Anda di halaman 1dari 11

4.

a) Pengertian tanggung jawab negara jika merujuk pada Dictionary of Law adalah:
“Obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal
obligation under international law.”
Dari rumusan tersebut tanggung jawab negara dapat diartikan sebagai kewajiban untuk
melakukan perbaikan (reparation) yang timbul ketika suatu negara melakukan kesalahan
untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional. Sedangkan dalam
Black’s Law Dictionary hanya terdapat pengertian tanggung jawab secara sempit yaitu
answerability or accountability.
Sugeng Istanto memberikan pengertian terhadap tanggung jawab negara dengan
menggunakan istilah pertanggungjawaban negara. Menurutnya pertanggungjawaban
negara adalah kewajiban negara memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas
suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang
mungkin ditimbulkan.
Sebagaimana layaknya dalam sistem hukum nasional, dalam hukum internasional juga
dikenal adanya tanggung jawab sebagai akibat dari tidak dipenuhinya kewajiban-
kewajiban menurut hukum internasional.14Ada dua pengertian dari pertanggungjawaban
negara. Pertama yaitu pertanggungjawaban atas tindakan negara yang melanggar
kewajiban internasionalnya. Kemudian yang kedua yaitu pertanggungjawaban yang
dimiliki oleh negara atas pelanggaran terhadap orang asing.

b) Pendahuluan
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) nyatanya memberikan dorongan bagi
suatu negara untuk mengambil kebijakan yang ‘abnormal’ demi memutus mata rantai
COVID-19 (Bergkamp, 2020: 345), tak terkecuali di Indonesia. Dalam menghadapi
pandemi tersebut, akhirnya pemerintah menerbitkan satu paket aturan sebagai legitimasi
formil penanganan COVID-19, yakni Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut dengan KEPPRES
Kedaruratan Kesehatan), Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19 (selanjutnya
disebut dengan PP PSBB) yang sebenarnya menjadi tindak lanjut dari Pasal rumusan 15
Ayat (2) dan Pasal 56 Undang Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan (selanjutnya disebut dengan UU Kekarantinaan Kesehatan), dan Peraturan
Pemerintah Pengganti undang-undang No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan
Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Covid 19
Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian
Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Selanjutnya disebut dengan PERPPU No.
1 Tahun 2020). Tentu, terbitnya ketiga peraturan tersebut memberikan implikasi, salah
satunya PP PSBB yang memberikan legitimasi atas opsi yang dipilih oleh pemerintah
untuk memutus penyebaran COVID-19, yaitu opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar
(Disantara, 2020d). Opsi PSBB tentu menimbulkan konsekuensi kepada pemerintah, yaitu
tanggung jawab pemerintah atau negara kepada masyarakat dalam masa pandemi COVID-
19. Tanggung jawab negara terhadap masyarakat dalam pandemi COVID-19 sudah sangat
menjadi penting, mengingat bahwa rakyat merupakan ‘pemilik’ atas kedaulatan tertinggi
di Indonesia (Pasal 1 Ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945). Maknanya, segala aspek kekuasan pemerintah berasal dari rakyat. Hal ini
menunjukkan bahwa rakyat memiliki posisi yang prinsipil dan sentral dalam
keberlangsungan jalannya pemerintahan suatu negara.

