Anda di halaman 1dari 5

Biozonasi Formasi Kebo Bagian Bawah Jalur Kalinampu-Sendangrejo,

Bayat Klaten Jawa Tengah

Dian Novita1, Didit hadi Barianto2, Moch Indra Novian2, Budianto Toha 2
1)
Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada;
email: dn.diannovita@gmail.com
2)
Dosen Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No. 2
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Sari
Penelitian mengenai Formasi Kebo telah banyak dilakukan. Akan tetapi penelitian yang berfokus
kepada biozonasi Formasi Kebo bagian bawah belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kandungan fosil foraminifera planktonik yang terdapat pada Formasi Kebo bagian bawah
dan kemudian dilakukan pembagian biozonasi berdasarkan kandungan fosil yang ada. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa jalur Kalinampu-Sendangrejo terbagi menjadi 13 biozonasi dengan kisaran umur
P11 (Eosen Tengah) hingga N5 (Miosen Tengah).

Kata kunci : Formasi Kebo bagian bawah, biozonasi, foraminifera planktonik.

Pendahuluan
Formasi Kebo merupakan salah satu formasi penyusun Mandala Pegunungan Selatan. Secara umum
batuan penyusunnya di dominasi oleh sedimen hasil aktivitas vulkanisme. Penelitian mengenai foraminifera
khususnya pada Formasi Kebo bagian bawah belum banyak dilakukan. Dilatarbelakangi hal tersebut, peneliti
melakukan penelitian mengenai foraminifera kecil di daerah Kalinampu dan Sendangrejo (gambar 1). Pemilihan
jalur di daerah tersebut dianggap mampu mewakili bagian dari Formasi Kebo bagian bawah karena terletak
paling dekat dengan lava bantal Nampurejo yang dianggap sebagai alas dari Formasi Kebo bagian bawah serta
lapisan di jalur tersebut tersingkap dengan sangat baik dan mudah diikuti kemenerusannya. Maksud dari
penelitian ini adalah melakukan analisa kandungan fosil foraminifera planktonik pada Formasi Kebo bagian
bawah jalur Kalinampu-Sendangrejo secara urut dari lapisan batuan tua ke arah batuan termuda. Dari hasil
kandungan foraminifera planktonik yang diketahui dapat ditentukan biozonasi dari jalur tersebut untuk
mengetahui umur batuan penyusun Formasi Kebo bagian bawah di daerah penelitian. Foraminifera bentonik
digunakan untuk mengetahui lingkungan pengendapan dari daerah penelitian.

Metode Penelitian
Penelitian menggunakan data lapangan baik yang diambil langsung di lapangan ataupun hasil analisa
laboratorium. Pengambilan data lapangan dengan melakukan pengukuran stratigrafi (measured section) untuk
dapat mendokumentasikan perlapisan batuan di lapangan. Pengukuran stratigrafi menggunaan teknik tongkat
Jacob sehingga tidak perlu dilakukan koreksi. Dari hasil dokumentasi lapisan batuan di lapangan dapat
ditentukan titik yang representatif untuk diambil sampel batuan yang akan dianalisa paleontologi Sampel
paleontologi diambil dari lapisan batuan yang berbutir halus dan beberapa dari batuan berbutir kasar yang
kemudian diayak untuk mendapatkan fosil foraminifera kecil. Untuk pengambilan sampel paleontologi
digunakan interval 1,5 meter. Akan tetapi karena kandungan fosil hanya melimpah di bagian bawah dari jalur
pengukuran pengambilan sampel paleontologi dimaksimalkan pada lapisan bagian bawah jalur pengukuran yang
kaya akan kandungan foraminifera kecil.

