Anda di halaman 1dari 12

SYARAT DAN RUKUN PERNIKAHAN

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat


Dosen Pengampu : Rimanto, M.H.I

Oleh Kelompok :
Dzulfan Asidqi
Yosi Ardiansyah

PROGRAM STUDI S1 HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH (STIS) MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU LAMPUNG
2018
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas kehendak-
Nya lah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini
berjudul “Syarat dan Rukun Pernikahan” yang isinya dikutip dari beberapa
sumber, baik dari buku maupun situs internet.
Penulisan makalah ini bertujuan sebagai pertanggung jawaban atas tugas
yang diberikan dosen mata kuliah Fiqih Munakahat yaitu Bapak Rimanto, M.H.I,
Selain itu, tujuan penulis dalam penulisan makalah ini adalah sebagai materi
diskusi serta untuk mebantu kita mendalami mata kuliah Fiqih Munakahat pada
khususnya.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak. Karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah yang telah memberi kepercayaan dan kesempatan untuk membuat makalah
ini dan semua pihak yang telah membantu.
Makalah ini kami susun dengan maksimal baik dari segi materi maupun cara
penulisannya. Namun, kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang
membangun agar makalah ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.
Harapan penulis, mudah-mudahan makalah ini benar-benar memberikan
manfaat bagi pembaca.

Pringsewu, Februari 2018

Penulis
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................i


KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Syarat dan Rukun Pernikahan...................................................................2
1. Laki laki sebagai calon suami...............................................................2
2. Perempuan untuk menjadi istri.............................................................2
3. Wali......................................................................................................2
4. Dua Orang saksi...................................................................................2
5. Ijab dan Qobul......................................................................................2
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun
dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila
keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu
amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara
syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan
bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun
shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari
amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus
dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari
amalan/tata cara shalat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Rukun Pernikahan?
2. Apa saja Syarat Pernikahan?
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Rukun dan Syarat Pernikahan


Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu
amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara
syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan
bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat.
Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara
shalat.
Rukun dan syarat pernikahan sebagai berikut :
1. Laki laki sebagai calon suami
Laki laki sebagai calon suami disini adalah dia yang menjadi pilihannya
merupakan laki laki muslim, bukan merupakan orang yang diharamkan
untuk dinikahi oleh si perempuan karena adanya hubungan nasab atau
hubungan sepersusuan, dan tidak sedang berikhram. Tidak memiliki 4 istri
pada saat itu. laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun sesuai dengan
undang undang No.1 Tahun 1974 pasal 7.
2. Perempuan untuk menjadi istri
Perempuan yang menjadi calon istri merupakan perempuan muslim yang
menjadi pilihannya, tidak ada yang menghalangi secara syar’I, semisal
bukan merupakan orang yang diharamkan untuk dinikahi oleh si laki laki
karena adanya hubungan nasab atau hubungan sepersusuan. Si perempuan
tidak dalam masa iddah, dan tidak sedang berikhram, dan bukan istri orang
lain. Calon isrti telah mencapai usia 16 tahun sesuai dengan pasal 7 undang
undang No.1 Tahun 1974.
Tentang seorang yang sedang ihram, di dalam hadits disampaikan bahwa:
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh
dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
3

3. Wali
Wali dalam pernikahan merupakan hal yang juga sangat penting. Hal ini
bisa kita lihat dalam hadits Rasululullah SAW berikut ini tentang wali
pernikahan.
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali
An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa` no. 1839).
Juga di dalam hadits berikut ini.
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya
batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud).
Jadi apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali
nikahnya maka itu bathil dan tidak sah. Demikian pula, bila ia menikahkan
wanita lain.
Syarat-syarat wali nikah:
a. Laki-laki
“Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita lainnya. Dan wanita
tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita pezina adalah
yang menikahkan dirinya sendiri."  (HR. Ibnu Majah,  no. 1782. Hadits
ini terdapat dalam Shahih Al-Jami, no. 7298)
b. Berakal
c. Bukan orang kafir (Islam)
Maka tidak sah wali kafir untuk orang Islam laki-laki dan perempuan.
Begitu pula tidak sah perwalian orang Islam untuk orang kafir laki-laki
atau perempuan. Adapun orang kafir menjadi wali bagi wanita kafir,
meskipun berbeda agamanya. Dan orang yang keluar dari agama
(murtad) tidak bisa menjadi wali bagi siapapun.
d. Baligh
e. Tidak fasik
f. Tidak cacat akal pikiran, gila atau terlalu tua
Berdasar pada kompilasi hukum Islam di Indonesia mengenai hukum
pernikahan, telah disebutkan bahwa wali nikah terdiri dari; wali nasab dan
4

wali hakim. Namun, wali hakim baru bisa bertindak jika wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya.
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan
dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan;
kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali
ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang
paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang
hanya seayah.
5

(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-
sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-
sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara,
tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali
nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
4. Dua orang saksi
Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah
radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.”
(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’
no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang
saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada
di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan
yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa
adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi
6

hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan
At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan
mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari
kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai
berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau
tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan.
5. Ijab dan qobul
Adanya ijab dan qabul merupakan rukun dari pernikahan. Adanya ijab dan
qabul ini merupakan hal yang menandai adanya akad pernikahan.
Ijab ini adalah lafadz yang diucapkan oleh wali atau orang yang
menggantikan wali. Sedang qabul adalah lafadz yang diucapkan oleh calon
suami atau wakilnya.
Contoh lafadz ijab: “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan
Fulanah”). atau contoh lafadz yang sering kita dengar digunakan di
Indonesia, "Saya nikahkan anda dengan ... binti .... dengan mas kawin
berupa cincin emas dibayar tunai"
Contoh lafadz qabul: “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat
Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”), atau contoh lafadz yang sering kita
dengar digunakan di Indonesia, "Saya terima nikahnya dengan ... binti .....
dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai"
7

Di dalam fiqh 'ala mazahibul 'arba'ah syarat Ijab-Qabul adalah:


1. Jika dengan lafadz yang khusus seperti ankahtuka atau zawwajtuka
2. Jika pengucapan Ijab-Qabul pada satu majlis
3. Jika tidak bertentangan antara ijab dan Qobul. Contohnya ketika seorang
wali mengatakan saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku dengan
mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai, lalu calon suami
menjawab saya terima nikahnya tapi saya tidak menyetujui mas kawin
tersebut.
4. Tidak boleh lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu. Kalau lafadz Ijab-Qabul
terbatas waktu maka hukumnya menjdi nikah mut'ah.
8

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Inilah rukun dan Syarat Pernikahan dalam Islam. Kita bisa lihat bahwa prosesi
atau persiapan pernikahan dalam Islam itu sangatlah mudah, karena
sesungguhnya pernikahan itu sesuatu yang dicintai Allah dan RasulNya, dan
merupakan jalan hidup (sunnah) Rasululllah Muhammad SAW.
9

DAFTAR PUSTAKA

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/rukun-dan-syarat-akad-
nikah/ diakses pada tanggal 26 Februari 2018 pukul 10.00 wib

https://www.bicarawanita.xyz/2017/02/rukun-nikah.html diakses pada tanggal 26


Februari 2018 pukul 11.00 wib

https://islamqa.info/id/2127 diakses pada tanggal 26 Februari 2018 pukul 12. wib

undang undang Republik Indonesia nomer 1 tahun 1974

“Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama


Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.

Anda mungkin juga menyukai