Anda di halaman 1dari 15

ANDAI SAYA MENJADI MENTERI PERTAHANAN : APA YANG AKAN SAYA

LAKUKAN DALAM MENCIPTAKAN SUPREMASI SIPIL DI INDONESIA

Dosen Pengampu : Anggun Dwi Panorama, S.IP.,M.Si

Mata Kuliah : Militer dan Civil Society

Disusun oleh :

Annisa Fauziah

6211171284

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

2020
1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................2
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
2.1 Perkembangan Kementrian Pertahanan Sebagai Supremasi Sipil Indonesia............................7
2.2 Upaya Meningkatkan Peran Kementrian Pertahanan Republik Indonesia.............................10
2.2.1 Rekomendasi Revisi UU No 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara...................................10
2.2.2 Memperkuat UU No 34 Pasal 16 Tahun 2004..........................................................................11
2.2.3 Memperkuat Pengelolaan Sumber Daya...................................................................................12
BAB III.....................................................................................................................................................14
PENUTUP................................................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................15

2
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, pada
kesempatan ini puji serta syukur penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat
waktu. Penulis ucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu yang telah memberikan tugas ini
agar penulis selaku mahasiswa mempunyai pengetahuan yang lebih mengenai mata kuliah
Militer dan Civil Society.

Makalah ini berjudul “Andai Aku Menjadi Menteri Pertahanan : Apa Yang Saya
Lakukan Dalam Menciptakan Supremasi Sipil Di Indonesia” Selain sarana pemenuhan tugas
sebagai mahasiswa, penelitian ini ditujukan untuk dapat membantu memahami tentang
Supremasi Sipil serta praktiknya di Indonesia dalam mata kuliah Militer dan Civil Society.
Penulis merasa bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala
saran dan kritik yang membangun dari pembaca akan diterima dengan segala kerendahan hati
dan tangan terbuka, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembacannya.

Cimahi, 11 Desember 2020

Penyusun

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sebagai negara demokrasi, tentunya Indonesia memiliki aturan mengenai keharusan


adanya pembedaan tugas dan wewenang antara otoritas sipil dengan otoritas operasional. Dalam
bidang pertahanan yakni antara Menteri Pertahanan dan Mabes TNI selaku aktor utama
pertahanan negara. Jika di bandingkan dengan negara Asia seperti India, Malaysia, ataupun
Singapura, pembedaan antara keduanya juga cukup jelas, peran militer dikendalikan secara
efektif oleh menteri pertahanan.1 Dalam praktinya, yang menjadi lebih penting ialah bahwa
otoritas operasional tidak bisa menugaskan diri sendiri, sehingga semua tugasnya harus
2
berdasarkan keputusan otoritas sipil yakni dari Kementrian Pertahanan. Pada tahun 2002,
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 3 tentang Pertahanan Negara yang didalamnya
berisi mengenai aturan kewenangan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI serta hubungan di
antara keduanya. Walaupun secara legal UU ini ingin menampakkan adanya suatu tataran
kewenangan yang jelas antara Dephan dan Mabes TNI, secara faktual hubungan antara keduanya
masih belum cukup. Tetapi UU ini paling tidak memberikan prinsip dasar dari tataran
kewenangan antara peran otoritas sipil dan peran otoritas pelaksana yakni Presiden merupakan
pimpinan otoritas tertinggi dalam peran pertahanaan negara, Menteri Pertahanan adalah
pembantu Presiden dalam pembuatan kebijakan umum pertahanan negara, serta Panglima TNI
adalah pelaksana operasional dalam kebijakan pertahanan negara.

