Erlangga (19651005)
Eni Wahyuni (18651007)
Muhammad Waras Danku (19651012)
Suryana (19651018)
Wulan Septianingsih (18651018)

Dosen Pengampu:
Hardividzon, M. Ag

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP
2020/2021
“METODE PENAFSIRAN Al-QURAN”

A. Metode Tafsir Tahlili


Salah satu metode tafsir yang sering digunakan oleh para pengkaji al-Qur’an adalah metode
tahlili. Metode Tahlili adalah metode menafsirkan al-Qur’an yang berusaha menjelaskan al-Qur’an
dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an. Tafsir ini
dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai
dengan susunan mushaf al-Qur’an, menjelaskan kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya
ayat, kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabah), dan tidak ketinggalan
pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang
disampaikan oleh Nabi saw., sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya, dan menjelaskan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan
susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara
bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Tujuan utama para ulama menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk
meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Qur’an, sesuatu yang
dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu
pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka
ragam dan terpisah-pisah
Kata metode berasal dari bahasa Latin yaitu berasal dari kata methodos. Kata methodos
itu sendiri berasal dari akar kata metadan hodos. Meta berarti „menuju, melalui, mengikuti,
sesudah‟, sedangkan hodos berarti „jalan, cara, dan arah‟.Sedangkan kata metode atau dalam
bahasa inggris „methode‟ berarti prosedur atau proses untuk mencapai apa yang diinginkan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata metode berarti cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan.
Kata tafsir berarti al Tawdi>h „penjelasan‟ dan al-bayan „penegasan‟ serta menyikap
sesuatu yang tertutup. Ini seperti kata „tafsir‟ yang disebutkan dalam firman Allah swtsurat al
Furqan ayat ke 33 yang bermakna penjelasan. Adapun kata tafsir secara istilah kelimuan adalah
ilmu yang membahas tentang al Qur‟an al Karim dari segi dilalah (petunjuk)nya yang
diinginkan oleh Allah sesuai kemampuan manusia. Imam al-Zarkasyi mengatakan bahwa ilmu
untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad saw, untuk
menjelaskan makna-maknanya, untuk mengeluarkan hukum dan hikmah di dalamnya. Hal itu
akan membutuhkan ilmu bahasa, nahwu (grammer), sharaf, ushul fiqih, qiraat dan lainnya. Dan
membutuhkan juga pengetahuan asbab nuzul, nasikh dan mansukh. Imam Abu Hayyan rhm juga
menjelaskan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana mengucapkan lafadz
al-Qur‟an, membahas petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, dan membahas makna-makna
yang terkandung dalam susunan ayat al- Qur‟an.
Sedangkan kata tahlili bentuk kata arab „ ‫‟حم‬contoh „‫ ‟انعقدة حم‬yang bermakna membuka
ikatanmenjadi terurai66. Secara umum tahlili bermaksud menjelaskan sesuatu pada unsur-
unsurnya secara terperinci. Adapun definisi tafsir tahlili secara istilah adalah metode yang
digunakan seorang mufasir dalam menyingkap ayat sampai pada kata- perkatanya, dan mufasir
melihat petunjuk ayat dari berbagai segi serta menjelaskan keterkaitan kata dengan kata lainnya
dalam satu ayat atau
Beberapa ayat.Tidak ditemukan definisi pada ulama terdahulu, dikarenakan metode ini
dikenalkan setelahnya. Menurut Musaid al Thayyar, tafsir tahlili adalah mufasir bertumpu
penafsiran ayat sesuai urutan dalam surat, kemudian menyebutkan kandungannya, baik makna,
pendapat ulama, I‟rab, balaghah, hukum, dan lainnya yang diperhatikan oleh mufasir. Jadi
tafsir tahlili dapat kita katakan; bahwa mufassir meneliti ayat al Qur‟an sesuai dengan tartib
dalam mushaf baik pengambilan pada sejumlah ayat atau satu surat, atau satu mushaf semuanya,
kemudian dijelaskan penafsirannya yang berkaitan dengan makna kata dalam ayat, balagahnya,
I‟rabnya, sebab turun ayat, dan hal yang berkaitan dengan hukum atau hikmahnya.
1. Urgensi Metode Tafsir Tahlili dan Kelebihannya
Metode tafsir tahlili atau metode tafsir yang digunakan oleh ahli tafsir sepanjang masa
memiliki banyak faidah yang beragam, dan tujuan yang tinggi. Secara gelobalnya penulis
jelaskan sebagai berikut:
Pertama, metode ini meneliti setiap bagian nash al qur‟an secara detail, tanpa
meninggalkan sesuatupun. Sehingga metode ini memberi pengetahuan yang komprehensif
mengenai ayat yang dibahas baik kata atau kalimat. Di mana metode ini menyajikan makna dan
hukum yang terkandung dalam nash.
Kedua, metode ini menyeru peneliti dan pembacanya untuk mempelajari/mendalami
ilmu-ilmu al qur‟an yang beragam.Untuk itu mufasir menjelaskan ayat dari berbagai segi
dengan metode tahlili ini.
Ketiga, metode ini memperdalam pemikiran, dan menambah kuat dalam menyelami
makna ayat, serta tidak puas hanya melihat makna gelobal saja.Sehingga metode ini dapat
membantu dalam meningkatkan kemampuan untuk ber-istinbat, memilih ragam makna, memilih
pendapat yang kuat dari pendapat para ulama.
Keempat, dari metode ini, seorang alim dapat menggunakan informasi dalam tafsir tahlili
menjadi sebuah pembahasan tersendiri, seperti metode tafsir maudhui.Oleh karena itu tafsir
tahlili menjadi pengantar atau asas untuk tafsir maudhui.
Adapun kesimpulan kelebihan metode tafsir tahlili dapat dijelaskan menjadi dua bagian.
Pertama, ruang lingkup yang luaspadametode tafsir tahlili.Karena dalam tafsir tahlili,
mufassir berusaha menjelaskan ayat demi ayat secara rinci dan komprehensif.
Kedua, dalam metode tafsir tahlili, seorang mufassir mendapatkan ruang yang luas untuk
mengutarakan ide dan gagasannya dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an.
Akan tetapi tafsir dengan metode tahlili kurang tepat dalam pembelajaran bagi para
siswa pemula dan masyarakat awam.Hal itu dikarenakan pembahasan dalam tafsir dengan
metode tahlili sangat luas dan mencakup berbagai cabang ilmu al-Qur‟an dan tafsir.Sehingga
hal itu menyulitkan para pemula dalam memahami ayat dan menyimpulkan maknanya.

