Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

BUDAYA KORPORAT DI ERA DIGITAL


Budaya Perusahaan Di Era Digital Berbasis Co-Creation-Innovation

MUHAMMAD AIMAN AZHARI


1910121052

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS FAJAR

2021
1

A. Latar Belakang
Digital transformasi adalah topik yang menjadi perhatian bagi banyak perusahaan dan
researcher yang berhubungan erat dengan perkembangan teknologi dan inovasi disrupsi.
Dampak dari berkembangnya teknologi digital menjadikan organisasi perusahaan
menghadapi ekosistem yang tidak pasti atau biasa dikenal dengan VUCA (volatile,
uncertainty, complex dan ambiguity). Mengapa dampak digital tenologi dan inovasi disrupsi
menyebabkan ketidak pastian? Scott Brinker (2016) dari Hubspot, secara khusus
mengemukan fenomena yang dikenal dengan “Martec Law”, menyatakan bahwa teknologi
memiliki pertumbuhan yang eksponensial jauh melebihi dari ketangkasan organisasi yang
cenderung bertumbuh secara logaritmik, seperti terlihat di Gambar 1. Transformasi
merupakan salah satu jawaban dari bagaimana organisasi perusahaan menyesuaikan
perubahan dengan melakukan secara logaritmik. Hal ini menyebabkan munculnya
kesenjangan antara perkembangan teknologi dan respon organisasi terhadap perubahan
tersebut. Untuk mengurangi kesenjangan tersebut, Brinker merekomendasikan agar
perusahaan dapat mengejar ketinggalan dalam marketing modern dengan melakukan inovasi
secara terus menerus dan tidak underestimate terhadap kapabilitas internal perusahaan atau
lebih dikenal dengan Inverse Lake Wobegon effect, hal kedua yang penting adalah secara
strategik memilih teknologi yang memiliki dampak signifikan terhadap perubahan,
mengembangkan organisasi yang memiliki ketangkasan, dan sejalan dengan prinsip
ambidexterity dan absorption capacity (Kranz, Hanelt, & Kolbe, 2016; Popadić, Černe, &
Milohnić, 2015), secara revolutioner melakukan reset organisasi dengan mengubah proses
rutin dan biasa menjadi poses yang luar biasa dan disruptive (Brinker, 2016).

Gambar 1. Martec Law


Source; Brinker (2016)

Keempat cara tersebut perlu dilakukan dalam upaya mengejar ketinggalan disamping
untuk mengantisipasi perubahan paradigma sebagai akibat timbulnya teknologi baru terutama
teknologi digital. Cap Gemini (2017) mengemukakan bahwa perubahan paradigma organisasi
berhubungan dengan perpseptif organisasi, cara kerja organisasi dan style dari kepemimpinan
(Gemini, 2017)

Gambar 2. Perubahan Organisasi di Era Digital dan disruptive


Source : Cap Gemini (2017)

Perubahan organisasi menyebabkan pergeseran persepsi organisasi dari yang berbasis


internal capability (Inside in-out) menuju ke organisasi yang memiliki perspsepsi dari luar ke
dalam (inside out-in). Dalam era disruptive ini, customer manjadi hal yang utama, berperan
dalam menciptakan organisasi yang adaptive terhadap perubahan. Kolaborasi, kreativitas dan
inovasi menjadi point yang utama berkaitan dengan nilai dari service tambahan yang
diberikan sebagaimana dengan konsep service dominant logic (Vargo & Lusch, 2004).
Kolaborasi di sisi digital saat ini menuju kearah co-creation kolaborasi dengan pelanggan
(Prahalad & Ramaswamy, 2004). Kreativitas dan inovasi ini dapat berdampak signifikan jika
perusahaan mampu menciptakan ekosistem digital inovasi dan kolaborasi. Faktor lain yang
mengalami paradigma baru adalah gaya kepemimpinan, dari gaya kepemimpinan yang
bersifat arahan satu arah menuju kepada kepemimpinan yang memiliki ketangkasan (agile)
mampu beradaptasi sesuai dengan perkembangan ke depan. Lingkungan digital juga
mengalami evolusi. Evolusi Digital merupakan proses yang tidak mudah, membutuhkan
konsistensi dan kerja keras dari seluruh sumber daya yang ada, sehingga untuk dapat
memastikan bahwa transformasi tersebut dapat berjalan sesuai dengan perencanaan
membutuhkan katalis dari nilai-nilai dasar suatu perusahaan atau biasa disebut dengan
budaya perusahaan.
Budaya Perusahaan merupakan faktor yang penting dari asset yang tidak berwujud
disamping aset tak berwujud lainnya seperti merek, intelektual property, R&D yang menjadi
keunggulan bersaing seperti studi yang dilakukan oleh Mc Kinsey (2016) terhadap 2.135
senior leader. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa komponen budaya dan perilaku
organisasi menjadi faktor utama dalam melakukan transformasi dibanding dengan faktor-
faktor yang lain seperti dapat dilihat pada Gambar 3. Penemuan lain adalah perusahaan yang
memiliki budaya yang kuat dapat dengan cepat merespon perubahan lingkungan dan
pelanggan
serta berani mengambil risiko yang lebih baik dari berbagai sisi dibanding perusahaan yang
tidak memiliki budaya.

Gambar 3. Budaya Perusahaan menjadi faktor penentu dalam trnasformasi digital


(McKinsey, 2017)

Mengingat begitu pentingnya budaya perusahaan, di dalam era digital yang menjadi
pertanyaan selanjutnya apakah perusahaan- perusahaan yang memerlukan corporate culture
di era digital disaat kolaborasi entrepreneur dan inovasi semakin konvergen dan tidak ada
pembeda dengan yang lain seperti pertanyaan riset yang dibahas oleh universitas MIT
(Michelman, 2017). Jika masih berpengaruh, maka faktor apa saja yang berpengaruh dalam
pembentukan budaya perusahaan di perusahaan Indonesia?