Isi (Masalah dan Analisa)


- Tanggung Jawab Negara dalam Masa Pandemi COVID-19
Masa pandemi COVID-19 tentu memberikan pemerintah tanggung jawab atas
ketertiban, keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan masyarakat. Tanggung jawab
negara dapat kita lihat dalam alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Empat tanggung jawab diatas merupakan amanah
oleh para pendiri bangsa bagi para penyelenggaraan negara. Kemudian, telah kita ketahui
bersama, bahwa Indonesia merupakan negara yang berdiri berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat) bukan berdasarkan kekuasaan semata (Disantara, 2020a: 66). UUD NRI 1945
memiliki posisi yang prinsipil sebagai pedoman atas tata dan laksana kehidupan
kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, tak terkecuali menegaskan eksistensi
konsep negara. Hal tersebut telah ditegaskan pada Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 yang
berbunyi bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Implikasinya, segala tindakan
penyelenggaraan negara (termasuk PSBB) harus didasarkan atas instrumen hukum yang
bermuara pada tujuan negara, yakni melindungi dan mensejahterakan. Kebijakan PSBB
harus mencerminkan suatu keadilan sosial dalam segala aspek serta melindungi segenap
seluruh unsur bangsa. Meski PSBB menciptakan ekses yang besar dalam segala lini
kehidupan, negara tetap wajib memenuhi segala kebutuhan primer guna mencerminkan
penyelenggaraan, pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan publik yang prima
(Disantara, 2020b). Di sisi lain, tentu kebijakan tersebut dapat membatasi pergerakan
manusia. Harus dimengerti bahwa hadirnya PP PSBB tak lepas dari hadirnya KEPPRES
Kedaruratan Kesehatan dan UU Kekarantinan Kesehatan. PSBB merupakan salah satu
tindak lanjut dari status kedaruratan kesehatan masyarakat. Merujuk dalam Pasal 1 PP
PSBB, PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang
diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9).
Pertimbangan pelaksnaan PSBB meliputi enam unsur, yakni epidemologis, besarnya
ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, dan pertimbangan
ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Hal ini bermakna bahwa penerapan PSBB disuatu
daerah diperlukan pertimbangan yang holistik dengan melihat konsekuensi dan resiko dari
penerapan kebijakan tersebut.
- Pertanggungjawaban Negara dalam Ius Constituendum Keadaan Darurat
Penetapan status darurat di suatu negara dapat membuat pemerintah mengesampingkan
terlebih dahulu hak dan kewajiban yang berlaku pada kondisi normal (Gostin & Hodge,
2020: 1331). Dominasi pendekatan hukum darurat dalam masa pandemi COVID-19
menjadi hal yang lumrah (Shankar, 2018). Aspek prosedur dan substansi dalam
penyelenggaraan negara pada masa pandemi COVID-19 tentu juga berbeda dengan
penyelenggara negara dalam keadaan normal. Namun, tanggung jawab negara berkaitan
dengan perlindungan hak-hak prinsipil dari manusia sehendaknya tetap dilaksanakan
(Cornell & Salminen, 2018). Hal ini wajib diperhatikan mengingat tanggung jawab negara
merupakan hak konstitusional dari setiap warga negara yang telah dituangkan dalam UUD
NRI 1945. Lalu, bagaimana cara menegakkan kembali berkaitan dengan tanggung jawab
negara pada masa darurat maupun pada masa pandemi di masa mendatang ? Solusinya
adalah diperlukan suatu Umbrella Act terkait penetapan masa darurat. Apabila dikaitkan
dengan tanggung jawab negara, umbrella act dapat memberikan standar yang sistematis
atas bentuk pertanggungjawaban negara dalam masa darurat hukum. Pertanggungjawaban
tersebut harus dimaknai secara esensial (Reynolds, 2017: 98), sehingga norma tanggung
jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara bukan hanya sebatas hitam diatas putih
semata. Pertanggungjawaban merupakan salah satu bentuk kristalisasi dari perlindungan
hak asasi manusia dalam masa pandemi COVID-19. Hal tersebut merupakan prinsip dasar
atas tuntutan negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi setiap
orang. Dalam masa pandemi COVID-19, negara harus hadir dengan memberikan
pelayanan yang prima atas aspek kesehatan terhadap masyarakat. Bahkan, negara harus
mempersiapkan langkah-langkah strategis untuk mengatasi potensi timbulnya krisis di
segala lini. Perlindungan atas keamanan dari masyarakat juga merupakan salah satu cermin
dari pertanggungjawaban negara. Hal ini patut diperhatikan mengingat sangat terbuka
munculnya konflik horizontal maupun vertikal di antara masyarakat.

