FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS GUNADARMA BEKASI 2021 BAB 5 5.1 Standar Kontrak Standar kontrak atau perjanjian baku adalah penggunaan klausula eksonerasi dalam transaksi konsumen. Standar kontrak pada dasarnya lahir dari kebutuhan masyarakat yang bertujuan untuk memberikan kemudahan atau kepraktisan bagi para pihak dalam melakukan transaksi. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimana keberlakuan standar kontrak dalam perspektif hukum perlindungan konsumen? Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approch) dan pandangan para ahli yang terkait dengan permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar kontrak yang mengandung klausula eksonerasi menimbulkan akibat hukum bagi konsumen yaitu tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pelaku usaha menjadi tanggung jawab konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha untuk segera menyesuaikan standar kontrak yang dipergunakan dengan ketentuan Undang-Undang tetapi dalam praktik hal tersebut sulit dilakukan. Larangan dan persyaratan tentang penggunaan standar kontrak dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak dan mencegah timbulnya tindakan yang merugikan konsumen karena faktor ketidaktauan, kedududukan yang tidak seimbang, dan dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan. 5.2 Macam-Macam Perjanjian 1) Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, misalnya jual beli, sewa-menyewa, pemborongan. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. 2) Perjanjian Tanpa Pamrih atau dengan Cuma-Cuma (om niet) dan Perjanjian Dengan Beban. Perjanjian tanpa pamrih adalah jika suatu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa imbalan apa pun, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan beban adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu mendapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 3) Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat. Perjanjian nominaat adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian Nominaat terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata. Perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Terciptanya Perjanjian innominaat didasari karena pada hukum perjanjian, berlakunya asas kebebasan mengadakan perjanjian. 4) Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. 5) Perjanjian Konsesual dan Perjanjian Riil. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang hanya memerlukan persetujuan (consensus) dari kedua pihak. Perjanjian riil adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus masih memerlukan penyerahan suatu benda, misalnya jual beli barang bergerak. 6) Perjanjian Formil Perjanjian formil adalah perjanjian yang harus dibuat secara tertulis, jika tidak maka perjanjian ini menjadi batal, misalnya: Perjanjian perdamaian (Pasal 1851 KUH Perdata). 7) Perjanjian Campuran (Contractus sui generis). Dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian nominaat atau bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dipisah- pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri. Contohnya: perjanjian antara pemilik hotel dengan tamu. Didalam perjanjian yang sedemikian, terdapat unsur perjanjian sewa- menyewa (sewa kamar), perjanjian jual beli (jual beli makanan/minuman), atau perjanjian melakukan jasa (penggunaan telepon, pemesanan tiket, dan lain-lain). 8) Perjanjian Penanggungan (Bortocht). Perjanjian Penanggungan adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUH Perdata). 9) Perjanjian Standar / Baku Perjanjian standar bentuknya tertulis berupa formulir yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dulu secara sepihak, serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi pihak yang menyetujui perjanjian tersebut. 10) Perjanjian Garansi dan Derden Beding Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seseorang berjanji pada pihak lainnya, bahwa pihak ketiga akan berbuat sesuatu (Pasal 1316 KUH Perdata). Derden Beding yaitu janji untuk orang ketiga merupakan pengecualian dari asas yang menentukan bahwa suatu perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu (Pasal 1317 KUH Perdata).
5.3 Syarat Sahnya Perjanjian
Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian menurut KUHPerdata, anatara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam pasal tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: 1. Adanya kata sepakat; 2. Adanya kecakapan; 3. Terdapat objek tertentu; dan 4. Terdapat klausa yang halal. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu: 1. Bebas membuat jenis perjanjian apa pun; 2. Bebas mengatur isinya; 3. Bebas mengatur bentuknya. Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Timbul pertanyaan apakah perjanjian baku memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUHPerdata? Mengenai hal ini terdapat 1 (satu) pendapat: 1. Perjanjian baku tidak memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata; 2. Perjanjian baku memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang dimaksud pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Seperti telah diuraikan, isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan. Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi perjanjian baku yang memberatkan atau merugikan konsumen sebagaimana diketahui lazimnya syarat-syarat dalam perjanjian baku adalah mengenai: 1. Cara mengakhiri perjanjian; 2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian; 3. Cara penyelesaian sengketa; dan 4. Klausula eksonerasi. Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie klausule exemption clausule). Yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.
5.4 Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi : 1. kesempatan penarikan kembali penawaran; 2. penentuan resiko; 3. saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa; 4. menentukan tempat terjadinya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan. Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian. Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu: a) Teori Pernyataan (Uitings Theorie) Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya. b) Teori Pengiriman (Verzending Theori). Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak. c) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie). Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan. d) Teori penerimaan (Ontvangtheorie). Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak. 5.5 Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena; 1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki. 2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya. 3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan 4. Terlibat hokum 5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan. Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu pokok persoalan tertentu. 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya. Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli. Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat. Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil. Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga . Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang- undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda. Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu : 1. Perjanjian Konsensuil Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian. 2. Perjanjian Riil Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. 3. Perjanjian Formil Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu. DAFTAR PUSTAKA https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/566#:~:text=Stan dar%20kontrak%20atau%20perjanjian%20baku,para%20pihak%20dalam%20m elakukan%20transaksi. https://www.hukum.xyz/jenis-jenis-perjanjian/ http://farid-wajdi.com/detailpost/konsep-perjanjian- baku#:~:text=Pentingnya%20Pasal%201320%20KUHPerdata%20disebabkan,Ter dapat%20objek%20tertentu%3B%20dan https://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/18/saat-lahirnya-perjanjian/ https://patriciasimatupang.wordpress.com/2012/06/05/syarat-sahnya-perjanjian- saat-lahirnya-perjanjian-dan-pembatalan-pelaksanaan-suatu-perjanjian/