Anda di halaman 1dari 19

0

SYI’AH ZAIDIYYAH DAN MODEL PENAFSIRANNYA

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Mazahib al-
Tafsir
Oleh:
ABDI AKRAM
NIM: 80600218015

Dosen Pemandu
Dr. H.M Sadik Sabry M.Ag
Dr. H. Aan Parhani Lc. M.Ag

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PASCASARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2020
1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada zaman Nabi, pemikiran tentang akidah dan syariat belum muncul

kepermukaan, oleh karena itu hampir setiap masalah ditanyakan langsung kepada

Nabi sendiri dan Nabi secara langsung menyelesaikan masalah. 1 Kemudian

setelah Nabi wafat beliau digantikan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin

Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib untuk memimpin umat Islam.

Pada masa Khulafaurrasyidin, persoalan teologi masih terjaga sampai berakhirnya

masa tersebut. Runtuhnya masa Khulafaurrasyidin dikarenakan terjadinya

perebutan tahta kekhalifahan dan kemudian memunculkan beberapa golongan

yang fanatik dengan konsep teologi masing-masing.

Setelah khalifah Usman bin Affan wafat, tepatnya pada masa khalifah Ali

bin Abi Thalib, mucul tiga golongan besar yang saling bertentangan mengenai

masalah siapakah yang secara sah menjadi khalifah pengganti Nabi. Ketiga

golongan tersebut muncul pada perseteruan yang dilakukan oleh golongan Ali bin

Abi Thalib dan Mu‟awiyah bin Abu Sufyan kemudian berakhir dengan

pengangkatan al-Qur‟an (arbitrase) yang menjadikan Muawiyah bin Abu Sufyan

menjadi khalifah. Golongan pertama yaitu Syi‟ah, sebagai pengikut Ali yang

berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib yang berhak menjadi khalifah. Golongan

kedua yaitu Umayyah atau Umawiyyūn, sebagai pengikut Mu‟awiyah yang

1
Hamka Haq, Pengaruh Teologi dalam Ushul Fikih (Cet. I; Makassar: Alauddin
University Press, 2013), h. 2.
2

berpendapat bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan yang berhak menjadi khalifah.

Sedangkan golongan ketiga yaitu Khawarij yang tidak memilih keduanya dan

menolak arbitrase.2

Syi‟ah pada awal kemunculannya dikenal sebagai salah satu firqah

politik umat Islam. Belakangan, kelompok Syi‟ah ini berkembang menjadi sebuah

gerakan pemikiran yang sangat menonjol.3 Pemikiran mereka mempengaruhi

dunia Islam dan menyebar ke berbagai wilayah sampai sekarang ini. Tentunya

Syi‟ah mempunyai pokok ajaran yang mampu mempertahankan eksistensinya

sejauh ini. Ajarannya terdiri dari akidah, syariat dan akhlak yang kemudian Syi‟ah

juga terpecah menjadi beberapa Golongan dengan ajaran yang berbeda pula. Salah

satu golongan dari syiah ini adalah syiah Zaidiyyah. Golongan inilah kemudian

pemakalah tertarik untuk membahas bagaimana sejarah kemunculan syiah

Zaidiyyah dan metode penafsirannya.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana sejarah munculnya Syiah Zaidiyyah?

2. Bagaimana pokok-pokok ajaran Syiah Zaidiyyah?

3. Bagaimana model penafsiran Syiah Zaidiyyah?

BAB II

PEMBAHASAN

2
Lihat. Toshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical
Analysis of Iman and Islam, terj. Agus Fahri Husein, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam:
AnalisisnSemantik Iman dan Islam (Cet. I; Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 3.
3
Fadli Su‟ud Ja‟fari, Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib Huseinal-Habsyi
(Cet. I; Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 1
3

A. Pengertian Syiah Zaidiyyah

Syiah Zaidiyah adalah sekte Syiah yang dinisbatkan kepada Zayd bin Ali

Zainal Abidin. Golongan ini berkembang di tahun 94 H. sepeninggal Ali Zaynal

Abidin, imam keempat dalam Syiah Imamiyah. Ketika Ali wafat, syiah terbagi

menjadi dua golongan yaitu golongancZaynal Abidin dan Bakir ibn Ali.4 Disebut

Zaidiyah karena sakte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam kelima, putra

imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sakte Syi‟ah lain

yang mengakui Muhammad Al-Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai

imam kelima. Dari nama zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah diambil.

Imam Zaid berguru kepada antara lain Washil bin Atha’ , tokoh aliran

mu’tazilah, yang dikenal sangat rasional, karena itulah banyak pandangan

Zaidiyyah yang sejalan dengan aliran mu’tazilah, seperti al-Manzilah baina al-

Manzilatain, dan kebebasan berkehendak manusia. mereka tidak seperti Syiah

lain menolak menggunakan taqiyyah, tidak juga mengatakan bahwa para imam

mengetahui ghaib dan tidak juga menetapkan ‘ismah (keterpeliharaan dari dosa

dan kesalahan) bagi para imam. Mereka tidak mengakui adanya ilmu khusus dari

Allah swt. kepada imam-imam atau lebih tepatnya pemimpin-pemimpin mereka

sebagaimana kepercayaan syiah yang lain, termasuk syiah imamiyah,

sebagaimana mereka tidak mengakui adanya raj’ah, raj’ah, yakni kembalinya

hidup orang-orang tertentu yang dinamai Imam Mahdi.5

4
Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam (New York: Vail-Ballau Press, 1985),
h. 60
5
M. Quraish Shihab, Sunni Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? (Cet. IV;
Tangerang: Lentera hati, 2014) h. 82
4