Kesimpulan
Penyelenggaraan praktik kenegaraan harus diwujudkan guna mencapai tujuan hukum
dan tujuan bernegara, sekalipun dalam masa Pandemi COVID-19. Oleh karena itu,
pemerintah harus tetap setia untuk hadir dalam kondisi apapun agar dapat memastikan
terpenuhinya hak-hak masyarakat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh berbagai
peraturan perundang-undangan baik nasional maupun internasional. Implikasinya,
pemerintah tidak dapat mengambil suatu kebijakan dengan tidak memperhatikan tanggung
jawab terhadap masyarakat atas pemenuhan hak-hak dasar selama masa Pandemi COVID-
19. Tanggung jawab secara moral maupun hukum kepada masyarakat harus tetap
dilakukan oleh pemerintah agar membentuk suatu penyelenggaraan pelayanan,
pemberdayaan, dan pembangunan publik yang prima dalam masa pandemi COVID-19.
Diperlukan suatu formulasi baru terkait pengaturan penetapan status darurat hukum di
masa yang akan datang, yakni dengan solusi umbrella act. Di sisi lain, hadirnya umbrella
act terkait penetapan status darurat hukum diharapkan dapat mempertegas hak dan
kewajiban pemerintah dalam masa darurat, khususnya dalam hal pertanggungjawaban
negara sebagai salah satu bentuk refleksi dari perlindungan hak asasi setiap manusia pada
masa darurat hukum.

Daftar Pustaka
- Marzuki, P. M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi (13th ed.). KENCANA.
- Reynolds, J. (2017). Empire, Emergency and International Law. Cambridge University
Press.
- Disantara, F. P. (2020b). Pancasila Juga Volksgeist, Tanya Kenapa ? In I. Ronaboyd &
F. P. Disantara (Eds.), Filsafat Hukum Pancasila (Suatu Kajian Filsafat, Hukum, dan
Politik) (pp. 63–68). Kreasi Cendekia Pustaka.
- Disantara, F. P., & Prasetio, D. E. (2020a). Nalar Hagemonik Perppu COVID-19.
http://www.gresnews.com/berita/opini/117983-nalar-hagemonik-perppu- covid-19/.
c) Teori dan Analisa
Selama masa pandemi Covid-19 ini, sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Inggris
dan Australia menyuarakan perlunya investigasi lebih jauh tentang pandemi virus corona
hingga ke titik asalnya. Berbagai spekulasi muncul misalnya tentang virus yang diduga
berasal dari laboratorium di Wuhan. Meski belum dapat dibuktikan, spekulasi semacam
itu menegangkan hubungan berbagai negara dengan China. Namun, tidak mudah meminta
China bertanggung jawab secara hukum atas pandemi ini. Di dalam konsep hukum
internasional, melakukan gugatan lintas yurisdiksi negara, apalagi terhadap negara
berdaulat tentu bukan suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak prinsip serta
prosedur hukum internasional yang berlaku. Secara umum cabang hukum internasional
dapat dibagi menjadi hukum perdata internasional dan hukum internasional public. Sesuai
prinsip sebuah negara berdaulat dapat memiliki fungsi peranan sebagai entitas perdata di
hukum internasional atau disebut dengan jure gestionis dan fungsi peranan organisasi
kekuasaan negara yang berdaulat atau jure imperii.
