Anda di halaman 1dari 28

perpustakaan.uns.ac.

id 8
digilib.uns.ac.id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

B. Kajian Teori

1. Imunogobulin E

a. Definisi

Imunoglobulin adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat

dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia. Terdiri dari

82% sampai 96% polipeptida dan 4 % sampai 18% karbohidrat (Zakiudin

dan Dadi, 2010; Subowo, 2009).

Imunoglobulin E (Ig E) yang hanya ditemukan pada mamalia

berperan penting dalam reaksi alergi yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I. Ig

E diproduksi oleh limfosit B yang merupakan imunitas humoral dalam

pertahananan spesifik (Zakiudin dan Dadi, 2010; Subowo, 2009).

b. Struktur Imunoglobulin E

Struktur dasar imunoglobulin terdiri dari 2 macam rantai polipeptida yang

tersusun dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai

berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan) dengan

berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin terdiri dari 2 rantai

H dan rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh suatu ikatan disulfide

sedemikian rupa sehingga membentuk struktur simetris. Terdapat daerah

domain yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang terdiri dari hampir

commit
110 asam amino yang diapit olehtoikatan
user disulfide interchain, sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh ikatan disulfide interchain. Pada Ig

E rantai L terdiri dari 2 tipe yaitu kappa dan lamda, sedangkan rantai H

terdiri rantai E yang memiliki 5 domain (Zakiudin dan Dadi, 2010; Juffrie,

2010).

c. Fungsi Imunogobulin E

Hipersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari tubuh

terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang

menimbulkan efek protektif yaitu merusak jaringan. Hipersensitivitas

timbul sebagai dampak negatif dari respon imun dan dampak positifnya

berupa timbulnya proses imunisasi kekebalan tubuh terhadap antigen.

Respon imun ini terjadi karena kepekaan benda asing yang akan

menimbulkan reaksi tubuh (Zakiudin dan Dadi, 2010; Subowo, 2009).

Penyakit rhinitis alergi, dermatitis atopik, asma bronkial timbul

karena terjadi proses kerusakan sel antara lain sel basofil, sel mast, dan sel

plasma yang melepaskan mediator histamin, serotonin, bradikinin, SRS-A,

leukotrin eosinofil chemotactic faktor (ECF) dan sebagainya. Ini

merupakan proses kerusakan yang paling cepat. Sedangkan secara lambat

akan menyebabkan kerusakan jaringan berupa sitolisis dari sel darah

merah terhadap organ tubuh seperti ginjal (glomerulonefritis), reaksi

tuberkulin dan lain-lain (Subowo, 2009).

Fungsi utama dari Ig E adalah melindungi tubuh terhadap

masuknya antigen melalui mukosa. Ig E berperan pada reaksi tipe I yaitu

anafilaktik yaitu terjadi antigen bergabung dengan Ig E yang berikatan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

dengan mast sel basofil dan sel plasma. Reaksi ini dapat terjadi dalam

beberapa menit (Juffrie, 2010)

d. Kadar Normal Ig E Total Dalam Serum

Kadar Ig E dalam serum sangat rendah (dalam nanogram) sehingga

diperlukan teknik yang lebih sensitif daripada teknik untuk pemeriksaan

kadar imunoglobulin yang lain. Beberapa kit yang tersedia di pasaran

cukup sensitif, spesifik dan mudah digunakan ( Akib dkk, 2007).

Terdapat 2 cara yang lazim digunakan untuk mengetahui nilai

imunoglobulin. Cara pertama yaitu dengan menggunakan metode

Radioimmunologic assay (RIA). Cara ini mengukur antibodi anti Ig E

yang menempel pada fase solid, seperti pada piringan kertas atau cekungan

mikrotiter yang diinkubasi dengan pengenceran serum atau cairan biologis

lain. Kompleks anti Ig E-antibodi Ig E terbentuk, kemudian anti Ig E

ditandai dengan I. Kompleks antigen antibodi yang baru terbentuk,

kemudian diukur secara langsung (Cantani, 2008)

Cara yang kedua yaitu menggunakan immunoenzymatic assay

(EIA, enzyme immunoassay, ELISA, enzyme-linkedimmunosorbent

assay dan ELISA instant). Metode ini menggunakan enzim seperti

alkali fosfatase dan peroksidase sebagai sistem detektor. Unit yang

diukur adalah kilo unit x 1 (ku/1) atau Unit internasional x ml

(lU/ml) (Cantani, 2008).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

Tabel 1. Kadar normal Ig E total Metode Enzim Imuno Assay (RJ/mL)

