Anda di halaman 1dari 2

Asal-usul Sang Garuda | Sang Nananging Jagad

Posted on
6-7 minutes

Garuda kita kenal sebagai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahukah kita semua kenapa
burung Garuda dipilih sebagai lambang negara kita yang besar? Bagaimana asal-usul dan sosok sang
Garuda dalam kepercayaan ataupun mitologi para nenek moyang dan pendiri bangsa kita?

Garuda dalam khasanah sejarah Nusantara muncul dalam berbagai mitologi yang diajarkan dalam
agama Hindu. Garuda merupakan burung gagah perkasa yang diyakini sebagai tunggangan Dewa
Wisnu. Pada masa pemerintahan Raja Airlangga di Kahuripan, untuk mengokohkan kedudukan
politiknya, Airlangga dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu. Kemudian digambarkanlah Airlangga
sebagai titisan Wisnu yang sedang mengendarai Garuda. Garuda Wisnu Kencana, simbolisasi itulah
yang dipergunakan sebagai simbol Kerajaan Kahuripan. Lalu bagaimana asal-usul Garuda dalam kisah
mitologi agama Hindu?

Alkisah di negeri dongeng, tersebutlah seorang guru nan bijaksana bernama Resi Kasyapa.  Resi ini
memiliki dua orang istri yang bernama Kadru dan Winata. Masing-masing dikaruniai anak-anak berupa
Naga dan Garuda. Meskipun sang resi sangat bijaksana dan bersikap adil terhadap kedua istrinya,
namun Kadru senantiasa merasa cemburu terhadap Winata. Maka dalam setiap kesempatan ia
senantiasa ingin menyingkirkan Winata dari perhatian dan lingkaran keluarga. Segala tabiat dan niat
jahat seringkali dijalankan untuk menjauhkan Winata dari suami mereka.

Pada suatu ketika, para dewa mengaduk samudra purba dengan air suci amertha sari, air suci yang
membawa keabadian bagi siapapun makhluk yang meminumnya. Bersamaan dengan peristiwa itu
muncullah kuda yang bernama Ucaihsrawa. Didorong oleh rasa kecemburuan yang telah menahun,
Kadru menantang Winata untuk bertaruh mengenai warna kuda Ucaihsrawa. Barang siapa yang kalah
dalam pertaruhan tersebut, maka ia harus menjadi budak seumur hidup yang harus taat dan patuh
terhadap apapun kehendak dan perintah sang pemenang. Dalam taruhan, Kadru bertaruh Ucaihsrawa
berwarna hitam. Sedangkan Winata memilih warna putih.

Para Naga tahu bahwa kuda Ucaihsrawa sebenarnyalah berwarna putih. Mereka kemudian melaporkan
hal tersebut kepada Kadru, ibunda mereka. Atas pelaporan para Naga, putranya, Kadru secara licik
memerintahkan para Naga untuk menyemburkan bisa mereka ke tubuh kuda putih agar nampak seperti
kuda hitam. Pada saat Ucaihsrawa tiba di hadapan Kadru dan Winata, nampaklah kuda yang
dipertaruhkan berwarna hitam, bukan putih sebagaimana aslinya. Singkat cerita, Winata harus menjadi
budak dan melayani segala perintah Kadru seumur hidupnya yang tersisa.

Sebagai anak yang sangat berbakti kepada ibundanya, Garuda merasa sangat marah atas kelicikan para
Naga yang telah membuat kebohongan besar atas diri Winata. Dengan kemarahan meluap, diseranglah
para Naga. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat di atas langit, antara Garuda dan para Naga.
Dikarenakan kekuatan dan kesaktian diantara kedua kubu sama dan seimbang, maka perang itupun
berlangsung sepanjang saat sebagai simbol keabadian pertempuran antara nilai kebaikan dan kebatilan.

Karena pertempuran berlangsung sekian lama panjangnya, para Naga bersedia memberikan
pengampunan atas perbudakan terhadap Winata asalkan Garuda mampu memberikan tirta suci amertha
sari yang dapat memberikan keabadian hidup mereka dan ibunya. Akhirnya sang Garuda menyanggupi
apapun yang harus ia lakukan asalkan ia dapat membebaskan ibundanya.

Dalam pengembaraan pencarian tirta suci amertha sari, Garuda berjumpa dengan Dewa  Wisnu. Ketika
dimintakan air suci tersebut, Wisnu mempersyaratkan akan memberikan air tersebut, asalkan  sang
Garuda menyanggupi diri untuk menjadi tunggangan bagi Dewa Wisnu. Garuda selanjutnya
mendapatkan tirta suci amertha sari yang ditempatkannya dalam wadah kamandalu bertali rumput
ilalang.

Dengan air suci mertha sari, para Naga berniat mandi untuk segera mendapatkan keabadian hidup.
Bersamaan dengan itu, Dewa Indra yang kebetulan melintas mengambil alih air suci. Dari wadah
Kamandalu, tersisalah percikan air pada sisa tali ilalang. Tanpa berpikir panjang, percikan air pada
ilalang tersebut dijilati oleh para Naga. Tali ilalang sangatlah tajam bagaikan sebuah mata pisau.
Tatkala menjilati ilalang tersebut, terbelahlah lidah para Naga menjadi dua bagian. Inilah asal-usul
kenapa seluruh keluarga besar Naga dan semua keturunannya memiliki lidah bercabang.

Kegigihan Garuda dalam membebaskan ibunda tercintanya dari belenggu perbudakan yang tidak
mengenal rasa peri kemanusiaan inilah yang kemudian oleh para founding fathers kita diadopsi secara
filosofis dan disimbolisasikan dalam lambang negara kita. Garuda bermakna sebagai simbol
pembebasan ibu pertiwi dari belenggu perbudakan dan penjajahan. Dengan lambang Garuda yang
gagah perkasa, para pendahulu berharap Indonesia akan menjadi bangsa besar yang bebas dalam
menentukan nasib dan masa depannya sendiri.

Unsur kesejarahan Garuda Wisnu Kencana ini mengilhami akan dibangunnya patung raksasa Garuda
Wisnu Kencana di ujung selatan Pulau Dewata. Dengan rencana ketinggian patung sekitar 120 meter,
patung tersebut kelak akan menjadi patung landmark tertinggi di dunia. Garuda Wisnu Kencana
merupakan ikon dan landmark Pulau Bali, bahkan sudah tentu landmark bagi Indonesia. Megaproyek
yang sudah dimulai di akhir masa Orde Baru ini hingga kini masih tersendat pembangunannya. Dari
keseluruhan tubuh Garuda Wisnu Kencana baru beberapa bagian yang selesai terakit, diantaranya
kepala Wisnu, kepala Garuda dan bagian tangan Wisnu.

Entah sampai kapan perwujudan landmark Garuda Wisnu Kencana itu dapat terwujud menjadi satu
kesatuan yang utuh sehingga menampilkan kegagahan lambang negara kita yang bisa mengilhami anak
bangsa untuk lebih mencintai tanah ibu pertiwinya? Biarlah waktu yang angkat bicara.

Anda mungkin juga menyukai