2. Perkembangan Tafsir Tahlili


Adanya metode tafsir tahlili tidak secara tiba-tiba muncul.Akan tetapi metode ini muncul
dengan melalui beberapa tahapan periode penafsiran.Penelitian tentang sejarah dan periode yang
dilalui „ilmu‟ tafsir ini, kita dapati bahwa tafsir melalui periode yang banyak, sampai pada zaman
sekarang ini.Secara gelobal penjelasannya sebagai berikut; Periode pertama, pada masa Nabi saw,
tafsir waktu itu terbatas pada penjelasan pada kata-kata yang samar atau asing. Analisa tafsir secara
kebahasaan kata dalam ayat di masa Nabi sangat jarang sekali, dikarenakan waktu itu masyarakat
tidak membutuhkan corak tafsir seperti ini.Mereka sangat paham dengan bahasanya dan belum
banyak tercampur dengan orang-orang asing (‫)أعجم‬
Pada zaman Nabi saw, tafsir terfokus pada asbab nuzul. Yakni sebab diturunkannya
ayat al Qur‟an kepada Nabi saw. Sahabat yang menyaksikan turunnya ayat meriwayatkan
kepada sahabat yang tidak sempat hadir menyaksikan turunnya ayat.Masa itu juga, ada
penjelasan langsung dari Nabi saw, yaitu menyelaskan al Qur‟an dengan Al Qur‟an,
penjelasan istilah tertentu dalam ayat, penjelasan hukum hala dan haram, atau penegasan
tentang hukum yang terdapat pada ayat.
Sehingga banyak hadits yang memiliki keterkaitan dengan tafsir ayat baik secara
langsung atau tidak. Pada zaman Nabi saw, tersisa banyak ayat yang tidak ditafsirkan oleh
Nabi saw. Dikarenakan masyarakat waktu itu tidak membutuhkannya, atau dibiarkan agar
manusia setelahnya mendalami ilmu tafsir itu dan menggunakan pemahaman mereka untuk
ber-istinbat makna, hukum atau hikmah yang terkandung dalam ayat. Periode kedua, terjadi
perluasan penafsiran secara besar- besaran.Hal itu menjadi kebutuhan primer bagi orang-
orang yang baru masuk Islam, di mana mereka tidak menyaksikan langsung turunnya
wahyu.Muailah adanya kebutuhan tafsir secara bahasa setahap-setahap.Hingga islam
menyebar di timur dan barat. Sebagaimanadinukil bahwan Umar bin Khattab memberikan
perhatian khusus pada segi bahasa. Begitu pula Ibnu Abbas rda merupakan sahabat Nabi saw
yang berandil besar dalam menafsirkan al qur‟an al karim.
Periode ketiga,periode tafsir tahlili muncul setelah ilmu-ilmu keislaman
dibukukan.Dan muncul ilmu baru yang berkhidmat pada al-Qur‟an al-Karim. Mulai analisa
nash ayat al-Qur‟an dengan bentuk yang lebih luas. Pada periode ini, kamus bahasa banyak
dibukukan dan ilmu bahasa menjadi lebih luas, seperti nahwu, sharaf dan balaghah. Oleh
karena itu terjadi peluasan penjelasan nash ayat al-Qur‟an dalam ilmu bahasa arab dalam
rangka menjelaskan kata-kata gharib (asing)dalam al-Qur‟an. Maka ditulislah buku secara
khusus yang menjelaskan makna kata dalam al-Qur‟an.Seperti buku Majaz al-Qur‟an yang
ditulis oleh Abi Ubaidah w 210H. dia menafsirkan petunjuk kata al-Qur‟an, menjelaskan
bacaaan ayat dan berbicara tafsirnya secara keilmuan bahasa secara murni.
Tafsir yang lebih jelas dan dalam lagi dalam penggunaan metode tahlili adalah tafsir
Ibnu Hayyan al-Andalusi (w 745), beliau menulis tafsir yang bernama „al-Bahr al-Muhi>th‟.
Ibnu Hayyan dalam pengantar bukunya menjelaskan langkah-langkahnya dalam menafsirkan
al-Qur‟an secara terperinci dan berurutan.Beliau mengawali penafsiran ayat dengan
menjelaskan mufradat ayat, yakni kata-perkata dijelaskan makna bahasa dan
nahwunya.Kemudian beliau menjelaskan tafsir ayat dengan menyebutkan sebab nuzul ayat,
jika memiliki asbab nuzul. Kemudian beliau menjelaskan nasakh atau tidaknya ayat yang
dibahas, dan menyebutkan keterkaitan ayat dengan ayat sebelumnya, atau surat sebelumnya.
Beliau juga menjelaskan macam-macam qiraat yang mutawatir dan syad.Dll.
3. Ragam Metode Tafsir Tahlili
a. Tafsir tahlili bil ma‟tsur
Dalam hal ini, metode tafsir tahlili berusaha menjelaskan ayat-ayat secara
terperinci dengan menggunakan pendekatan tafsir bil ma‟tsur.Adapun yang dimaksud
dengan tafsir bil ma‟tsur adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an berlandaskan pada
penjelasan dalam ayat yang lain, dan pada hadits-hadits nabawi, dan pada perkataan
para sahabat dan tabi‟in. Di antara tafsir tahlili yang menggunaka pendekatan tafsir
bill ma‟tsur yaitu; a. Tafsir Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil ayat al Qur‟an, b. Ma‟alim
Tanzil al-Bagawi.C. tafsir al-Qur‟an al-Adzim, Ibnu Kathir.D, al-Durr al-Ma‟tsur fi
al Tafsir bi al-Ma‟tsur Suyuti. E,
b. Tafsir tahlili bil ra‟yi
Ragam tafsir tahlili yang kedua adalah penggunaan pendekatan tafsir bil
Ra‟yi.Yakni dalam penjelasan tafsir tahlili ini, mufasir menggunakan sumber ra‟yu
yang didukung dengan kaidah-kaidah tafsir dan cabang-cabang ilmu tafsir.Di antara
tafsir tahlili yang menggunakan pendekatan tafsir bil ra‟yi yaitu; a. Tafsir al-Khazin,
al-Khazin. B, Anwar Tanzil wa Asrar Al-Ta‟wil,al-Baydhawi. C, Tafsir al-Jawahir fi
Tafsir al-Qur‟an, Thanthawi Jauhari.D. tafsir al-Manar, Muhammad Rasyid.