Dalam gugatan yang ditujukan kepada pemerintah China, para penggugat umumnya
memposisikan diri sebagai individu, atau kelompok yang menjadi korban lalu menggugat
pemerintah China sebagai entitas negara terhadap kesalahan yang dilakukan Pemerintah
dalam kapasitasnya sebagai otoritas kekuasaan negara jure imperii, dalam kata lain maka
penggugat menuntut kebijakan nasional yang dilakukan oleh pemerintah negara China
yang memiliki hak kedaulatan penuh atas hukum dan kebijakan nasionalnya. Hal ini
menjadikan gugatan tersebut terkesan absurd. Sekalipun jika gugatan tersebut kemudian
diwakili oleh Pemerintah Amerika Serikat, India ataupun Italia, gugatan tersebut juga tetap
menjadi suatu hal yang dengan mudah ditepis oleh Pemerintah China karena pertama
secara prinsip China memiliki kedaulatan untuk mendapat imunitas dari berlakunya
hukum asing terhadap pemerintah nya. Dan kedua pengadilan federal bukanlah tempat
yang tepat untuk mengadili perkara internasional karena pengadilan federal Amerika
Serikat maupun pengadilan nasional negara lain tidak memiliki locus standinguntuk
mengadili perkara internasional. Maka untuk itu perkara ini harus dibawa ke hadapan
forum internasional.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional, Universitas Indonesia
menegaskan, sebagai negara, China akan sulit diminta pertanggungjawabannya. Namun,
dunia dapat mempertanyakan transparansi para pejabatnya terkait pandemi ini.
Hikmahanto mengidentifikasi empat masalah besar yang akan mengganjal proses ini.
Keempat masalah itu adalah sulitnya mendapatkan bukti, lembaga peradilan yang akan
menyidangkan, jika ada putusan apakah bisa dieksekusi, dan terakhir jika ada eksekusi
atas aset pemerintah China yang mana. Secara rinci, Hikmahanto melanjutkan perihal
bukti yang tentu akan sulit diperoleh karena semua ada di China. Negara itu tentu tidak
akan mengizinkan siapapun masuk kesana, jika keperluannya untuk melakukan investigasi
kasus ini. masyarakat internasional dapat mempercayakan kepada PBB proses ini, tetapi
harus diingat bahwa China ada di Dewan Keamanan yang bisa saja mem-veto upaya ini.
Jika dibawa ke Majelis Umum PBB, masih harus ditanyakan juga siapa yang akan mau
melawan China. Dalam soal kedua, bila gugatan diajukan ke pengadilan suatu negara,
China akan menggunakan hak imunitasnya. Jika perkara dibawa ke International Court of
Justice atau Permanent Court of Arbitration, dibutuhkan persetujuan China sendiri untuk
prosesnya. Sedangkan jika ke International Criminal Court (ICC), masih ada pertanyaan
apakah pandemi ini merupakan kejahatan internasional. Kalaupun ada pengadilan kepada
China dan muncul putusan, lanjut Hikmahanto yang juga Rektor Universitas Jenderal
Achmad Yani ini, masih muncul masalah soal pelaksanaannya. Dalam konteks hukum
internasional, tidak ada lembaga yang lebih tinggi dari negara dan tidak ada lembaga yang
bisa memaksa negara.
Karena itu, salah satu yang bisa dituntut dari China adalah pertanggungjawaban moral.
Hikmahanto menyebut, salah satu caranya adalah bahwa China bertekad tidak akan
mengambil keuntungan finansial dari pandemi virus corona. Misalnya, perusahaan China
tidak boleh membeli saham perusahaan di negara lain yang harganya anjlok saat ini. Selain
itu, tanggung jawab moral juga bisa diwujudkan dalam bentuk bantuan mengatasi pandemi
bagi negara-negara terdampak.

