Anda di halaman 1dari 3

Dalam sejarah perkembangan Ilmu Antropologi, Koentjaraningrat dikenal sebagai perintis ilmu

budaya di Indonesia. Ia juga merupakan sosok ilmuwan Indonesia pertama yang melakukan
penelitian budaya di Papua. Koentjaraningrat tidak hanya mempelajari budaya Masyarakat Asli
Papua, namun juga merekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan pendekatan budaya
kepada provinsi yang baru bergabung dengan Indonesia di akhir tahun 60-an. Koentjaraningrat
menilai bahwa pendekatan budaya merupakan cara yang paling tepat untuk meng-Indonesia-kan
Papua sebagai salah satu provinsi muda. Hal ini sangat penting mengingat Papua memiliki budaya
minoritas dan sejarah kebangsaan yang berbeda dengan daerah di Indonesia lainnya.

Bukan tidak mungkin bahwa kekerasan dan konflik terus berlangsung di Papua karena dilupakannya
pendekatan kebudayaan yang memanusiakan Orang Papua seperti yang digagas Koentjaraningrat
dahulu.

Konflik Papua telah menorehkan sejarah panjang di Indonesia. Muridan S. Widjojo melihat bahwa
konflik Papua yang berlangsung selama 49 tahun disebabkan oleh digunakannya pendekatan
keamanan dengan sangat kuat untuk menghadapi sikap kritis Orang Papua. Negara disimbolkan
dengan kekerasan bukan kesejahteraan; karena tingkat pelayanan dan fasilitas dasar seperti
kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi diabaikan. Oleh sebab itulah, Muridan
menyatakan bahwa keindonesiaan diangap sebagai antitesis dari ideal kepapuaan yang dimimpikan
oleh banyak orang asli Papua.

Negara tidak mempertimbangkan nilai budaya masyarakat asli Papua, sebaliknya kekerasan dan
operasi militer mendominasi kebijakan negara di tanah paling timur Indonesia ini. Sebelum
reformasi, tidak ada pendekatan budaya yang coba dilakukan negara untuk mengkonstruksi jiwa
kebangsaan Orang Asli Papua sebagai bagian dari Indonesia. Abdurrahman Wahid merupakan
presiden pertama yang mendekati Masyarakat Papua dengan penghargaan terhadap nilai kultur
Papua. Beliau mengakui Bendera Bintang Kejora sebagai lambang kultur Masyarakat Papua. Hal ini
sangat bertolak belakang dengan situasi saat ini yang menilai bahwa Bendera Bintang Kejora
merupakan lambang separatis Orang Papua.

Pendekatan baru ini tentu saja disesuaikan dengan situasi budaya Papua. Gambaran budaya Papua
diperlukan untuk memahami secara baik bagaimana karakter asli Orang Papua, sehingga dapat
dibuat sebuah kebijakan yang diterima dengan baik oleh masyarakat. Dengan demikian, intensitas
konflik pun semakin lama akan semakin menurun dan menghilang. Namun begitu, membaca kultur
Masyarakat Papua tidak lah mudah karena kebudayaannya yang sangat kaya. Agapitus Dumatubun
menyatakan bahwa empat zona ekologi di Papua turut mempengaruhi terbentuknya budaya yang
berbeda. Budaya itu terklasifikasi menjadi lima sebaran wilayah budaya dengan empat tipe
kepemimpinan masyarakat yang berbeda. Dumatubun menyatakan bahwa nilai budaya tersebut
dapat menjadi kerangka membangun sistem pemerintahan yang baik di Papua, misalnya terkait
dengan pembagian dan pemekaran wilayah pemerintahan. Pendekatan kebudayaan ini juga penting
untuk menentukan alat mediasi bagi pemerintah untuk berdialog dengan Masyarakat Papua.

Dialog dapat menjadi pendekatan baru yang mungkin saja selama ini dibutuhkan oleh negara dan
Papua untuk menghapus konflik diantara mereka. Masyarakat Papua sesungguhnya merupakan
masyarakat berdialog karena segala sesuatu yang penting dalam kehidupannya ditentukan secara
damai dalam dialog. Sebagai contoh, suku-suku di Papua menentukan proses adat berperang dengan
dialog antar suku sebelumnya yakni mengenai kapan perang akan dimulai dan kapan akan
dihentikan. Merujuk pada nilai budaya Masyarakat Papua tersebut, maka sesungguhnya dialog dapat
menjadi cara yang baik untuk memperkuat keindonesiaan di Papua.

Dialog yang dapat dibangun oleh Jakarta dan Papua terdapat lima hal terkait Budaya Papua yang
yang perlu tercerminkan di dalam dialog :

Pertama, dialog harus mampu mempertahankan identitas-identitas kultural dan posisi-posisi politik
yang berlawanan sebagai sesuatu yang wajar. Unsur-unsur representasi, format, mekanisme, dan
agenda dialog harus merupakan kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik. Semakin tinggi kadar
kesepakatan di dalam proses pra-dialog dan dialog, semakin tinggi pula tingkat legitimasi hasil dialog.
Semakin tinggi legitimasi hasil dialog, semakin tinggi pula kemungkinan keberhasilan
implementasinya.