Terdapat isu-isu mengaenai keterlibatan TNI akhir-akhir ini. Dari mulai penunjukan
Letnan Jenderal Doni Monardo menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPP) yang merupakan peran wilayah sipil, wacana panglima TNI soal penyaluran perwira
tinggi militer ke birokrasi sipil, instruksi presiden soal bela negara, hingga razia buku kiri oleh
aparat TNI. 3 Ditambah dengan isu besar dan pelik seperti pelibatan TNI di Papua. Sederet isu
1
Beni Sukadis, “Reformasi Sektor Keamanan dan Supremasi Sipil”,Lembaga Studi da Advokasi Masyarakat, diakses
dari https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Reformasi-Sektor-Keamanan-dan-Supremasi-
Sipil.pdf
2
Ibid
3
Haris Prabowo, Februari 2019,“Agus Widjojo: Sipil Minder, TNI kurang koreksi & evaluasi internal”,tirto.id, diakses
dari https://tirto.id/agus-widjojo-sipil-minder-tni-kurang-koreksi-evaluasi-internal-dgKy

4
diatas, menunjukan bahwa pemerintah seperti memberi jalan dan kesempatan bagi kembalinya
militer seperti yang terjadi di era Dwifungsi ABRI. Yakni militer diperbolehkan untuk
berkecimpung dan memiliki peran dalam urusan dan keputusan politik yang mana hal tersebut
merupakan ranah pihak sipil.

Dalam sebuah negara demokrasi yang mempertimbangkan akan keharmonisan hubungan


antara sipil - militer tentunya agenda dan kebijakan yang diatur oleh pemerintah dalam bidang
pertahanan tidak boleh mengintervensi terlalu jauh ke dalam tubuh militer. Begitu pun halnya
dengan militer yang tidak diperkenankan mencampuri urusan pemerintahan dan harus selalu
patuh terhadap kebijakan pemerintah serta menghormati proses demokrasi. Setidaknya terdapat
beberapa masalah atau kebijakan yang masih mungkin dapat ditangani oleh institusi
pemerintahan sipil yakni sistem pertahanan dan keamanan negara, masalah kebijakan
pertahanan, doktrin pertahanan, postur pertahanan, rumusan ancaman, dan anggaran pertahanan.
Profesionalisme militer tidak hanya ditandai dengan militer yang harus meninggalkan panggung
politik dan mengurangi aktivitas lainnya Namun, ditandai dengan keberadaan militer yang
menghormati dan mematuhi pemerintahan sipil yang berdaulat. Karena, militer merupakan alat
negara yang menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintahan di bidang pertahanan. Sedangkan
kebijakan itu dibuat oleh pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat
secara demokratis.

Menurut Samuel P Huntington, 4 dalam karyanya The Soldier and the State: the Theory
of Civil - Military Relations, tentang kontrol sipil obyektif yang diyakini sebagai salah satu cara
untuk meningkatkan profesionalisme di kalangan militer. Maka kondisi hubungan sipil - militer
di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru diarahkan untuk menciptakan sebuah pola hubungan
sipil - militer yang seimbang dan terkendali. Landasan berfikir Huntington inilah yang kemudian
juga dijadikan alasan untuk menggusur kekuatan militer dari pentas politik sehingga hanya
menempatkan TNI berdasarkan pada fungsi dan tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.
Meskipun secara pokok, TNI berperan sebagai alat pertahanan negara dan pemerintahan sipil
mempunyai hak serta wewenang untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan mengelola bidang
pertahanan. Namun, agar terwujudnya hubungan sipil dengan militer yang harmonis dan
demokratis maka pemerintah harus mempunyai program atau agenda yang disusun secara
4
Yusa Djuyandi, februari 2010,“Membangun Hubungan Sipil - Militer di Era Demokrasi”,DetikNews, diakses dari
https://news.detik.com/opini/d-1290617/membangun-hubungan-sipil---militer-di-era-demokrasi-

5
sistematis dan sesuai dengan permasalahan yang ada serta partisipasi tersebut harus dapat
dibangun dengan meningkatkan keahlian (expertise), keterlibatan, dan peran aktif sipil dalam
wacana dan perumusan kebijakan pertahanan dan keamanan.5