Sumber pustaka
- https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ea91e9b9870e/dapatkah-china-digugat-
karena-lalai-dalam-mencegah-penyebaran-covid-19
- https://www.voaindonesia.com/a/mungkinkah-meminta-pertanggungjawaban-china-
atas-pandemi-corona-/5409652.html
6. COVID-19 telah meluluhlantakkan semua sendi dan pilar kehidupan dunia global. Di
seluruh belahan dunia mana pun tidak luput dari jangkauan global pandemi ini. Dihantam
dari berbagai sisi, nyatanya pandemi ini sukses mengubah jalur kehidupan dan pandangan
masyarakat dunia ke dalam satu status siaga dengan alarm peringatan gawat darurat. Banyak
sektor yang lumpuh akibat virus mematikan ini, di antaranya sektor pendidikan, politik, dan
yang paling dirasakan dampaknya adalah terletak pada sektor kesehatan, ekonomi, dan
pariwisata. Seperti yang sudah diketahui, COVID-19 pertama kali hadir di akhir tahun 2019
tepatnya di Wuhan, Tiongkok, dan mulai mengekstraksi global awal tahun 2021 hingga
sekarang. Tidak ada satu negara pun di dunia yang berhasil keluar dari kungkungan virus
corona ini, termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang memiliki sepuluh negara anggota di
dalamnya, secara total pun pasti merasakan guncangan yang terjadi akibat isu ini. Melihat
dari kaca global secara holistik, virus corona sudah menginfeksi jutaan masyarakat dunia
dengan Amerika sebagai pemegang kasus terbanyak sekitar lebih 30 juta, kemudian diikuti
Brazil dan India masing-masing di urutan kedua dan ketiga. Di Asia Tenggara, berdasarkan
data dari WHO per tanggal 4 April 2021, masyarakat yang terinfeksi sudah menyentuh
angka 2,92 juta jiwa. Dengan Indonesia sebagai peringkat pertama sebanyak lebih dari 1,5
juta jiwa disusul Filipina, Malaysia, Myanmar, dan Singapura sebagai lima peringkat
teratas. Menariknya, ditemukan nol kasus kematian dengan hanya 49 kasus yang terjadi di
negara Laos. Ini secara tidak langsung memberikan gambaran perbedaan secara numerik
juga menunjukkan kemampuan serta kecakapan masing masing negara dalam menangani
masalah ini.
Dari data di atas, bisa dilihat bahwa Amerika sebagai negara berkekuatan ekonomi
canggih pun ternyata tidak cukup mampu untuk membendung lajunya penyebaran virus ini.
Di sisi lain juga, China sebagai salah satu negara dengan perekonomian raksasa saingan
Amerika juga sebagai negara yang dari rahimnya “lahir” satu virus mematikan ternyata pun
demikian. Walaupun begitu, tidak bisa dimunafikan bahwa kedua negara super power ini di
Asia Tenggara peranannya sangat besar, khususnya dalam sektor perdagangan. Kita lihat di
Tiongkok, seperempat atau 25% nilai ekspor global dikuasai oleh Tiongkok dengan
persebaran ekspor hampir merata di semua kawasan global termasuk Asia Tenggara. Tetapi
mirisnya, virus corona yang melukai ekonomi Tiongkok berhasil menekan perekonomian
global dan setelah setahun lebih pandemi ini hadir, di tahun 2020 saja ekonomi global
menyusut hingga 1% dan ini diprediksi akan terkontraksi jauh lebih besar di tahun 2021
akibat dari adanya pembatasan ekonomi secara masif di seluruh dunia dan prediksi ini
nampaknya tidak meleset. Kita lihat di Asia Tenggara, geliat ekonomi tidak tumbuh
sehingga menyebabkan resesi yang hampir melanda semua negara di kawasan ini.
Penyebabnya adalah adanya pembatasan ekspor impor migas dan non-migas, penutupan
pariwisata, pengurangan jam operasi transportasi darat, laut, dan udara serta pemberlakuan
kebijakan karantina wilayah (lockdown) maupun PSBB berhasil memukul keras ekonomi
Asia Tenggara, terutama di sektor industri yang melibatkan interaksi fisik seperti
perdagangan ritel, rekreasi, perhotelan dan transportasi menjadi lumpuh total.