Age levels GM Limits GM ± 2 SD


Birth 0.22 <0.1-1.5 0.04 – 1.28
6 weeks 0,69 <0.1-2.8 0.08 – 6.12
3 months 0.82 0.3 - 3.1 0.18 – 3.76
6 months 2.68 0.9 - 28 0.44 - 16.25
9 months 2.36 0,7 - 8.1 0.76 - 7.31
12 months 3.49 1.1 - 10.2 0.80 – 15.22
2 years 3.03 1.1 - 49 0.31- 29.48
3 years 1.80 0.6 - 7.6 0.19 - 16.86
4 years 8.58 2.4-34,8 1.07 - 68.86
7 years 12.89 1.6 - 60 1.03 – 161.32
10 years 23.66 0.3 - 215 0.98 - 570.61
14 years 20.07 1.9 - 159 2.06 - 195.18

Keterangan: GM: geometric mean (Cantani, 2008)

2. Alergi

a. Definisi

Penyakit alergi adalah suatu rangkaian menifestasi klinis penyakit

akibat mekanisme yang diperantarai oleh antibodi Ig E dan saling terkait

satu dengan lainnya (Hahn dan Bhacharier, 2005).

b. Reaksi Alergi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

Reaksi alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah suatu keadaan

imunopatologi yang disebabkan oleh aktivitas berlebihan pada sel B dan

sel T, dimana sel B dan sel T tersebut berperan pada keadaan mekanisme

normal pertahanan tubuh humoral dan seluler terhadap alergen.

Gell dan combs membagi reaksi hipersensitivitas ini berdasarkan

tipe mekanisme yang terlibat dan waktu yang diperlukan untuk terjadinya

reaksi-reaksi tersebut menjadi 4 tipe dan 3 fase sensitisasi :

1) Reaksi hipersensitivitas tipe I

Mastosit mengikat Ig E melalui reseptor. Ikatan antara antigen dan Ig E

tersebut akan menimbulkan degranulasi mastosit yang melepas mediator.

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I (Immune system basics, 2008)

2) Reaksi hipersensitivitas tipe II

Antibodi dibentuk terhadap antigen yang merupakan bagian sel

pejamu. Kompleks antigen dan antibodi yang terbentuk akan

menimbulkan respon sitotoksik sel K sebagai efektor antibody

dependent cell cytotoxicity (ADCC) dan atau melalui aktivitas sel

komplemen.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

Gambar 2. Reaksi hipersensitivitas tipe II (Immune system basics, 2008)

3) Reaksi hipersensitivitas tipe III

Kompleks imun diendapkan di dalam jaringan. Komplemen

diaktifkan dan sel polimorfonuklear dikerahkan ke tempat kompleks.

Gambar 3. Reaksi hipersensitivitas tipe III (Immune system basics, 2008)

4) Reaksi hipersensitivitas tipe IV

Sel T yang disensitisasi melepas limfokin akibat pemaparan ulang

dengan antigen yang sama. Limfokin mengerahkan dan mengaktifkan

makrofag yang selanjutnya melepas mediator serta menimbulkan

respons inflamasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

Gambar 4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Immune system basics, 2008)

Fase sensititasi

1) Fase sensititasi: waktu yang diperlukan untuk pembentukan Ig E

sampai diikat oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan

basofil.

2) Fase aktivasi: waktu selama terjadinya pajanan ulang dengan antigen

yang spesifik, mastosit melepaskan isinya yang berisi granul yang akan

menimbulkan reaksi alergi.

3) Fase efektor: waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek

bahan-bahan yang dilepaskan mastosit dengan aktivitas farmakologik.

Tabel 2. Perbedaan tipe-tipe hipersensitivitas

Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4


Karakteristik
(anafilaktik) (sitotoksik) (kompleks imun) (delayed type)
Antibodi IgE IgG, IgM IgG, IgM Tidak ada
Antigen Eksogen Permukaan sel Terlarut Jaringan dan
organ
Waktu respon 15 -30 menit Menit – jam 3 – 8 jam 48 – 72 jam
Gejala Radang Lisis dan Eritema, edema, Eritema dan
nekrosis nekrosis indurasi
Histologi Basofil dan Antibodi dan Komplemen dan Monosit dan
eosinofil komplemen netrofil limfosit
Perantara Antibodi Antibodi Antibodi Sel T
Contoh Asma alergika, Eritroblastosis SLE, farmer’s Tes tuberkulin,
rinitis alergika fetalis, sindrom
commit to user lung disease granuloma
Goodpasture,
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

nefritis

c. Macam - macam Alergen

Alergen adalah antigen khusus yang menginduksi reaksi

hipersensitivitas tipe cepat dan dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu

alergen protein lengkap dan alergen dengan berat molekul rendah (hapten).

Alergen masuk ke tubuh melalui 4 jalur utama yaitu jalan nafas,

kulit, traktus gastrointestinalis dan sistem sirkulatori. Alergen yang

menyebar lewat udara (airborne allergens) menyebabkan bersin-bersin,

pilek, mata merah dan gatal seperti pada rinitis alergika (hay fever). Selain

itu, jenis alergen ini juga dapat berdampak pada paru-paru berupa asma

atau pada konjungtiva mata sebagai konjungtivitis alergika. Alergen -

alergen tersebut yang terbanyak adalah serbuk sari tumbuhan, bulu hewan,

bagian tubuh dan kotoran tungau, kotoran kecoa, debu rumah, spora jamur,

asap rokok, uap cairan pelarut dan pembersih (Jennifer, 2008).