B. Metode Tafsir Ijmali


Tafsir secara bahasa mengikuti wazan taf`il, berasal dari akar kata al-fasr (f,s,r)
yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang
abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan daraba yadribu dan nasara yansuru. Dikatakan
fasara (asy-syai`a) yafsiru dan yafsuru, fasran dan fassarahu artinya abaanahu
(menjelaskannya). Kata at-Tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan
menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan kata al-fasr berarti
menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata attafsir berarti menyingkapkan maksud
sesuatu lafaz yang musykil, pelik. Tafsir secara Bahasa berarti menerangkan dan
menjelaskan.1 Al-Qaththan menjelaskan bahwa arti tafsir secara Bahasa adalah
menyingkap.2

1
Adib bisri dan Munawir AF, Al Bisri kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), 568.
2
Manna Khalil Al-Qaththan, Studi ilmu-Ilmu Al-Quran, Terj, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 457.
Tafsir menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah Ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafazlafaz Al-Qur`an, tentang petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan maknamakna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.3
Pengertian tafsir mengandung arti, pengetahuan atau ilmu yang berkenaan dengan
kandungan Al-Qur`an dan ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk memperolehnya, atau sebagai
cara kerja ilmiah untuk mengeluarkan pengertian-pengertian, hukum-hukum dan hikmah-hikmah
yang terkandung dalam Al-Qur`an. Tafsir menurut Ali Shabuni adalah ilmu yang digunakan
untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengetahui
penjelasan makna-maknanya serta hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di
dalamnya.4
Tafsir Al-Qur`an adalah penjelasan tentang maksud firman Allah sesuai kemampuan
manusia. Kemampuan itu bertingkattingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh seorang
mufassir dari Al-Qur`an bertingkat-tingkat pula.5 Menafsirkan Al-Qur`an merupakan usaha
sungguh-sungguh yang dikerahkan oleh seorang mufassir untuk memahami dan mendalami
kandungan-kandungan dan berbagai aspek yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur`an.6
Mufassir dituntut untuk menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur`an sejalan
dengan perkembangan masyarakatnya, sehingga Al-Qur`an dapat benar-benar berfungsi sebagai
petunjuk, pemisah antara yang haq dan yang batil, serta jalan keluar bagi problema kehidupan
yang dihadapi. Di samping itu, mufassir dituntut pula untuk menghapus kesalahpahaman
terhadap Al-Qur`an atau kandungan ayat-ayatnya, sehingga pesan-pesan Al-Qur`an dapat
diterapkan sepenuh hati dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.7
Tafsir ijmali yaitu menafsirkan Al-Qur`an secara singkat dan global. Dengan metode ini,
mufassir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur`an dengan uraian singkat dan bahasa yang
mudah sehingga dapat dipahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas
sampai orang yang berpengetahuan sekadarnya. Hal ini dilakukan terhadap ayat per ayat dan
surat per surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf sehingga tampak keterkaitan antara makna
satu ayat dan ayat yang lain, antara satu surat dengan surat yang lain.
Dengan metode ini, mufassir berupaya pula menafsirkan kosa kata Al-Qur`an dengan
kosa kata yang ada dalam Al-Qur`an sendiri, sehingga para pembaca yang melihat uraian
tafsirnya tidak jauh dari konteks Al-Qur`an, tidak keluar dari muatan makna yang dikandung
oleh kosakata serupa dalam Al-Qur`an, dan adanya keserasian antara bagian Al-Qur`an yang satu
dan bagian yang lain. Metode ini lebih jelas dan lebih mudah dipahami para pembaca. Ketika