Partisipasi sipil dalam dunia pertahanan tidak hanya terlihat dari keterlibatan kalangan
sipil dalam membuat kebijakan di bidang pertahanan. Melainkan juga dapat dilihat dari
konsistensi kalangan sipil dalam menjalankan kebijakan reformasi sektor pertahanan yang telah
dibuatnya. Sangat penting bagi pemerintah atau politik sipil untuk menjaga konsistensi
pelaksanaan reformasi TNI. Di antaranya dengan tidak kembali melibatkan militer secara aktif
dalam berbagai aktivitas politik praktis. Berbagai aktivitas untuk melibatkan kembali kalangan
militer dalam dunia politik praktis dapat membangun hubungan harmonis militer akan kekuasaan
yang pernah mereka rasakan ketika masa Orde Baru. Meskipun militer saat ini berada dalam
sebuah iklim yang demokratis Huntington pernah mengatakan bahwa meskipun dalam sebuah
masyarakat yang demokratis militer tidak dapat sepenuhnya demokratis (even in a democratic
society the military cannot be completely democratic). 6 Berdasarkan pemikiran dan fakta-fakta
diatas mengenai kemunduran peran sipil dalam bidang pertahanan negara, maka penulis akan
menyusun penelitian dalam makalah ini dengan judul “Andai Saya Menjadi Menteri
Pertahanan : Apa Yang Akan Saya Lakukan Dalam Menciptakan Supremasi Sipil di
Indonesia”

1.2 Rumusan Masalah


Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini ialah :

1. Bagaimana meningkatkan peran Kementrian Pertahanan dalam sitem pertahanan


negara di Indonesia ?

5
Ibid
6
Ibid

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Kementrian Pertahanan Sebagai Supremasi Sipil Indonesia

Kementerian Pertahanan atau dikenal dengan sebutan Kemhan, adalah unsur pelaksana
pemerintah yang dipimpin oleh seorang Menteri Pertahanan yang selanjutnya disebut Menhan
yang memiliki berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.7 Kementerian
pertahanan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang pertahanan dalam
pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, Kemhan menyelenggarakan fungsi :

a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pertahanan;

b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara menjadi tanggungjawab Kementerian


Pertahanan;

c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pertahanan,;

d. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.

Langkah-langkah dan sasaran kebijakan Kementerian Pertahanan sangat beragam, sangat


tergantung situasi dan kondisi serta Pimpinan Negara saat itu dan siapa yang dipercaya sebagai
Menteri Pertahanan. Yang pasti, Kemhan RI, sejak era Proklamasi, masa Orde Lama, Orde Baru
hingga di Era Reformasi, sekarang dan ke depan Kemhan senantiasa tetap pada posisi yang
sangat strategis dan berperan penting dalam menjaga keamanan Negara dan keselamatan bangsa,
serta kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 masa pemerintahan bergerak dan


bergulir sesuai dengan proses yang telah dibentuk pasca merdeka. Pada saat itu Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, memiliki agenda utama untuk menyusun kabinet
8
pemerintahan. Kabinet pasca merdeka memiliki 15 Kementerian serta 5 Kementerian Negara.
7
Tugas dan Fungsi Kementrian Pertahanan, Kementrian Pertahanan Republik Indonesia, di akses dari
https://www.kemhan.go.id/tugas-dan-fungsi
8
Sejarah Singkat Kementrian Pertahanan Indonesia, Kementrian Pertahanan Republik Indonesia, diakses dari
https://www.kemhan.go.id/ppid/wp-content/uploads/sites/2/2017/04/SEJARAH-SINGKAT-KEMHAN.pdf

7
Pada kabinet pertama tersebut Indonesia belum memiliki Menteri Pertahanan, dan fungsi
Kementerian Pertahanan Negara ada di dalam Kementerian Keamanan Rakyat, yang dipimpin
oleh Menteri Keamana Rakyat, yakni mantan Sodancho Suprijadi. Sebagaimana diketahui bahwa
Suprijadi tidak pernah menduduki posisi sebagai Menhan dan selanjutnya posisi Menhan
digantikan oleh Sulyadikusumo sebagai menteri pada 20 Oktober 1945. 9 Situasi seperti ini pun
terus berlanjut pada periode kebinet selanjutnya. Sampai pada kabinet Sjahrir ke-2 periode 12
Maret – 2 Oktober 1946, terbentuklah Kementerian Pertahanan yang dijabat oleh Mr. Amir
Sjarifuddin.