Di Indonesia, memasuki fase ekonomi terberat setelah resesi kali pertama terjadi di tahun
1998 dan sekarang kembali terulang. Dalam kalkulasinya, jika Tiongkok mengalami 1%
penurunan pertumbuhan ekonomi maka kemerosotan ekonomi yang terjadi di Indonesia
adalah 0,2%. Bisa dibayangkan jika semakin tinggi persentase penurunan ekonomi yang
terjadi di tiongkok maka ekonomi Indonesia akan semakin terpuruk. Pada kuartal kedua
2020 pertumbuhan ekonomi RI -5,32%, ini disebabkan oleh berkurangnya konsumsi rumah
tangga dan pembentukan modal tetap bruto yang -8,61% serta merosotnya nilai ekspor yang
berhasil menyentuh angka -11,6%. Tetapi, persentase ini dinilai lebih mending daripada
yang terjadi di negara-negara ASEAN lain. Filipina mencatatkan rekor resesinya di angka
yang cukup besar yaitu -9,8% pada kuartal kedua. Sama halnya dengan Thailand, walaupun
pemerintah sudah mengeluarkan stimulus bernilai $61 miliar dolar untuk membendung
dampak virus ini, tetapi nampaknya Thailand dinilai belum berhasil untuk mengurangi nilai
penurunan ekonominya yang berkisar pada angka -12,5%. Dan untuk pertama kalinya resesi
menimpa negara Singapura dengan nilai resesi fantastis sebanyak -42,9%. Sebagai negara
dengan nilai ekspor terbesar di Asia Tenggara tentu ini merupakan pukulan telak bagi
Singapura. Malaysia pun juga berada pada posisi kurang aman setalah diterjang nilai
penurunan ekonomi sebesar -16,5%, jauh memang di bawah Singapura tetapi Malaysia
harus tetap menyiapkan amunisi terbaiknya untuk bisa keluar dari resesi ini. Dari hampir
mayoritas negara di dunia mengalami resesi, ternyata hadir beberapa negara yang dapat
dikatakan kebal terhadap resesi. Bukan tanpa alasan, negara-negara ini berhasil mencatatkan
diri dan mempertahankan pertumbuhan ekonominya pada posisi yang cukup positif.
Kabar baiknya adalah bersama dengan Tiongkok, Vietnam adalah satu-satunya negara di
Asia Tenggara yang tetap berhasil tumbuh di saat negara-negara lain masuk ke dalam jurang
resesi. Pada kuartal III 2020, PDB Vietnam tumbuh sebesar 2,62% meningkat dari kuartal
sebelumnya yang hanya tumbuh 0.4%. Ini tentunya membawa angin segar pada proses
perbaikan ekonomi Asia Tenggara. Negara memang perlu melakukan kebijakan-kebijakan
terobosan yang bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi. Sekarang bisa dilihat, ekonomi
ASEAN sudah siap melompat ke arah pemulihan di tahun 2021 ini dengan diberlakukannya
kebijakan-kebijakan yang dinilai efektif untuk memajukan ekonomi regional. Seperti
penerapan kebijakan vaksin, kebijakan keringanan BEA masuk dan investment authority.
Bahkan dikutip dari riset yang dilakukan Oxford bahwa ekonomi ASEAN melonjak 6,2
persen di tahun 2021 ini. hal ini mengindikasikan bahwa ASEAN mampu untuk keluar dari
zona merah kemerosotan ekonomi menjadi kawasan yang kompetitif di dalam percaturan
ekonomi global sebagaimana yang tercantum dalam tujuan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) dan ASEAN Free Trade Area (AFTA).

Sumber Pustaka
- https://kumparan.com/rura-mabrurah/perdagangan-asia-tenggara-dalam-cengkeraman-
covid-19-menyerah-atau-melawan-1vUc594XAN1
- https://news.detik.com/berita/d-5575195/dari-6-negara-asean-konsumen-ri-paling-
optimis-ekonomi-pulih
7. Hukum Internasional memiliki dua konvensi internasional yang mengatur tentang anak
buah kapal yakni Konvensi International Labour Organization No. 188 tentang Work in
Fishing yang berlaku untuk semua awak kapal dan semua kapal penangkap ikan yang
terlibat dalam kegiatan penangkap ikan komersial dan Konvensi ketenagakerjaan maritim
(Maritime Labour Convention) 2006 tentang hak - hak pekerja yang bekerja pada sektor
kelautan dan persaingan yang adil bagi para pemilik kapal dalam industri perkapalan global.
