Anda di halaman 1dari 14

POSITIFISASI HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah: Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia
Dosen Pengampu: Hasanudin, B.Sc., M.Sy.

Disusun Oleh:
Desi Mega Cahyani 1617301009
Hardina Estriana 1617301016
Kristingizati 1617301022
Nurrizki Shafrianita 1617301034
Tiya Laraswati 1617301044

7 HES A
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2019

1
PENDAHULUAN

Secara yuridis konseptual, Indonesia merupakan negara hukum. Sebagai


negara hukum, Indonesia selalu mendasarkan setiap penyelenggaraan negara dan
pemerintahannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Spirit negara
hukum itu salah satunya terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam
bangunan negara hukum inilah, hukum Islam disamping hukum adat dan Barat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam reformulasi dan konfigurasi hukum
nasional. Dari proses interaksi sosial historis inilah hukum Islam mulai mengakar
dan menjadi sistem hukum dalam masyarakat hingga saat ini.
Materi hukum Islam dapat menjadi muatan dalam proses legislasi melalui
mekanisme positivisasi. Positivisasi hukum Islam dalam pembangunan hukum
nasional memiliki 2 (dua) bentuk, yaitu: pertama, hukum Islam tidak bisa
diberlakukan dalam lingkup nasional karena kondisi pluralitas bangsa Indonesia,
namun hukum Islam dapat menjadi salah satu sumber nilai dalam penyusunan
hukum nasional. Kedua, hukum Islam dapat menjadi hukum positif yang berlaku
bagi semua warga melalui proses legislasi yang sah seperti bidang muamalah atau
hukum ekonomi syariah. Oleh karena itu, pembahasan mengenai perkembangan
positivisasi mengenai hukum ekonomi syariah kami tuangkan dalam judul
makalah kami yaitu “Positivisasi hukum ekonomi syariah di indonesia”.

2
A. Pengertian Hukum Ekonomi Syariah
Istilah hukum ekonomi syariah terdiri dari dua konsep pokok yaitu konsep
hukum dan konsep ekonomi syariah. Dalam literatur arab, kata ekonomi
diambil dari kata al-qoshd yang berarti kelurusan cara atau bermakna
adil/keseimbangan (al i’tidal wa al-tawasuth). Istilah ekonomi dalam lalu linas
pemaknaan aktivitas ekonomi merupakan lawan dari istilah pemborosan yaitu
perilaku konsumtif dan penghemat berlebihan.
Dalam terminologi sufistik istilah al-qoshd merupakan sikap batin
seseorang dalam menghadapi situasi lapang maupun sempit, kaya atau miskin
dan dalam keadaan senang atau susah tetap mampu menjaga keseimbangan
hidup. Tata nilai sufistik yang terkandung dalam kata al-qoshd ketika masuk
dalam terminologi hukum ekonomi syariah menyiratkan konsep ekonomi yang
dibangun islam adalah ekonomi yang berwawasan keadilan dan menjadikan
ekonomi bukanlah tujuan tetapi sebagai sebuah instrumen untuk mencapai
falah (sukses) baik didunia dan akhirat dan inilah yang menjadi pandangan
dunia dan pandangan etis sekaligus dan landasan pengembangan ekonomi
islam.
Menurut Rachmad Soemitro, ekonomi merupakan bagian dari keseluruhan
norma yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa sebagai suatu personifikasi
dari masyarakat yang mengatur kehidupan kepentingan masyarakat yang saling
berhadapan.
Adapun pengertian ekonomi islam yang dalam terminologi undang-undang
no 3 tahun 2006 disebut dengan ekonomi syariah, dalam pasal 49 dinyatakan
bahwa yang dimaksud “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsup prinsip syariah antara lain bank syariah,
keuangan mikro syariah, asuransi syariah, re asuransi syariah, reksadana
syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun
lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.1