Zat yang mampu bereaksi dengan antibodi atau sel yang sudah

sensitif disebut sebagai antigen sedangkan zat yang mampu menimbulkan

respon imun spestifik berupa pembentukan antibodi atau kekebalan

seluler, atau keduanya disebut imunogen. Beberapa alergen dapat

menimbulkan kulit kemerahan, gatal dan kulit melepuh apabila kontak

dengan kulit. Kelainan ini disebut dermatitis kontak. Reaksi kulit dapat

juga terjadi akibat kontak dengan alergen melalui jalan nafas atau traktus

gastrointestinal. Tipe reaksi ini dikenal sebagai dermatitis atopi. Bahan-

bahan penyebab dermatitiscommit


antara to user
lain racun pada beberapa jenis tanaman
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

tertentu, nikel, karet, krom, bahan-bahan kimia, dan sebagainya (Jennifer,

2008).

Serbuk sari tumbuhan, bulu hewan, bagian tubuh dan kotoran

tungau, kotoran kecoa, debu rumah, spora jamur, asap rokok, uap cairan

pelarut dan pembersih adalah alergen yang berdampak pada paru-paru

dapat berupa asma atau pada konjungtiva mata sebagai konjungtivitis

alergika (Jennifer, 2008)

Obat-obatan yang sering mengakibatkan reaksi alergi antara lain

penisilin atau antibiotik lain, vaksin influenza, vaksin tetanus toksoid,

gamma globulin, dan sebagainya. Alergen-alergen yang masuk lewat

sirkulasi, seperti gigitan, sengatan hewan dan`obat-obatan dapat

menyebabkan respon tubuh yang hebat (anafilaksis) selain respon lokal

seperti bengkak dan iritasi pada tempat masuk alergen tersebut. Hewan-

hewan yang menyebabkan reaksi alergi lewat gigitan atau sengatannya

diantaranya lebah, kumbang, nyamuk, kutu hewan, laba-laba, dsb

(Jennifer, 2008).

Beberapa alergen makanan menyebabkan reaksi anafilaksis yang

dapat mengancam nyawa. Jenis alergen makanan terbanyak yaitu kacang-

kacangan, ikan, kerang-kerangan, telur, gandum, susu, bahan tambahan

dan pengawet makanan. Alergen pada makanan dapat menyebabkan gatal-

gatal dan pembengkakan pada bibir, tenggorokan, nyeri perut dan diare.

Jika alergen-alergen ini terabsorbsi ke dalam aliran darah maka akan

menyebabkan urtikaria, atau reaksi yang lebih berat berupa pembengkakan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

non inflamasi yang berulang pada kulit, membran mukosa, organ - organ

tubuh dan otak (angioedema) (Jennifer, 2008).

d. Faktor Yang Mempengaruhi Sistem Imunitas Spesifik

Kortikosteroid dalam dosis tinggi sebagai imunosupresan dapat

menekan respon imun dengan menekan pengeluaran sitokin sel T melalui

aktivitas antiinflamasi, menghambat metabolisme asam arakidonat dan

menurunkan populasi leukosit yang menimbulkan limfopenia. Efek

imunosupresi ini merupakan usaha untuk menekan respon imun (Harsono

A, 2007). Anak dengan imunokompromais memiliki toleransi sistem imun

yang rendah karena depresi sumsum tulang. Sel T yang menurun akan

mempengaruhi terbentuknya Ig E, hal ini dipengaruhi oleh status gizi dan

stres yang mempengaruhi jumlah sel CD4 melalui aktivitas β adrenergik

dan steroid endogen (Baratawidjaja, 2006). Peningkatan prevalensi HLA-

A3 dan HLA-A9 pada penderita atopik menjadi memperkuat bahwa faktor

genetik dapat mempengaruhi imunitas spesifik yang tadinya masih

menjadi perdebatanFaktor-faktor tersebut diatas yaitu faktor imunosupresi,

keadaan imunosupresan, faktor gizi dan stress, serta faktor genetik dapat

mempengaruhi sistem imunitas spesifik. (Santosa, 2006).

e. Imunopatologi Alergi

Reaksi alergi terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel

imunokompeten, aktivasi sel-sel struktural, aktivasi dan perekrutan sel-sel

mast, eosinofil, dan basofil, reaksi mediator dengan target organ dan tahap

timbulnya gejala ( Juffrie, 2010)


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Gambar 5. Imunopatologi alergi (Hawrylowics, 2005)

