Anda di halaman 1dari 19

AL ISLAM STUDI AL QURAN

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Al Islam Studi Al Quran
yang diampu oleh Nur Khaeriah, S.Th.I., M.Si..
Disusun oleh:

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2016
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah S.W.T yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tentang Hutang Piutang Dalam Al Quran.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan
dari berbagai sumber sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata dari kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
memberikan pengetahuan bagi yang membaca.

Cirebon, Januari 2016

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................1
1.3 Tujuan.....................................................................................................................1
BAB II ISI.........................................................................................................................2
2.1 Hukum Hutang Piutang...........................................................................................2
2.2 Konsep Hutang Piutang..........................................................................................7
2.3 Beberapa Hal yang Harus Diperhatikan dalam Hutang Piutang.............................8
BAB III PENUTUP.......................................................................................................14
3.1 Simpulan...............................................................................................................14
3.2 Saran.....................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Didalam ilmu fiqh banyak diatur tata cara dan segala aturan tentang
muamalah, termasuk hutang piutang, yang hukum-hukum tersebut merujuk juga
kepada Al-Qur’an dan Hadits. Sebab diantara mereka ada yang membutuhkan dan
ada pula yang dibutuhkan.

Dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari


yang namanya hutang. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah
tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula
yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya
sehingga membuatnya terdorong untuk berhutang atau mencari pinjaman dari
orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

Dalam ajaran Islam, hutang piutang adalah muamalah yang dibolehkan,


tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena hutang bisa
mengantarkan seseorang ke surge atau pun sebaliknya malah menjerumuskannya
ke neraka.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hutang piutang dan hukumnya dalam Al-
Qur’an?
2. Bagaimana konsep hutang piutang?
3. Apa saja hal-hal yang harus diperhatikan dalam hutang piutang?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui hutang piutang dan hukumnya dalam Al-Qur’an.


2. Untuk mengetahui konsep hutang piutang.
3. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam hutang
piutang.

1
BAB II
ISI
2.1 Hukum Hutang Piutang

Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal
dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) berasal dari
kata Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang
berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan hutang.Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i),hutang piutang
(Al- Qardh) bisa didefinisikan sebagai pemberian harta (bisa dalam bentuk uang
dan lainnya) sebagai suatu bentuk kasih sayang kepada mereka yang nantinya
akan memanfaatkan harta tersebut, dimana suatu saat si peminjam akan
mengembalikan harta tersebut sesuai dengan apa yang telah ia pinjam.

Atau dengan kata lain, hutang piutang adalah memberikan sesuatu yang
menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di
kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi
pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Pada dasarnya semua manusia ingin dapat terpenuhi semua kebutuhan
hidupnya, baik kebutuhan primer maupun sekunder dan kebutuhan lainnya. Untuk
itulah mereka dituntut untuk bekerja keras guna terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan tersebut. Agama Islam menganjurkan kepada umatnya agar saling
tolong menolong, gotong royong dalam hal kebajikan dan taqwa.

Hutang piutang hukumnya sangat fleksibel tergantung bagaimana situasi


dan keadaan yang terjadi. Dalam agama Islam, disebutkan ada beberapa dalil
tentang hukum piutang dan selama bertujuan baik untuk membantu atau
mengurangi kesusahan maka hukumnya jaiz atau boleh. Sebagaimana firman
Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 245 yang artinya:

2
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kamu
dikembalikan.” (QS Al-Baqarah [2]: 245)

Bahkan di jaman sekarang ini, banyak orang yang memanfaatkan hutang


piutang dengan mengambil riba. Hukum riba dalam Islam sangat diharamkan
karena tidak sesuai dengan syari’at Islam. Bahkan Allah berfirman dalam surat
Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:

“….Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharapkan riba….” (QS
Al-Baqarah [2]: 275)

Allah juga berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 130 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…” (QS Ali-
Imran [3]: 130)

Dari dua firman Allah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Allah
sangat mengharamkan riba dan memerintahkan hamba-Nya untuk menjauhi riba.