1
Ridwan, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (Purwokerto: STAIN Press, 2016), hlm.
42-48.

3
Hukum dan ekonomi merupakan dua hal yang tidak boleh dipisahkan,
karena keduanya saling melengkapi seperti dua sisi mata uang. Oleh karena itu,
hukum ekonomi adalah keseluruhan norma-norma yang dibuat oleh pemerintah
sebagai suatu personifikasi masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi
dimana kepentingan individu dan masyarakat saling berhadapan.
Menurut Jeje Zaenudin, terdapat 3 (tiga) pertimbangan utama tentang
urgensi legislasi hukum Islam di Indonesia. Pertama, umat Islam di Indonesia
tidak hanya menjadi penduduk mayoritas di Indonesia tetapi juga di dunia.
Oleh karena itu, penerapan hukum Islam di Indonesia tidak hanya memberikan
penghargaan kepada penduduk mayoritas ini, tetapi juga mampu menjadi
barometer penegakan hukum Islam bagi negara muslim lainnya. Kedua,
Pencasila, sebagai dasar negara, telah memberikan ruang terbuka bagi
pelaksanaan hukum Islam bagi pemeluknya. Ketiga, program pembangunan
nasional salah satunya diarahkan kepada agenda pembangunan hukum
nasional. Agenda pembangunan hukum nasional ini membuka peluang besar
bagi penyerapan norma-norma hukum Islam sekaligus sebagai upaya
transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam produk perundang-undangan
negara. Sebab agenda pembangunan hukum nasional sendiri, dalam hal ini
proses legislasi undang-undang mengambil bahan baku dari norma-norma
hukum Barat (internasional, hukum adat dan hukum Islam. Dimensi ketuhanan
(ilahiyah) dan dimensi kemanusiaan (insanyah) yang dimiliki hukum Islam
membuatnya sesuai dengan agenda pembangunan hukum nasional tersebut di
atas.2
Adapun pengertian dari hukum ekonomi syariah merupakan subsistem
dalam sistem hukum Islam yang dari waktu ke waktu mengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Hukum ekonomi syariah adalah segala
norma atau ketentuan hukum terkait dengan ekonomi syariah. Adapun ekonomi
syariah adalah konsep dan praktik ekonomi yang didasarkan pada prinsip-
prinsip syariah. Istilah syariah bersumber dan tercantum dalam al-Quran.

Panji Adam, “Legislasi Hukum Ekonomi Syariah : Studi Tentang Produk Regulasi
2

Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia” Jurnal Peradaban dan Hukum Islam vol.1 No.2, hlm. 76.

4
Istilah syariah memiliki arti aturan hukum yang jelas, tegas dan harus diikuti.
Ketika kata ekonomi disintesakan dan diintegralkan dengan kata syariah
menjadi ekonomi syariah, memiliki makna aktivitas teoritis dan praktik di
sektor ekonomi yang dilakukan dengan mengacu pada aturan hukum yang
jelas, tegas dan harus diikuti. Keberlakuan ekonomi syariah di tengah
kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lepas dari aspek politik, hukum, dan
politik hukum di Indonesia.3
B. Positifisasi Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia
Positifikasi dipahami sebagai upaya memformalkan suatu hukum yang
normatif seperti hukum Islam menjadi hukum nasional. Oleh karena itu, hukum
Islam positif artinya hukum Islam yang telah diangkat menjadi hukum nasional
(diformalisasikan). Ketentuan hukum formal yang mengatur pelaksanaan
kegiatan ekonomi syariah di Indonesia adalah segala ketentuan yang telah
melalui proses positifikasi oleh negara. Jika hukum ekonomi syariah ini sudah
diformalkan oleh negara, maka kekuatan berlakunya bersumber dari negara,
sehingga berlaku menyeluruh bagi rakyat Indonesia dan dapat dipaksakan
untuk diterapkan dalam kegiatan ekonomi tersebut.
Perkembangan kajian akademik seputar ekonomi Islam maupun
pertumbuhan lembaga keuangan Islam di tengah-tengah masyarakat menjadi
isu yang menarik untuk dikaji. Kuatnya dorongan masyarakat khususnya umat
Islam tentang perlunya mengaplikasikan sistem hukum ekonomi yang berbasis
pada hukum Islam kemudian direspon positif oleh pemerintah dengan lahirnya
berbagai legulasi seputar hukum ekonomi Islam dan lembaga keuangan Islam.
Kebijakan politik di Indonesia memberikan dukungan pertama kali dengan
legislasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan
beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (pasal 6). Undang-undang ini
kemudian dirubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit
menyebutkan istilah “bank berdasarkan prinsip syariah”.

3
Mohamad Nur Yasin, Politik Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia (Malang: UIN
Maliki Press, 2018), hlm. 2.

