Disusun Oleh :
Dini Ayu Arumningtyas 1617301011
Eka Putri Rahayu Ningsih 1617301012
Abstrak
Sulit untuk dipungkiri bahwa bisnis merupakan sektor yang banyak digeluti
oleh semua orang, salah satu alasan mengapa banyak orang yang bergelut
pada sektor ini adalah didorong dengan keinginannya untuk hidup sejahtera.
Banyak pemahaman di luar sana yang mengatakan bahwa dalam bisnis faktor
etika tidak harus dilibatkan, karena akan menghambat income/pendapatan
yang akan didapat, terutama pemahaman ini dibawa oleh faham neo-klasik
model Walrasian yang dengan tegas menolak untuk melibatkan faktor etika
pada kegiatan bisnis. Pemaham itu bertolak belakang dengan pemahaman Al-
Ghazâlî (450-505) mengenai fungsi etika dalam bisnis. Menurut beliau, etika
sangat penting untuk diikutsertakan dalam aktivitas bisnis. Gagasan seperti ini
banyak kita temukan dalam beberapa buah karya fenomenalnya, terutama
pada kitab Ihya Ulum al-Diin. Dalam hal itu kami mencoba untuk menelusuri
beberapa karya yang berhubungan dengan pemikiran Beliau, dengan besar
harapan akan mendapatkan gagasan seutuhnya mengenai etika dalam bisnis.
PENDAHULUAN
Bisnis merupakan suatu hal yang penting bagi siapa saja yang hidup di
dunia ini, karena hal itu erat kaitannya dengan hajat kehidupan orang banyak.
Disamping itu semua, bisnis juga merupakan salah satu pilar penopang dalam
upaya mendukung perkembangan ekonomi dan pembangunan pada umumnya.
Oleh karen itu banyak orang-orang yang berkecimpung pada dunia tersebut.
Hal tersebut dilandasi untuk sebuah keuntungan dan berpatisipasi dalam
pembangun ekonomi secara keseluruhan.
Pemikiran ekonomi islam terlahir dari kenyataan bahwa islam adalah
system yang diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia untuk menata
seluruh aspek kehidupannya dalam seluruh ruang dan waktu. Pada hakikatnya
ekonomi membahas hubungan antar manusia. Pemikiranh ekonomi muncul
sejak zaman Rasullullah, khulafa’urrosyidin, bani Umayyah, Abasiyah, serta
pemikiran klasik para tokoh ekonomi salah satunya adalah pemikiran Al-
Ghazali.
Di kalangan umat Islam, Al- Ghazali lebih dikenal sebagai tokoh
tasawuf dan filsafat. Namun, beliau juga mempunyai pemikiran mengenai fiqh
muamalah. Al- Ghazali memiliki pemikiran yang luas dalam berbagai bidang.
Pemikiran Al- Ghazali tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi dalam
konteks tertentu mampu menembus dan menjawab berbagai persoalan
kemanusiaan kontemporer. Karya Al- Ghazali tentang ekonomi adalah Ihya’
Ulum Al- Din.
Maka dari itu, kami akan membahas tentang kaitannya antara Pemikiran
Etika Ekonomi dan Bisnis Menurut Imam Al-Ghazali dengan ilmu-ilmu
kontemporer masa kini.
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
1
Ghazali, Pembuka Pintu Hati (Bandung : MQ Publishing. 2004), hlm. 4.
Perjalanan Al-Ghazâlî dalam pempelajari berbagai ilmu dimulai dari
tempat kelahirannya, yaitu dari ayahnya. Darinya beliau belajar Al-qur‟an dan
dasar-dasar ilmu keagamaan. Setelah ayahnya wafat, beliau melanjutkan belajar
pada teman ayahnya (seorang ahli tasawuf), ketika gurunya tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan Al-Ghazâlî dan saudaranya, beliau menyarankan mereka
masuk ke sekolah untuk memperoleh ilmu yang lebih luas lagi.
Setelah itu,Al-Ghazâlî belajar kepada al-Juwaini atau yang lebih dikenal
dengan Imam Haramain. Dari beliau, ia menguasai ilmu kalam dan mantiq.
Menurut Abdul Ghofur Ismail Al- Farisi, setelah belajar dari gurunya tersebut
imam Al-Ghazâlî menjadi pembahas paling pintar di zamanya. Imam Haramain
pun merasa bangga dengan prestasi muridnya tersebut.