3
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, (Bogor: Litera antar Nusa, 2013), 455-456 lihat juga
Muhammad Husain Az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, 12
4
Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur`an, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2003), 65.
5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), vii
6
Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa al-Qur`an, (Jakarta: Fikra Publishing, 2006), 3-4.
7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah…….., viii.
menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur`an dengan bantuan Asbab Al-
Nuzul, peristiwa sejarah, Hadis Nabi, atau pendapat ulama.8
Para pakar menganggap bahwa metode ijmali merupakan metode yang pertama kali lahir
dalam sejarah perkembangan metodologi tafsir. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada
era Nabi SAW.dan para sahabat, persoalan Bahasa, teruatama Bahasa Arab bukanlah menjadi
penghambat dalam memahami alQur`an. Tidak saja karena mayoritas sahabat adalah orang Arab
dan ahli Bahasa Arab, tetapi juga mereka mengetahui secara baik latar belakang turunnya (asbab
al-Nuzul) ayat dan bahkan menyaksikan serta terlibat langsung dalam situasi dan kondisi umat
islam ketika ayat Al-Qur`an turun.
Realitas sejarah yang demikian sangat kondusif dalam menyuburkan persemaian metode
Ijmali, karena sahabat tidak memerlukan penjelasan yang rinci dari Nabi, tetapi cukup dengan
isyarat dan uraian sederhana, sebagaimana yang dilakukan beliau ketika menafsirkan kata Zulm
dengan Syirk. Boleh dikatakan bahwa pada awal-awal islam metode ijmali menjadi satu-satunya
opsi dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur`an. Prosedur metode Ijmali yang praktis dan
mudah dipahami rupanya turut memotivasi ulama tafsir belakangan untuk menulis karya tafsir
dengan menerapkan metode ini. Di antara mereka adalah Jalal alDin al-Mahalli (w.864H) dan
Jalal al-Din al-Suyuthi (w.911 H) yang mempublikasikan kitab tafsir yang sangat popular dengan
judul tafsir al-Jalalain. Lebih jauh, akar dari metode penafsiran ini barangkali merujuk pada
karya tafsir yang diatributkan kepada sahabat `Abd Allah bin Abbas, Tanwir al-Miqbas fi Tafsir
ibn Abbas, yang ditulis oleh al-Fairuzzabady (w.1414 M).9
Langkah-langkah yang ditempuh para mufassir dalam penafsiran metode Ijmali:
1. Membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertuang dalam mushaf.
2. Mengemukakan arti global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
3. Makna yang diutarakan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat (ayat diletakkan di
antara dua tanda kurung, sementara tafsirnya diletakkan di luar tanda kurung tersebut)
atau menurut pola yang diakui oleh jumhur Ulama dan mudah dipahami semua orang.
4. Bahasa yang digunakan, diupayakan lafaznya mirip bahkan sama dengan lafaz yang
digunakan Al-Qur`an (dalam bentuk sinonim).10
a). Syarat-Syarat Mufassir
Untuk menafsirkan Al-Qur`an, seorang mufassir setidaknya harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut, diantaranya:
1. Akidah yang benar, sebab aqidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan
seringkali mendorongnya untuk mengubah Nash dan berkhianat dalam penyampaian
berita.
2. Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela
kepentingan mazhabnya.