Pada periode Kabinet Hatta ke-1 periode 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949, saat Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI dalam keadaan darurat akibat tekanan tentara Belanda,
Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Namun pada 15 Juli
1949 jabatan Menhan dipegang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sri Sultan juga menjabat
Menhan pada masa Kabinet Hatta ke-2 dan Kabinet Republik Indonesia Serikat hingga 6
September 1950, dan kemudian menjabat lagi pada beberapa kabinet berikutnya hingga mundur
atas permintaan sendiri pada 2 Juni 1953. Berdasarkan pada uraian diatas, dari awal
pembentukan Kementrian Pertahanan paska kemerdekaan serta pada periode pemerintahan
seterusnya memiliki dinamika mengena fungsi dan peran dari KemenHan tersebut. Pada awal
merdeka, Kementerian Keamanan Rakyat yakni cikal bakal dari Kementrian Pertahanan pasa
masa sekarang memiliki fungsi pertahanan negara dalam bentuk pertahanan melawan penjajah.
Paska merdeka, Indonesia tidak hanya serta merta bebas dari belenggu kolonial yakni Belanda.
Belanda melakukan serangkaian agresi militer yang mengaruskan Indonesia berfokus pada
pertahanan negara alih-alih membentuk dan membenahi pemerintahan sebagai negara baru.

Kemudian pada kabinet Pembangunan II periode 28 Maret 1973 – 29 Maret 1978, jabatan
Menteri Pertahanan dan Keamanan diemban oleh satu orang, yakni oleh Jenderal TNI Maraden
Panggabean. Selanjutnya pada Kabinet Pembangunan III periode 28 Maret 1978 – 19 Maret
1983, Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI diserahkan kepada Jenderal
TNI M. Jusuf, dan pada periode ini lahir UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI. Pada periode ini, wewenang Kementrian Pertahanan
mulai diisi dan dikendalikan dibawah militer TNI. Terlihat dari pimpinan kementrian yang

9
Ibid

8
berlatarbelakang sebagai TNI sebelum akhirnya menjabat sebagai Menteri. Eksistensi TNI mulai
muncul ke permukaan dalam ranah politik berawal dari masa pemerintahan orde baru yakni di
bawah Presiden Soeharto yang pada saat itu selain sebagai presiden, Soeharto juga merangkap
menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia. Kekuatan militer pada masa orde baru semakin
kuat dengan adanya aturan Dwifungsi ABRI. Yakni aturan yang memperbolehkan anggota TNI
untuk memiliki wewenang lebih dari seorang anggota TNI. Artinya, seorang TNI diperbolehkan
untuk berada di ranah politik yakni ranah sipil dan ranah militer. Hal ini menunjukan kedudukan
militer tidak hanya sebagai aktor pelaksana pertahanan negara tetapi juga sebagai aktor pembuat
kebijakan dan keputusan pertahanan negara. Kondisi ini berlangsung lama, mengingat
kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan kepemimpinan terlama di Indonesia sepanjang
sejarah.

Sejak saat itu, keterlibatan TNI dengan politik seolah hal yang wajar untuk Indonesia
sebagai negara demokrasi. Meskipun , sebagai negara yang baru dengan sistem demokrasi hal
tersebut sangat jauh dari nilai dan sistem demokrasi. Yang mana pada sistem demokrasi, ranah
sipil dan militer memiliki peran nya masing-masing dan bahkan lebih menekankan pada
kekuasaan sipil sebagai rakyat yang merupakan aktor utama dalam negara demokrasi. Setelah
pemerintahan Soeharto bergejolak dan dituntut untuk mundur oleh rakyat pada tahun 1998,
dinamika hubungan sipil dan militer mulai berubah kembali. Dalam perjalanannya, dimasa
pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid Kepolisian Negara Republik Indonesia resmi lepas
dari Departermen Hankam, dan TNI menjadi lembaga otonom yang bertangung jawab langsung
kepada Presiden RI. Pada era Kabinet yang di pimpim oleh Gus Dur, Jabatan Menteri Pertahanan
kembali dipegang oleh kalangan sipil,berasal dari kalangan akademisi, 10 yaitu Prof. Dr. Juwono
Sudarsono periode 1999-2000, dan periode 26 Agustus 2000 – 14 Agustus 2001 dijabat oleh
Prof. Dr. Mahfud M.D. Pada era kepemimpinan Megawati Soekarno Putri mulai 14 Agustus
2001 – 25 Oktober 2004 jabatan Menteri Pertahanan dipercayakan kepada H. Matori Abdul
Djalil. Kedua periode pemerintahan tersebut menunjukan bahwa kedudukan kementrian
Pertahanan sebagai kekuasaan sipil atau supremasi sipil terlihat tidak melibatkan militer TNI
secara langsung. Sehingga dalam pembuatan kebijakan, Kementrian Pertahanan memiliki
wewenang penuh, dan militer TNI hanya sebagai pelaksana atau aktor dalma menjalani
kebijakan yang dibuat untuk pertahanan negar
10
Ibid