Dalam belajar, beliau sangat bersungguh-sungguh sehingga ia pun mahir
dalam perihal madzhab, khilaf (perbedaan pendapat), perdebatan, membaca
hikmah, dan falsafah. Dan imam Haramain pun menyikapi beliau sebagai lautan
ilmu yang luas. Selain itu, diantara ilmu yang beliau kuasai adalah (ushul al-
dîn) ushul fiqh, mantiq, flsafat, dan tasawuf.2
Walaupun kemashuran telah diraih Al-Ghazalî, namun beliau tetap setia
terhadap gurunya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. Sebelum al-
Juwani wafat, beliau memperkenalkan imam Al-Ghazâlî kepada Nidzhâm al-
Mulk, yaitu perdana mentri sultan Saljuk Malik Syah. Beliau adalah pendiri
madrasah al-Nidzhamiyah.
Setelah gurunya wafat, Al-Ghazâlî meninggalkan Naisabur menuju
negeri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al Mulk. Di daerah ini beliau
mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ulama. Dari perdebatan yang
dimenengkan ini, namanya semakin popular dan disegani karena keilmuanya.
Pada tahun 484 H/1091 M, Al-Ghazâlî diangkat menjadi guru besar di
madrasah Nidzhîmiyyah.Selama megajar, Al-Ghazâlî sangat tekun mendalami
2
Yusuf al-Qaradhawi, Islam Inklusif dan Islam Eksklusif (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2001),
hlm. 112.
filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
miskawih, dan Ikhwan al-Shafa. Penguasaanya terhadap filsafat terbukti dalam
karyanya seperti al-maqâsid falsafah tuhaful al-falâsifah. Buku tersebut
disusun beliau ketika beliau mengalami fase skeptis atau fase dimana beliau
belum mendapatkan petunjuk tentang hakikat kebenaran.
Pada tahun 488 H/1095 M, Al-Ghazâlî dilanda keraguan (skeptis)
terhadap ilmu-ilmuyang dipelajarinya (hukum teologi dan filsafat), termasuk
keraguan akan pekerjaan dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga beliau
menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Oleh karena itu, Al-
Ghazâlî tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di Madrasah
Nidzhamiyah, dan akhirnya pun beliau meninggalkan Baghdad menuju kota
Damaskus. Selama kurang lebih dua tahun lamanya, Al-Ghazâlî berada di kota
Damaskus, dan beliau melakukan Uzlah, Riyadah, serta Mujahadah. Setelah itu
beliau pindah ke Bait al-Maqdis Palestina untuk melakukan ibadah serupa,
kemudian hatinya pun tergerak untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi
Maqom Rosulullah Saw.
Sepulang dari tanah suci, Al-Ghazâlî mengunjungi kota kelahirannya di
Thus, disinilah beliau melanjutkan aktivitas ber-Khalwatnya sampai
berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah beliau menulis karyanya yang
terkenal ”Ihya‟„Ulumuddin Al-din” the revival of the religious (menghidupkan
kembali ilmu agama). Al-Ghazâlî sangat produktif dalam berkaya, ratusan buku
telah ia tulis. Menurut para ulama karya-karya Al-Ghazâlî mencapai 200 karya.
Akhir hidup beliau di Teheran pada tahun 505H/111M, seperti biasanya, Ia
bangun pagi pada suatu hari Senis, bersembahyang, kemudian meminta
dibawakan peti matinya. Ia seolah-olah mengusap peti itu dengan matanya dan
berkata “apapun perintah Tuhan, aku telah siap melaksanakannya,”Sambil
mengucap kata-kata itu Ia meluruskan kakinya, dan ketika orang-orang melihat
wajahnya, Imam besar itu telah tiada.3
3
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000), hlm. 122.
B. Etika dalam Aktifitas Ekonomi dan Bisnis
4
Adiwarman S Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Press. 2006),
hlm. 320.