8
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu`I (ter), (Bandung: Pustaka setia, 2002), 38.
9
9 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 47-48.
10
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 48
3. Menafsirkan lebih dahulu Al-Qur`an dengan Al-Quran, karena sesuatu yang global pada
satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas
di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah al-Qur`an.
5. Mencari penafsiran para sahabat.
6. Mencari penafsiran para tabi`in (generasi setelah sahabat).
7. Pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya.
8. Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Qur`an seperti ilmu
qira`ah.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas yang
lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syari`at.11
b). Kelebihan dan Kelemahan Metode Tafsir Ijmali
Tafsir sebagai produk pemahaman manusia terhadap teks ayat-ayat Al-Qur`an, tentu
tidak lepas dari kelebihan dan kelemahannya, demikian juga dengan metode tafsir Ijmali, pasti
memiliki kelebihan dan kelemahan yang kalau kita analisa akan saling melengkapi antara yang
satu dengan yang lainnya. Berikut kelebihan dan kelemahan metode tafsir Ijmali:
1. Kelebihan
a. Memiliki karakter yang simplistis dan mudah dimengerti.
b. Tidak mengandung elemen penafsiran israiliyat.
c. Lebih mendekati bahasa Al-Qur`an.
2. Kelemahan
a. Menjadikan petunjuk Al-Quran bersifat parsial.
b. Tidak membuka ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.12
c). Kitab Tafsir yang menggunakan Metode Tafsir Ijmali
Di antara kitab Tafsir yang menggunakan metode ini adalah sebagai berikut:
1. Tafsir Al-jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal alDin al-Mahally.
2. Tafsir Al-Qur`an al-Azhim karya Muhammad Farid Wajdi.
3. Shafwah al-bayan li Ma`any Al-Qur`an karya Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf
4. Tanwir al-Miqbas min tafsir Ibnu Abbas karya Ibnu Abbas yang dihimpun al-Fairuz
abady.
5. Tafsir al-Wasith, produk lembaga Pengkajian Universitas alAzhar Mesir, karya suatu
komite Ulama.
6. Al-Tafsir al-Muyassar karya Syaikh Abd al-jalil Isa.
7. Al-Tafsir al-Mukhtashar, produk Majelis Tinggi Urusan Umat Islam, karya suatu komite
ulama.13

11
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an, (Bogor: Litera antar Nusa, 2013), 462-465. Lihat juga Dr.
Thameem ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur`an, 31-33.
12
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 49
13
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Sulthan Thaha Press, 2007), 48
d). Contoh Metode Tafsir Ijmali
Contoh penafsiran Ijmali dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain, yang hanya membutuhkan
beberapa baris saja saat menafsirkan lima ayat pertama di dalam surat al Baqarah. Al Jalalain
saat menafsirkan Firman Allah QS al-Baqarah 1 memaparkan “ ‫“الم‬misalnya dia berkata Allah
Yang Maha Tahu maksudnya.
Demikian pula halnya saat menafsirkan Firman Allah “ ‫“الكتاب‬hanya menyatakan yang
dibaca oleh Muhammad SAW. “ ‫“ )ال فيه ريب‬la syakka) berfungsi sebagai predikat dan subjeknya
adalah “ ‫ ”ذالك‬.“‫“هدى‬berfurngsi sebagai predikat kedua bagi “ ‫ “ذالك‬yang mengandung arti
memberi petunjuk bagi orang yang bertaqwa.

C. Metode Tafsir Muqaran


Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam
bahasa Inggis kata ini ditulis method, sedangkan bangsa Arab menerjemahkannya dengan
tharîqat atau manhaj.14 Dalam Bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti “cara yang
teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya);
cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu
yang ditentukan”.15

Pengertian metode yang bersifat umum dapat digunakan untuk berbagai objek, baik yang
berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi,
metode merupakan salah satu sarana yang teramat penting untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dapat disimpulkan bahwa metode tafsir adalah bentuk penyajian tafsir secara
oprasional yang dipilih oleh seorang mufassir dalam menyusun pembahasan tafsirnya.16

Muqaran berasal dari kata qârana-yuqârinu-muqâranatan yang artinya menggandeng,


menyatukan atau membandingkan, kalau dalam bentuk masdar artinya perbandingan.17
Sedangkan menurut istilah, metode muqaran adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-
Qur`an yang ditulis oleh sejumlah para mufassir. Metode ini mencoba untuk membandingkan
ayat-ayat Al-Qur`an antara yang satu dengan yang lain atau membandingkan ayat Al-Qur`an

14
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), Cet. 1, h. 117
15
KBBI online
16
Ansori, Tafsir bil Ra’yi Menafsirkan Al-Qur`an dengan Ijtihad, (Ciputat: Gaung Persada Press Jakarta,
2010), Cet. 1, h. 76
17
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 122
dengan hadis Nabi serta membandingkan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-
Qur`an.

Nasaruddin Baidan di dalam bukunya menuturkan bahwa Tafsir Muqaran adalah tafsir
yang menggunakan cara perbandingan atau komparasi. Bahwa yang dimaksud dengan metode
komparatif adalah: metode ini seorang mufassir melakukan perbandingan antara (1). Teks ayat-
ayat Al-Qur`an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih,
atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama, (2). Ayat-ayat Al-Qur`an dengan
Hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, (3). Berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan Al-Qur`an.