Bahwa konvensi tersebut memberikan pengaturan, pedoman, dan ketentuan mengenai apa
itu awak kapal atau ABK dan hak-hak apa saja yang mereka punya serta perlindungan
terhadap hak-hak tersebut.
Hukum Internasional memiliki suatu peraturan hukum tentang kapal, dimana peraturan
itu dibuat agar terwujudnya ketertiban pelayaran baik nasional maupun lintas internasional.
Hukum Internasional mewajibkan setiap kapal yang berlayar di laut harus memiliki :
identitas yang jelas (aspek status hukum), Memenuhi syarat untuk dilayarkan (aspek
keselamatan) dan dijalankan oleh orang yang memiliki kompetensi untuk melayarkan kapal
(aspek pengawakan). Bahwa kententuan tersebut diatur dalam Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982 (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi dengan Undang Undang Nomor
17 Tahun 1985 sedangkan dalam hukum nasional tentang kapal diatur dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Bahwa pelayaran di dalamnya terdiri atas
angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan
perlindungan lingkungan maritime.
Tanggung jawab negara Indonesia dalam melindungi anak buah kapal yang ada pada
kasus terjadinya pelarungan ABK kewarganegaraan Indonesia di kapal milik perusahaan
Dalian Ocean Fishing Co. Ltd., bahwa terdapat kecelakaan, perdagangan manusia, tidak
terpenuhinya akan hak-hak anak buah kapal, dan terjadi tindak kekerasan lainnya. Melihat
hal tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan perlindungan terhadap ABK melalui
beberapa regulasi. Diantaranya adalah Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Bahwa UU tersebut
bertujuan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi, menjamin dan menlindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di Negara
tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia, meningkatkan kesejahteraan TKI dan
keluarganya (Pasal 33). Selain itu pemerintah dapat mengirimkan nota diplomatik melalui
wakilnya (diplomat) agar pemerintah China menjelaskan kenapa kasus ini bisa terjadi serta
agar dilakukannya penyelidikan tuntas terhadap kasus ini.
Saran saya agar pemerintah sebaiknya meratifikasi Konvensi ILO No. 188 tentang Work
In Fishing, melihat didalam konvensi ILO No.188 juga membahas lebih rinci tentang
perlindungan-perlindungan terhadap awak kapal yang juga disebut ABK (anak buah kapal)
yang bekerja di sektor perikanan. Konvensi ini dinilai dapat menggurangi pelanggaran-
pelangaran HAM yang masih banyak menimpa WNI (warga Negara Indonesia) dan agar
lebih optimalnya perlindungan hak asasi manusia khususnya kepada para anak buah kapal
(ABK) Indonesia yang bekerja di luar negeri. Selain itu pemerintah juga memperhatikan
pentingnya perolehan sertifikasi keahlian kerja, HAM dan jaminan lainya sehingga
mengurangi pelanggaran kemanusiaan dan ketidakadilan dalam bekerja, pemberian
pelayanan dan tanggungjawab yang terpadu oleh Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI terhadap calon TKI / TKI yang bekerja di luar negeri, kehadiran peran
pemerintah dalam pengawasan lapangan terhadap perjanjian kerjan laut atau kontrak kerja
untuk mewujudkan kepastian hubungan kerja. Dengan demikian pihak ABK Nelayan
memiliki posisi yang kuat, mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan awak kapal
lainya.
Pemerintah harus lebih teliti dan cermat dalam melakukan peran pengawasan terhadap
perusahaan penyalur agen TKI (pelaksana penempatan TKI swasta) dengan integrasi dalam
perizinan serta aktif melakukan koordinasi dan kolaborasi terhadap pihak terkait
perlindungan TKI. Bahwa dengan adanya agen illegal penyaluran TKI ke luar negeri
menyebabkan masifnya pelanggaran hak asasi manusia di kapal berbendera asing.

Anda mungkin juga menyukai