5
Terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut, menjadi momen penting bagi
dimulainya gerakan ekonomi syariah di Indonesia. Setelah itu, gerakan
ekonomi syariah terus digaungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis
ekonomi syariah, baik para ulama, akademisi-akademisi maupun praktisi tidak
kenal lelah. Terus dikawal oleh lembaga-lembaga yang lahir dari gerakan ini,
seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Nasional Indonesia (DSN-
MUI), Mayarakat Ekonimi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI),
dan sebagainya. Gerakan dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian
melahirkan lembaga-lembaga teknis di lingkungan pemerintah, seperti
Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan
Syariah di Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar
Modal (BAPOPAM).
Gerakan ini juga melahirkan sejumlah Undang-undang dan peraturan
perundangan lainnya, misalnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, Undang-undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia,
Peraturan Bapepam, dan Peraturan-peraturan lainnya. Di samping itu, gerakan
ini juga melahirkan lembaga-lembaga keuangan syariah meliputi: perbankan
syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, pasar modal
syariah, bursa komoditi syariah, bisnis syariah, dan sebagainya.4
Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-
undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan
kewenangan kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah merupakan langkah politik hukum yang luar biasa dalam melengkapi
kelembagaan “hukum” untuk mewujudkaan gerakan ekonomi syariah di
Indonesia, sehingga kini gerakan ekonomi syariah riil mendapatkan dukungan
dari berbagai pihak.
Berbagai pakar regulasi yang diberlakukan pemerintah terkait dengan
ekonomi Islam antara lain:

4
Ridwan, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (Purwokerto: STAIN Press, 2016), hlm.
2-3.

6
1. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip
Bagi Hasil (tertanggal 30 Oktober 1992).
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32 Tahun 1999 tentang Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
4. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; dan pada
tahun 2008.
5. Undang-undang NO. 7 Tahun 1989 menjadi Undang-undang No. 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama. Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung (Perma No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES).
Lahirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merupakan sebuah
keniscayaan sebagai konsekuensi logis dari lahirnya UU No. 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama yang memberi kewenangan Peradilan Agama untuk
mengadili sengketa ekonomi syariah. Lahirnya Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) sebegai hukum materiil yang dipedomani hakim Pengadilan
Agama Adalah jawaban untuk mengisi kekosongan hukum. Sebelum lahirnya
KHES penyelesaian sengketa ekonomi Islam mengandalkan pada berbagai
keputusan dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang dilakukan di luar
pengadilan.5
Dalam konteks ilmu hukum, produk DSN-MUI dan Basyarnas tidak lebih
sebagai hukum tidak tertulis karena sumber hukum yang tidak resmi dibuat dan
diberlakukan oleh pemerintah. Untuk menghindari disparitas putusan dan
ketidakpastian hukum, lahirnya KHES sebagai rujukan hukum resmi (hukum
positif) yang dijadikan pedoman bagi ekonomi syariah. Kelembagaan hukum
Islam dalam struktur hukum resmi negara atau ius contitutum (hukum positif)
yang disusun oleh suatu tim atau badan perumus Undang-undang merupakan
representasi dari konfigursi berbagai kekuatan dan kepentingan yang ada dalam

5
Ridwan, Hukum Ekonomi Syariah..., hlm. 3-4.

7
masyarakat di samping kepentingan para tim pengurus yang terlibat dalam
penyusunan Undang-undang atau peraturan dan inilah yang disebut dengan
politik hukum. Dalam konteks demikian, suatu Undang-undang hakikatnya
adalah produk politik karena Undang-undang atau peraturan lahir dari sebuah
proses politik untuk membingkai aspirasi dan kebutuhan masyarakat terhadap
hukum itu sendiri.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) disusun oleh sebuah tim
yang dibentuk oleh Mahkamah Agung yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Abdul
Manan, S.H., S.IP., M.Hum. tim perumus KHES menyelenggarakan berbagai
acara diskusi dan seminar yang mengkaji draf naskah (naskah akademik)
KHES tersebut dengan melibatkan berbagai lembaga kajian, ulama dan para
pakar hukum ekonomi Islam. Hasil dari kerja tim penyusun adalah
diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Secara spesifik, substansi materi KHES diadaptasi dari fikih muamalah
yang digali dari berbagai kitab fikih lintas madzhab yang kemudian
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan lokal Indonesia. Dominasi pengaruh
madzhab fikih dalam KHES terjadi karena memang belum ada yurisprudensi
hukum ekonomi syariah dari lembaga-lembaga peradilan di Indonesia.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) jika diposisikan sebagai
produk hukum dalam perspektif hukum Islam disebut dengan qanun yaitu,
materi hukum Islam yang telah ditransfomasikan menjadi hukum positif,
diundangkan oleh institusi negara yang bersifat mengikat dan dijadikan acuan
hakim pengadilan dalam memeriksa dan memutuskan sebuah perkara. Sebagai
sebuah hasil ijtihad ulama dan pakar serta praktisi hukum Islam, KHES
pastilah dipengaruhi oleh produk pemikiran dan pendapat yang telah ada
sebelumnya yaitu pendapat-pendapat dan gagasan para imam madzhab yang
gagasan dan pemikirannya terkodifikasi dalam berbagai kitab fikih. Penelitian
ini bermaksud memetakan pemikiran imam madzhab fikih dalam materi
KHES, dan madzhab fikih mana yang dominan mempengaruhi muatan materi