2. Kemashlahatan (Kesejahteraan Sosial)
Pandangan Al-Ghazâlî tentang sosial-ekonominya didasarkan
pada konsep yang disebut dengan fungsi kesejahteraan social
(Mashlahah). Menurut Mustafâ Anas Zarqâ, Al-Ghazâlî merupakan
cendikiawan muslim pertama yang merumuskan konsep fungsi
kesejahteraan (maslahah) sosial. Menurutnya, maslahah adalah
memelihara tujuan syari‟ah yang terletak pada perlindungan agama
(din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasab), dan harta (mal). Tema
yang menjadi pangkal tolak ukur dari seluruh karyanya adalah konsep
maslahat atau kesejahteraan sosial, yakni konsep yang mencangkup
semua aktivitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara individu
dengan masyarakat. Al-Ghazâlî telah mengidentifikasi semua masalah
baik berupa mashâlih maupun mafâsid dalam meningkatkan
kesejahteraan sosial. Ia menjabarkan kesejahteraan sosial tersebut
dalam kerangka hiraki kebutuhan individu dan sosial.5
5
Euis Amalia, Sejarah pemikiran ekonomi islam dari masa klasik hingga kontemporer
(jakarta: pusaka asatruss. 2007), hal 123.
6
Ibid. hlm. 123-124.
kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal dan
kebutuhan terhadap barang-barang psikis.7
3. Nilai-nilai Kebaikan
Dalam praktek ekonomi dan bisnis Al-Ghazâlî memberikan
rekomendasi agar para ekonom atau pembisnis islam memperhatikan
masalah moral dalam berbisnis. Ia menyebutkan beberapa cara untuk
mempraktekan perilaku baik dalam berbisnis, diantaranya ialah:
a. Menghindari diri untuk mengambil keuntungan secara
berlebihan.
b. Rela merugi ketika melakukan transaksi dengan orang miskin.
c. Kemurahan hati dalam menagih hutang.
d. Kemuran hati dalam membayar hutang.
e. Mengabulkan permintaan pembeli jika untuk membatalkan jual
beli jika pihak pembeli menghendakinya, atau sebaliknya.
f. Menjual makanan kepada orang miskin dengan cara angsuran
dengan maksud tidak meminta bayaran bilamana mereka
belum mempunyai uang dan membebaskan mereka dari
pembayaran jika meninggal dunia.
Al-Ghâzalî pun memberikan pedoman untuk menyempurnakan
akhlak/etika ketika melakukan aktivitas bisnis dan ekonomi, yaitu:
a. Setiap hari harus memperbaharui niat dan akidah yang baik
untuk memulai aktivitas bisnis.
b. Tujuan melakukan bisnisnya adalah untuk menunaikan fardu
kifayah atau tugas dalam bermasyarakat.
c. Kedibukan dalam menjalankan aktivitasnya tidak menghalangi
untuk mengingat Allah.
d. Tidak rakus dan serakah.
7
Ibid., Adiwarman S Karim. Sejarah Pemikiran. hlm. 318.
e. Dalam menjalankan bisnis, bukan hanya untuk menjauhi yang
haram saja, namun senantiasa memelihara diri dari perbuatan
Syubuhat.
f. Berusaha untuk menjaga diri melakukan transaksi dengan
orang-oraang yang tidak adil.
8
Fahadil Amin Al Hasan, Etika Bisnis Al-Ghazali, Jurnal E-Sya Vol. 1, No. 1, April 2014,
hlm.7-8.
berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan
untuk menghasilkan uang.9
9
Ibid., hlm. 9.
khazanah kebudayaan Islam karena memiliki kapasitas dan bobot yang besar di
mata sebagian besar umat dan mewakili tokoh bagian timur wilayah Islam.
Dalam dunia bisnis, begitu banyak teori yang beliau kemukakan,
misalnya saja teori tentang fungsi uang, pasar, pajak, dan lain sebagainnya yang
tidak melepaskan unsur etika di dalamnya. Beliau senantiasa membahas itu
semua berdampingan dengan prinsip etika yang diwarnai dengan corak
pemikiran tasawufnya. Contohnya saja ketika beliau menyinggung masalah
uang, maka beliau pun menjelaskan masalah larangan riba yang akan
berimplikasi pada perekonomian negara.10
Dalam bidang pemikiran juga tidak luput dari permasalahan sehubungan
dengan terjadinya polarisasi dan pluralisasi paham dari berbagai golongan, dan
masing-masing mengklaim diri atau kelompoknya paling benar. Menghadapi
dunia Islam saat itu yang dipenuhi oleh fragmentasi sosial politik dan
pemikiran-pemikiran yang tidak terkontrol, serta dibarengi dengan merebaknya
penyempitan paham, dan kurangnya sikap tasâmuh (toleransi) di antar sesame
Muslim, al-Ghazali dengan sikap kritis serta keberaniannya mengambil
keputusan untuk menentukan pilihan dan mengambil keputusan untuk
menentukan pilihannya untuk menempuh jalan sufi. Dia menempuh jalan sufi
sebagai fondasi teologisnya. Sikap inilah yang kemudian terekam dalam karya
monumentalnya Ihyâ Ulûmuddîn. Itulah sebabnya dalam bukunya itu sarat
dengan pengajaran dan muatan-muatan moral dan spiritual sebagai usaha
mempertahankan kebenaran pandangan dan realitas melalui seruan untuk
kembali kepada Allah Swt.