Alergen yang berhasil masuk didalam tubuh akan diproses oleh

APC (Antigen Persenting cell). Peptida alergen akan dipresentasikan oleh

APC menginduksi aktivasi limfosit T. Aktivasi limfosit T oleh APC yang

memproses alergen akan mengaktivasi Limfosit Th2 untuk memproduksi

sitokin. Kontrol specialized pattern recognition receptors (PRRs) yaitu

Toll-like receptors (TLR) atas respon imun innate menentukan respon

imun adaptif Th1, Treg, atau Th2 (Zakiudin dan Dadi, 2010; Subowo,

2009)

Limfosit Th1 memproduksi IL-2, IFN-γ dan TNF-α, sedangkan

limfosit Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-13, dan GM-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

CSF. Produksi sitokin yang dihasilkan limfosit Th2 terutama IL-4 akan

mensupresi perkembangan Th1 dan produksi sitokin Th1 terutama TNFα

akan mensupresi perkembangan Th2. Bila sitokin yang dihasilkan limfosit

Th2 berinteraksi dengan limfosit B, maka limfosit B akan berdiferensiasi

menjadi sel plasma yang memproduksi Ig E. Sitokin yang dihasilkan Th2

menstimulasi produksi sel mast, basofil, dan eosinofil. Interaksi antara

alergen, sel mast dan Ig E menghasilkan degranulasi sel mast (Zakiudin

dan Dadi, 2010; Subowo, 2009).

f. Diagnosis

Ada beberapa metoda untuk mengukut kadar Ig E sebagai penanda

adanya alergi, Metoda pertama adalah secara in vivo dengan uji tusuk (skin

prick), uji kulit intradermal, atau uji gores untuk mendeteksi kadar Ig E

spesifik terhadap alergen. Metoda kedua adalah secara in vitro dengan

mengukur kadar Ig E spesifik terhadap alergen RAST (kualitatif), ELISA

dan RAST enzim, atau mengukur kadar Ig E total dalam serum dengan

serologi ELISA atau RIA (Munasir, 2007; Cantani, 2000; Ledford, 2008).

Pada anamnesis dapat ditanyakan tentang riwayat penyakit, waktu antara

timbulnya gejala dan terpaparnya alergen. Bila terdapat gejala alergi yang

khas untuk suatu jenis alergi dan terjadi berulang-ulang bila terpapar

kembali dengan alergen yang dicurigai, maka diduga seseorang

menderita alergi (Morris, 2008).

3. Risiko Tinggi Alergi

a. Definisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Tingkat risiko alergi dalam Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi yang

diterbitkan oleh UKK Alergi – Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia

dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia ditunjukkan dengan

jumlah nilai kondisi keluarga yang terpapar alergi. Nilai 2 diberikan bila

terdapat kondisi alergi pada ayah, ibu, dan atau saudara kandung yang

dinyatakan oleh dokter atau secara medis terkena alergi, nilai 1 diberikan

bila diduga terkena alergi pada ayah, ibu, dan atau saudara kandung, dan

nilai 0 diberikan bila tidak didapatkan riwayat alergi pada ayah, ibu dan

atau saudara kandung. (Yadav, 2005)

b. Tujuan Kartu Deteksi Dini Risiko Alergi IDAI

Tujuan penggunaan kartu ini adalah untuk mengetahui risiko alergi

pada bayi atau anak berdasar jumlah nilai keluarga dari riwayat alergi

ayah, ibu, dan saudara kandung. Dilakukan pemberian nilai 2 jika terdapat

riwayat ayah, ibu, dan atau saudara kandung yang dinyatakan oleh dokter

atau secara medis terkena alergi, nilai 1 jika terdapat riwayat ayah, ibu dan

atau saudara sekandung yang diduga oleh dokter atau secara medis

terkena alergi, nilai 0 jika tidak terdapat riwayat alergi apapun pada ayah,

ibu dan atau saudara sekandung. Menurut kartu deteksi ini derajat risiko

alergi diklasifikasikan sesuai hasil penjumlahan nilai menjadi risiko kecil

(nilai keluarga 0), risiko sedang (nilai keluarga 1-3) dan risiko tinggi (nilai

keluarga 4-6) (Yadav, 2005).

Terdapat kekurangan dalam kartu ini karena hanya menunjukkan

ada tidaknya atopi berdasar riwayat alergi pada ayah, ibu, dan saudara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

kandung (Chandra dkk, 2008b), sertampenemuan alergi pada ayah dan ibu

mendapat niolai pembobotan yang sama.

Gambar 6. Kartu deteksi dini risiko alergi

4. Obesitas

a. Definisi dan Kriteria Obesitas

Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial yang terjadi

akibat akumulasi jaringan lemak yang berlebihan, sehingga dapat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila ukuran dan jumlah sel lemak

bertambah (Soegondo S, 2005).

Secara klinis obesitas dengan mudah dikenali karena mempunyai

tanda dan gejala yang khas antara lain wajah yang membulat, pipi yang

tembem, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada yang membusung

dengan payudara yang membesar mengandung jaringan lemak, perut

membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat serta kedua tungkai

umumnya berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling

menempel dan bergesekan akibatnya menyebabkan laserasi yang dapat

menimbulkan bau yang kurang sedap. Pada laki-laki penis tampak kecil

karena tersembunyi dalam jaringan lemak suprapubik (burried penis), hal

yang seringkali menyebabkan orang tua menjadi sangat khawatir dan

segera membawanya ke dokter (Nasar, 1995; Sjarif, 2002).