8
KHES sehingga bisa disebut sebagai “madzhab negara” dalam proses
transformasi fikih ke dalam qanun dalam sistem hukum nasional.6
Secara rinci kilasan politik hukum dalam bidang ekonomi syariah ini dapat
dipetakan sebagai berikut:7
1. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN), yang disahkan pada 7 Mei 2008
Lahirnya Undang-Undang SBSN ini bertujuan untuk membiayai Anggara
Pendapatan dan Belanja Negara yang selalu defisit, termasuk juga untuk
pembiayaan proyek. Adanya Undang-Undang SBSN akan memberikan
pembiayaan pembangunan secara lebih variatif sehingga dapat lebih
menyerap dana dari para investor secara ekstensif. Undang-Undang ini telah
menjadi landasan hukum bagi pemerintah RI untuk penerbitan sukuk negara
guna menarik dana dari investor. Sukuk dipandang sebagai alternatif yang
lebih baik daripada berutang ke luar negeri karena antara lain mengandung
unsur kerja sama investasi, berbagi risiko dan keterlibatan aset (proyek riil)
yang juga mendasari penerbitan sukuk. Ini menunjukkan dukungan
pemerintah untuk mendanai APBN dengan instrumen keuangan syariah, dan
terbukti perkembangan sukuk global maupun ritel sangat pesat setelah ada
political will pemerintah dengan mengesahkan UU SBSN.
2. Diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, pada tanggal 17 Juni 2008
Lahirnya Undang-Undang Perbankan Syariah menandai era baru perbankan
syariah yang sudah memiliki payung hukum jelas. Dengan Undang-Undang
Perbankan Syariah ini makin memperkuat landasan hukum perbankan
Syariah sehingga dapat setara dengan bank konvensional. Selain itu, payung
hukum ini makin menguatkan eksistensi perbankan syariah di Indonesia dan
juga dapat makin memacu peningkatan peran dan kontribusi perbankan
syariah dalam mengentaskan kemiskinan (poverty alleviation),

6
Ridwan, Hukum Ekonomi Syariah..., hlm. 5-6.
7
Nevi Hasnita, “politik hukum ekonomi syari’ah di Indonesia” jurnal legiimasi vol.1
no.1, hlm, 117-121.

9
kesejahteraan masyarakat, dan pembukaan lapangan kerja serta
pembangunan nasional.
3. Pemerintah yang diwakili BUMN mendirikan Bank Syariah
Bukti nyata dari politik ekonomi Islam yang diperankan pemerintah dalam
sektor industri perbankan syariah adalah berdirinya Bank Syariah Mandiri
(BSM) yang modal inti terbesarnya dari Bank Mandiri yang nota benenya
bank BUMN, berdirinya BRI Syariah yang modal inti terbesarnya dari Bank
BRI yang nota benenya bank BUMN, BNI Syariah yang modal inti
terbesarnya dari BNI 45 yang nota benenya bank BUMN, pegadaian syariah
yang berada dibawah perum pegadaian yang merupakan BUMN, dan lain-
lain.8
4. Diundangkannya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Untuk melengkapi undang-undang tersebut, pemerintah juga telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004, ditambah Kepmen
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Wakaf Uang. Itu semua
menunjukkan politik ekonomi Islam yang diperankan pemerintah RI dalam
ranah keuangan publik Islam telah menunjukkan keberpihakannya pada
penerapan keuangan publik Islam secara legal formal.
5. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)
MUI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam bidang keagamaan
yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam Indonesia membentuk
suatu dewan syariah yang berskala nasional yang bernama Dewan Syariah
Nasional (DSN), berdiri pada tanggal 10 Februari 1999 sesuai dengan Surat
Keputusan (SK) MUI No. kep- 754/MUI/II/1999. Lembaga DSN MUI ini
merupakan lembaga yang memiliki otoritas kuat dalam penentuan dan
penjagaan penerapan prinsip syariah dalam operasional di lembaga
keuangan syariah, baik perbankan syariah, asuransi syariah dan lain-lain.
Hal ini sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah Pasal 32 maupun Undang-Undang No. 40 Tahun

8
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Yogyakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 16.