B. Definisi Digital Culture


Kata budaya berasal dari Bahasa latin “cultura” yang berarti “to cultivate” atau
membudidayakan. Budaya memiliki berbagai makna. Digital culture didefinisikan sebagai
penghubung atau katalis antara dunia nyata dengan dunia virtual (Rab, 2007). Dalam studinya
Rab menggunakan digital platform sebagai media untuk menguji digital culture pada
perusahaan dalam menciptakan layanan digital dan melakukan digitatisasi. Definisi lain,
digital culture adalah komplek set dari nilai atau kepercayaan, asumsi dan symbol yang
menjadi cara perusahaan dalam melakukan bisnis digital melalui kolaborasi, penciptaan
kreativitas dan inovasi melalui strategi digital (Martínez-Caro, Cegarra-Navarro, & Alfonso-
Ruiz, 2020). Sedangkan studi yang lain, mendefinisikan digital culture sebagai nilai yang
terintegrasi dalam berbagai fungsi perusahaan dan attribute individu yang mampu menangkap
peluang dan risiko bisnis (Wokurka, Banschbach, Houlder, & Jolly, 2016). Dalam paper ini
digital culture didefinisikan sebagai nilai atau belief dari pendekatan yang holistik dengan
memanfaatkan digital teknologi untuk menginterasikan perliaku dan mindset dari pelaku
organisasi dalam upaya menangkap peluang dari pelanggan, menciptakan inovasi, kreativitas
dan kolaborasi serta mitigasi risiko.
Digital culture merupakan hal yang tersulit bagi perusahaan namun menjadi faktor
yang signifikan dalam transformasi karena budaya merupakan proses yang berlangsung lama
menggali dari dasar yang paling dalam dari nilai-nilai perusahaan (tacit) yang melibatkan
seluruh komponen perusahaan untuk dapat membantu transformasi digital perusahaan.
(Gemini, 2017). Namun Digital culture bisa menjadi pembeda yang unik (distinctive
capability) jika format kerja dan cara dari organisasi digital menjadi kekuatan dari
perusahaan dalam memanfaatkan teknologi digital untuk mencapai tujuan perusahaan, karena
perusahan memiliki nilai dari artefak, sistem dan proses yang menjadi keunggulan kompetitif
(Guy, 2019; Harshak, Schmaus, & Dimitrova, 2013). Eksistensi Digital culture bisa dikenali
jika ada perubahan yang muncul dan mampu menciptakan perubahan dari budaya analog
menuju budaya digital seperti terlihat pada Tabel 1. Budaya bersifat abstrak dan tercipta
dalam situasi sosial dan organisasi yang akan sangat efektif berkaitan dengan kinerja.
Perusahaan yang memiliki kinerja baik, memiliki budaya perusahaan yang baik pula. (Schein,
2004)

Tabel 1. Pembanding budaya analog dan digital


(sumber: (Harshak et al., 2013; Hemerling, Kilmann, Danoesastro, Stutts, & Ahern, 2018)
Items Budaya Analog Budaya Digital
Customer dan • Push produk ke pasar • Pulls idea dari pasar
Demand • Ditentukan melalui pembelian dan supply • Ditentukan dari kastamer
Organisasi dan sdm • Hirarkhi yang kuat • Hirarkhi flat
• Pengambilan keputusan yang lambat • Pengambilan keputusan cepat
• Berorientasi pada proses dan tugas • Orientasi hasil dan produk
• Pekerjaan sudah terdefinisi (Jelas job desc) • Mendayagunakan (empowernment) karyawan untuk
mencapai tujuan
• Mengoptimalkan sumber daya yang ada • Bertumpu pada talent-talent digital
• Organisasi yang tetap • Agile organisasi
Attitude dan cara • Mengerti apa yang menjadi kebutuhan • Mengerti kebutuhan digital kastamer dan
kerja jangka panjang kastamer dan bagaimana bagaimana memberikan layanan baru
memenuhinya berdasarkan trend
• Berorientasi pada status quo, berdasarkan • Berorientasi pada inovasi, perbaikan dan
pada pembelajaran masa lalu, menerima mengatasi keterbatasan,
keterbatasan • Risk taker
• Risk averse • Fokus pada potensi, visio, rasa keingintahuan,
• Berpengalaman dan pada kondisi stabil motivasi, flexibilitas, dan adaptasi perubahan
• Tim campuran yang terdiri dari cross-fungsi
• Tim homogen, bekerja berdasarkan silo dan memiliki integresi komunikasi
-silo departemen • Kolaborasi yang kuat
• Mengoptimalkan sumber daya sendiri • Karier Cepat, tidak bisa diprediksi
• Kareer progressive dengan jalur karier yang • Fokus pada kecepatan launching dan pembelajaran
jelas
• Fokus pada perencanaan dan optimisasi

Dari Tabel 1. Kalo dilihat dari faktor utama perubahan berhubungan dengan manusia
mulai dari mindset, hati, DNA, dan juga perilaku dari individu, grup dan organisasi (Singh &
Atwal, 2019). Beberapa studi menyatakan bahwa pengembangan budaya digital tidak terlepas
juga dari pengembangan budaya lokal atu tradisional terutama untuk produk digital (Hartl &
Hess, 2017; Rab, 2007) disamping itu pengembangan dari budaya digital harus berdasarkan
apa yang menjadi kebutuhan kastamer ke depan (McKinsey, 2017; Wokurka et al., 2016)
untuk dapat menciptakan perilaku yang fokus pada customer innovative, agile, collaborative
(Microsoft, 2017; Leonardus W.Wasono Mihardjo, Sasmoko, Alamsyah, & Elidjen, 2019;
Mohebi, 2019; Wokurka et al., 2016), dengan beberapa prinsip (Gemini, 2017) sebagai
berikut;
(1) digital culture memastikan bahwa elemen utama dari kesinambungan usaha adalah
kastamer sehingga budaya yang diciptakan memungkinkan karyawan untuk memampukan
melakukan inovasi, mengembangkan ide dan kreativitas serta mengambil keputusan dengan
cepat. (2) kapabilitas budaya digital mampu menciptakan nilai tambah bagi perusahaan
melalui kemampuan ketangkasan perusahaan (agile) untuk dapat malakukan aliansi dan
kolaborasi dengan stakeholder di dunia digital yang secara alami memiliki prinsip-prinsip:
saling berinteraksi, berinterkoneksi, berkonvergensi (Rab, 2007). (3) Digital culture akan
efektif jika dibantu oleh kepemimpinan yang mampu memanaje secara transparan dan
kemampuan mengatasi kerentanan sehingga dapat dipercaya, dan memampukan sumber daya
manusia untuk yakin akan perubahan yang lebih baik melalui pendekatan top-down (4).
Budaya digital mampu mentransformasi kapabilitas sumber daya terutama karyawan untuk
memiliki mindset baru dalam mensuport transformasi perusahaan yang lebih agile,
innovative dan collaborative. Mengingat pentingnya budaya digital

C. Digital Culture sebagai sebuah katalis


Katalis dalam istilah kimia adalah suatu zat yang mempercepat laju reaksi reaksi kimia
tanpa terlibat dalam reaksi itu sendiri, jadi katalist berperan dalam reaksi tetapi bukan sebagai
pereaksi. Hal ini terjadi juga dalam budaya digital, budaya digital mempercepat reaksi
transformasi digital. Budaya digital masih penting diperlukan dalam upaya membantu
percepatan transformasi digital karena selain sebagai pembeda juga disusun dari akumulasi
nilai-nilai perusahaan termasuk nilai tradisional untuk menciptakan keunggulan bersaing
(Hemerling et al., 2018). Studi sebelumnya menunjukan bahwa perusahaan yang memiliki
performance yang baik, memiliki budaya yang baik pula (Martínez-Caro et al., 2020;
Leonardus W.Wasono Mihardjo, Sasmoko, Alamsyah, et al., 2019; Singh & Atwal, 2019).
Kinerja yang baik ini disebabkan adanya budaya perusahaan yang memampukan perusahaan
untuk fokus ke kastamer, memungkinkan perusahaan memiliki kapabilitas agile, innovative
dan collborative, ditambah dengan kepemimpinan yang kuat sehingga mampu mempercepat
proses transformasi digital (Kohnke, 2017). Keempat items tersebut menjadi kerangka
pembahasan budaya digital sebagai katalis, seperti dilihat pada Gambar 4.