9
2.2 Upaya Meningkatkan Peran Kementrian Pertahanan Republik Indonesia

2.2.1 Rekomendasi Revisi UU No 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara

Saat ini kedudukan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI adalah sejajar dan
tentunya hal ini menimbulkan komplikasi hubungan antara dua lembaga tersebut.
Komplikasi hubungan antara keduanya dijelaskan,bahwa Pertama, karena UU No. 3/2002
menyatakan Menteri Pertahanan adalah pembantu presiden di bidang pertahanan dan juga
UU ini menyatakan Panglima TNI bertanggungjawab langsung kepada Presiden dalam
penggunaan dan pengerahan TNI. UU ini tentunya tidak begitu saja menyatakan
Panglima TNI di bawah Presiden, karena UU mengikuti aturan yang lebih tinggi yakni
TAP MPR VII/2000 yaitu pasal 3 ayat 2 tentang kedudukan TNI dibawah Presiden.
Sehingga pengaturan ini sejak awal membuat kedudukan keduanya menjadi rancu.
Kedua, Panglima TNI selalu diikutsertakan dalam rapat kabinet yang membicarakan
urusan politik dan pemerintahan, sehingga Panglima TNI masih dipersepsikan sebagai
jabatan pemegang kebijakan yang akhirnya memberi kesan jabatan Menhan sekedar
urusan administrasi. Artinya kerancuan-kerancuan ini, membuat hubungan kedua
lembaga ini terjadi tarik menarik terutama berkaitan dengan penyiapan sumber daya
pertahanan.

Tetapi, dalam isu pelanggaran hak asasi manusia, KemenHan tampaknya


cenderung defensif dalam membela purnawirawan TNI yang diduga melanggar HAM.
Sehingga banyak tuduhan pada KemenHan, yang masih menggunakan paradigma masa
lalu dalam menyikapi isu HAM ini. Dalam UU No.3/2002 dan UU No. 34/2004, 11 secara
tegas menyatakan bahwa peran dan fungsi Dephan dalam penyusunan kebijakan strategis
dan Mabes TNI merupakan fungsi penggunaan kekuatan TNI dalam operasi militer. Pada
masa pemerintahan presiden sebelum SBY, dalamnya prakteknya banyak kewenangan
12
KemenHan dilakukan oleh Mabes TNI. Contoh pertama; adalah soal pembelian
pesawat Sukhoi SU27 dan SU30 yang dilakukan tanpa melalui Dephan, bahkan Dephan
tidak dikutsertakan dalam tim teknis ke Rusia. Diketahui bahwa, kontrak pembelian
ditandatangani oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono S. dan Kepala Bulog Widjanarko
11
Op.Cit. dalam Beni Sukadis
12
ibid

10
Puspoyo. Hal ini jelas melanggar UU No.3/2002 terutama pasal 16 ayat 6 soal pengadaan
alutsista yang merupakan kewenangan Dephan. Contoh kedua adalah pengembangan
sejumlah batalyon Raiders di bawah Kodam, juga tanpa kajian yang mendalam dan tanpa
persetujuan Dephan sebagai otoritas politik. Disini Dephan tidak dapat berbuat apapun,
karena Mabes TNI melakukan fait accompli terhadap Dephan. Contoh yang lain adalah
kaitannya dengan pelaksanaan operasi darurat militer di Aceh 2003-2004. Pelaksanaan
darurat militer di mana setelah operasi berakhir tidak ada akuntabilitas dari pihak Mabes
TNI pada pemerintah. Dan pemerintah saat itu lebih nyaman dengan tidak menanyakan
pertanggungjawabannya. Pemerintah di masa Presiden Megawati berupaya menjaga
hubungan yang harmonis dengan TNI.