10
2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 109 yang pada intinya bahwa Dewan
Pengawas Syariah wajib dibentuk di bank syariah maupun perseroan yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
6. Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat
Diundangkannya undang-undang zakat menunjukkan politik ekonomi Islam
dalam ranah keuangan publik pemerintah RI cukup akomodatif terhadap
kebutuhan umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang ke-3. Saat ini
potensi zakat yang dapat dikumpulkan secara nasional mencapai 39 triliun
Rupiah per tahun. Padahal dari potensi yang sebegitu besar itu, baru 1
triliun-an yang dapat dihimpun. Oleh karena itu, undang-undang zakat
adalah kebutuhan umat Islam.
7. Diundangkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah
memberikan arah baru bagi kompetensi Peradilan Agama untuk menangani,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Amademen ini
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, terutama
setelah tumbuh dan berkembangnya praktik ekonomi Islam di Indonesia.
8. KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah)
Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang dikordinir
oleh Mahkamah Agung (MA) RI yang kemudian dilegalkan dalam bentuk
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG (PERMA) 02 Tahun 2008
merupakan respon terhadap perkembangan baru dalam kajian dan praktek
ekonomi Islam di Indonesia. Kehadiran KHES merupakan bagian upaya
positifisasi hukum perdata Islam dalam sistem hukum nasional, mengingat
praktek ekonomi syariah sudah semakin semarak melalui lks-lks. Kompilasi
tersebut dapat dijadikan acuan dalam penyelesaian perkara-perkara ekonomi
syariah yang semakin hari semakin bertambah.
9. Gerakan Wakaf Tunai

11
Gerakan nasional wakaf tunai dimotori oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di Istana Negara Jakarta pada 8 Januari 2010, pengelolaannya
diserahkan ke Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI sudah membuat aturan
tentang wakaf uang sehingga pengumpulan, penggunaannya dan
pertanggungjawabannya dapat transparan serta akan diaudit oleh auditor
independen. Melalui gerakan nasional wakaf tunai, maka kini masyarakat
dapat melakukan wakaf berbentuk uang yang lebih mudah dan lebih
fleksibel digunakan untuk kesejahteraan umat.
10. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 Asuransi syariah
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Walaupun pemerintah belum
mengundangkan secara khusus tentang asuransi Syariah, akan tetapi
hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 39 tersebut menunjukkan
keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan industri asuransi syariah
sebagai bagian politik ekonomi Islamnya.
11. Didirikannya Direktorat pembiayaan Syariah di DEPKEU
Direktorat Pembiayaan Syariah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang
Departemen Keuangan RI merupakan direktorat yang melaksanakan
amanah Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN, sehingga
lahirnya berbagai jenis sukuk negara, di antaranya adalah sukuk ritel dan
korporasi.

12
KESIMPULAN

Hukum ekonomi syariah adalah segala norma atau ketentuan hukum


terkait dengan ekonomi syariah. Adapun ekonomi syariah adalah konsep dan
praktik ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Istilah syariah
bersumber dan tercantum dalam al-Quran. Kuatnya dorongan masyarakat
khususnya umat Islam tentang perlunya mengaplikasikan sistem hukum ekonomi
yang berbasis pada hukum Islam kemudian direspon positif oleh pemerintah
dengan lahirnya berbagai legulasi seputar hukum ekonomi Islam dan lembaga
keuangan Islam.
Kebijakan politik di Indonesia memberikan dukungan pertama kali dengan
legislasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Lahirnya Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merupakan sebuah keniscayaan sebagai
konsekuensi logis dari lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
yang memberi kewenangan Peradilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi
syariah. Lahirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebegai hukum
materiil yang dipedomani hakim Pengadilan Agama Adalah jawaban untuk
mengisi kekosongan hukum.

13
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Panji. “Legislasi Hukum Ekonomi Syariah : Studi Tentang Produk


Regulasi Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia” Jurnal Peradaban dan
Hukum Islam vol.1 No.2, hlm. 76.
Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah. Yogyakarta: Sinar Grafika. 2008.
Hasnita, Nevi. “politik hukum ekonomi syari’ah di Indonesia” jurnal legiimasi
vol.1 no.1.
Ridwan. Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Purwokerto: STAIN Press. 2016.
Yasin, Mohamad Nur. Politik Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia. Malang:
UIN Maliki Press. 2018.

14

Anda mungkin juga menyukai