Quran Surat Al-Baqarah 2:282

‫ا ْكتُبُوهُ ۚ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم‬PPَ‫ين آ َمنُوا إِ َذا تَ َدايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى ف‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
‫ ِل الَّ ِذي‬Pِ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ هَّللا ُ ۚ فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْمل‬ َ ُ‫ب َكاتِبٌ أَ ْن يَ ْكت‬ َ ْ‫َكاتِبٌ بِ ْال َع ْد ِل ۚ َواَل يَأ‬
‫ق‬ُّ P‫ ِه ْال َح‬P ‫ان الَّ ِذي َعلَ ْي‬ َ ‫ق هَّللا َ َربَّهُ َواَل يَب َْخسْ ِم ْنهُ َش ْيئًا ۚ فَإِ ْن َك‬ ِ َّ‫ق َو ْليَت‬ ُّ ‫َعلَ ْي ِه ْال َح‬
ۚ ‫ ْد ِل‬PPP‫لْ َولِيُّهُ بِ ْال َع‬PPPِ‫ َو فَ ْليُ ْمل‬PPPُ‫ َّل ه‬PPP‫تَ ِطي ُع أَ ْن يُ ِم‬PPP‫ ِعيفًا أَ ْو اَل يَ ْس‬PPP‫ض‬ َ ‫فِيهًا أَ ْو‬PPP‫َس‬
‫ا ِن‬PPَ‫ ٌل َوا ْم َرأَت‬P‫ا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج‬PPَ‫إِ ْن لَ ْم يَ ُكون‬P َ‫الِ ُك ْم ۖ ف‬PP‫َوا ْستَ ْش ِه ُدوا َش ِهي َد ْي ِن ِم ْن ِر َج‬
‫ض َّل إِحْ َداهُ َما فَتُ َذ ِّك َر إِحْ َداهُ َما اأْل ُ ْخ َر ٰى ۚ َواَل‬ ِ َ‫ض ْو َن ِم َن ال ُّشهَ َدا ِء أَ ْن ت‬ َ ْ‫ِم َّم ْن تَر‬
‫يرًا إِلَ ٰى‬Pِ‫ ِغيرًا أَ ْو َكب‬P‫ص‬ َ ُ‫وه‬Pُ‫أ َ ُموا أَ ْن تَ ْكتُب‬P‫وا ۚ َواَل تَ ْس‬P‫ا ُد ُع‬P‫هَ َدا ُء إِ َذا َم‬P‫الش‬ ُّ ‫ب‬ َ ْ‫يَأ‬
َ P‫ابُوا ۖ إِاَّل أَ ْن تَ ُك‬PPَ‫هَا َد ِة َوأَ ْدنَ ٰى أَاَّل تَرْ ت‬P‫لش‬ ٰ
‫ون‬P َ P‫أَ َجلِ ِه ۚ َذلِ ُك ْم أَ ْق َسطُ ِع ْن َد هَّللا ِ َوأَ ْق‬
َّ ِ‫و ُم ل‬P
‫ ِه ُدوا‬P ‫ا ۗ َوأَ ْش‬PPَ‫ا ٌح أَاَّل تَ ْكتُبُوه‬PPَ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجن‬ َ ‫ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬P ُ‫اض َرةً ت‬ ِ ‫ارةً َح‬ َ ‫تِ َج‬
‫ق بِ ُك ْم ۗ َواتَّقُوا‬ ٌ ‫ضا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد ۚ َوإِ ْن تَ ْف َعلُوا فَإِنَّهُ فَسُو‬ َ ُ‫إِ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم ۚ َواَل ي‬
‫هَّللا َ ۖ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم هَّللا ُ ۗ َوهَّللا ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬

3
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah
penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”

Hutang piutang berbeda dengan kredit, karena dalam sistem kredit ada
tambahan yang harus dibayar. Sedangkan dalam hutang piutang tidak ada, jumlah
yang dikembalikan harus sama dengan jumlah yang dipinjam dan jika ada
tambahan maka dinamakan riba dan hukumnya haram.