Organisasi Customer-Centric Kelanjutan Usaha : Digital Transformasi


Menciptakan pengalaman pelanggan Agen-agen perubahan & visi yang jelas
Berorientasi pada co-creation KPI dan Insentif
Digitation dan berbasis data analisis Aktivasi budaya dan
Mindset dan DNA fokus ke pelanggan optimalisasi digital teknologi

Budaya Digital

Kapabilitas : Agile, Inovatif dan Kolaboratif Kepemimpinan Digital


Pemberdayaan karyawan Agile, inovatif dan kolaborasi
Pembinaan dan Pelatihan karyawan Pemimpin sebagai Role model
Digital Talent Berbasis pengetahuan dan keterbukaan
Sharing Informasi Visi yang jelas

Gambar 4. Kerangka Digital Budaya sebagai Katalis Transformasi


c.i. Budaya Digital dan Kastamer
Meskipun perusahaan menyatakan lebih memperhatikan ke kastamer terutama fokus
pada penciptaan pengalaman kastamer, sebagai bagian dari strategi perusahaan, namun
banyak perusahaan yang gagal karena tidak dibantu oleh lingkungan digital dan budaya
perusahaan yang kuat (Capgemini Consulting, 2017; Prince, 2018). Dengan teknologi digital
maka perusahaan dapat melayani kastamer dengan baik sesuai dengan standard global dalam
menciptakan pengalaman pelanggan baik secara online maupun offline (Bansal, 2018;
Leonardus W Wasono Mihardjo, Sasmoko, Alamsjah, & Elidjen, 2019). Perusahaan kelas
dunia seperti Amazon, Apple, Microsoft, Dell dan perusahaan digital lainnya menggunakan
teknologi digital untuk merespon permintaan pelanggan dan melakukan penyesuaian produk
dan layanan secara cepat serta menyediakan akses informasi sesuai dengan kebutuhan dan
keperluan pelanggan.
Budaya digital yang berbasis pada pelanggan tidak hanya akan menyediakan produk
dalam bentuk barang namun diatas dari barang tersebut terdapat dalam bentuk layanan.
Dengan adanya budaya digital tersebut, berkembang teori yang disebut dengan service
dominant logic (SDL) (Lusch & Nambisan, 2015; Vargo & Lusch, 2008). SDL
dikembangkan oleh Vargo dan Luch fokus pada penciptaan nilai yang terjadi dalam jaringan
di mana sumber daya dipertukarkan di antara banyak aktor dan tidak hanya fokus pada
barang yang dipertukarkan melainkan pada layanan diatas barang fisik yang diperjual-
belikan. Penciptaan nilai dari SDL bersifat dinamis dan berorentasi pada sistem dan
kolaborasi dengan stakeholder khususnya pelanggan atau biasa disebut dengan nilai co-
creation (Blaschke, Kazem Haki, Aier, & Winter, 2018; Grönroos, 2011; Ramaswamy,
2011). Dengan pendekatan budaya yang berfokus ke pelanggan melalui co-creation tersebut
maka penciptaan nilai dapat meminimalisasi risiko business dan mampu secara cepat
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di pasar. Dengan bekerjasama dengan pelanggan
sebelum produk di gelar di pasar sesuai mata rantai proses, dari ide, desain, implementasi,
produksi dan promosi, perusahaan dapat menimalisasi kegagalan dari produk dan dapat
dengan cepat melakukan perubahan sesuai masukan dari pelanggan.(Frow, Nenonen, Payne,
& Storbacka, 2015). Contoh implementasi budaya digital yang berbasis co-creation adalah
lego, AirBnB, Uber (Chen, Zhao, Wang, Huang, & Lee, 2017; Sawy, Amsinck,
Kraemmergaard, & Vinther, 2015). Hubungan yang erat antara perusahaan dan kastamernya
akan menciptakan “rasa memilik” dan cara pandang tersendiri bagi pelanggan terhadap
produk yang mereka ciptakan bersama.
Budaya digital yang didasarkan pada customer centric tidak saja berhubungan dengan
produk dan layanan namun yang paling utama berhubungan dengan integrasi budaya dari
berbagai elemen nilai perusahaan dan kompetensi utama dari transformasi yang sifatnya
lintas bisnis. Budaya yang berbasis customer-centric memunculkan perilaku aktor perusahaan
yang sejalan dengan pelanggan melalui proses interaksi dalam lingkungan yang dinamis yang
terintegrasi dalam data analitikal dalam big data. Data analitikal ini menjadi bagian yang
utama dalam menciptakan produk dan layanan yang sejalan dengan pelanggan dan
menciptakan agilitas dari perusahaan dalam menghadapi perubahan (Lin & Kunnathur,
2019).
Salah satu faktor kunci dalam pengembangan perilaku aktor dan organisasi yang
berbasis kastamer adalah pada Mindset karyawan dan manajemen (Durham, Fross, &
Rosethorn, 2019; Jantti & Hyvarinen, 2018). Mindset yang berorientasi pada pelanggan
dalam berbagai aktivitas baik di sisi operasional, hubungan dengan pelanggan, pelayanan,
komunikasi tergabung dalam single worktream yang disebut sebagai budaya perusahaan
akan memberikan manfaat yang
menguntungkan bagi pelanggan dan akan menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) dari
organisasi tersebut untuk dapat mempertahankan kelangsungan usaha (Karimi & Walter,
2015)