Kedua, dialog harus mampu membuka ruang gerak kultural Orang Papua yang lebih besar sehingga
suara-suara yang selama ini termarjinalkan akan memiliki ruang yang baik untuk mendefinisikan
identitas kultural mereka yang beraneka warna. Ketiga, pemerintah harus menyadari wujud
keragaman persepsi kultural Masyarakat Papua mengenai cara dan mekanisme dialog politik.
Keragaman persepsi itu muncul sebagai dampak dari keberagaman budaya dalam pola
kepemimpinan tradisional di Papua. Negara harus memaknai ulang pemahaman kultural atas
keragaman wajah Papua yang bervariasi tersebut, sehingga simplifikasi pendekatan elitis yang akan
membuat dialog menjadi penuh syarat dan sempit tidak terjadi.

Keempat, perlu diwujudkan sebuah dialog yang mengarah kepada tercapainya proses rekonsiliasi
dan proses permintaan maaf atas kesalahan di masa lalu oleh pemerintah maupun masyarakat
Papua.

Kelima, dialog harus mampu merekonstruksi paradigma negara yang melihat Papua selalu sebagai
bangsa separatis yang mengusik keutuhan negara. Pemunculan wacana gerakan separatisme oleh
pemerintah pusat dinilai sebagai culture of fear yang mengancam jiwa nasionalisme Indonesia. Atas
dasar itu, maka kerap kali kekerasan terhadap masyarakat Papua mendapatkan legitimasi negara.
Pemahaman salah yang melanggengkan pelanggaran HAM tersebut tentu harus dikikis bahkan
dihapuskan sama sekali.

Gagasan ini tentu saja berangkat dari ide besar Koentjaraningrat yang menyatakan bahwa kedekatan
dengan Papua akan terbentuk jika kita paham kekhasan Papua secara kultural. Dialog mungkin dapat
dijalankan dengan berbagai pendekatan, tidak hanya pendekatan budaya. Namun tak dapat
dipungkiri bahwa pendekatan kultural akan menjadi hal penting yang perlu melekat di dalam
pelaksanaan dialog Jakarta Papua.

Dialog yang terbangun dengan kerangka pemahaman dan penghargaan atas budaya sebagai
landasan utama merupakan peluang terbukanya ruang untuk menyalurkan aspirasi bagi masyarakat
Papua dan pemerintah secara terbuka. Mungkin memang sudah waktunya bagi negara memikirkan
jalan baru ini secara serius untuk menghentikan diskriminasi, kemiskinan dan pelanggaran HAM di
Papua.
Akar masalah Papua

Menentukan strategi yang paling tepat untuk mengatasi masalah keamanan di Tanah Papua dengan
mengakhiri aksi-aksi kekerasan oleh siapa pun dan dengan motif apa pun tidak mudah.

permasalahan Papua menunjukkan pendekatan antropologi kurang dimanfaatkan, kurang dihargai,


terabaikan sehingga permasalahan sosial budaya tidak terselesaikan.

dalam budaya birokrasi yang menyebabkan munculnya perasaan terabaikan, ketakutan, kekecewaan
sampai dengan perasaan ingin memisahkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
Ketika perasaan kecewa, sakit hati yang terjadi tidak direspons melalui pendekatan budaya yang
tepat, muncullah konflik dan kekerasan.

Di dalam buku Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009
telah dituliskan akar masalah Papua yang meliputi:

• Peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua
bagi Indonesia,

• Tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan,


kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua,

• Proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas,

• Siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas,

• Pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan
Paniai.

Permasalahan Papua menunjukkan pendekatan antropologi kurang dimanfaatkan, kurang dihargai,


terabaikan sehingga permasalahan sosial budaya tidak terselesaikan.

Dalam budaya birokrasi yang menyebabkan munculnya perasaan terabaikan, ketakutan, kekecewaan
sampai dengan perasaan ingin memisahkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
Ketika perasaan kecewa, sakit hati yang terjadi tidak direspons melalui pendekatan budaya yang
tepat, muncullah konflik dan kekerasan. Melihat sejarah Papua dengan Kesultanan Tidore di mana
sekitar 600 tahun yang lalu Kesultanan Tidore mempunyai hubungan kekuasaan dengan pesisir
Papua.

Konflik di Papua dan Papua Barat dinilai membutuhkan penanganan khusus yang melibatkan seluruh
unsur masyarakat Papua dan Papua Barat. dengan mengedepankan pendekatan antropologis untuk
memahami perilaku dan kebiasaan masyarakat Papua dalam menyelesaikan permasalahan
penanganan konflik rasisme ini harus dengan pendekatan kultural yang memahami budaya
masyarakat Papua dan Papua Barat dalam bermasyarakat. Oleh karenanya, Pemerintah perlu
melakukan pendekatan antropologi dan kultural kepada kepala suku

Anda mungkin juga menyukai