Dalam Islam, ada contoh hutang piutang yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallalluhu ‘Alaihi Wasallam. Pada saat itu, beliau pernah berhutang kepada
seseorang Yahudi dan Beliau melunasi hutangnya dengan memberikan sebuah
baju besi yang telah Beliau gadaikan. Seperti yang diriwayatkan dalam Hadist Al-
Bukhari no. 2200 yang berbunyi:

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membeli makanan dari seorang Yahudi


dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Al-
Bukhari no. 2200)

4
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam pernah berhutang, namun itu tidak diartikan bahwa Beliau sangat gemar
berhutang. Karena Rasulullah sendiri sangat menghindari kegiatan berhutang
kecuali dalam keadaan mendesak atau terpaksa.

Berhutang sendiri bukanlah merupakan dosa dan bukan perbuatan yang


tercela jika seseorang yang berhutang tersebut menggunakan apa yang
dihutangnya sesuai dengan kebutuhannya. Namun, dalam hal ini Islam juga tidak
membenarkan untuk gemar berhutang dan tidak bisa mengendalikan diri untuk
selalu berhutang. Karena hal tersebut akan mengarahkan kepada perbuatan yang
munkar. Orang yang terlilit hutang secara otomatis akan menjadi orang yang
ingkar janji dan selalu berdusta.

Agama Islam telah menyediakan jalur alternatif untuk melakukan hutang


piutang dengan aman. Seperti kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
yaitu menggadaikan barang yang Beliau miliki.

Telah diketahui bahwasannya Islam membolehkan adanya hutang piutang,


asalkan hal tersebut dilakukan menurut syariat yang benar. Mengapa? Karena jika
tindakan hutang piutang tidak dilakukan menurut cara yang telah disyariatkan
islam, maka justru akan dapat menjerumuskan mereka yang terlibat di dalamnya
(baik si peminjam maupun yang memberikan pinjaman) ke dalam kesesatan yang
akhirnya membawa mereka kepada neraka.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :

‫ ومن أخذها يريد اتالفها أتلفه هللا‬, ‫من أ ّدان أموال الناس يريد أداءها أدى هللا عنه‬

Artinya:“Barangsiapa yang meminjam harta orang lain dengan niat ingin


mengembalikannya, Allah akan mengembalikan pinjaman itu, namun
barangsiapa yang meminjamnya dengan niat ingin merugikannya, Allah pun
akan merugikannya.” (HR. Al-Bukhari)

Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang
disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).Adapun hukum berhutang atau
meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau

5
dibenci, karena Nabi Muhammad SAW pernah berhutang. (HR. Bukhari IV/608
(no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)).
Namun meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan
dalam syariat Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari
hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak
dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah,
merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari.
Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah SAW
“Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang
diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk
membayarnya. Rasulullah bersabda:
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.”
(HR. Muslim).

Di bawah ini merupakan syarat hutang piutang dalam Islam:

a. Benda atau harta yang dijadikan hutang bersifat jelas dan murni serta
merupakan sesuatu yang halal.
b. Orang yang memberikan pinjaman atau hutang tidak akan mengungkit-
ngungkit permasalahan hutang piutangnya serta tidak akan menyakiti
seseorang yang diberi pinjaman atau yang berhutang.
c. Si peminjam atau pihak yang berhutang berniat untuk mendapatkan ridho
Allah dengan menggunakan hutangnya secara baik dan benar.
d. Tidak memberikan riba atau tidak memberi keuntungan atau kelebihan
atas barang atau harta yang dihutangkan kepada pihak yang memberikan
hutang.

6
2.2 Konsep Hutang Piutang
Konsep berhutang menurut perspektif Islam ialah memberikan sesuatu
kepada seseorang dengan perjanjian bahawa orang yang diberikan pinjaman itu
akan membayar dengan jumlah sama.