c.ii. Budaya Digital dan Kapabilitas Agile, Innovative. Collaborative


Budaya yang terbentuk dalam dunia digital seperti pada Table 1, adalah budaya
perusahaan yang selalu bersifat terbuka dan memiliki budaya sebagai perusahaan yang berani
mengambil risiko (Jacobi & Brenner, 2017). Ciri dari perusahaan di era digital adalah cepat
dalam pengambilan keputusan, kreatif dan innovative dan produktif sehingga memampukan
perusahaan untuk memiliki ketangkasan terhadap perubahan yang terjadi (Soon, Bellens, &
Webster, 2016). Budaya digital berlawanan dengan budaya analog yang menciptakan
kenyamanan bagi karyawan, Budaya digital harus bisa menjadi pemutusan dari status quo
dalam pengambilan keputusan, dan memampukan tidak hanya mengoptimalkan sumber daya
yang ada tapi mampu menciptakan inovasi dan berani mengambil risiko karena kesalahan
yang diperbuat dan belajar dari kesalahan tersebut. Oleh karena itu diperlukan penguatan dari
sisi kepemimpinan untuk dapat menghasilkan program kerja yang jelas dan terpercaya serta
mampu menciptakan keputusan yang bernilai. Disisi lain budaya digital ini dapat berjalan jika
ada pendelegasian dan pemberdayaan autoritas ke level hirarkhi di bawah. Untuk itu peran
pimpinan dalam melakukan pembinaan dan pelatihan ke karyawan dibawahnya sangat
penting untuk membantu manajemen dalam mencari jalan mencapai tujuan. .
Namun bagaimanapun, delegasi dan pemberdayaan karyawan kebawah akan berjalan
dengan lancar jika karyawan memiliki skill, mindset dan akses informasi (Durham et al.,
2019; Microsoft, 2017). Selain pembinaan dan pelatihan, percepatan pengembangan budaya
digital di perusahaan dapat diciptakan melalui prohire dari luar yang merupakan digital
talent yang mampu menciptakan cara berpikir yang disruptive dalam upaya menciptakan
inovasi-inovasi digital dan mempercepat proses adaptasi dengan perubahan lingkungan. Hal
ini dilakukan oleh perusahaan yang menggunakan digital sebagai bagian dari produk, seperti
starbuck mempekerjakan pimpinan level atas dan menengah dari perusahaan digital, Nike
menyiapkan Chief Digital Officer dan mempekerjakan karyawan dari perusahaan digital.
Pemberdayaan karyawan selain disisi penyiapan produk dan layanan, juga perlu
dilakukan disisi support, terutama yang berkaitan dengan pelanggan. Di sisi pelayanan
pelanggan, perlu pemberdayaan frontliner supaya berani mengambil risiko dan secara cepat
dapat memberikan solusi yang tepat ke kastamer. Dalam upaya menciptakan perilaku di
frontliner tersebut dukungan sistem informasi sangat lah perlu, tidak saja berupa sistem
informasi yang bersifat real time melainkan juga perlu adanya profiling, data, dan
profitabilitas pelanggan melalui big data yang akan membantu frontliner dalam mengambil
keputusan dan memitigasi risiko (Jantti & Hyvarinen, 2018). Dengan adanya support dari
sistem informasi dan data profiling pelanggan, frontliner baik secara online dan offline dapat
mengambil keputusan dalam menyelesaian keinginan pelanggan secara cepat, seperti
pemberian diskon dan insentif sehingga bisa menyelesaikan konflik dan menawarkan produk
lainnya ke palanggan. Dengan adanya pelayanan yang cepat, inovatif dan sesuai dengan
keinginan pelanggan mampu menciptakan pengalaman pelanggan.
Inovasi dan ketangkasan dalam mensikapi perubahan merupakan kunci dalam
pembentukan budaya digital. Satu lagi aspek penting dalam budaya digital adalah kolaborasi
(Lang & Shang, 2015). Dengan adanya teknologi digital maka memungkinkan individu dan
organisasi saling berinteraksi dan saling terhubung sehingga dapat melakukan kolabosasi
bersama. Kolaborasi internal melalui sharing informasi dapat meruntuhkan silo-silo
organisasi yang pada budaya analog sangat dominan mewarnai proses internal perusahaan.
Silo yang terjadi menjadikan pengambilan keputusan lambat, sehingga menyebabkan proses
perusahaan menjadi lama dan mahal. Jika proses silo ini diteruskan maka akan muncul juga
mindset dan perilaku silo di dalam Perusahaan, yang akan menjadi penghalang utama dalam
transformasi
digital. Dengan budaya digital yang mengutamakan kolaborasi antar unit dan berbasis pada
customer centric menjadi kekuatan besar bagi perusahaan untuk dapat mempertahankan
kelangsungan hidup. Dengan kekuatan kolaborasi dan sharing informasi tersebut menjadikan
karyawan memiliki pengetahuan tentang perusahaan yang luas sehingga mampu menciptakan
inovasi disruptive untuk meningkatkan daya saing perusahaan. (Rieple & Pisano, 2015).
Inovasi dari akibat kolaborasi ditambah dengan budaya yang fokus pada pelanggan,
menjadikan arah kolaborasi pada era digital mengarah pada co-creation, kolaborasi untuk
penciptaan nilai bersama mulai dari fase ide, desain, operasi sampai pada proses promosi,
pelayanan pelanggan dan paska pelayanan. Untuk dapat mempercepat kolaborasi berbasis
pelanggan tersebut peran dari data adalah sangat signifikan. Penggunaan big data dalam
menganalis data menjadi informasi mampu menyediakan informasi bersama sehingga dapat
menghilangkan silo yang terjadi sekaligus juga dapat menyediakan prediksi ke depan baik
layanan, produk atau kebutuhan apa yang dibutuhkan oleh pelanggan.