Definisi obesitas secara sederhana adalah kondisi abnormal karena

penimbunan lemak berlebih pada jaringan adiposa, sampai tingkat

kesehatan mungkin terganggu. Penyakit yang mendasari adalah proses

keseimbangan energi positif dan kenaikan berat badan yang tidak

diinginkan (Clement, 2003; Sjarif, 2002).

Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan

pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik, pada

umumnya digunakan (Hidayati, 2005).

1) Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar dan

disebut obesitas bila BB >120 % BB standar.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

2) Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB).

Dikatakan obesitas bila BB/TB > persentil 95 atau > 120% atau Z-

score ≥ + 2 SD.

3) Indeks masa tubuh (IMT) ≥ persentil ke 95 sebagai indikator obesitas.

Indeks masa tubuh (IMT) atau Body Mass Index merupakan baku

pengukuran obesitas pada anak dan remaja diatas 2 tahun yang

direkomendasikan oleh The World Health Organization (WHO) pada

tahun 1997. The National Institute of Health (NIH) pada tahun 1998 dan

The expert Committee on clinical Guiedeline for Overeight in Adolescent

Preventive Services (Barlow, 2007; Sjarif, 2002).

Indeks Masa Tubuh merupakan petunjuk untuk menentukan

kelebihan berat badan berdasarkan Indeks Quatelet (berat badan dalam

kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2)).

Interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin anak, kerena

anak laki-laki dan perempuan memiliki lemak tubuh yang berbeda. Nilai

batas IMT untuk kelebihan berat badan pada anak dan remaja adalah

persentil ke 85 dan ke 95 merupakan nilai patokan obesitas pada anak-

anak dan remaja (Piatek dan Weaver, 1999; Sjarif, 2002).

b. Epidemiologi Obesitas

Lebih dari sembilan juta anak di dunia berusia enam tahun ke atas

mengalami obesitas. Sejak tahun 1970, obesitas kerap meningkat di


commit to user
kalangan anak, hingga kini angkanya terus melonjak dua kali lipat pada
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

anak usia 2-5 tahun dan usia 12-19 tahun, bahkan meningkat tiga kali lipat

pada usia 6-11 tahun. Dari penelitian yang dilakukan di empat belas kota

besar di Indonesia, angka kejadian obesitas pada anak tergolong relatif

tinggi, antara 10-20% dengan nilai yang terus meningkat hingga kini

(Syarif, 2007).

Prevalensi obesitas pada umur 10 tahun diantara anak sekolah di

Birmingham adalah 21% pada anak laki-laki, 26% pada anak perempuan

kulit putih, dan masing-masing 38% baik pada anak laki-laki maupun anak

perempuan Afrika Amerika (Goran, 1996; Gower 1998)

Di DKI Jakarta, prevalensi obesitas meningkat dengan

bertambahnya umur. Prevalensi obesitas pada umur 6-12 tahun adalah

sekitar 4% remaja 12-18 tahun adalah sebesar 6,2% dan umur 17-18 tahun

adalah sebesar 11,4%. Obesitas pada wanita lebih banyak daripada laki-

laki yaitu 10,2% dibanding 3,1% (Nasar, 1995; Soedibyo, Firmansyah A

dan Djer, 1998).

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, di

Indonesia prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk berusia ≥ 15

tahun adalah 10,3% (laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan

prevalensi berat badan berlebih anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki

9,5% dan pada perempuan 6,4%. Angka ini hampir sama dengan estimasi

WHO sebesar 10% pada anak usia 5-17 tahun (Depkes, 2009).

Prevalensi obesitas di daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Himmah R, dkk, pada anak –anak sekolah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

dasar didapatkan 7,9% pada anak perempuan dan 12,6% pada anak laki-

laki (Himmah, 2005). Penelitian pada anak usia 6-7 tahun di Semarang

oleh Mexitalia dkk mendapatkan prevalensi obesitas 12,1 % (Mexitalia,

2004). Sedangkan prevalensi obesitas untuk anak SLTP di Yogyakarta

sebesar 4,9% (Hidayati dkk, 2006). Di SD Bromantakan Surakarta,

prevalensi obesitas sebesar 9,7% (Hidayah D, 2007). Profil Kesehatan

Jawa Tengah tahun 2003 menyebutkan bahwa gizi lebih pada balita

sebesar 2,12%.