Secara dasarnya Islam membolehkan kepada seseorang untuk berhutang


atas faktor yang memaksa seperti masalah kesulitan ekonomi. Namun begitu,
perlu dijelaskan di sini bahwa beban yang akan diterima si penghutang adalah
berat, terutama jika hutang tidak dibayar. Lebih berat jika dia meninggal dunia
dalam keadaan hutang tidak dilunasi. Sebaik-baiknya cobalah hindari diri dari
berhutang. Namun, apabila keadaan terlalu mendesak dan tiada jalan lain untuk
memperoleh uang, maka di sinilah Islam membenarkan amalan berhutang.
Apabila sudah terlanjur meminjam, aturkan jadwal pembayaran hutang
secara berterusan dan konsisten mengikuti jadwal serta menepati syarat perjanjian
supaya tidak menimbulkan masalah pada kemudian hari. Coba hidarkan daripada
mengambil kesempatan melambat-lambatkan pembayaran hutang karena itu
bukan saja menyusahkan diri sendiri namun juga kepada orang yang memberi
hutang. Rasulullah turut memberi ingatan bahwa jika seseorang itu meninggal
dunia sedangkan dia masih berhutang, dosanya tidak akan diampunkan walaupun
dia mati syahid dalam peperangan.
Hutang yang dibenarkan dalam Islam hanyalah hutang Al-Qard dengan
maksud pinjaman. Itu juga dikenali dengan nama Al Qardhul Hasan atau Al
Qardn Hassan atau pinjaman kebajikan (benevolent loan) di mana hutang atau
pinjaman diberikan kepada orang yang sangat memerlukan bantuan, tanpa
menambahkan bayaran lebih jika hutang dibayarkan nantinya.

Orang yang memberikan hutang tidak boleh menerapkan bayaran


tambahan dalam hutang itu, karena jumlah tambahan dalamhutang itu dikenali
sebagai riba yang amat dilarang dalam Islam.Dalam konsep hutang dalam islam
dijelaskan juga bahwa membayar hutang adalah wajib.

7
2.3 Beberapa Hal yang Harus Diperhatikan dalam Hutang Piutang

Dalam berhutang, kita perlu memperhatikan etika-etika yang sesuai


dengan syariat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berutang diantaranya
adalah:

1. Hendaknya hutang piutang yang dilakukan ditulis dan dipersaksikan

Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya dalam


Al-Qur’an terkait dengan hutang piutang agar apabila mereka melakukan transaksi
non tunai (hutang piutang) hendaknya ditulis. Hal ini bertujuan untuk menguatkan
persaksian serta tidak mendatangkan keraguan nantinya.

Firman Allah SWT tersebut adalah:

‫ا ْكتُبُوهُ ۚ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم‬PPَ‫ين آ َمنُوا إِ َذا تَ َدايَ ْنتُ ْم بِ َدي ٍْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى ف‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
‫ ِل الَّ ِذي‬Pِ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ هَّللا ُ ۚ فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْمل‬ َ ُ‫ب َكاتِبٌ أَ ْن يَ ْكت‬ َ ْ‫َكاتِبٌ بِ ْال َع ْد ِل ۚ َواَل يَأ‬
‫ق‬ُّ P‫ ِه ْال َح‬P ‫ان الَّ ِذي َعلَ ْي‬ َ ‫ق هَّللا َ َربَّهُ َواَل يَب َْخسْ ِم ْنهُ َش ْيئًا ۚ فَإِ ْن َك‬ ِ َّ‫ق َو ْليَت‬ ُّ ‫َعلَ ْي ِه ْال َح‬
ۚ ‫ ْد ِل‬PPP‫لْ َولِيُّهُ بِ ْال َع‬PPPِ‫ َو فَ ْليُ ْمل‬PPPُ‫ َّل ه‬PPP‫تَ ِطي ُع أَ ْن يُ ِم‬PPP‫ ِعيفًا أَ ْو اَل يَ ْس‬PPP‫ض‬ َ ‫فِيهًا أَ ْو‬PPP‫َس‬
‫ا ِن‬PPَ‫ ٌل َوا ْم َرأَت‬P‫ا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج‬PPَ‫إِ ْن لَ ْم يَ ُكون‬P َ‫الِ ُك ْم ۖ ف‬PP‫َوا ْستَ ْش ِه ُدوا َش ِهي َد ْي ِن ِم ْن ِر َج‬
‫ض َّل إِحْ َداهُ َما فَتُ َذ ِّك َر إِحْ َداهُ َما اأْل ُ ْخ َر ٰى ۚ َواَل‬ ِ َ‫ض ْو َن ِم َن ال ُّشهَ َدا ِء أَ ْن ت‬ َ ْ‫ِم َّم ْن تَر‬
‫يرًا إِلَ ٰى‬Pِ‫ ِغيرًا أَ ْو َكب‬P‫ص‬ َ ُ‫وه‬Pُ‫أ َ ُموا أَ ْن تَ ْكتُب‬P‫وا ۚ َواَل تَ ْس‬P‫ا ُد ُع‬P‫هَ َدا ُء إِ َذا َم‬P‫الش‬ ُّ ‫ب‬ َ ْ‫يَأ‬
َ P‫ابُوا ۖ إِاَّل أَ ْن تَ ُك‬PPَ‫هَا َد ِة َوأَ ْدنَ ٰى أَاَّل تَرْ ت‬P‫لش‬ ٰ
‫ون‬P َ P‫أَ َجلِ ِه ۚ َذلِ ُك ْم أَ ْق َسطُ ِع ْن َد هَّللا ِ َوأَ ْق‬
َّ ِ‫و ُم ل‬P
‫ ِه ُدوا‬P ‫ا ۗ َوأَ ْش‬PPَ‫ا ٌح أَاَّل تَ ْكتُبُوه‬PPَ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجن‬ َ ‫ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬P ُ‫اض َرةً ت‬ ِ ‫ارةً َح‬ َ ‫تِ َج‬
‫ق بِ ُك ْم ۗ َواتَّقُوا‬ ٌ ‫ضا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد ۚ َوإِ ْن تَ ْف َعلُوا فَإِنَّهُ فَسُو‬ َ ُ‫إِ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم ۚ َواَل ي‬
‫هَّللا َ ۖ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم هَّللا ُ ۗ َوهَّللا ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan

8
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah
walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan
lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual
beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah ayat 282)

2. Di dalam hutang piutang tidak diperbolehkan adanya unsur riba

Suatu pinjaman yang berbunga atau pinjaman yang mendatangkan manfaat


dalam bentuk apapun misalnya saja keuntungan adalah diharamkan dalam syariat
islam. Jadi dengan demikian, mereka yang bertindak sebagai pemberi pinjaman
atau hutang tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari
pihak yang meminjam, karena setiap hutang yang membawa keuntungan, maka
hukumnya adalah riba’. Dan riba’ adalah perbuatan yang diharamkan dalam
islam.

Dalam salah satu hadist Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam di atas telah jelas
hukumnya bahwa: “Barangsiapa yang meminjamnya dengan niat ingin
merugikannya, Allah pun akan merugikannya”( Riwayat Al-Bukhari)

3. Bagi mereka yang berhutang, hendaknya tujuan dari hutang yang ia


ajukan adalah untuk niat yang baik dan ia berjanji akan
mengembalikannya.

9
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :

ُ ‫ َو َم ْن أَخَ َذ ي ُِري ُد إِ ْتالَفَهَا أَ ْتلَفَهُ هَّللا‬، ُ‫اس ي ُِري ُد أَدَا َءهَا أَ َّدى هَّللا ُ َع ْنه‬
ِ َّ‫َم ْن أَ َخ َذ أَ ْم َوا َل الن‬

Artinya:“Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan


tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan
untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak
melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)

Contoh niat yang baik dalam berhutang yang dimaksud adalah :

a. Hutang tidak bertujuan untuk menutupi adanya hutang yang belum


terbayar.
b. Hutang tidak digunakan untuk tujuan bersenang-senang.
c. Adanya niat untuk segera mengembalikan apa-apa yang telah dihutang.
d. Tidak berhutang dengan niat untuk meminta. Dalam beberapa kasus ketika
seseorang meminta sesuatu kepada orang lain dan tidak diberi, maka ia
akan berdalih hutang agar nantinya apa yang ia inginkan tersebut
diberikan.

4. Hendaknya pihak yang berhutang melunasi hutang-hutangnya dengan


cara yang baik.

