Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Pengertian Bangunan Konservasi


Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari
bahasa Inggris, yaitu Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan. Konservasi
merupakan suatu upaya yang dapat menghidupkan kembali vitalitas lama yang telah pudar.
Konservasi arsitektur adalah penyelamatan suatu obyek/bangunan sebagai bentuk apreasiasi
pada perjalanan sejarah suatu bangsa, pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual
bangsa antar generasi. Termasuk upaya konservasi bangunan kuno dan bersejarah.
Peningkatan nilai-nilai estetis dan historis dari sebuah bangunan bersejarah sangat penting
untuk menarik kembali minat masyarakat untuk mengunjungi kawasan atau bangunan
tersebut. Sebagai bukti sejarah dan peradaban dari masa ke masa. Upaya konsevasi
bangunan bersejarah dikatakan sangat penting. Selain untuk menjaga nilai sejarah dari
bangunan, dapat pula menjaga bangunan tersebut untuk bisa dipersembahkan kepada
generasi mendatang.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sejarah dan budaya. Tentu tidak sedikit
bangunan bersejarah yang menyimpan cerita-cerita penting dan tersebar di seluruh penjuru
Indonesia. Bahkan hampir di setiap daerah mempunyai bangunan bersejarah yang dijadikan
sebagai identitas dari daerah tersebut. Namun, menurut yang dikemukakan oleh Budihardjo
(1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesia saat ini banyak yang menderita sesak nafas.
Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap
menjadi bangunan. padahal menghancurkan bangunan kuno bersejarah sama halnya dengan
menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan
hilangnya bangunan kuno bersejarah, lenyaplah pula bagian sejarah dari suatu tempat yang
sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi
identitas budaya (Sidharta dan Budhihardjo, 1989).

2.1.1 Klasifikasi Bangunan Konservasi


Berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, Penggolongan
bangunan cagar budaya dikelompokan menjadi golongan A, B, C, dan D.Bangunan cagar
budaya kelas A adalah bangunan yang harus dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Kelas B
adalah bangunan cagar budaya yang dapat dipugar dengan cara restorasi. Kelas C dapat

8
diubah dengan tetap mempertahankan tampak bangunan utama. Kelas D dapat dibongkar
dan dibangun seperti semula, karena kondisinya membahayakan penghuni dan lingkungan
sekitarnya. Bangunan cagar budaya dibagi menjadi sebagai berikut:
 Golongan A
Pemugaran bangunan pada golongan ini merupakan upaya preservasi berdasarkan
ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19):
- “Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah”.
- “Apabila kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat
dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan
aslinya“.
- “Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/
sejenis atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen
bangunan yang telah ada“.
- “Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/ perubahan fungsi
sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya“.
 Golongan B
Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya preservasi dengan ketentuan
sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):
- “Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik bangunan
buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk
dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya“.
- “Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola
tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen
bangunan yang penting“.
- “Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata
ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan“.
- “Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan
tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama“.
 Golongan C
Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya rekonstruksi dan adaptasi
dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21):
- “Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak
muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan“.

9
- “Detail rnament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan
disekitarnya dalam keserasian lingkungan“.
- “Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di
belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan
cagar budaya dalam keserasian lingkungan“.
- “Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota“.
- “Pemanfaatan Kembali Bangunan Cagar Budaya“.

2.2 Struktur
Menurut Sunggono (1995), Pengertian Struktur adalah tata ukur, tata hubung, tata letak
dalam suatu sistem yang membentuk satuan kerja. Hubungan dalam bangunan adalah sistem
penyaluran atau distribusi gaya – gaya eksternal maupun internal menuju ke bumi.
Penggabungan berbagai elemen struktur secara tiga dimensi, yang cukup rumit, fungsi
utama dari sistem struktur adalah untuk memikul secara aman dan efektif beban yang
bekerja pada bangunan, serta menyalurkan ke tanah melalui fondasi. Beban yang bekerja
pada bangunan terdiri dari beban vertikal, horizontal, perbedaan temperature, getaran, dan
sebagainya. Secara garis besar struktur dapat disimpulkan menjadi 4 prinsip:

2.2.1 Sistem Struktur


Sistem adalah Kesatuan kerja dari berbagai elemen yang memilki tujuan tertentu.
Kesinambungan dalam penahan beban pada suatu bangunan Pada sistem struktur bangunan
tinggi dikelompokkan dalam sistem yang digunakan untuk menahan gaya gravitasi dan
sistem untuk menahan gaya lateral

2.2.2 Gaya Internal dan Gaya Eksternal


Dalam sistem terdapat gaya – gaya yang bekerja, dikelompokkan menjadi 2 yaitu
gaya eksternal dan internal.
 Gaya eksternal Gaya yang berasal dari luar bangunan seperti: Angin, Gempa bumi
 Gaya internal, Gaya yang berasal dari dalam bangunan.
1) beban mati: berat fondasi, kolom, dinding, dll
2) beban hidup : berat manusia, almari, kursi, dll

2.2.3 Penyaluran Beban

10
Pada bagian diatas telah diketahui mengenai gaya yang bekerja pada suatu
bangunan. Gaya tersebut akan mengalami penyaluran beban. Beban – beban tersebut
diantaranya: Beban mati, Beban hidup, Beban Angin, Beban Gempa.
2.2.4 Sistem Tumpuan
Jika bicara tentang mengalirkan gaya, kita mengenal jenis-jenis tumpuan yang
bekerja pada konstruksi bangunan, yaitu:
 Tumpuan sendi Tumpuan sendi dapat menerima gaya dari segala arah tetapi tidak
mampu menahan momen. Dengan demikian tumpuan sendi hanya mempunyai dua
gaya reaksi yaitu reaksi vertikal (RV) dan reaksi horisontal (RH).
 Tumpuan rol Tumpuan rol hanya dapat menerima gaya tegak lurus, dan tidak mampu
menahan momen. Dengan demikian tumpuan rol hanya dapat menahan satu gaya
reaksi yang tegak lurus (RV).
 Tumpuan jepit Tumpuan jepit dapat menahan gaya ke segala arah dan dapat menahan
momen. Dengan demikian jepit mempunyai tiga reaksi yaitu reaksi vertikal (RV),
reaksi horisontal (RH) dan reaksi momen (RM).

2.3 Konstruksi
Konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana yang
meliputi pembangunan gedung (building construction), pembangunan prasarana sipil (Civil
Engineer), dan instalasi mekanikal dan elektrikal (Trianto, 2011:1). Dalam sebuah bidang
arsitektur atau teknik sipil, sebuah konstruksi juga dikenal sebagai bangunan atau satuan
infrastruktur pada sebuah area atau pada beberapa area. Secara ringkas konstruksi
didefinisikan sebagai objek keseluruhan bangunan yang terdiri dari bagian-bagian struktur.
Misalnya: konstruksi struktur bangunan adalah bentuk/bangun secara keseluruhan dari
struktur bangunan. contoh lain: konstruksi jalan raya, konstruksi jembatan, konstruksi kapal,
dan lain lain.

2.3.1 Syarat Konstruksi Bangunan


Secara umum konstruksi bangunan harus memenuhi 5 syarat yaitu: (Frick,1999)
a. Kuat dan awet, dalam arti tidak mudah rusak sehingga biaya pemeliharaan relatip
menjadi murah.
b. Fungsional, dalam arti bentuk, ukuran dan organisasi ruangan mememihi kebutuhan
sesuai dengan fungsinya.
c. Indah, dalam arti bentuknya enak dipandang mata.
11
d. Hygienis, dalam arti sirkulasi udara dan cahayanya cukup sehingga penghuninya
merasa nyaman dan sehat.
e. Ekonomis, dalam arti tidak terdapat pemborosan sehingga pembiayaan menjadi
relatif efisien dan efektif.

2.3.2 Konstruksi Atap


Menurut Drs. IK. Supribadi (1993: 51) dalam buku Ilmu Bangunan Gedung, atap
adalah bagian dari suatu bangunan yang berfungsi sebagai penutup seluruh ruangan yang
ada di bawahnya terhadap pengaruh panas, hujan, angin, debu atau untuk keperluan
perlindungan. Atap merupakan bagian dari sistem struktur yang berada pada bagian uper
struktur.