c. Etiologi

Berdasarkan hukum termodinamika, obesitas disebabkan adanya

keseimbangan energi positif, sebagai akibat ketidak seimbangan antara

asupan energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi

yang (disimpan dalam bentuk jaringan lemak). Sebagian besar gangguan

keseimbangan ini disebabkan oleh faktor idiopatik (Heird, 2002 ; Taiz,

1991). Etiologi obesitas adalah multifaktorial yang saling mempengaruhi

antara faktor genetik, lingkungan dan neuropsikogenik. Sebagian besar

penyebab ketidak-seimbangan tersebut adalah faktor idiopatik (obesitas

primer atau nutrisional), hanya kurang dari 10% kasus disebabkan faktor

endogen (obesitas sekunder atau non nutrisional) seperti kelainan

hormonal, sindrom atau genetik. Faktor genetik seperti gen yang

mengkode hormon leptin mempunyai efek pada masukan energi dan

keluaran energi (Sjarif, 2002; Ramman, 2002; Nammi, 2004).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Faktor lingkungan berperan terhadap terjadinya obesitas dengan

mempengaruhi masukan dan keluaran energi. Penurunan energi tersebut

antara lain disebabkan karena berkurangnya aktivitas fisik akibat

kebiasaan menonton televisi, bermain games komputer maupun media

elektronik dan penggunaan alat transporasi modern (Nammi et al, 2004;

Sjarif, 2002; Piatek dan Weaver, 1999). Peningkatan risiko pada anak

dengan orang tua obesitas kemungkinan disebabkan pengaruh gen atau

faktor lingkungan dalam keluarga (Sjarif, 2002; Ramman, 2002). Obesitas

dapat pula menimbulkan gangguan psikososial pada anak, penelitian yang

dilakukan oleh Riza M dkk didapatkan prevalensi gangguan psikososial

pada anak obes usia sekolah dasar di surakarta sebesar 11,6% (Riza dkk,

2007). Pada faktor neuropsikogenik, stress merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi berat badan. Perlakuan diskriminasi terhadap

anak dengan obesitas dapat menyebabkan anak tersebut makin menarik

diri dari pergaulan dan aktivitas permainan, sehingga dapat memperberat

obesitasnya. Demikian pula dengan pola asuh yang salah misal terlalu

dimanja. Ketiga faktor tersebut yaitu genetika, lingkungan dan

neuropsikogenik tersebut saling mempengaruhi atau masing-masing

mempunyai andil sebagai etiologi obesitas (Nassar, 1995; Mellies dan

Glueck, 1981).

d. Patofisiologi Obesitas

Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus

melalui 3 proses fisiologis, yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

mempengaruhi laju pengeluaran energi, dan regulasi sekresi hormon yang

terlibat dalam pengaturan penyimpanan energi. Pengaturan ini melalui

sinyal-sinyal efferent yang berpusat di hipotalamus setelah mendapatkan

sinyal afferent dari perifer yaitu dari jaringan adiposa, usus dan jaringan

otot.

Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan asupan

makanan dan menurunkan pengeluaran energi) dan katabolik (anoreksia,

meningkatkan pengeluaran energi. Sinyal-sinyal tersebut dibagi menjadi 2

kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek

(situasional) mempengaruhi porsi makan dan waktu makan serta

berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal,

yaitu kolesistokinin (CCK). Sinyal panjang yang diperankan oleh hormon

leptin dan insulin mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi. Di

dalam sistem ini leptin memegang peran utama sebagai pengendali berat

badan. Sumber utama leptin adalah jaringan adiposa yang disekresi

langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menembus sawar darah

otak menuju ke hipotalamus (Subardja,, 2010)

Peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah dapat merangsang

anorexigenic center (ventromedial hypothalamic/VMH) di hipotalamus

agar menurunkan produksi neuropeptide Y (NPY), sehingga terjadi

penurunan nafsu makan dan asupan makanan. Sebaliknya bila kebutuhan

energi lebih besar dari asupan energi, maka massa jaringan adiposa

berkurang dan terjadi rangsangan pada feeding center/orexigenic center di


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan dan asupan

makanan. Pada sebagian besar anak obes, mekanisme ini tidak berjalan

walaupun kadar leptin didalam darah tinggi dan disebut sebagai resistensi

leptin. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka massa

jaringan adiposa meningkat. Bila hipertrofi adiposit ini mencapai tingkat

tertentu akan terjadi rangsangan pembentukan sel lemak baru dari bakal

sel lemak (preadiposit) sehingga terjadi hiperplasi dan peningkatan

visceral fat (lemak sentral) atau jaringan adiposa visceral.

Peningkatan jaringan adiposa visceral mengakibatkan ketidak

seimbangan produksi beberapa produk metabolik, hormon dan beberapa

mediator kimiawi seperti free fatty acids (FFAs) serta tumor necrosis

factor-α (TNF-α) yang menghambat fosforilasi insulin receptor substrate-

1 (IRS-1) sehingga mekanisme sinyal insulin terganggu. Penurunan

sensitifitas insulin atau resistensi insulin akan mengganggu fungsi endotel.