Ada istilah yang menyatakan bahwa kebaikan harus dibayar dengan


kebaikan pula. Hal ini juga berlaku di dalam hutang piutang, dimana pihak yang
berhutang berkewajiban untuk melunasi hutang-hutangnya dengan cara yang baik.
Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam, yaitu :

Abu Hurrairah Radiyallahu Anhuma berkata :

– ‫ضاهُ فَقَا َل – صلى هللا عليه وسلم‬ ِ َ‫َكانَ لِ َرج ٍُل َعلَى النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – ِس ٌّن ِمن‬
َ ‫اإلبِ ِل فَ َجا َءهُ يَتَقَا‬
َ َ‫ ق‬. ‫ك‬
‫ال‬ ‫هَّللا‬ َّ َ َ َ‫ فَق‬. » ُ‫ فَقَا َل « أ ْعطوه‬. ‫ فَلَ ْم يَ ِجدُوا لَهُ إِالَّ ِسنًّا فَوْ قَهَا‬، ُ‫ فَطَلَبُوا ِسنَّه‬. » ُ‫« أَ ْعطُوه‬
َ ِ‫ َوفى ُ ب‬، ‫ال أوْ فَ ْيتَنِى‬ ُ َ
َ َ‫ار ُك ْم أَحْ َسنُ ُك ْم ق‬
‫ضا ًء‬ َ َ‫النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلمإ ِ َّن ِخي‬

10
Artinya:“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan
usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata,
“Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya,
akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya.
Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah
menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah membalas dengan setimpal”. Maka
Nabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam
pengembalian (hutang).” (HR. Bukhari)

Jabir Bin Abdullah juga pernah mengisahkan :

َ َ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َوه َُو فِى ْال َم ْس ِج ِد – َو َكانَ لِى َعلَ ْي ِه َدي ٌْن فَق‬
‫ضانِى َو َزا َدنِى‬ ُ ‫أَتَي‬
َّ ِ‫ْت النَّب‬

Artinya “Aku mendatangi Nabi di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang


kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya.” (HR. Bukhari)

5. Hendaknya berhutang kepada orang-orang yang sholeh dan memiliki


penghasilan yang halal.

Hal ini bertujuan agar dapat menenangkan jiwa serta dapat terhindar dari
hal-hal yang haram dan kotor, sehingga ketika dipergunakan, harta pinjaman
tersebut dapat membawa berkah serta datangnya ridha dari Allah SWT.

6. Hendaknya hutang dilakukan dalam keadaan darurat

Artinya adalah seseorang hendaknya berhutang ketika ia dalam kondisi


yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan jalan keluar selain dengan
berhutang atau bisa dikatakan dalam keadaan darurat dan mendesak.

7. Tidak diperbolehkan adanya hutang pitang dalam unsur jual beli

Artinya adalah seseorang tidak diperbolehkan dalam pinjaman atau hutang


dengan memberikan persyaratan agar nantinya pihak yang meminjam atau
berhutang mau menjual atau menyewakan sesuatu kepada pihak pemberi hutang.
Atau pihak penghutang disyaratkan untuk membeli ataupun menyewa sesuatu dari
pihak pemberi hutang.

11
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :

ٌ َ‫الَ يَ ِحلُّ َسل‬


‫ف َوبَ ْي ٌع‬

Artinya:“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu


Daud dan At- Tirmidzi)

8. Jika ternyata pihak penghutang mengalami keterlambatan pembayaran


hutang dikarenakan suatu hal, maka hendaknya ia segera memberitahukan
hal tersebut kepada pihak pemberi hutang

Mengembalikan pinjaman merupakan kewajiban bagi penghutang, akan


tetapi apabila karena kondisi tertentu ia mengalami keterlambatan dalam
pembayaran hutang tersebut maka pihak pemberi hutang berhak untuk
mengetahuinya, sehingga pihak penghutang harus segera memberitahukan hal
tersebut kepada pihak pemberi hutang.Dengan begitu tidak akan timbul perasaan-
perasaan tidak enak dari kedua belah pihak, dimana hutang yang
tadinya merupakan wujud dari kasih sayang akan berubah menjadi suatu
permusuhan atau perpecahan.