Ansori juga mengungkapkan pendapat yang senada di dalam bukunya bahwa Metode
muqaran adalah metode yang membandingkan ayat-ayat Al-Qur`an yang memiliki persamaan
atau kemiripan redaksi yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda dan yang
memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Yang
termasuk juga dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Qur`an
dengan hadis-hadis Nabi Saw. yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-
pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Qur`an. Metode ini oleh mufassir
dilakukan dengan jalan mengambil sejumlah ayat Al-Qur`an kemudian mengemukakan
penjelasan para mufassir baik dari kalangan salaf ataupun khalaf, baik tafsirnya bil ma’tsur
maupun bil ra’yi, dengan kecenderungan yang berbeda-beda, mengungkap dan membandingkan
satu dengan lainnya, menjelaskan siapa diantara para mufassir yang penafsirannya dipengaruhi
perbedaan madzhab atau yang penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi suatu golongan
tertentu atau mendukung aliran tertentu, siapa di antara mereka yang penafsirannya sangat
diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Mufassir dengan metode ini dituntut
untuk mampu menganalisis pendapat para mufassir yang ia kemukakan, untuk kemudian
mengambil sikap mencari penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat
diterima oleh rasio sehingga menjelaskan sikap yang diambilnya. Dengan demikian pembaca
akan merasa puas.

Kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya sebatas pada analisis kebahasaan,
tetapi juga mencakup kandungan makna dan perbedaan kasus yang dibicarakan. Dalam
membahas perbedaan- perbedaan itu, seorang mufassir harus meninjau berbagai aspek yang
menyebabkan timbulnya perbedaan, seperti asbab an-nuzul yang berbeda, pemakaian kata dan
susunannya di dalam ayat berlainan dan juga konteks masing-masing ayat serta situasi dan
kondisi umat ketika ayat tersebut turun. Dalam menganalisis perbedaan-perbedaan tersebut,
mufassir harus pula menelaah pendapat yang telah dikemukakan oleh mufassir lainnya. Adapun
pola narasi pemikiran dalam menerapkan metode muqaran (komparatif) oleh Nasharuddin
Baidan digambarkan dalam bentuk areal yang bundar melingkar sehingga membentuk tataran
horizontal yang lebih luas. Hal itu dimungkinkan karena yang menjadi ciri utama metode ini
adalah perbandingan, baik perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis ataupun
perbandingan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat. Perbandingan semacam ini
menjadi amat luas secara horizontal sehingga seakan-akan membentuk suatu lingkaran.
Digambarkan pola pikir narasinya dalam bentuk lingkaran agar menimbulkan imej bahwa apa
yang dibandingkan itu berada pada dataran yang sama tidak ada kelebihan yang satu dari yang
lain. Kecuali itu gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa wacana yang dikembangkan dalam
tafsir komparatif lebih mengacu kepada upaya memberikan informasi sebanyak mungkin kepada
pembaca atau pendengar kemudian membiarkan mereka mengambil kesimpulan sendiri secara
bebas tanpa perlu digiring pada konklusi tertentu. Itulah sebabnya pembahasan bersifat meluas.

a). Objek Kajian Tafsir Muqaran


1. Perbandingan Ayat dengan Ayat
Metode penafsiran perbandingan memiliki objek yang sangat luas dan banyak. Bentuk
penafsiran yang dimaksud bisa berupa Perbandingan antara ayat-ayat Al-Qur`an yang redaksinya
berbeda, tetapi maksudnya sama atau ayat-ayat yang menggunakan redaksi mirip tetapi
maksudnya berlainan. Perlu ditegaskan bahwa objek kajian metode ini hanya terletak pada
persoalan redaksi ayat-ayat Al- Qur`an, bukan dalam bidang pertentangan makna. Pertentangan
makna di antara ayat-ayat Al-Qur`an dibahas dalam ‘ilm al-nâsikh wa al- mansûkh.
Di dalam Al-Qur`an ditemukan banyak ayat yang memiliki kemiripan redaksi atau lafal,
tersebar diberbagai surat. Kemiripan ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk yang menyebabkan
adanya makna tertentu.
2.Perbandingan Ayat dengan Hadis
Perbandingan selain dilakukan antara redaksi ayat Al-Qur`an yang satu dengan yang
lainnya, juga bisa dilakukan antar ayat Al-Qur`an dengan matan hadis yang terkesan
bertentangan. Di antara hadis-hadis Nabi memang ada yang terkesan bertentangan atau berbeda
dengan ayat-ayat Al-Qur`an. Mufassir berusaha menemukan kompromi antara keduannya.
Perbandingan Pendapat Mufassir
Pada kesempatan lain, M. Quraish Shihab mempraktikkan metode muqâran dengan
membandingkan pendapat beberapa mufassir seperti saat ‫امل‬. Menurutnya, mayoritas ulama pada

abad ketiga menafsirkannya dengan ungkapan: ‫َو هاّللُ أَ ْعل َُم‬

Namun setelah itu, banyak ulama yang mencoba mengintip lebih jauh maknanya. Ada
yang memahaminya sebagai nama surat, atau cara yang digunakan Allah untuk menarik
perhatian pendengar tentang apa yang akan dikemukakan pada ayat-ayat berikutnya. Ada
lagi yang memahami huruf-huruf yang menjadi pembuka surat Al- Qur`an itu sebagai
tantangan kepada yang meragukan Al-Qur`an. Selain itu, ia juga mengutip pandangan
Sayyid Quthub yang kurang lebih mengatakan: "Perihal kemukjizatan Al-Qur`an serupa
dengan perihal ciptaan Allah semuanya dibandingkan dengan ciptaan manusia. Dengan
bahan yang sama Allah dan manusia mencipta. Dari butir-butir tanah, Allah menciptakan
kehidupan, sedangkan manusia paling tinggi hanya mampu membuat batu-bata. Demikian
pula dari huruf-huruf yang sama (huruf hija`iyyah) Allah menjadikan Al-Qur`an dan Al-
Furqân. Dari situ pula manusia membuat prosa dan puisi, tapi manakah yang labih bagus
ciptaannya?" Quraish juga menambahkan dengan mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang
mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat tentang huruf-huruf yang terbanyak dalam
surat-suratnya. Dalam surat Al-Baqarah, huruf terbanyak adalah alif, lam, dan mim. Pendapat
ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun Quraish Shihab terlihat masih
meragukan kebenaran pendapat-pendapat yang dikutipnya hingga beliau mengambil
kesimpulan bahwa pendapat yang menafsirkan ‫ امل‬dengan ‫ َو هاّللُ أَ ْعل َُم‬masih relevan sampai saat

ini.
D. Metode Tafsir Maudu’i
1.pengertian metode maudhu’i
Metode maudu’i adalah metode yang banyak digunakan oleh para penafsir
akhir-akhir ini. Tafsir maudu’i pertama kali lahir atas adanya inspirasi dari perkataan
Ali bin Abi -alib yang mengatakan istant}iq al Qur’an (ajaklah al Qur’an berbicara
atau biarkan ia menguraikan maksudnya). Pesan ini memberikan inspirasi kepada
penafsir untuk merujuk kepada al Qur’an dalam rangka memahami kandungannya.
Seorang penafsir harus menghimpun ayat-ayat al Qur’an yang berkaitan dengan topik
yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah itu, penafsir membahas dan menganalisis
kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan pesan al Qur’an secara
utuh.1 Metode ini dianggap lebih mampu menjawab permasalahan-permasalahan dan
menyuguhkan maksud al Qur’an secara tuntas apalagi dengan perkembangan berbagai
permasalahan yang dihadapi umat muslim dan harus dicarikan prinsip-prinsip
penyelesaiannya dalam al Qur’an.
Tafsir maudu’i mempunyai dua macam bentuk kajian. Pertama, pembahasan
mengenai satu surat secara menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang
bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang
dikandungnya sehingga surat tersebut tampak sebagai kesatuan pesan yang benar-
benar utuh. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat dengan topik yang
sama, kemudian disusun dan dijelaskan sebagai satu topik bahasan.
a). Metode Tafsir Maudu’i Muhammad Baqir al SadrBaqir Sadr menyebut tafsir
maudu’I dengan tafsir tauhidi karena menurutnya penafsir yang menggunakan
metode maudu’I harus menyatukan dua upaya yaitu menyatukan ayat-ayat yang terkait
dengan tema tertentu dengan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi
masyarakat. Hal ini merupakan sebuah keharusan agar petunjuk al Qur’an yang
diperoleh dari tafsir tidak berjarak dengan apa yang dialami masyarakat dalam
kehidupan. Hal ini yang ditemukan dalam karya-karya tokoh lain yang membahas tafsir
maudu’i.
Bagi Baqir Sadr, penafsir yang menggunakan metode maudu’itidak
memulai kerjanya dari nas, akan tetapi dimulai dari kejadian-kejadian dalam
kehidupan, penafsir memusatkan perhatian pada satu tema dari tema-tema kehidupan
yaitu masalah akidah, sosial, dan kealaman. Penafsir kemudian mengumpulkan
dasar-dasar dari pengalaman-pengalaman manusia seputar tema tersebut baik
berupa faktor-faktor yang mempungaruhi pengalaman manusia maupun problematika
yang mereka hadapi. Setelah itu penafsir menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan
dicarikan solusinya dari teks-teks al Qur’an.8Penyatuan antara teks al Qur’an dengan
problem realitas inilah yang menjadikan kekuatan metode maudu’i. Sebab, petunjuk-
petunjuk al Qur’an tidak terbatas sedangkan tafsir harfiyyah bersifat terbatas dan
berkekurangan.
Oleh karena itu, kehadiran tafsir maudu’I diharapkan mampu mejelaskan
ketidakterbatasan petunjuk al Qur’an, menciptakan perkembangan yang cepat seiring
dengan perkembangan pengalaman manusia. Dengan demikian, tafsir maudu’i dapat
menghasilkan solusi yang menunjukkan jalan yang sesuai dengan petunjuk al Qur’an.
Ketika al Qur’an dikaji bersamaan dengan pengalaman manusia, maka akan
dihasilkan sebuah penjelasan tafsir yang tidak hanya bersifat doktrin dan normatif tetapi
akan dihasilkan penjelasan tafsir yang bersifat realistis dan aplikatif.9Kelebihan yang
dimiliki tafsir maudu’iseperti telah dijelaskan di atas semakin memperkuat urgensi
kajian tafsir maudu’i. Hal ini juga menjelaskan bahwa secara metodologis, tafsir
maudu’i lebih mempunyai nilai manfaat dan dapat dipertanggungjawabkan. Kelemahan
yang sering disandarkan pada tafsir maudu’i adalah tingkat kapabilitas penafsir dan
tingkat kekuatan penafsir untuk menekan sisi subyektifitasnya, bukan dari segi
metodologinya.
b). Metode Tafsir Maudu’i ‘Abd al-Hayy al-Farmawi. Pada dasarnya, praktek
tafsir maudu’isudah dimulai oleh ulama-ulama terdahulu. Ulama-ulama terdahulu
melakukan pembahasan tafsir mengenai satu surat secara menyeluruh dengan
menjelaskan maksudnya secara umum dan khusus, menghubungkan satu pokok masalah
dengan masalah lain, sehingga pembahasan tentang satu surat ini betul-betul diteliti
dengan cermat dan utuh.
Ulama pertama yang menggunakan metode ini adalah al-‘Allamah al-Fakhr al-
Razi dalam karyanya al-Tafsir al-Wadih. Selain beliau, al-Allamah al-Syatibi dalam
karyanya al-Muwafaqat juga menerapkan hal yang sama. Menurut al-Syatibi, dalam
suatu surat yang mengandung berbagai permasalahan, pada dasarnya masalah-
masalah tersebut adalah satu kesatuan yang tetap menunjuk pada satu maksud atau
masalah-masalah tersebut hadir untuk saling melengkapi meskipun diungkapkan
dalam makna yang berbeda-beda. Selain cara di atas, ada cara lain yaitu dengan
menghimpun ayat-ayat yang mempunyai satu makna, menyusunnya dalam satu
pembahasan, kemudian menafsirkannya secara tematik. Metode ini merupakan metode
baru yang lahir di Fakultas Usul al-Din Universitas al-Azhar. Metode ini dipelopori oleh
usaha-usaha penyusunan metode yang dilakukan oleh sebagian guru besar Fakultas
tersebut.
Hal ini memberikan angin segar bagi perkembangan metode maudu’I yang
sangat perlu diperhatikan di masa kini.Dari penjelasan di atas, dapat diketahui
bahwa tafsir maudu’imempunyai dua macam bentuk kajian. Keduanya bertujuan
untuk menggali hukum-hukum yang terkandung dalam ayat-ayat al Qur’an, kaitan
antar ayat, keteraturan antar ayat, membantah tudingan bahwa dalam al Qur’an
sering terjadi pengulangan. Kajian ini juga menunjukkan betapa besarnya perhatian al
Qur’an terhadap kemaslahatan manusia baik secara umum maupun khusus.
Hal ini terlihat dari syariatnya yang bijaksana dan adil, yang apabila manusia
mengikutinya maka ia akan sampai pada kebahagian di dunia dan di akhirat. Kedua
bentuk kajian maudu’i yang dimaksud adalah, pertama, kajian mengenai satu surat
secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya baik yang masih
bersifat umum maupun khusus, menjelaskan kaitan dari berbagai masalah terhadap
masalah-masalah yang lain, sehingga tampak maksud dari keseluruhan surat tersebut
dengan pembahasan yang utuh dan cermat. Kedua, kajian dengan mengumpulkan
ayat-ayat al Qur’an yang membicarakan masalah yang sama, menyusun dan
meletakkan dalam satu tema bahasan, selanjutnya ditafsirkan dengan metode
maudu’i.Tafsir maudu’i dalam bentuk kajiannya yang kedua merupakan istilah baru
tafsir maudu’i dari ulama-ulama masa kini.
Kajian yang dimaksud adalah tafsir maud}u>’i dengan menghimpun ayat-ayat al
Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dan membicarakan masalah yang sama,
menyusun ayat-ayat tersebut berdasarkan kronologi dan juga sebab-sebab turunnya ayat.
Setelah itu, penafsir mulai memberikan keterangan, penjelasan dan komentar
terhadap ayat-ayat tersebut. Penafsir juga menggali hukum-hukum yang terkandung
dan juga menarik kesimpulan dari ayat-ayat tersebut. Secara khusus, penafsir
melakukan pembahasan tafsirnya ini dengan metode maudu’i. Penafsir meneliti ayat-
ayat tersebut dari seluruh seginya, menggunakan analisa dengan disiplin-disiplin ilmu
yang berkaitan dengan benar, untuk menjelaskan hakikat dari pokok permasalahan
tersebut. Dengan melakukan hal-hal ini, penafsir dapat memahami permasalahan
tersebut dengan mudah, mengetahui dengan baik dari segala sisinya dengan
sempurna, sehingga penafsir mungkin untuk mengetahui makna terdalam dari ayat-
ayat tersebut dan dapat menjawab berbagai kritik yang ditujukan atas penafsirannya.
Pengertian tafsir maud}\u’i dalam bentuk kajian inilah yang digunakan oleh al Farmawi
dalam menjelaskan langkah-langkah metodenya.

Anda mungkin juga menyukai