Resistensi insulin juga akan meningkatkan glukosa plasma dan

merangsang lagi peningkatan sekresi insulin oleh pankreas sehingga

mengakibatkan terjadinya hiperinsulinemia lebih lanjut. Keadaan

hiperinsulinemia akan merangsang sekresi enzim lipoprotein lipase (LPL)

sehingga penimbunan lemak dalam adiposit akan bertambah dan proses

terjadinya obesitas akan berlangsung terus. Subardja,, 2010)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

Gambar 7. Skema jalur mekanisme regulasi keseimbangan energi (David, 2005)

e. Dampak Obesitas

Obesitas dapat menimbulkan berbagai komplikasi dan penyakit,

seperti hipertensi, diabetes, obstruktif sleep apneu, dan penyakit

kardiovaskuler (Syarif 2010; Drapeau 2004). Obesitas dapat pula

menimbulkan gangguan psikososial pada anak. Penelitian yang dilakukan

oleh Lestari ED dan Riza M didapatkan prevalensi gangguan psikososial

pada anak obes usia sekolah dasar di Surakarta sebesar 11,6%. (Lestari,

2007). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Lestari ED dan

Hidayah didapatkan prevalensi tingkat kematangan sosial rendah pada

populasi anak dengan obes lebih tinggi dibanding dengan anak normal.

Anak obes mempunyai tingkat kematangan sosial rendah 2 kali lebih

sering dibanding dengan yang lain (Lestari ED). Penelitian yang dilakukan

oleh Visness pada anak obes dan overweight didapatkan bahwa anak

obes cenderung lebih sering mengalami alergi dibanding anak yang tidak

obes. Pada anak obes didapatkan kadar Ig E total (sebagai petanda atopi)

yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan berat badan normal

(Visness, 2005).

Dari data klinis dan epidemiologis didapatkan bahwa insiden dan


commit to user
keparahan penyakit infeksi lebih banyak terjadi pada individu yang obes
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

(Marti, 2001). Jaringan adiposa memiliki keterkaitan dengan modulator-

modulator dan mediator-mediator respon imun. Salah satunya adalah

leptin yang dikatakan meningkatkan proliferasi dan aktifasi sel T dan

menstimulasi produk sitokin. Sebagai efek dari aktivasi sistem imun

tersebut maka pada anak obes akan memiliki respon imun yang berlebihan

(Bidad, 2010). Hal ini dibuktikan oleh Moelyo (2007) pada penelitiannya

di Surakarta bahwa pada anak obes cenderung memiliki rerata titer Ig G

campak lebih tinggi dari anak yang tidak obes (Moelyo, 2007). Penelitian

pada individu obesitas dan hewan coba yang mengalami obesitas telah

menunjukkan terjadinya gangguan fungsi imunitas tubuh, termasuk

penurunan produksi sitokin, penurunan respons terhadap stimulasi antigen,

berkurangnya jumlah makrofag, berkurangnya fungsi sel dendritik, dan

gangguan pada sel NK. (Moelyo, 2007).

5. Hubungan Obesitas Dengan Peningkatan Ig E

a. Jaringan Adiposa

Pada obesitas terjadi kondisi abnormal karena penimbunan lemak

berlebih pada jaringan adiposa putih dimana jaringan adiposa ini

memproduksi energi dalam bentuk lemak (Clement, 2003; Sjarif, 2002)

Adipokin adalah peptide bioaktif sebagai mediator proinflamasi

yang dihasilkan oleh jaringan adiposa yaitu antara lain angiotensin,

plasminogen activator inhibitor 1 (PAI 1), acylation stimulating protein

commit
(ASP), tumor necrosis factor to user
α (TNF α), interleukin 5 (IL-5), interleukin-6
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

(IL-6), resistin, leptin dan adiponektin (Guerro-Millo M, 2004;

Dhurandhar, 2001). Pada obesitas terjadi peningkatan kadar leptin, TNF α,

IL-5, IL-6 (Guerro-Millo M, 2004; Dhurandhar, 2001).

b. Leptin

Leptin adalah suatu hormon yang disekresikan oleh sel adiposa.

Leptin berperan sebagai regulator utama dalam pengaturan keseimbangan

energi dan berat badan. Pada individu dengan jaringan lemak yang

berukuran besar mengandung lebih banyak leptin dibandingkan dengan

jaringan lemak yang lebih kecil, sedangkan pada obesitas sering dijumpai

resistensi leptin, sehingga kadar leptin meningkat. Peningkatan kadar

leptin ini dimana leptin juga berfungsi sebagai sitokin menyebabkan

aktivitas proinflamasi juga meningkat, dan adanya macrophage colony

stimulating factor yang disekresi oleh sel adiposit akan memproduksi

makrofag dalam hal fagositik dan mikrobisid menjadi berlebihan (Guerro-

Millo, 2004; Nead, 2004; Dhurandhar, 2001, Marti, 2001)

Gambar 8. Hormon leptin paralel dengan persentase lemak tubuh (Bowen, 2011)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

c. Sitokin

Dalam sistem imunitas, sitokin akan dilepaskan selama proses

inflamasi berlangsung, seperti interleukin -6 (IL-6) dan TNF-α. TNF-α

merupakan sitokin inflamasi utama yang disekresikan oleh makrofag dan

juga disekresikan oleh sel adipose (Fruhbeck, 2001).

Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral

dan selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Sedangkan pada

keadaan alergi paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan aktivasi

sel Th2 dan produksi Ig E. Interleukin (IL-4) dan interleukun 13 (IL-13),

yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh Th2, akan menstimulasi

limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdeferensiasi

menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi Ig E. Oleh sebab itu,

individu yang atopi akan memproduksi Ig E dalam jumlah besar sebagai

respons terhadap antigen (Stuart, 2008). Sebagai efek dari aktifasi sistim

imun tersebut, pada anak dengan obesitas akan memiliki respon imun yang

lebih tinggi. Hal ini dibuktikan oleh Moelyo, pada penelitian yang

dilakukan di SD Bromantakan Surakarta didapatkan anak usia Sekolah

Dasar yang obesitas memiliki rerata titer Ig G campak cenderung lebih

tinggi dari pada anak tanpa obesitas (Moelyo, 2007). Adanya ketiga faktor

diatas menyebabkan respon imun yang meningkat pada obesitas.

d. Peningkatan Ig E

Pada anak dengan obesitas didapatkan penimbunan jaringan


commit to user
adiposa yang merupakan tempat penyimpanan energi dalam bentuk lemak
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

Jaringan adiposa putih pada obesitas ini memproduksi protein yang disebut

adipokin sebagai mediator proinflamasi, antara lain : angiotensin,

plasminogen activator inhibitor, tumor necrosis factor (TNF α), interleukin -5

(IL-5), interleukin -6 (IL-6), resistin, leptin dan adiponektin (Guerro-Millo M,

2004). Leptin hormon yang dikeluarkan oleh adiposa meningkatkan

proliferasi dan aktivasi sel T dan menstimuli produksi sitokin (Nead, 2004).

Interleukin -5 dan interleukin -6 yang juga diproduksi oleh jaringan adiposa

putih itu sendiri adalah juga merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel T

(terutama Th2) yang berperan pada keadaan alergi. Pada keadaan alergi akan

terjadi peningkatan aktivitas sel T ( terutama Th2), dan melalui sitokin IL-4

dan IL-13 yang disekresi oleh Th2 ini akan menstimulasi limfosit B yang

akan berdeferensiasi menjadi sel plasma dan akan memproduksi Ig E. Oleh

sebab itulah anak dengan obesitas akan memproduksi Ig E dalam jumlah

lebih besar.

C. Kerangka Konsep

Anak risiko tinggi alergi


Seleksi obesitas oleh
dokter berdasar IMT

Tidak obesitas Obesitas

Sistem imun Sistem imun

Produksi Adipokin PAI, ASP,


TNF, IL-5, IL-6, Leptin

commit to user
Alegren
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

Limfosit T dan B Aktivasi sel T

Limfosit B Limfosit B

Sel plasma Sel plasma

Ig E lgE

Respon imun

Lingkup penelitian : sampel yang diteliti


: sampel yang tidak diteliti

Gambar 9 . Bagan kerangka konsep

Keterangan kerangka konsep

Sampel pada penelitian ini adalah anak-anak yang mempunyai risiko tinggi

alergi dan diseleksi status gizi berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh). Pada keadaan

tidak obesitas (normal) sistem imun dipengaruhi oleh adanya alergen. Alergen ini

akan mengaktivasi limfosit T dimana limfosit T terdiri dari Th 1 dan Th 2. Limfosit

Th 1 memproduksi IL-2, IFNγ, dan TNFα, sedangkan Limfost Th 2 memproduksi IL-

4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-13. IL-4 yang diproduksi oleh limfosit Th 2 akan

mensupresi perkembangan Th 1 dan produksi Th 1 terutama TNFα akan mensupresi

perkembangan Th 2. Bila sitokin yang dihasilkan Th 2 berinteraksi dengan limfosit B

maka limfosit B akan berdeferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi Ig E.

Pada keadaan obesitas terdapat peningkatan jumlah jaringan adiposa putih.

Peningkatan jaringan adiposa putih ini menyebabkan peningkatan produksi adipokin.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

Adipokin ini antara lain plasminogen activator inhibitor I (PAI), acylation stimulating

protein (ASP), tumor necrosis factor-α (TNF α), interleukin-5 (IL-5), interleukin-6

(IL-6), dan leptin. Adipokin ini akan mengakibatkan proliferasi dan aktivasi sel T

serta stimulasi sitokin dengan adanya paparan alergen respon pada individu dengan

obesitas, dengan mendorong limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma dan

memproduksi Ig E.

D. Hipotesis

Terdapat perbedaan antara anak obese dan tidak obese yang memiliki

risiko tinggi alergi dengan peningkatan kadar Ig E total.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai