Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

Demam Thypoid pada Anak

Oleh :

TRI BAYU NOVRIANSYAH


2020207209029

PROGRAM STUDY PROFESI NERS REGULER FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU (UMPRI)LAMPUNG
TAHUN 2020
1. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Pengertian
Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme
ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang
yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta:
EGC). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi
(Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus.

Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi.
Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara
berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. (Darmowandowo, 2006)
Thypus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan
kesadaran.

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan
salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis (
Patriani, 2008).

B. Etiologi
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella parathypi (S.
Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat
hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 60 0 selama
15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

1) Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman).
2) Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagel kuman).
3) Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen Vi
(berasal dari simpai kuman) .
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid. (Aru W. Sudoyo.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2009. Ed V.Jilid III. Jakarta: interna publishing).

C. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala klinik demam thypoid :


Keluhan:
Nyeri kepala (frontal) 100%
Kurang enak di perut 50%

Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%

Berak-berak 50%

Muntah 50%

Gejala:
Demam 100%
Nyeri tekan perut 75%
Bronkitis 75%
Toksik 60%

Letargik 60%

Lidah tifus (“kotor”) 40%

a. Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten,

suhu tubuh berangsur meningkat

b. Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering pecah-pecah
(ragaden), lidah ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan
tepinya kemerahan, biasanya disertai konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan jarang
kembung.
c. Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa dalam, apatis
sampai somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah
d. Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih singkat
D. Patofisilogi
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada
saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan
seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H 2, inhibitor pompa
proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup
akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian
menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel
khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri
mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang
melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi
mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe
mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Jakarta: IDAI).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan
virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan
melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat
mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa,
sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung
empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu.
Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak
terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin
dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah
yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, Sumarmo
S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).

E. Pathway
F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada
batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada
komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak
berguna untuk diagnosa demam typhoid.

2. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT

SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.

3. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.

Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :

a. Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal
ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah
dapat positif kembali.

c. Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi


dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.

d. Pengobatan dengan obat anti mikroba


Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.

e. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid

Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman


Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4
kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H >
1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu
merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian,
bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena
beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak
mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit
demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:

1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala


demam,gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini
hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap,
serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid
(titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan
atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal
4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H >
1/640 (pada pemeriksaan sekali) (Widodo, D. 2007. Buku Ajar Keperawatan
Dalam. Jakarta: FKUI
G. Penatalaksanaan
Medis

a. Anti Biotik (Membunuh Kuman) :

i. Klorampenicol

ii. Amoxicilin

iii. Kotrimoxasol

iv. Ceftriaxon

v. Cefixim

b. Antipiretik (Menurunkan panas) :

i. Paracetamol

Keperawatan

c. Observasi dan pengobatan

d. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih
dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perforasi usus.
e. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
f. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.
g. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
konstipasi dan diare.
h. Diet

i. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.

ii. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.

iii. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim

iv. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari
(Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II.
Jakarta: EGC).
2. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian

a. Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/ bangsa, agama,
status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik

b. Keluhan utama

Keluhan utama demam thypoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun,
nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.

c. Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh.

d. Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam thypoid.

e. Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

f. Pola-pola fungsi kesehatan

1) Pola nutrisi dan metabolisme


Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mu al dan muntah
saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.
2) Pola eliminasi
Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama. Sedangkan
eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi
kuning kecokelatan.
Klien dengan demam thypoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakiba
keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan
kebutuhan cairan tubuh.
3) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi
komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
4) Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
5) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit anaknya.
6) Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak
mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.

g. Pemeriksaan fisik
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 41°C muka kemerahan.
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1) Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma

2) Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake cairan
peroral yang kurang (mual, muntah)
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi

INTERVENSI KEPERAWATAN

No. Dx Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1 Setelah 1. Pantau suhu tubuh pasien 1. Mengetahui suhu tubuh klien
dilakukan setiap 4 jam 2. Menurunkan demam.
tindakan 2. Kolaborasi pemberian
keperawatan antipiretik sesuai anjuran
diharapkan ttv 3. Turunkan panas dengan
klien dalam melepaskan selimut atau 3. Meningkatkan kenyaman,
batas normal menanggalkan pakian menurunkan temperatur suhu
kriteria yang terlalu tebal, beri tubuh
 Suhu kompres pada aksila dan
tubuh liatan paha.
stabil 36- 4. Observasi adanya konfusi
37ºC disorientasi
 Ttv rentan
4. Perubahan tingkat kesadaran
normal
dapat merupakan akibat dari
hipoksia jaringan
5. Berikan cairan IV sesuai
5. Menghindari kehilangan air
yang dianjurkan.
natrium klorida dan kalium
yang berlebihan.

2 Setelah dilakukan tindakan 1. Jelaskan kepada pasien 1. Agar pasien dapat me


keperawatan diharapkan kebutuhan tentag pentingnya cairan ngetahui tentang pentin gnya
cairan terpenuhi, kriteria cairan dan dapat memenuhi
 Tidak mual kebutuhan cairan.
 Tidak demam 2. Untuk mengetahui keseimbangan
2. Monitor dan catat intake dan intake dan ouput cairan
 Suhu tubuh dalam batas normal
output
cairan

3. Kaji tanda dan gejala 3. Hipotensi, takikardia, demam


dehidrasi hypovolemik, dapat menunjukkan respon
riwayat muntah, kehausan terhadap dan atau efek dari
dan turgor kulit kehilangan caira
4. Berikan cairan peroral pada 4. Cairan peroral akan membantu
klien sesuai kebutuhan memenuhi kebutuhan caira
5. Anjurkan kepada orang tua 5. Asupan cairan secara adekuat
klien untuk sangat diperlukan untuk
mempertahankan asupan menambah volume cairan tubuh
cairan secara dekuat
6. Kolaborasi pemberian cairan
6. Pemberian intravena sangat
intravena
penting bagi klien untuk
memenuhi kebutuhan cairan yang
hilang

3 Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pegkajian nyeri 1. Respon nyeri sangat individual
keperawatan pasien menunjukkan secara sehingga penangananya pun
tingkat kenyamanan meningkat, komprehensi berbeda untuk masingmasing
kriteria: individu.
 Pasien dapat melaporkan nyeri 2. Menngetahui tingkat
berkurang kenyamanan
 Frekuensi nyeri 2. Observasi reaksi nonverbal
 Tanda-tanda vital dalam batas dari ketidaknyamanan.
3. Lingkungan yang nyaman dapat
normal 3. Kontrol faktor lingkungan
membantu klien untuk mereduksi
yang
nyeri
mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan.
4. Ajarkan teknik non 4. Pengalihan nyeri dengan relaksasi
farmakologis dan distraksi dapat mengurangi
(relaksasi, distraksi dll) nyeri yang sedang timbul.
untuk mengetasi nyeri.
5. Berikan analgetik untuk
5. Pemberian analgetik yang tepat
mengurangi nyeri.
dapat membantu klien untuk
beradaptasi dan mengatasi nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Susilo. (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha


Medika

Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Simanjuntak, C. H. (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan


Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83. Jakarta. Nuha

Sjamsuhidayat. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC

Soedarmo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI

Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI

Anda mungkin juga menyukai