1. Syarat-syarat atap yang harus dipenuhi antara lain:


a. Konstruksi atap harus kuat menahan beratnya sendiri dan tahan
terhadap tekanan maupun tiupan angin atau bebah-beban lain, seperti berat air
hujan.
b. Pemilihan bentuk atap yang akan dipakai hendaknya sedemikian
rupa, sehingga menambah keindahan serta kenyamanan bertempat tinggal bagi
penghuninya.
c. Agar rangka atap tidak mudah diserang oleh rayap/bubuk, perlu
diberi lapisan pengawet (lapisan tir).
d. Bahan penutup atap harus tahan terhadap pengaruh perubahan
cuaca.
e. Kemiringan atau sudut lereng atap harus disesuaikan dengan jenis
bahan penutupnya.

2. Bentuk-bentuk Atap
Atap rumah bukanlah sekedar sarana untuk bernaung. Bentuk atap rumah sangat
mempengaruhi sirkulasi udara dan kenyamanan siapa saja yang berada di bawahnya.
Berikut merupakan bentuk-bentuk atap yang dapat diaplikasikan pada bangunan.

Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Atap


Sumber : Supribadi, Ilmu Bangunan Gedung, 1993: 53

No Jenis Atap Keterangan

12
1. Sering disebut juga dengan
nama atap sengkuap atau atap tempel.
2. Terdiri dari sebuah bidang
atap miring yang bagian tepi atasnya
bersandar atau menempel pada tembok
1 bangunan induk (tembok yang
menjulang tinggi).
3. Pada bentuk atap sandar
Atap Sandar menggunakan konstrukssi setengah
kuda-kuda untuk mendukung balok
gording.
1. Terdiri dari dua bidang atap miring
yang tepi atasnya bertemu pada satu
garis lurus, dinamakan bubungan.
2. Tepi bawah bidang atap, dimana air itu
meninggalkan atap dinamakan tepi
2 teritis.
3. Pada tepi teritis ini dapat dipasangi
talang air.
Atap Pelana
4. Di kedua ujung akhir tembok bangunan
dibuatkan gunung-gunung sebagai
pengganti kuda-kuda.

1. Atap perisai merupakan


penyempurnaan dari bentuk atap
pelana dengan menambahkan dua
bidang atap miring yang berbentuk
segitiga pada ujung akhit atap
bangunan.
3
2. Dengan demikian atap perisai terdiri
dari dua bidang atap miring yang
Atap Perisai berbentuk trapezium Panjang yang
pada tepi atasnya bertemu pada satu
garis lurus, yang dinamakan
bumbungan

1. Dinamakan atap tenda karena


bentuknya menyerupai pasangan tenda.
2. Ukuran panjang dan lebar bangunan
yang menggunakan atap tenda adalah
sama, ini berarti terdiri dari empat
bidang atap dan empat jurai dengan
bentuk, ukuran maupun lereng yang
sama, yang bertemu disatu titik
tertinggi yaitu pada tiang penggantung
4 (maklar).
3. Garis pertemuan dari bidang-bidang
atap yang miring serta menjorok keluar
dinamakan jurai luar.
4. Tidak terdapat jurai dalam atau
lembahan.
5. Digunakan pada bangunan-bangunan
Atap Tenda kantor, pendopo dan bangunan untuk
tinggal.

13
1. Bentuk atap silang ini seolah – olah
merupakan persilangan dua bentuk atap
pelana.
2. Mengingat akan adanya pertemuan
6 bagian – bagian bidang atap tersebut,
Atap Silang maka akan terbentuk lembahan.
3. Lembahan berfungsi sebagai
penampung sekaligus mengalirkan air
hujan yang jatuh disekitarnya.

3. Struktur Atap
a. Kuda-kuda atap kasau (Gambar 2.1)
Atap kasau dan atap balok bangal tepat sekali untuk atap pelana. Semua kasau bertidak
sebagai tiang atau kuda-kuda penopang. Kestabilan memanjang tercapai dengan
melekatkan suai angin diagonal di bawah kasau-kasau. Pada kuda-kuda rangka batang
dengan panjang yang agak besar, dipasang sebuah balok bubungan berbentuk rangka
batang.

14
Gambar 2.1 : Struktur Kuda-kuda atap kasau
Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu, 1982: 44

Penempatan semua sambungan reng di atas satu kasau mengurangi kestabilan/kekuatan


seluruh konstruksi atap.
b. Atap Peran
Atap peran dengan kuda-kuda yang berdiri. Tepat untuk atap pelana dan atap perisai,
baik simetris maupun yang tidak simetris. Bentuk atap peran lain ialah atap lesenar
dan atap datar. Tiang-tiang itu mendukung peran yang dibebani oleh kasau-kasau dan
gaya horizontal (tekanan angin dan sebagainya). Tiang-tiang pada atap peran dengan
kuda-kuda yang berdiri dipasang dengan jarak tidak lebih dari 4.00 m. (Gambar 2.2)

15
Gambar 2.2 : Struktur Atap Peran
Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu, 1982: 48

- Seperti telah dikatakan konstruksi atap peran dengan kuda-kuda yang berbaring
timbul kalau tiang-tiang pada kuda-kuda itu terpasang miring dalam jurusan
kasau-kasau.
- Konstruksi kuda-kuda ini bisa lebih ekonomis sedikit jikalau dipilih suatu
konstruksi dengan dinding lutut.
- Kuda penopang pada atap peran dengan kuda-kuda yang berbaring dipasang
dengan jarak tidak lebih dari 3.50 m.
- Atap peran dengan kuda-kuda yang bergantung. Jikalau panjangnya balok loteng
melebihi 5.00 m tanpa adanya tiang atau dinding pendukung, maka balok loteng
itu harus digantungkan pada konstruksi atap. (Gambar 2.3).

c. Bingkai Gantung

Gambar 2.3 : Struktur Atap Bingkai Gantung


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu, 1982: 51

16
Konstruksi kuda-kuda yang bergantung menjadi konstruksi gantungan. Pada tiang-
tiang gantung pasang sebuah balok pendukung searah dengan peran atap. Pada
konstruksi atap kuda-kuda yang bergantung selalu harus diadakan perhitungan statis
oleh seorang ahli konstruksi kayu.

d. Sambungan Kayu
Menurut Suparno (2008 : 253) dalam buku Teknik Gambar Bangunan, konstruksi
kayuFmerupakan bagian dari konstruksi sebuah bangunan. Sambungan kayu
merupakan pengetahuan dasar mengenai konstruksi kayu yang berguna bagi
penggambaran konstruksi sambungan kayu atau bagaimana pemberian tanda (paring)
saat melaksanakan pembuatan sambungan dan hubungan kayu sesuai dengan aturan
yang berlaku.

Hubungan kayu dibagi dalam 3 kelompok yaitu:


1. Sambungan kayu arah memanjang
1. Hubungan kayu yang arah seratnya berlainan (menyudut)
2. Sambungan kayu arah melebar (sambungan papan)

Tabel 2.2 Sambungan Kayu


Sumber : Suprano, Teknik Gambar Bangunan, 2008: 253

No Jenis Sambungan Keterangan

2. Digunakan bila
seluruh batang dipikul, misalnya
balok tembok.
1
3. Kayu banyak
diperlemah karena masing masing
bagian ditaktik separuh kayu

Sambungan Bibir Lurus

17
1 Digunakan bila akan ada gaya tarik
2
yang timbul

Sambungan Bibir Lurus Berkait

1 Digunakan untuk menyambung


gording pada jarak 2.5 - 3.50 m
dipikul oleh kuda-kuda.

2 Tidak boleh disambung tepat di


atas kuda-kuda karena gording
3 sudah diperlemah oleh takikan
pada kuda-kuda.

Sambungan Bibir Miring 3 Tepat di atas kaki kuda-kuda


gording menerima momen negatif
yang dapat merusak sambungan.

1. Diterapkan
pada gording yang terletak 5 – 10
4 cm dari kaki kuda-kuda yang
berjarak antara 2.50 – 3.50 m.

Sambungan Bibir Miring Berkait

1 Digunakan pada konstruksi kuda-


kuda untuk menyambung kaki
kuda-kuda maupun balok tarik.
5
2 Ke dua ujung balok yang
disambung harus saling mendesak
Sambungan Memanjang Balok Kunci rata.

1 Menetralkan momen-momen
sekunder dengan membuat
6 sambungan kunci rangkap yaitu
dikanan dan kiri balok yang akan
disambung.
Sambungan Memanjang Balok Kunci Jepit

18
1 Digunakan untuk menyambung
tiang-tiang yang tinggi dimana
7 dalam perdagangan sukar
didapatkan persediaan kayu-kayu
dengan ukuran yang diinginkan.

Sambungan Arah Memanjang Tegak

2.3.3 Konstruksi Dinding


Dinding adalah suatu struktur padat yang membatasi dan melindungi suatu area.
Umumnya, dinding membatasi suatu bangunan dan menyokong struktur lainnya,
membatasi ruang dalam bangunan menjadi ruangan-ruangan, atau melindungi/membatasi
suatu ruang di alam terbuka. Ditinjau dari segi struktur dan konstruksi, dinding ada yang
berupa dinding partisi dan ada yang berupa dinding struktural (bearing wall).
Berikut ini beberapa konstruksi dinding :

1. Konstruksi Dinding Batu Alam


Hal yang harus diperhatikan dalam konstruksi dinding batu alam adalah panjang
batu selalu harus dipasang siku-siku pada arah gaya tekan (misalnya berat sendiri).
Perbandingan panjang : tinggi batu dipilih sebaiknya 1 : 1 sampai 1 : 5. Siar vertikal
tidak boleh berada dijalur yang sama lebih dari dua lapisan batu, sehingga batu
harus di pasang secara selang seling (Gambar 2.4). sesudah dua lapisan batu alam
terpasang, maka harus dipasang satu lapisan pengikat, yang dalamnya biasanya 1½
tingginya batu atau minimal 30 cm. Ini berarti, bahwa suatu dinding batu alam yang
baik selalu mempunyai tebal minimal 30 cm.

Gambar 2.4 : Aturan batu alam


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 101

19
Jika siar yang timbul oleh bentuk batu alam yang tersedia menjadi terlalu lebar,
maka dapat diisi dengan potongan batu alam kecil, sehingga bayangan dinding batu
alam menjadi seragam.
Dinding batu alam dapat dibagi menurut konstruksinya atas :
a. Konstruksi Dinding Batu Alam Kering
Konstruksi dinding batu alam kering adalah suatu konstruksi dinding, yang
terpasang tanpa sesuatu yang basah, seperti adukan atau plester. Tentu saja, dinding
batu alam yang kering perlu aturan batu yang teliti sekali dan memiliki tebal yang
jauh lebih besar daripada suatu konstruksi yang memakai adukan.

b. Konstruksi Dinding Batu Kali


Konstruksi dinding batu kali kita menggunakan batu kali langsung tanpa perlu di
pecah terlebih dahulu. Siar-siar akan tidak beraturan. Supaya konstruksi dinding
batu kali kuat, maka digunakan batu tarahan. Sekitar setiap 1 meter digunakan suatu
lapisan pengikat yang horisontal.

Gambar 2.5 : Konstruksi dinding batu kali


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 102

c. Konstruksi Dinding Batu Pecahan


Konstruksi dinding batu pecahan, material dinding menggunakan batu gunung yang
dipecah tetapi tanpa tambahan tarahan. Batu-batu pecahan dengan tinggi 15 cm s/d
30 cm. Siar-siar yang tidak teratur harus diisi dengan adukan dengan teliti dan jika
perlu dengan tambahan batu kecil/tipis. Konstruksi dinding batu pecahan
memerlukan sekitar setiap 1,5 meter lapisan pengikat horisontal pada seluruh tebal
dinding. Konstruksi dinding batu pecahan biasanya memerlukan tebal konstruksi
±50 cm.

20
Gambar 2.6 : Konstruksi dinding batu pecahan
Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 102

d. Konstruksi dinding Batu Tarahan


Pada konstruksi dinding batu tarahan, batu perlu ditarah pada bagian muka
sehingga rata, pada sisi atas dan bawah sedikitnya 12 cm lebar dan siku-siku pada
bagian muka. Seperti pada konstruksi dinding batu pecahan, diperlukan sekitar
setiap 1,5 meter lapisan pengikat horisontal pada seluruh tebal dinding.

Gambar 2.7 : Konstruksi dinding batu tarahan


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 102

e. Konstruksi Dinding Batu Berlapis


Pada konstruksi dinding batu berlapis kita menggunakan juga batu tarahan, hanya
penarahan harus lebih teliti, sisi atas dan sisi bawah harus sedikitnya 15 cm lebar.
Jika menggunakan satu lapisan batu satu ukuran batu saja, maka konfigurasi batu
menjadi teratur; jika menggunakan batu-batu dengan berbagai ukuran, maka
konfigurasi batu menjadi tidak teratur seperti terlihat pada gambar 2.8 dan 2.9.

Gambar 2.8 : Konstruksi dinding satu ukuran Gambar 2.9 : Konstruksi dinding berbagai ukuran
21
Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1,
1980: 103 1980: 103

Seperti pada konstruksi dinding batu pecahan, diperlukan sekitar setiap 1,5 meter
lapisan pengikat horisontal pada seluruh tebal dinding.

f. Konstruksi Dinding Batu Campur


Konstruksi dinding batu campur terdiri dari dua bagian dinding, yaitu : Bagian luar
menggunakan konstruksi dinding berlapis dan bagian dalam menggunakan
konstruksi bata merah. Gaya-gaya tekanan diterima oleh dua bagian bersama.
Supaya konstruksi ini menjadi suatu kesatuan, harus diperhatikan beberapa titik
penting. Batu alam pada barisan biasa harus memiliki tebal minimal 11,5 cm. batu
alam pada lapisan pengikat harus dalamnya minimal 24 cm dan/atau 10 cm lebih
daripada batu alam pada lapisan biasa. Tebal konstruksi dinding batu merah
seharusnya minimal 24 cm diukur dari batu alam lapisan pengikat. Siar horizontal
pada bagian batu alam dan pada bagian batu merah harus sama tebalnya.

Gambar 2.10 : Konstruksi dinding batu campur


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 104

2. Konstruksi Dinding Batu Buatan


a. Konstruksi Bata Merah
Konstruksi ini menggunakan bata merah sebagai material utama. Ciri-ciri bata
merah yang baik adalah :
- Permukaannya kasar
- Warnanya merata
- Memiliki bunyi nyaring
- Tidak mudah hancur atau patah.

22
Dengan aturan bata merah, yang perlu dilakukan adalah menghubungkan bata
merah bersama lepa sehingga menjadi suatu kesatuan. Siar-siar vertikal selalu
diusahakan agar tidak satu garis, harus bersilang, seperti terlihat pada gambar
berikut. Siar vertikal pada umumnya kita pilih sebesar 1 cm dan siar horisontal
setebal 1,5 cm.

Gambar 2.11 : Konfigurasi pasangan bata merah


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 134

Di dalam aturan batu buatan cara masing-masing mempunyai sifat dan nama
khusus, yang kita bagi atas dua golongan, yaitu dalam lapisan dan dalam
Pengaturan. Lapisan-lapisan batu buatan kita bagi atas tiga macam, yaitu. Lapisan
memanjang, lapisan melintang dan lapisan melintang berdiri.

Gambar 2.12 : Jenis lapisan bata merah


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 134

Jika dibedakan pengaturan, maka terdiri dari enam pengaturan, yaitu. Aturan batu
memanjang (½ bata) memiliki tebal 11 cm atau 11,5 cm, aturan batu melintang,
aturan batu memanjang-melintang bersilang (stand), aturan batu memalang (silang),
aturan batu Belanda dan aturan batu gothic (vlaams) semuanya memiliki tebal 23
cm dan 24 cm, seperti gambar berikut.

23
Gambar 2.13 : Aturan konstruksi bata merah
Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 135

b. Konstruksi Busur Bata Merah


Arti dan guna busur adalah pembatasan lubang jendela atau pintu dan mendukung
konstruksi bangunan dengan menerima tekanan. Pada konstruksi dinding batu alam
atau batu buatan, sebenarnya pada lubang jendela dan pintu bagiatan atas dibatasi
dengan semacam busur, tetapi tinggi busur menjadi nol atau hampir nol.
Pada konstruksi dinding batu buatan biasanya digunakan suatu lapisan batu
melintang berdiri. Harus diperhatikan, bahwa tebalnya siar-siar tidak boleh kurang
dari 5 mm dan tidak boleh melebihi 20 mm. semua konstruksi busur dalam
konstruksi batu buatan memerlukan bekisting pada waktu pembuatan, sampai
perekat cukup kering dan kuat.

24
Gambar 2.14 : Konstruksi bekisting busur
Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 143

Sebagai induk konstruksi busur bisa digunakan konstruksi dinding batu buatan atau
batu alam yang bertarah menurut ukuran yang diperlukan. Jika menggunakan batu
alam untuk batu induk (Gambar 2.15), biasanya juga pada puncak busur
dipasangkan batu bertarah (Gambar 2.16). Tetapi jika menggunakan batu buatan,
maka juga sebagai batu puncak dipilih batu buatan. Harus diperhatikan agar selalu
di pertengahan busur diadakan suatu puncak dan bukan suatu siar saja.

Gambar 2.15 : Induk konstruksi busur


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 144

Gambar 2.16 : Penutup konstruksi busur


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan 1, 1980: 144

2.4 Material

25
Material dalam konteks bangunan adalah setiap bahan yang digunakan untuk tujuan
konstruksi. Terdapat dua tipe material, yaitu alami dan buatan. Material alami adalah bahan
bangunan yang sudah tersedia di alam seperti batu, pasir, air dan kayu.

2.4.1 Klasifikasi Material


Berdasarkan jenisnya,, material bangunan dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Kayu, kayu biasa digunakan untuk rangka atap, kusen
jendela dan pintu, lantai ataupun alat bantu seperti bekisting.
2. Batu, terdapat beberapa macam batu yang digunakan
sebagai bahan bangunan seperti bata merah digunakan untuk dinding, batu kali
digunakan untuk pondasi. Adapun pasir dan kerikil yang digunakan sebagai
campuran bagi perekat bata dan campuran beton.
3. Baja dan Besi, biasa digunakan sebagai tulangan pada
beton sebagai pengikat, angkur bagi kusen pintu dan jendela dan sebagainya.

2.4.2 Bahan Perekat Pada Lepa


1. Semen Portland
Semen Portland biasa digunakan untuk perekat, plester dinding dan campuran
beton. Ciri khusus semen portland adalah dapat mengeras apabila bersentuhan
dengan air dan berubah menjadi benda padat yang tidak larut dalam air. Oleh
karena itu, semen portland disebut sebagai perekat hidrolis. Semen portland bisa
dibuat dari batu kapur, batu silica dan tanah merah sebagai bahan baku sedangkan
bahan tambahan menggunakan pasir besi dan gypsum.
2. Semen Merah
Semen merah adalah perekat yang terbuat dari batu merah yang digiling atau
ditumbuk halus. Semen merah bila dicampur dengan kapur dan air akan mengeras
karena bahan tersebut mengandung silica amorf di dalam mineral-mineralnya yang
membentuk senyawa kalsium hidrosilikat. Semen merah digunakan sebagai
campuran lepa, dengan perbandingan 1 semen merah : 1 kapur : 3 Pasir.
3. Kapur
Kapur adalah salah satu campuran perekat yang dibuat dari batuan yang
mengandung senyawa karbonat, antara lain: batu kapur, batu kerang dan batu kapur
magnesia.
Kapur dibedakan menurut bahan bangunan yaitu:
26
- Kapur tohor, adalah hasil bakaran dari batu kapur atau batu alam lain pada suhu
tertentu, sehingga dapat bersenyawa dengan air membentuk hidrat
- Kapur padam, adalah hasil pemadaman kapur tohor (kapur tohor yang telah
bersenyawa dengan air dan membentuk hidrat)
- Kapur udara, adalah kapur padam, yang apabila diaduk dengan air setelah
beberapa waktu, hanya dapat mengeras di udara karena pengikatan karbon
dioksida.
- Kapur hidraulis adalah kapur padam, yang apabila diaduk dengan air beberapa
waktu dapat mengereas, baik di dalam air maupun di udara.
- Kapur magnesia adalah kapur yang mengandung > 5% magnesium oksida.
4. Campuran Lepa
Perbandingan bahan-bahan perekat dan bahan tambahan untuk lepa dan plester
dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.3 Perbandingan bahan untuk lepa dan plester


Sumber : Heinz Frick, Ilmu Konstruksi Bangunan, 1980: 133

Semen Semen
Lepa Pasir Tras Kapur
Merah Portland
Pondasi batu kali besar 1 1 1
Pondasi batu kali rumah 2 1 1
Atau 3 1 1
Atau 3 1 1
Atau 5 1 1,5
Atau 5 1
Dinding Rumah 4 3 2
Atau 6 1 0,5
Atau 4 0,5 1
Semen Semen
Plester Pasir Tras Kapur
Merah Portland
Dinding 2 1
Atau 1 1 1
Atau 3 1 1
Lantai 2 1
Atau 3 1
Anyaman kawat 4 1
Anyaman bambu, dekat
4 1 1
laut

27

Anda mungkin juga menyukai