9. Timbulnya kesadaran dari pihak peminjam bahwasannya hutang


merupakan amanah yang harus dikembalikan, untuk itu sebaiknya
menggunakan pinjaman tersebut dengan sebaik mungkin

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :

ْ ‫َعلَى ْاليَ ِد َما أَخَ َذ‬


َ ‫ت َحتَّى تُ َؤ ِّد‬
‫ى‬

Artinya:“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia


menunaikannya.” (HR. Abu Dawud dan At- Tirmidzi)

10. Hendaknya hutang-hutang atau pinjaman segera dibayar

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :

‫ فَإ ِ َذا أُ ْتبِ َع أَ َح ُد ُك ْم َعلَى َملِ ٍّى فَ ْليَ ْتبَ ْع‬، ‫ط ُل ْال َغنِ ِّى ظُ ْل ٌم‬
ْ ‫َم‬

Artinya:“Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya


merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang

12
yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan
tersebut).” (HR. Bukhari dan Muslim)

11. Memberikan penangguhan waktu pembayaran hutang apabila pihak


yang berhutang mengalami kesulitan dalam pembayaran hutang-hutangnya

Seperti firman Allah SWT:

Artinya:“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tenggang waktu sampai dia berkelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan
(sebagian atau semua utang), itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah 2:280)

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :

َ َ‫ْسرًا أَوْ لِي‬


ُ‫ض ْع لَه‬ ِ ‫َم ْن أَ َحبَّ أَ ْن يُ ِظلَّهُ هَّللا ُ فِى ِظلِّ ِه – فَ ْليُ ْن ِظرْ ُمع‬

Artinya “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada


hari kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang
bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.”
(HR Ibnu Majah)

12. Dalam kondisi tertentu pihak yang berhutang diperbolehkan untuk


mengajukan permohonan pemutihan atau pengurangan atas jumlah hutang-
hutangnya. Hal tersebut juga bisa dilakukan melalui adanya perantara

Bahwasannya Jabir Bin Abdullah pernah berkata:

“(Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang.
Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah
hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi meminta
syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau
berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu
kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan
kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau pun datang lalu duduk dan
menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak
disentuh.” (HR. Bukhari)

13
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah
dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi
(bahasa) berasal dari kata Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta
yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh,
karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan
hutang.Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i),hutang piutang
(Al- Qardh) bisa didefinisikan sebagai pemberian harta (bisa dalam
bentuk uang dan lainnya) sebagai suatu bentuk kasih sayang kepada
mereka yang nantinya akan memanfaatkan harta tersebut, dimana suatu
saat si peminjam akan mengembalikan harta tersebut sesuai dengan
apa yang telah ia pinjam.
2. Konsep berhutang menurut perspektif Islam ialah memberikan sesuatu
kepada seseorang dengan perjanjian bahawa orang yang diberikan
pinjaman itu akan membayar dengan jumlah sama.Secara dasarnya
Islam membolehkan kepada seseorang untuk berhutang atas faktor
yang memaksa seperti masalah kesulitan ekonomi. Namun begitu,
perlu dijelaskan di sini bahwa beban yang akan diterima si penghutang
adalah berat, terutama jika hutang tidak dibayar.
3. Dalam berhutang, kita perlu memperhatikan etika-etika yang sesuai dengan
syariat.
3.2 Saran
1. Kita sebagai seorang umat muslim harus mengetahui hutang piutang
dalam syariat islam dan hukumnya dalam Al-Qur’an, supaya kita
paham tentang hutang pihutang dalam kehidupan sehari-hari dan
hukumnya.
2. Seperti penjelasan diatas bahwa adanya konsep dalam hutang piutang
maka kita harus lebih memahami adanya konsep tersebut dan
menerapkannya dalam kehidupan sehri-hari.

14
3. Dalam hutang piutang kita juga harus mengetahui dan memahami hal-
hal yang harus diperhatikan dalam hutang piutang supaya tidak
menyebabkan kesalahpahaman dalam kedua belah pihak.

15
DAFTAR PUSTAKA

https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-hutang-piutang-dalam-islam (Jumat,
3 Januari 2020 pukul 17.40)
http://www.makalah.co.id/2016/09/makalah-konsep-hutang-dalam-islam.html
(Jumat, 3 Januari 2020 pukul 17.48)

16

Anda mungkin juga menyukai