Dalam perspektif tasawuf akhlâqi, etika tasawuf al-Ghazali dapat dilihat
dalam konsep zuhd. Dalam kitab al-Arbâ’in, al-Ghazali mendefinisikan zuhd
sebagai berpalingnya seseorang menjauhi urusan dunia, meskipun dia mampu
10
Afdawaiza, Etika Bisnis dan Ekonomi dalam Pandangan al-Ghazali. Esensia. 2009. hlm.
01.
memperolehnya. al-Ghazali membagi tingkatan zuhd dari segi tingkatan
motivasi yang mendorongnya kepada tiga tingkatan:
Zuhd yang didorong oleh rasa takut terhadap api neraka. Zuhd dalam
tingkatan ini adalah zuhd-nya orang-orang pengecut.
Zuhd yang didorong untuk mencari kenikmatan hidup di akhirat. Zuhd
dalam tingkatan ini adalah zuhd orang-orang yang berpengharapan, yang
hubungannya dengan Allah diikat oleh ikatan pengharapan dan cinta,
bukan ikatan disebabkan rasa takut.
Zuhd yang didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari
memperhatikan apa selain Allah dalam rangka membersihkan diri dari
padanya dan menganggap remeh terhadap apa yang selain Allah. Zuhd
dalam tingkatan ini adalah zuhd para ‘arifîn, orang-orang yang mencapai
derajat ma’rifât.11
11
Agus Iswanto, Aplikasi Etika Tasawuf Al-Ghazali Dalam Mewujudkan Good Governance
di Indonesia (Millah Vol VII No 1 Agustus 2007), hlm. 135.
12
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2006), hlm. 317.
perspektif al- Qur’an, Sunnah, fatwa-fatwa sahabat dan tabi‟in serta petuah para
sufi terkemuka masa sebelumnya.13
KESIMPULAN
13
Sirajuddin, Konsep Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali (Makasar: UIN Alauddin Makassar
‘Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam’, Volume 3, Nomor 1, Juni 2016), hlm. 52-53.
Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di
Ghazalah suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasah yang waktu
itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia islam.
Berikut adalah beberapa gagasan imam Al-Ghazâlî tentang etika yang
harus disertakan dalam aktivitas bisnis.
- Al-Dunya’ Mazrâtul Akhirah
- Kemashlahatan (Kesejahteraan Sosial)
- Nilai-nilai kebaikan
- Jauh dari perbuatan riba
Afdawaiza, 2009. Etika Bisnis dan Ekonomi dalam Pandangan al-Ghazali. Esensia.
Ahmad, Jamil. 2000. Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al Hasan, Fahadil Amin. 2014. Etika Bisnis Al-Ghazali, Jurnal E-Sya Vol. 1, No. 1,
April.
al-Qaradhawi, Yusuf. 2001 Islam Inklusif dan Islam Eksklusif. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar.
Amalia, Euis. 2007. Sejarah pemikiran ekonomi islam dari masa klasik hingga
kontemporer. jakarta: pusaka asatruss.
Ghazali. 2004. Pembuka Pintu Hati. Bandung : MQ Publishing.
Iswanto, Agus. 2007. Aplikasi Etika Tasawuf Al-Ghazali Dalam Mewujudkan Good
Governance di Indonesia Millah Vol VII No 1 Agustus. .
Karim, Adiwarman S. 2006. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali
Press.
Karim, Adiwarman. 2006. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Sirajuddin, 2016. Konsep Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali. Makasar: UIN Alauddin
Makassar ‘Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam’, Volume 3, Nomor 1, Juni.