2.2.2 Memperkuat UU No 34 Pasal 16 Tahun 2004

Dalam penyusunan sejumlah kebijakan Kementrian Pertahana telah berupaya


melakukan sesuai dengan UU No. 34 pasal 16. Karakteristik utama dari prinsip
demokratis adalah adanya suatu tata organisasi yang terbuka dan bertanggungjawab serta
menghormati hak asasi manusia. Artinya sebagai otoritas politik Dephan, sudah mulai
terbuka dalam penyusunan kebijakan dan RUU. Dalam penyusunan Strategic Defense
13
Review (SDR) tahun 2003. Perumusan SDR tersebut cukup baik, namun sebagai
produk kebijakan ternyata ada sejumlah kekurangan di lihat dari berbagai aspek terutama
dalam melihat persepsi ancaman. Dalam Buku Putih Kementrian Pertahanan membagi
dua kategori ancaman yaitu ancaman militer dan non-militer. Yang dimaksud oleh
ancaman militer dalam Buku Putih Pertahanan 2008 adalah sebagai berikut agresi,
pelanggaran wilayah, pemberotakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata,
ancaman keamanan laut dan udara, serta konflik komunal. 14 Melihat beragamnya
ancaman militer itu pada beberapa tipe ancaman bisa dapat diterima. Tapi ancaman
berbentuk konflik komunal agaknya menjadi pertanyaan kenapa hal ini bisa menjadi
ancaman militer. Sehingga sebagian substansi dokumen strategis tersebut ataupun Buku
Putih Pertahanan 2008 masih melihat ancaman dari dalam negeri. Sementara di bagian
lain Buku Putih ternyata TNI AD masih mempertahankan strategi pertahanan berbasis

13
Ibid
14
Ibid

11
darat yaitu dengan penggelaran komando kewilayahan (d/h koter) selain meningkatkan
kemampuan pasukan pusat (Kopassus dan Kostrad). Hal ini berarti baik penyusunan SDR
ataupun Buku Putih pertahanan masih diwarnai oleh dominasi TNI AD dan
menggunakan gelar kekuatan dengan berlandaskan komando kewilayahan. Namun jika
fungsi kowil memang ditujukan untuk fungsi pertahanan, atau dalam artian memiliki
perangkat tempur maka bisa dipertahankan. Sedangkan kowil di tingkat kabupaten dan
kecamatan sebenarnya merupakan bentuk penggelaran dalam situasi darurat
militer/perang sebagai wujud pemerintahan militer di daerah. Artinya bentuk gelar
kekuatan yang melihat persepsi ancaman dari luar tidak terlalu tergambarkan secara
gamblang di dokumen-dokumen tersebut. Karena, sejak awal dalam Buku Putih 2008
menyatakan ancaman yang berbentuk agresi atau invansi dari negara lain sangat kecil
kemungkinannya. Artinya sebagian besar dari dokumen itu masih melihat ancaman dari
dalam negeri seperti konflik komunal, separatisme, terorisme serta ancaman non-
tradisionaal lainnya seperti pencurian ikan di laut serta penyelundupan kayu.

2.2.3 Memperkuat Pengelolaan Sumber Daya

Salah satu hal yang terpenting dalam pengelolaan manajeman sistem pertahanan
adalah bagaimana pengelolaan sumber daya pertahanan dilakukan dan dipersiapkan.
Yang bisa dikategorikan sebagai sumber daya disini adalah anggaran pertahanan, Sumber
Daya manusia dan sumber daya buatan/alam dan lainnya. Sedangkan istilah yang
digunakan Dephan untuk sumber daya pertahanan dibagi menjadi tiga klasifikasi yaitu
pertama, komponen utama; kedua, komponen cadangan dan ketiga komponen
pendukung. Dalam hal ini bagian ini akan menyoroti dari sisi komponen utama yakni
pasukan TNI dan juga soal sumber daya manusia.