c.iii. Digital Culture dan Kepemimpinan


Teknologi digital mempercepat proses globalisasi, menciptakan industri baru yaitu
industri 4.0 yang berbasis pada pengetahuan sebagai basis dari produksi, sehingga pola dasar
organisasi akan bersifat terdistribusi dan lebih bersifat flat (berkurangnya hirarkhi) yang
menjadikan pengambilan keputusan bisa sangat cepat. Perubahan lingkungan yang lebih
komplek dan dinamis tersebut, menyebabkan gaya kepempinan, dan budaya perusahaan
mengalami pergeseran berbasis pengetahuan, berbasis pada cara pandang dari luar ke dalam
(inside out-in) atau menjadikan pengalaman kastamer memiliki flexibilitas dalam
menciptakan kapabilitas ketangkasan, inovasi dan kolaborasi. Kepemimpinan bergeser di era
digital yang lebih dikenal dengan digital leadership dengan pola dasar kepemimpinan yang
bersifat horisontal (flat) lintas fungsi mengingat sifat dari teknologi yang saling berhubungan,
berinterkoneksi, real time dan dinamis. Pola kepemimpinan di era digital harus mampu
memanfaatkan teknologi digital dalam proses pengambilan keputusan, disamping itu
kepemimpinan juga harus berbasis pengetahuan dan informasi yang cukup (R. Goethals,
Sorenson, & MacGregor Burns, 2004).
Digital leadership bersifat dinamis sejalan dengan inovasi teknologi dan dinamika
pasar yang berubah dengan cepat memerlukan kepemimpinan yang berani mengambil risiko,
bersifat adaptif, inovatif dan mampu menangkap peluang melalui kemampuan entrepreneur.
Mengingat 2 faktor utama yang menjadi karakteristik tersebut yaitu flekisbilitas dan fokus
lingkungan eksternal yang dinamis, Wokurka (2016) mendefinisikan pola dasar
kepemimpinan diera digital dalam empat matrik berdasarkan sumbu orientasi dan fleksibilitas
seperti terlihat pada Gambar 5.
Empat tipe kepemimpinan yang bisa terjadi di era digital ini yaitu sebagai berikut: (1)
budaya adhokrasi dengan kepemimpinan digital adalah kepemimpinan yang mampu
menciptakan lingkungan yang inovatif, entrepreneur, berani mengambil risiko dan adaptif
terhadap perubahan yang ada. Budaya dan kepemimpinan ini banyak ditemuai di start up dan
perusahaan digital. (2) Budaya yang berorientasi ke pasar, dengan gaya kepemimpinan yang
fokus ke hasil, berorientasi pada tujuan, di pimpin oleh pimpinan yang memiliki pengalaman
yang kuat di pasar dan fokus pada penetrasi pasar. Budaya dan gaya kepemimpinan ini pada
perusahaan swasta yang fokus pada retail dan distribusi. (3) Budaya klan yang mementingkan
kepentingan group dan klan lebih berorientasi pada kepentingan group. Gaya kepemimpinan
ini banyak ditemui pada perusahaan keluarga dan konglomerasi. (4) Budaya Hirarki yang
lebih
fokus pada control dan berorieintasi internal mengutamakan compliance dan governance. Tipe
budaya dan perusahaan lebih banyak dijumpai pada perusahaan milik negara dan daerah.

Gambar 5. Pola Dasar Kepemimpinan dan Budaya di era digital


Sumber : (Wokurka et al., 2016)

Tipe kepemimpinan digital yang berdasarkan adhockrasi berorientasi pada aksi


berdasarkan analisis dan rekomendasi dari pengolahan informasi tentang hubungan
perusahaan dengan pasar (Larjovuori & Bordi, 2018). Dengan adanya teknologi digital, maka
budaya perusahaan mampu menggerakan kapital sosial untuk dapat lebih berinovasi,
melakukan pembelajaran terhadap putusan dan melakukan aliansi dan kolaborasi (Baker,
2003). Cap Gemini (2017) merumuskan tujuh karakterk digital leadership yang menjadi
tolok ukur pimpinan di era digital yaitu: pimpinan yang mampu mendukung terciptanya (1)
customer centric, (2) tangkas dan flexible, (3) kolaborasi, (4) Inovasi, (5) budaya terbuka, (6)
digital mindset, dan (7) Orientasi pada data.
Salah satu kendala dalam implementasi adanya kesenjangan antara pimpinan dengan
karyawan perbedaan persepsi dimana karyawan tidak melihat bahwa perusahaan memiliki
budaya perusahaan, sedangkan di sisi pimpinan melihat bahwa perusahaan sudah
mengimplementasikan digital budaya (Capgemini Consulting, 2017). Perbedaan ini
dikarenakan karena pemimpin belum bisa melaksanakan peran sebagai role model sehingga
menyebahkan kendala dari sisi implementasi transformasi dalam mempercepat proses inovasi
dan kolaborasi. Kesenjangan yang muncul antara karyawan dan pimpinan muncul saat
lingkungan kerja yang menciptakan ketangkasan dan inovatif tidak diketemukan secara alami
oleh karyawan dalam proses, perilaku dan sistem perusahaan. Karyawan tidak menemukan
perilaku di perusahaan yang berani mengambil risiko dan toleransi terhadap kesalahan dalam
menciptakan mindset baru dalam mengkomersialkan layanan. Sedangkan di kacamata
pimpinan melihat dengan adanya pemberdayaan dan cara bekerja yang dibuat seperti start up
merupakan budaya digital.
Demikian pula kesenjangan dalam berkolaborasi. Hal ini disebabkan karena kurang
jelasnya visi perusahaan. Karyawan merasa dengan sistem dan cara kerja yang masih bersifat
hirarkhi berbasis pada masa lalu dan silo-silo yang ada, tidak muncul budaya kolaborasi
dalam perusahaan, sedangkan pimpinan merasakan dengan adanya pemberdayaan dan cara
bekerja seperti startup berarti perusahaan sudah memiliki budaya digital, Pimpinan masih
ingin memegang kekuasaan dengan mempertahankan hirarki meskipun di jajaran pimpinan
sudah mempromosikan kolaborasi dan pertukaran ide lintas fungsi dan departemen.
Karyawan adalah komponen yang utama yang membantu agenda digital budaya, sehingga
perlu pengembangan budaya melalui pengembangan budaya sehingga selain akan mengubah
mindset juga bisa menciptakan DNA digital pendekatan yang dilakukan harus melalui bottom
up dan top down.

c.iv. Digital Culture dan Digital Transformasi


Transformasi digital saat ini merupakan topik bahasan yang menjadi tren.
Transformasi digital merupakan proses perusahaan untuk dapat menciptakan paradigma baru
dari layanan sebelumnya menuju ke perusahaan digital. Transformasi digital pada dasarnya
merupakan satu kesatuan, dalam arti transformasi digital tidak akan berhasil jika tidak
didukung oleh budaya digital, demikian pula budaya digital tidak bisa tercipta kalo
transformasi tidak terjadi (Hemerling et al., 2018). Budaya digital mampu mendorong
pegawai untuk melihat kedepan apa yang menjadi kebutuhan dan tren kastamer. Budaya
digital memampukan pengambilan keputusan dapat terdiseminasi membaur melalui sistem
organisasi. Dengan budaya digital mampu mendorong terciptanya inovasi dan kreativitas
karena didukung oleh sistem, dan perilaku karyawan yang berani mengambil risiko, dan cepat
belajar dari kesalahan yang dibuat sehingga proses pengambilan keputusan cepat dan
senantiasa beriterasi untuk dapat mencari formula yang tepat sesuai dengan kondisi pasar dan
kastamer. Disamping itu budaya digital mampu menghancurkan silo-silo yang terjadi di
organisasi sehingga dapat menciptakan kolaborasi sistem yang transparent.
Keseluruhan dari penciptaan budaya digital adalah tercapainya kesinambungan usaha
melalui keberhasilan dalam transformasi digital. Pusat dari transformasi ini adalah individu
karyawan atau aktor yang menjadi media baik subject dan object dalam transformasi digital.
Beberapa langkah upaya yang bisa dilakukan oleh Perusahaan dalam upaya menciptakan
budaya digital dalam mempercepat proses transformasi digital, antara lain: (1) membentuk
agen-agen perubahan yang mengawal transformasi, (2) memperlakukan KPI yang
berhubungan dengan budaya dan transformasi digital (3) mengaktivasi budaya perusahaan
dalam sistem, perilaku dan cara kerja perusahaan, (4) melakukan kolaborasi lintas fungsi
dengan memanfaatkan teknologi digital, (5) menginvestasikan pelatihan digital ke karyawan,
(6) menciptakan visi, misi, dan program yang jelas.

D. Implementasi digital culture di Indonesia


Indonesia termasuk negara yang memiliki tingkat inovasi yang tinggi namun terkendala
dengan infrastruktur digital yang belum merata dan memiliki kecepatan data yang rendah.
Survey terhadap 60 negara Indonesia masuk kategori Break out dengan laju evolusi digital
yang tergolong cepat namun dari sisi laju pertumbuhan infrastruktur digital tergolong lambat
(Chakravorti & Chaturvedi, 2017). Dengan kondisi seperti ini banyak start up yang muncul di
Indonesia, sehingga banyak perusahaan di Indonesia yang pada saat ini sedang dalam taraf
melakukan transformasi digital. Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada
pertengahan 2019 terhadap 368 sample perusahaan teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) di Indonesia,
menemukan bahwa komponen budaya digital merupakan dimensi yang paling berpengaruh
dalam menciptakan kemampuan operasional yang menjadi pembeda di banding kompetitor
yang lain (Leonardus Wahyu Wasono Mihardjo, Sasmoko, Alamsjah, & Elidjen, 2019),
seperti terlihat pada Gamabar 6.

Kapabilitas operasional Pembeda

Budaya digital

Ketangkasan organisasi

Optimalisasi Aset

kepemimpinan digital

68% 70% 72% 74% 76% 78% 80%


Gambar 6. Kapabiltas operasional pembeda
(source; mihardjo et al, 2019)

Perusahaan-Perusahan pentahana di industri TIK menyadari bahwa untuk dapat


melakukan transformasi digital enabler yang paling utama adalah budaya digital, selanjutnya
diikuti dengan ketangkasan organisasi, optimalisasi aset dan kepemimpinan digital. Yang
menarik dari penemuan ini adalah masih berperannya strategi optimalisasi aset yang cukup
besar dibandingkan dengan kepemimpinan digital. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan
TIK di Indonesia masih bertumpu pada masa lampau yang bersumberkan dari legasi aset
yang sudah diinvestasikan.
Sebagai dampak dari optimalisasi aset yang cukup besar, dari penelitian tentang variabel
yang menjadi model bagi tranformasi digital dalam hal ini berhubungan dengan customer
experience, co-creation, business model innovation dan organisasi menunjukan bahwa
perilaku co-creation di kalangan perusahaan TIK di Indonesia masih dibawah kondisi
variabel yang lain. Hal ini menunjukan bahwa derajat organisasi perusahaan TIK masih
belum sepenuhnya mampu memperdayakan sumber daya yang ada dalam mendukung upaya
transformasi. Sejalan dengan legasi aset yang masih besar. Hasil penelitian terhadap variabel
yang mensupport transformasi dapat dilihat di Gambar 7.
Model transformasi yang sesuai dengan kondisi market di Indonesia terutama untuk
industri TIK berdasarkan penelitian tersebut, diketemukan bahwa co-creation dan business
model innvation menjadi moderating variable dalam mensupport tercapainya kinerja yang
transformational. Customer experience dan distinctive organisasi merupakan dependen
variable yang tidak dapat secara langsung mempengaruhi kinerja transformasional. Kedua
variable tersebut berpengaruh signifikan secara tidak langsung melalui business model
innovation dan co-creation.
Hasil penemuan ini membawa implikasi dalam pengembangan budaya digital di
Indonesia, perusahaan harus mampu menciptakan organisasi yang terbuka yang
memungkinkan seluruh karyawan dan pimpinan fokus pada penciptaan pengalaman
pelanggan, kreatif, inovatif dan mampu berkolaborasi untuk dapat menciptakan ketangkasan
organisasi dalam menghadapi perubahan.
Digital Transformation Variable

Distinctive organization

customer experience

business model innovation

co-creation

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%

Gambar 7. Variabel Transformasi Digital di Indonesia


(source: mihardjo et al, 2019)

Hasil penemuan ini membawa implkasi pada praktisi berhubungan dengan model
transformasi yang seusai dengan kondisi di Indonesia yang disebut dengan co-creation-
innovation model seperti terlihat pada Gambar 8.

(a) Model transformasi (b) Fase transformasi digital

Gambar 8. Model Co-creation-Innovation


(source: mihardjo et al, 2019)

Model co-creation innovation ini menekankan bahwa transformasi digital yang sesuai
dengan kondisi perusahaan di Indonesia bertumpu pada kolaborasi co-creation dan inovasi di
business model yang fokus pada pengalaman pelanggan dengan enablernya adalah perubahan
di organisasi. Penemuan lainnya adalah berhubungan dengan phase transformasi. Karena
masih kuatnya aset yang dimiliki oleh perusahaan di Indonesia, maka transformasi digital di
Indonesia harus dimulai dari transformasi yang berbasiskan kompetensi utama perusahaan.
Dalam industri TIK kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan adalah konektivitas maka
transformasi digital dimulai dari digital konektivitas sebelum kemudian secara perlahan
mengarah kepada layanan digital (digital service) sesuai dengan konsep service dominan
logic yang dikembangkan oleh Vargo dan Lucsh.
E. Penutup
Digital transformasi memberi pengharapan bagi semua pemangku usaha untuk dapat
memberikan bisnis dan nilai yang signifikan bagi kastamer dan organisasi namun banyak
gagal karena tidak kuatnya budaya perusahaan. Meskipun digital menjadikan industri
menjadi global, budaya digital masih diperlukan karena budaya tersebut tidak saja
memperhatikan budaya global namun juga terdapat budaya tradisional yang akan menjadi
pembeda bagi perusahaan dalam memberikan layanan dan produk ke kastasmer. Faktor -
faktor yang berperan dalam kesuksesan perusahaan dan transformasi yang berhubungan
dengan budaya, antara lain:
1. Seluruh pimpinan dan Managers perlu merumuskan strategi digital baik jangka pendek
dan panjang melalui transformasi digital dan merumuskan budaya digital untuk dapat
mempercepat proses transformasi..
2. Budaya digital menjadi elemen yang sangat penting dalam melakukan bisnis transformasi
dalam lingkungan yang dinamis dan komplek. Budaya digital mengintegrasikan nilai-
nilai, belief, perilaku yang disusun secara botom-up dan top down yang fokus pada
kastamer, menciptakan kapabilitas agile, inovatif, dan kolaborasi, dikomandoi oleh
kepemimpinan digital yang mendorong pemberdayaan dan peningkatan kompetensi dari
sumber daya untuk berani mengambil risiko dan menciptakan mindset dan jiwa
entreprenur dalam upaya mendorog percepatan transformasi digital.
3. Komponen utama dari budaya digital adalah manusia, baik dari sisi pimpinan maupun
karyawan. Kesenjangan antara pimpinan dan karyawan harus dapat disolusi dengan
segera sebagai bagian dari roadmap dari tranformasi digital. Dengan adanya budaya
digital mampu menghancurkan silo-silo yang terjadi sehingga tercipta kolaborasi antar
fungsi dan departemen. Dengan adanya kolaborasi dan sharing informasi maka cara kerja
dan nilai nilai lama dapat ditinggalkan.
4. Untuk dapat memastikan bahwa budaya digital dapat terimplementasi maka pimpinan dan
segenap karyawan bersama-sama mewujudkan implementasi dalam perilaku yang
kongkret. Pembentukan agen-agen perubahan sebagai bagian formal organisasi
perusahaan, penerapan KPI, aktivasi dan komunikasi budaya digital sebagai bagian dari
proses perusahaan, kolaborasi melalui media digital, dan peningkatan kompetensi digital
menjadi fondasi utama dalam transformasi digital.
5. Budaya digital menjadi faktor utama dalam transformasi digital di Indonesia. Dengan ada
budaya digital di Indonesia. Dengan budaya digital yang kuat dapat mendorong proses
transformasi bagi perusahaan di Indonesia yang menghadapi kendala dari lingkungan
digital terutama infrastruktur yang masih belum ideal. Dengan adanya budaya digital
memungkinkan perusahaan di Indonesia untuk fokus pada pengalaman pelanggan,
menciptakan inovasi melalui bisnis model dan kolaborasi melalui co-creation dengan
kastamer
6. Dari Penelitian terhadap perusahaan di Indonesia ditemukan bahwa saat ini kapabilitas
kolaborasi melalui co-creation masih jauh dibawah kapabilitas transformasi yang lain
seperti distinctive organisasi, customer experience dan inovasi bisnis model. Penelitian ini
menemukan bahwa model transformasi perusahaan TIK di Indonesia masih bertumpu
pada aset teknologi yang dimiliki sehingga model transformasi berbasis co-creation
inovasi di Indonesia harus bertumpu pada kompetensi utama dari masing-masing
Perusahaan.
.
Daftar Pustaka
Baker, W. (2003, September). Building collaborate relationships. Leader to Leader, 28(Spring), 11–15.
Bansal, S. (2018). Industry 5 . 0 – Next Generation Customer Experience Redefined ? Retrieved
from https://www.thedigitaltransformationpeople.com/channels/customer- engagement/industry-5-0-
next- generation-customer-experience-redefined/
Blaschke, M., Kazem Haki, M., Aier, S., & Winter, R. (2018). Value co-creation ontology-A service-
dominant logic perspective. MKWI 2018 - Multikonferenz Wirtschaftsinformatik, 2018-March, 398–
409.
Brinker, S. (2016). Martec’s Law: the greatest management challenge of the 21st century, Chief Marketing
Technologist. Retrieved from https://chiefmartec.com/2016/11/martecs-law-great-management-
challenge-21st-century/
Capgemini Consulting. (2017). Digital Transformation Review: The digital culture journey: all on Board
(Vol. 10.). Retrieved from https://www.capgemini.com/de-de/wp-
content/uploads/sites/5/2017/08/digital_transformation_review_10.pdf
Chakravorti, B., & Chaturvedi, R. S. (2017). Digital Planet 2017 How Competitiveness and Trust in
Digital Economies Vary Across the world, (July).
Chen, C.-D., Zhao, Q., Wang, J.-L., Huang, C.-K., & Lee, N. C. A. (2017). Exploring Sharing Economy
Success: Resource- Based View and the Role of Resource Complementarity in Business Value Co-
Creation. Twenty First Pacific Asia Conference on Information Systems. Retrieved from
http://aisel.aisnet.org/pacis2017%0Ahttp://aisel.aisnet.org/pacis2017%0Ahttp://aisel.aisnet.org/pacis
2017/169%0Ahttp://aisel.aisnet.org/pacis2017%0Ahttp://aisel.aisnet.org/pacis2017/169
Durham, T., Fross, T., & Rosethorn, H. (2019). Catalysts : The Cultural Levers of Growth in the Digital
Age.
Frow, P., Nenonen, S., Payne, A., & Storbacka, K. (2015). Managing Co-creation Design: A Strategic
Approach to Innovation. British Journal of Management, 26(3), 463–483.
https://doi.org/10.1111/1467-8551.12087
Gemini, C. (2017). Digital Age : The Quantum Leap of your Corporate Culture.
Grönroos, C. (2011). Value co-creation in service logic: A critical analysis. Marketing Theory, 11(3), 279–
301. https://doi.org/10.1177/1470593111408177
Guy, J. S. (2019). Digital technology, digital culture and the metric/nonmetric distinction. Technological
Forecasting and Social Change, 145(May), 55–61. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2019.05.005
Harshak, A., Schmaus, B., & Dimitrova, D. (2013). Building a digital culture - How to meet the challenge
of multichannel digitization. Originally Published by Booz & Company in 2013., 1–15.
Hartl, E., & Hess, T. (2017). The role of cultural values for digital transformation: Insights from a delphi
study. AMCIS 2017 - America’s Conference on Information Systems: A Tradition of Innovation,
2017- August, 1–10.
Hemerling, J., Kilmann, J., Danoesastro, M., Stutts, L., & Ahern, C. (2018). It’s Not a Digital
Transformation Without a Digital Culture. Boston Consulting Group. Retrieved from
https://www.bcg.com/publications/2018/not-digital-transformation-without-digital-culture.aspx
Jacobi, R., & Brenner, E. (2017). How large corporations survive digitalization. In Digital Marketplaces
Unleashed (pp. 83–97). https://doi.org/10.1007/978-3-662-49275-8_11
Jantti, M., & Hyvarinen, S. (2018). Exploring Digital Transformation and Digital Culture in Service
Organizations. In 2018 15th International Conference on Service Systems and Service Management,
ICSSSM 2018 (pp. 1–6). IEEE. https://doi.org/10.1109/ICSSSM.2018.8465007
Karimi, J., & Walter, Z. (2015). The role of dynamic capabilities in responding to digital disruption: A
factor- based study of the newspaper industry. Journal of Management Information Systems, 32(1),
39–81. https://doi.org/10.1080/07421222.2015.1029380
Kohnke, O. (2017). It’s Not Just about Technology: The people side of digitization. In Shaping the Digital
Enterprise (pp. 69–91). Springer, Waldorf. https://doi.org/10.1007/978-3-319-40967-2
Kranz, J. J., Hanelt, A., & Kolbe, L. M. (2016). Understanding the influence of absorptive capacity and
ambidexterity on the process of business model change – the case of on-premise and cloud-
computing
software. Information Systems Journal, 26(5), 477–517. https://doi.org/10.1111/isj.12102
Lang, K., & Shang, R. (2015). Consumer Co-creation of Digital Culture Products : Business Threat or New
Opportunity ? Consumer Co-creation of Digital Culture Products : Business Threat or
New Opportunity ? Journal of Association for Information Systems, 16(9), 766–798.
Larjovuori, R., & Bordi, L. (2018). Leadership in the digital business transformation. In proceeding on
22nd International Academic Mindtrek’18 (pp. 1–10). https://doi.org/10.1145/3275116.3275122
Lin, C., & Kunnathur, A. (2019). Strategic orientations, developmental culture, and big data capability.
Journal of Business Research, 105(November 2018), 49–60.
https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2019.07.016
Lusch, R. F., & Nambisan, S. (2015). service Innovation: a service dominant logic perspective. MIS
Quarterly, 39(April), 155–175.
Martínez-Caro, E., Cegarra-Navarro, J. G., & Alfonso-Ruiz, F. J. (2020). Digital technologies and firm
performance: The role of digital organisational culture. Technological Forecasting and Social
Change, 154(February), 119962. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2020.119962
McKinsey. (2017). Culture for a digital age. McKinsey, 94(4), 96–105. Retrieved from
https://www.mckinsey.com/business-functions/digital-mckinsey/our-insights/culture-for-a-digital-
age
Michelman, P. (2017). The end of corporate culture as we know it. MIT Sloan Management Review, 58(4),
1. https://doi.org/10.7551/mitpress/11645.003.0012
Microsoft. (2017). Creating a culture of digital transformation Contents.
Mihardjo, Leonardus W.Wasono, Sasmoko, Alamsyah, F., & Elidjen. (2019). Boosting the firm
transformation in industry 5.0: Experience-agility innovation model. International Journal of Recent
Technology and Engineering, 8(2 Special Issue 9), 735–742.
https://doi.org/10.35940/ijrte.B1154.0982S919
Mihardjo, Leonardus W Wasono, Sasmoko, S., Alamsjah, F., & Elidjen, E. (2019). The influence of digital
customer experience and electronic word of mouth on brand image and supply chain sustainable
performance. Uncertain Supply Chain Management, 7, 691–702.
https://doi.org/10.5267/j.uscm.2019.4.001
Mihardjo, Leonardus Wahyu Wasono, Sasmoko, Alamsjah, F., & Elidjen. (2019). Co-Creation Innovation
Transformational Model : Praktik di Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi. (Telin, Ed.) (1st
ed.). Jakarta: Telin Telkom.
Mohebi, L. (2019). Educational Leadership and Digital Culture. SSRN Electronic Journal, 1–18.
https://doi.org/10.2139/ssrn.3419519
Popadić, M., Černe, M., & Milohnić, I. (2015). Organizational Ambidexterity, Exploration, Exploitation
and Firms Innovation Performance. Organizacija, 48(2). https://doi.org/10.1515/orga-2015-0006
Prahalad, C. K., & Ramaswamy, V. (2004). Co-creation experiences: The next practice in value creation.
Journal of Interactive Marketing, 18(3), 5–14. https://doi.org/10.1002/dir.20015
Prince, K. (2018). Digital Transformation and Corporate Culture Change. In sia Pacific Decision Science
Institute 23rd International Conference, 16-20 July 2018, Bangkok, Thailand. (Vol. 0, pp. 1–18).
R. Goethals, G., Sorenson, G., & MacGregor Burns, J. (2004). Leadership in the digital age. In
encyclopedia of Leadership (pp. 1–2120). Sage Publications, Inc.
Rab, Á. (2007). Digital culture – Digitalised culture and culture created on a digital platform. Information
Society From Theory to Political Practice. Retrieved from
http://www.ittk.hu/netis/doc/ISCB_eng/11_Rab_final.pdf
Ramaswamy, V. (2011). It’s about human experiences...and beyond, to co-creation. Industrial Marketing
Management, 40(2), 195–196. https://doi.org/10.1016/j.indmarman.2010.06.030
Rieple, A., & Pisano, P. (2015). Business Models in a New Digital Culture: The Open Long Tail Model.
Symphonya. Emerging Issues in Management, (2), 75–88.
https://doi.org/10.4468/2015.2.06rieple.pisano
Sawy, O. A. El, Amsinck, H., Kraemmergaard, P., & Vinther, A. L. (2015). Building the Foundations and
Enterprise Capabilities for Digital Leadership: The Lego Experience.
Schein, E. H. (2004). Organizational culture and leadership (3rd editio). San Francisco: jossey-Bass A
Wiley Imprint.
Singh, Y., & Atwal, H. (2019). Digital Culture –A Hurdle or A Catalyst in Employee Engagement.
International Journal of Management Studies, VI(1(8)), 54. https://doi.org/10.18843/ijms/v6i1(8)/08
Soon, L. N., Bellens, J., & Webster, I. (2016). Managing change and risk in the age of digital
transformation.
Ey. Retrieved from http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/EY-managing-change-and-risk-in-
the-age-of-digital-transformation/$FILE/EY-managing-change-and-risk-in-the-age-of-digital-
transformation.pdf
Vargo, S. L., & Lusch, R. F. (2004). Evolving to a New Dominant Logic for Marketing. Journal of
Marketing, 68(1), 1–17. https://doi.org/10.1509/jmkg.68.1.1.24036
Vargo, S. L., & Lusch, R. F. (2008). Service-dominant logic: Continuing the evolution. Journal of the
Academy of Marketing Science, 36(1), 1–10. https://doi.org/10.1007/s11747-007-0069-6
Wokurka, G., Banschbach, Y., Houlder, D., & Jolly, R. (2016). Digital Culture: Why Strategy and Culture
should Eat Breakfast Together. Shaping the Digital Enterprise: Trends and Use Cases in Digital
Innovation and Transformation. https://doi.org/10.1007/978-3-319-40967-2

Leonardus Wahyu Wasono Mihardjo mihardjo@gmail.com

ChapterBook-BudayaDigital.pdf2.pdf

Anda mungkin juga menyukai