Hasil dan Pembahasan


A. Biozonasi jalur Kalinampu-Sendangrejo
Jalur Kalinampu-Sendangrejo memiliki ketebalan sedimen kurang lebih 40 meter. Dari 40 meter terambil 33
conto ayakan paleontologi. 14 conto batuan mengandung fosil sementara sisanyaa tidak terdapat kandungan
fosil. Jalur pengukuran terbagi menjadi 13 biozonasi (gambar 3). Bagian terbawah merupakan zona kisaran
sebagian Globigerinatheka subconglobata curryi. Disebandingkan dengan zonasi Blow, zona ini memiliki
kisaran umur (P11). Batas bawah dari zona ini tidak diketahui sedangkan batas atas dari zona ini dicirikan
dengan akhir kemunculan dari Globigerinatheka subconglobata curryi (Proto Decima & Bolli). Zona ini dimulai
dari awal lintasan hingga interval 0,85 meter. Selanjutnya adalah zona kisaran utuh Morozovella lehneri.
Disebandingkan dengan zonasi Blow maka umur zona ini adalah P12 Zona ini ditentukan oleh kehadirian fosil
penciri berupa Morozovella lehneri (Chusman & Jarvis). Disebut zona kisaran karena dibatasi oleh awal dan
akhir kemunculan dari fosil Morozovella lehneri (Chusman & Jarvis). Zona ini dimulai dari interval 0.85 meter
hingga interval 2.67 meter. Ketiga adalah zona kisaran Globigerinatheka Mexicana kugleri-Globigerinatheka
s.subconglobata. Disebandingkan dengan zonasi Blow zona ini berumur P13. Pada bagian bawah dibatasi oleh
akhir kemunculan Globigerinatheka mexicana kugleri (Bolli, Loeblinch & Tappan) dan dibagian atas dibatasi
oleh akhir kemunculan Globigerinatheka subconglobata-subconglobata (Shutskaya). Zona ini dimulai dari
interval 2.67 meter hingga 3.56 meter. Fosil yang paling melimpah adalah species Globigerinatheka index-index
(Finlay). Keempat adalah zona kisaran Globigerina medizzani-Planorotalites pseudoscitula. Disebandingkan
dengan zonasi Blow, umur dari zona ini adalah P14 awal . Zona ini dimulai pada interval 3.56 hingga interval
4,33 meter. Pada bagian bawah dibatasi oleh awal kemunculan Globigerina medizzani (Tourmakine & Bolli)
sedangkan batas atasnya dibatasi oleh akhir kemunculan Planorotalites pseudoscitula (Glaesner). Species fosil
paling melimpah berupa Globigerinatheka index-index (Finlay),. Kelima merupakan zona kisaran utuh
Globigerina sennii. Disebandingkan dengan zonasi Blow, zpna ini memiliki kisaran umur P 14 akhir. Zona ini
dimulai dari interval 4,35-5,2 meter. Zona ini dibatasi oleh kemunculan awal dan kemunculan akhir dari
Globigerina sennii (Beckmann). Keenam adalah zona kisaran Globigerina senni-Globigerinatheka m.mexicana.
Disebandingkan dengan zonasi Blow, zona ini memiliki kisaran umur P15/16. Zona ini dimulai pada interval
5,21-5.63 meter. .Zona ini pada bagian bawah dibatasi oleh akhir kemunculan Globigerina sennii (Beckman)
sedangkan batas atasnya dibatasi oleh awal kemunculan Globigerinatheka m.mexicana. Fosil penciri berupa
Globigerina eocaena (Guembel) yang sangat melimpah. Ketujuh adalah zona kisaran T.cerroazulensis
possagnoensis pomeroli transition-Globigerina yeguensis. Zona ini dimulai pada interval 5.64-6.01 meter.
Disebandingkan dengan zonasi Blow, zona ini memiliki umur P16/17. Pada bagian bawah zona ini dibatasi oleh
akhir kemunculan dari T.cerroazulensis possagnoensis pomeroli transition (Bolli) sedangkan batas atasnya
berupa awal kemunculan dari Globigerina yeguensis (Weinzierl & Applin). Kedelapan adalah zona kisaran
Globigerina yeguensis-Globorotalia opima nana. Disebandingkan dengan zonasi Blow, zona ini memiliki umur
P18/19 . Zona ini dimulai pada interval 6.02-6.23Pada bagian bawah zona ini dibatasi oleh awal kemunculan
Globigerina yeguensis (Weinzierl & Applin) dan pada bagian atas dibatasi oleh awal kemunculan Globorotalia
opima nana (Bolli).Kesembilan adalah zona kisaran sebagian Globigerina ampliapertura-Globorotalia
venezuelana. Disebandingkan dengan zonasi Blow, zona ini memiliki umur P20/N1. Zona ini dimulai pada
interval 6.24-6.62 meter. Bagian bawah zona ini ditandai dengan awal kemunculan Globigerina ampliapertura
(Bolli) sedangkan batas atasnya dibatasi oleh awal kemunculan Globorotalia venezuelana (Hedberg). Kesepuluh
adalah zona kisaran utuh Globorotalia opima-opima. Fosil ini merupakan indeks umur P21/N2 . Zona ini
dimulai pada interval 6.63-7.12 meter. Zona ini dibatasi awal dan akhir kemunculan dari Globorotalia opima-
opima (Bolli). Kesebelas adalah zona kisaran Globorotalia opima-opima-Globigerina ciperoensis
anguliosuturalis. Zona ini dimulai pada interval 7.13 meter hingga 26.42 meter. Disebandingkan dengan zonasi
Blow, umur dari zona ini adalah P22/N3. Zona ini pada bagian bawah dibatasi oleh akhir kemunculan
Globorotalia opima-opima (Bolli) dan dibagian atasnya dibatasi oleh awal kemunculan Globigerina ciperoensis
anguliosuturalis (Bolli). Selanjutnya adalah zona kisaran utuh Globigerinoides primordius. Disebandingkan
dengan zonasi Blow, zona ini berumur N4. Zona ini dimulai pada interval 26.43-28.03 meter. Zona ini
merupakan kisaran utuh dari Globigerinoides primordius (Blow & Banner). Terakhir adalah zona kisaran
Globigerina binaensis-Globigerina venezuelana. Disebandingkan dengan zonasi Blow, zona ini berumur N5.
Zona ini dimulai pada interval 28.04-30.14 meter. Zona ini dibatasi oleh awal kemunculan Globigerina binaensis
(Koch) pada bagian bawah dan akhir kemunculan Globigerina venezuelana (Hedberg) pada bagian atas.
B. Perbandingan hasil penelitian dengan peneliti terdahulu
Formasi Kebo-Butak telah banyak diteliti oleh peneliti sebelumnya. Sumarso dan Ismoyowati pada tahun 1975
telah mempublikasikan tulisan ilmiah mengenai kandungan foraminifera kecil pada Formasi Kebo-Butak. Hasil
penelitain tersebut menyebutkan bahwa Formasi Kebo-Butak menumpang secara tidak selaras diatas Formasi
Wungkal-Gamping. Dari kandungan foraminifera planktonik, Sumarso dan Ismoyowati membagi Formasi Kebo-
Butak menjadi 4 zonasi, yaitu : zona Globorotalia opima-opima (N2), zona Globigerina binaensis (N3), zona
Globigerinoides primordius (N4) dan zona Globigerinita dissimilis (N5). Surono (2008) menyebutkan bahwa
lava bantal Nampurejo merupakan alas bagi sedimen penyusun Formasi Kebo. Dating umur yang dilakukan pada
lava bantal Nampurejo menghasilkan kisaran umur 33 juta tahun yang lalu. Dating umur yang dilakukan pada
sedimen penyusun Formasi Kebo-Butak menunjukkan kisaran umur 21-26 juta tahun yang lalu. Dari data
tersebut disimpulkan oleh Surono bahwa antara lava bantal Nampurejo dan sedimen penyusun Formasi Kebo
memiliki hubungan yang tidak selaras. Hasil berbeda di hasilkan dari penelitian ini. Dari hasil biozonasi yang
dilakukan pada jalur Kalinampu-Sendangrejo diperoleh zonasi yang menunjukkan kisaran umur P11-N5 atau
antara Eosen Tengah hingga Miosen Awal. Hal ini mengindikasikan bahwa sedimen penyusun Formasi Kebo
bagian bawah telah mulai terbentuk sejak kala Eosen Tengah. Data ini sangat berbeda dari penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya yang menyebutkan bahwa sedimen penyusun Formasi Kebo mulai terendapkan pada Kala
Oligosen Awal. Hal ini memiliki implikasi yang luas sebab Formasi Kebo-Butak dianggap sebagai seri awal
batuan vulkanik yang menjadi penanda mulai aktifnya kegiatan vulkanisme di cekungan Pegunungan Selatan
pada kala Oligosen Akhir. Jika dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan maka kegiatan vulkanisme di
cekungan Pegunungan Selatan telah aktif jauh sebelum kala Oligosen Akhir, yaitu sudah mulai aktif pada kala
Eosen Tengah. Hal ini diperkuat dengan bukti petrografi yang memperlihatkan sayatan batuan yang diambil dari
beberapa titik jalur pengukuran memperlihatkan komposisi material piroklastik primer berupa abu vulkanik
(gambar 2).

Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa :
1. Jalur penelitian terbagi menjadi 13 biozonasi yang memiliki kisaran umur P11 (Eosen Tengah) hingga
N5 (Miosen Tengah)
2. Aktivitas vulkanisme di cekungan Pegunungan Selatan mulai aktif sejak kala Eosen Tengah.
3. Lava bantal Nampurejo bukan merupakan alas bagi sedimen penyusun Formasi Kebo bagian bawah
karena hasil analisa paleontologi menunjukkan bahwa sedimen penyusun Formasi Kebo bagian bawah
memiliki umur yang lebih tua dari hasil dating umur yang dilakukan pada lava bantal Nampurejo.

Daftar Pustaka
Bakosurtanal, 1999, Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Lembar Cawas, Skala 1: 25.000, Bogor.
Bolli,H.M; J.B.Saunders, & K.Perch-Nielsen, 1985, Plankton Stratigraphy, Cambridge University Press,
London, hal 90 & 160.
Bothe, A.Gh. D., 1929, The Geology of The Hilles Near Djiwo and the Sothern Range, 4th Pasific Science
Congress, Bandung, hal 23.
Brasier, M.D., 1980, Microfossil, George & Unwin, London, hal 90-118
Bronto, Sutikno; 2010; Publikasi Khusus Geologi Gunung Api Purba, Badan Geologi Kementrian Energi dan
Sumberdaya Mineral, Bandung, hal 21-22
Jones, D.K., 1969, Introduction to Microfossils, Hafner Publishing Co, New York, hal : 188-224
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jakarta,
hal24-27
Pringgoprawiro,H dan Rubiyanto Kapid, 2000, Foraminifera.Pengenalan Mikrofosil dan Aplikasi Biostratigrafi,
Penerbit ITB, Bandung. Hal 20-49, 87-90
Rahardjo.W, 1983, Paleoenvironmental Reconstruction of the Sedimentary Sequence of The Baturagung
Escarpment Gunung Kidul Area Central Java, Proceedings PIT XII Ikatan Ahli Geologi Indonesia,
Yogyakarta 6-8 Desember 1983, hal 135-140
Rahardjo,W., 2004, Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kendeng Buku Panduan Ekskrusi Stratigrafi Geologi
Regional, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tidak di
publikasikan, hal 38-40. Woodburn; 1954; an Introduction to the Study of Fossils (revised edition); The
Macmillan Company; New York.
Sumarso dan Ismoyowati, T., 1975, Contribution to the Stratigraphy of the Djiwo Hills and Their Southern
Surroundings (Central Java), Proceedings IPA 4th Annual Convention, p.19 - 26, Jakarta.
Surono, 2008, Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di Pegunungan Baturagung,
Jawa Tengah Bagian Selatan, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 4 Desember 2008, hal 183-193
Surono, 2009, Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah,
GeoScience, Vol 19 No 3 Juli 2009, hal 209-221
Toha.B, R.D.Purtyasti, Sriyono, Soetoto, Wartono R, Subagyo P, 1994, Geologi Daerah Pegunungan Selatan,
Suatu Kontribusi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Gambar 1. Daerah penelitian di Desa Kalinampu-Sendangrejo, Bayat Klaten, Jawa Tengah.

1mm 1mm

Gambar 2. Sayatan petrografi dari jalur Kalinampu-Sendangrejo. Kiri sayatan petrografi dari crystal tuff
DN/KLN/05; kanan sayatan petrografi dari crystal tuff DN/KLN/11
Gambar 3. Biozonasi jalur Kalinampu-Sendangrejo

Anda mungkin juga menyukai