Adanya Universitas Pertahanan (Unhan) yang dibentuk oleh Kementrian


Pertahanan merupakan upaya KemenHan yang nantinya diharapkan akan mencetak
kader-kader kepemimpinan di bidang pertahanan. Sebagai sebuah gagasan untuk
memperkuat eksistensi sipil dan regenerasi kepemimpinan Kementrian Pertahanan pada
masa yang akan datang, tentunya pendirian sebuah universitas dari awal merupakan
sebuah pekerjaan yang tidak ringan. Hal ini sangat membutuhkan komitmen yang kuat

12
dari Kementrian Pertahanan agar pendirian ini tidak menjadi suatu yang siasia ditengah
adanya keterbatasan anggaran pertahanan.

Disatu sisi, Kementrian Pertahanan dari sisi personel belum mewujudkan diri
sebagai lembaga sipil yang murni, walaupun personel Kementrian sebagian besar terdiri
dari pegawai negeri sipil. Hal ini menyangkut soal pengembangan sumber daya manusia,
dari kalangan internal yang memiliki kualifikasi ahli pertahanan di Kementrian
Pertahanan itu sendiri. Serangakaian upaya diatas diharapkan tidak hanya sekedar agenda
dari Kementrian Pertahanan, tetapi adanya dukungan dari pihak badan legislative selaku
wakil rakyat. Mengingat tujuan kementrian pertahanan sebagai supremasi sipil untuk
meingkatkan eksistensi dan kehadiran sipil dalam pengambilan keputusan dan
mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang sekiranya menjadi acuan Indonesia dalam
mempertahankan pertahanan dan keamanan negara.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kementrian Pertahanan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam
pertahanan negara. Begitupun dengan satuan TNI, sebagai alat pertahanan yang bertugas dan
berfungsi menjalankan kebijakan dalam rangka pertahanan negara. Namun, sebagai negara
demokrasi Indonesia seharus memiliki perbedaan penegasan posisi dan peran kedua badan
tersebut. Kementrian Pertahanan sebagai badan sipil seharusnya memiliki kewenangan tersendiri
dan tertentu sebagai pemangku kebijakan atau sebagai pemikir landasan kebijakan. Sehingga,
dalam menjalankan fungsinya dalam pertahanan negara tidak mengalami komplikasi dengan TNI
selaku alat pertahanan negara.

Penulis memiliki pendapat dalam untuk memperkuat dan mepertahankan peraturan yang
dapat menguatkan peran Kementrian Pertahanan sebagai supremasi sipil di Indonesia. Dengan
memperkuat UU No.3 Tahun 2003, UU No. 34 2004 serta pengelolaan sumber daya dan
regenerasi Kementrian Pertahanan melalui Pendidikan Universitas Pertahanan. Ketiga upaya
tersebut diharapkan mampu meningkatkan peran Kementrian Pertahanan selaku supremasi sipil
yang tentunya memiliki kewenangan dalam pembuatan kebijakan pertahanan negara.

14
DAFTAR PUSTAKA

Beni Sukadis, “Reformasi Sektor Keamanan dan Supremasi Sipil”,Lembaga Studi da


Advokasi Masyarakat, diakses dari https://referensi.elsam.or.id/wp-
content/uploads/2014/12/Reformasi-Sektor-Keamanan-dan-Supremasi-Sipil.pdf
Haris Prabowo, Februari 2019,“Agus Widjojo: Sipil Minder, TNI kurang koreksi &
evaluasi internal”,tirto.id, diakses dari https://tirto.id/agus-widjojo-sipil-minder-tni-kurang-
koreksi-evaluasi-internal-dgKy

Yusa Djuyandi, februari 2010,“Membangun Hubungan Sipil - Militer di Era


Demokrasi”,DetikNews, diakses dari https://news.detik.com/opini/d-1290617/membangun-
hubungan-sipil---militer-di-era-demokrasi-

Tugas dan Fungsi Kementrian Pertahanan, Kementrian Pertahanan Republik Indonesia,


di akses dari https://www.kemhan.go.id/tugas-dan-fungsi

Sejarah Singkat Kementrian Pertahanan Indonesia, Kementrian Pertahanan Republik


Indonesia, diakses dari https://www.kemhan.go.id/ppid/wp-
content/uploads/sites/2/2017/04/SEJARAH-SINGKAT-KEMHAN.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai