Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

HUKUM PERJANJIAN BAKU

Disusun Oleh :
Tasya Nabila
26219296
2EB14

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2021
BAB 5
5.1 Standar Kontrak
Standar kontrak atau perjanjian baku adalah penggunaan klausula eksonerasi dalam
transaksi konsumen. Standar kontrak pada dasarnya lahir dari kebutuhan masyarakat yang
bertujuan untuk memberikan kemudahan atau kepraktisan bagi para pihak dalam melakukan
transaksi. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana keberlakuan standar kontrak dalam
perspektif hukum perlindungan konsumen? Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundangan (statute approach), pendekatan
konseptual (conceptual approch) dan pandangan para ahli yang terkait dengan permasalahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar kontrak yang mengandung klausula
eksonerasi menimbulkan akibat hukum bagi konsumen yaitu tanggung jawab yang semestinya
dibebankan kepada pelaku usaha menjadi tanggung jawab konsumen. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha untuk segera menyesuaikan standar kontrak
yang dipergunakan dengan ketentuan Undang-Undang tetapi dalam praktik hal tersebut sulit
dilakukan. Larangan dan persyaratan tentang penggunaan standar kontrak dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan
berkontrak dan mencegah timbulnya tindakan yang merugikan konsumen karena faktor
ketidaktauan, kedududukan yang tidak seimbang, dan dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk
memperoleh keuntungan.
5.2 Macam-Macam Perjanjian
1) Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak.
 Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada
kedua belah pihak, misalnya jual beli, sewa-menyewa, pemborongan.
 Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak
dan hak kepada kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah.
2) Perjanjian Tanpa Pamrih atau dengan Cuma-Cuma (om niet) dan Perjanjian
Dengan Beban.
 Perjanjian tanpa pamrih adalah jika suatu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak
lain tanpa imbalan apa pun, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
 Perjanjian dengan beban adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu
selalu mendapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada
hubungannya menurut hukum.
3) Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat.
 Perjanjian nominaat adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya
ialah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang,
berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian Nominaat terdapat
dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.
 Perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi
terdapat dalam masyarakat. Terciptanya Perjanjian innominaat didasari karena pada
hukum perjanjian, berlakunya asas kebebasan mengadakan perjanjian.
4) Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir.
 Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam
perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian
obligatoir.
 Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak
terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak
menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.
5) Perjanjian Konsesual dan Perjanjian Riil.
 Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang hanya memerlukan persetujuan
(consensus) dari kedua pihak.
 Perjanjian riil adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus
masih memerlukan penyerahan suatu benda, misalnya jual beli barang bergerak.
6) Perjanjian Formil
Perjanjian formil adalah perjanjian yang harus dibuat secara tertulis, jika tidak
maka perjanjian ini menjadi batal, misalnya: Perjanjian perdamaian (Pasal 1851 KUH
Perdata).
7) Perjanjian Campuran (Contractus sui generis).
Dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian nominaat atau
bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dipisah-
pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri. Contohnya: perjanjian antara pemilik
hotel dengan tamu. Didalam perjanjian yang sedemikian, terdapat unsur perjanjian sewa-
menyewa (sewa kamar), perjanjian jual beli (jual beli makanan/minuman), atau perjanjian
melakukan jasa (penggunaan telepon, pemesanan tiket, dan lain-lain).
8) Perjanjian Penanggungan (Bortocht).
Perjanjian Penanggungan adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi
kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur
tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUH Perdata).
9) Perjanjian Standar / Baku
Perjanjian standar bentuknya tertulis berupa formulir yang isinya telah
distandarisasi (dibakukan) terlebih dulu secara sepihak, serta bersifat massal tanpa
mempertimbangkan perbedaan kondisi pihak yang menyetujui perjanjian tersebut.
10) Perjanjian Garansi dan Derden Beding
Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seseorang berjanji pada pihak
lainnya, bahwa pihak ketiga akan berbuat sesuatu (Pasal 1316 KUH Perdata). Derden
Beding yaitu janji untuk orang ketiga merupakan pengecualian dari asas yang
menentukan bahwa suatu perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian itu (Pasal 1317 KUH Perdata).

5.3 Syarat Sahnya Perjanjian


Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian menurut KUHPerdata,
anatara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320
KUHPerdata disebabkan dalam pasal tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian,
yaitu:
1. Adanya kata sepakat;
2. Adanya kecakapan;
3. Terdapat objek tertentu; dan
4. Terdapat klausa yang halal.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan
penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:
1. Bebas membuat jenis perjanjian apa pun;
2. Bebas mengatur isinya;
3. Bebas mengatur bentuknya.
Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Timbul pertanyaan apakah perjanjian baku memenuhi asas
konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338
ayat (1) KUHPerdata? Mengenai hal ini terdapat 1 (satu) pendapat:
1. Perjanjian baku tidak memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320
dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata;
2. Perjanjian baku memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang dimaksud pada Pasal 1320
dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Seperti telah diuraikan, isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya
tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar
mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian,
dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju
silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan.
Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi perjanjian baku yang memberatkan atau
merugikan konsumen sebagaimana diketahui lazimnya syarat-syarat dalam perjanjian baku
adalah mengenai:
1. Cara mengakhiri perjanjian;
2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian;
3. Cara penyelesaian sengketa; dan
4. Klausula eksonerasi.
Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama
dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie klausule exemption
clausule). Yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari
pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.

5.4 Saat Lahirnya Perjanjian


Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
1. kesempatan penarikan kembali penawaran;
2. penentuan resiko;
3. saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
4. menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual,
yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat
dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud
konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di
dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming),
jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak
yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran
dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang
akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a) Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah
ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain
menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b) Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak.
Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi
diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d) Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak
peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat
surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan
saat lahirnya kontrak.
5.5 Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang
membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak
biasanya terjadi karena;
1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang
ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara
financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan
4. Terlibat hokum
5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan
yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian
mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu
yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk
ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi
yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu
perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan
keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan
unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak
terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka
kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya
melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus
dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di
dalamnya.
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat
pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat
tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun
kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya
sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat
ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk
diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau
peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau
masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan
perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk
terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan
persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas
konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya
sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian
sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya
dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian,
hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa
hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas
kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan
kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau
menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah
pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri
dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga,
perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan
adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang
menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan
causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya kesepakatan
untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau
perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti
mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu
tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-
undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang
biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut
baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan
cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan
masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda.
Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil
Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk
timbulnya perjanjian.
2. Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah
diserahkan.
3. Perjanjian Formil
Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai
formalitas tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
 https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/566#:~:text=Stan
dar%20kontrak%20atau%20perjanjian%20baku,para%20pihak%20dalam%20m
elakukan%20transaksi.
 https://www.hukum.xyz/jenis-jenis-perjanjian/
 http://farid-wajdi.com/detailpost/konsep-perjanjian-
baku#:~:text=Pentingnya%20Pasal%201320%20KUHPerdata%20disebabkan,Ter
dapat%20objek%20tertentu%3B%20dan
 https://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/18/saat-lahirnya-perjanjian/
 https://patriciasimatupang.wordpress.com/2012/06/05/syarat-sahnya-perjanjian-
saat-lahirnya-perjanjian-dan-pembatalan-pelaksanaan-suatu-perjanjian/

Anda mungkin juga menyukai