Aliran Zaidiyah ini adalah aliran yang paling dekat dengan Jamaah Islam

(Sunni) dan paling moderat Bahkan beberapa ulama dari kalangan ini sering

mengambil pendapat dari para ulama kalangan ahlus sunnah.6 Pun sebaliknya,

para ulama dari kalangan ahlus sunnah mengambil pendapat dari para ulama

golongan mereka jika didapati pendapat mereka tidak menyimpang dari ajaran

Quran dan Sunnah. Yang membedakan mereka dengan ahlus sunnah hanyalah

mereka menganggap bahwa imam imam mereka berkedudukan lebih mulia

daripada sahabat yang lainnya, namun mereka tidak mengklaim sahabat-sahabat

tersebut perampok.

Alasan lain yang menyebutkan bahwa Aliran ini adalah aliran paling

moderat karena tidak mengangkat para Imam ke derajat kenabian bahkan tidak

sempai pada derajat itu.7 Namun mereka memandang para Imam sebagai manusia

utama setelah Nabi Muhammad. Merekapun tidak mengkafirkan para sahabat

khususnya mereka yang dibai’at Ali dan mengakui kepemimpinannya. kendati

berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi yang termulia,

bahkan melebihi kemuliaan Abu Bakar, Umar dan Utsman r.an namun mereka

mengakui bahwa sahabat-sahabat Nabi itu sebagai Khalifah yang sah. Karena

itulah dan kerena keenggangan mereka mempersalahkan para sahabat Nabi itu,

apalagi mencaci dan mengutuk mereka, maka pengikut-pengikut Imam Zaid

dinamai dengan ar-Rafidhoh yakni penolak untuk yang menyalahkan dan

mencaci.8
6
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) h. 111.
7
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam ( Bandung: Pustaka Setia, 2015) h. 101.
8
Ada juga yang mengartikan ar-Rafidhoh sebagai siapa yang menolak pandangan Imam
Zaid tentang tidak wajarnya memaki sayyidina Abu Bakar dan Umar r.a sehingga siapapun yang
memakinya maka ia disebut Rafidhy.
5

Imam Zaid berpendapat bahwa Imam itu boleh siapa saja biarpun bukan

orang terbaik. Sifat yang disebutkan itu bukanlah sifat-sifat yang harus dipenuhi

untuk pengangkatan seorang Imam secara sah. Berdasarkan prinsip tersebut Imam

Zaid mengakui kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddq dan Umar serta tidak

mengkafirkan para sahabat. Mengenai hai ini ia mengatakan bahwa sesungguhnya

Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang diutamakan.9

Zaidiyah mempunyai paham tentang bolehnya membai’at dua Imam

dalam dua daerah kekuasaan yang berbeda. Sedangkan mengenai dosa besar

penganut Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal

ke dalam neraka selama mereka belum bertaubat dengan taubat yang sebenarnya.

Dalam hal ini mereka mengikuti paham Mu‟tazilah karena seorang tokoh

Mu‟tazilah Washil ibn Atha‟ mempunyai hubungan dengan Zaid. Setelah Imam

Zaidiyah terbunuh, aliran Zaidiyah ini perlahan menjadi aliran yang ekstrim

karena semakin melemahnya pemikirannya. Mereka bahkan menolak dan

menentang kekhalifahan Abu Bakar dan Umar kemudian dengan begitu hilanglah

cirri khas Zaidiyah generasi pertama. Dapat disimpulkan bahwa Zaidiyah terbagi

dua yaitu generasi pertama dipandang tidak ekstrim dan generasi kedua yang

dipandang ekstrim.10

B. Pokok–pokok ajaran Syi‟ah Zaidiyah:

Diantara pokok-pokok ajaran Syiah Zaidiyyah yaitu:

1. Di antara mazhab Zaidiyyah berpendapat bolehnya membaiat dua orang

9
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, h. 111
10
Muhammad Kamil al-Hasyimi, ‘Aqaidus-Syi’ah fil-Mizan, terj. H.M. Rasjidi, Hakikat
Akidan Syi’ah (Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989), h. 107.
6

imam pada satu daerah, yang mana masing-masing imam itu menjadi

imam yang dia keluar padanya (daerah tempat tingganya). Selama ia

berhias dengan sifat- sifat yang telah disebutkan, dan selama pemilihan

Ahlul Halli Wal ‘Aqdi itu berjalan bebas. Dari sini dapat dipahami,

sesungguhnya mereka tidak diperbolehkan berdirinya dua imam pada

satu daerah. Karena yang demikian itu mendorong masyarakat membaiat

dua orang imam pada satu daerah, dan demikian itu suatu yang dilarang

berdasarkan hadis yang shahih.11

2. Orang-orang Zaidiyah tidak mempercayai bahwa imam yang telah

diwasiatkan oleh Nabi Saw, itu telah ditunjuk nama dan orangnya,

melainkan diberitahukannya dengan sifatnya saja. Bahwa sifat-sifat yang

telah ditentukan ini menjadikan Imam Ali ra, dialah imam sesudah Nabi

Saw. Karena sifat-sifat ini tidak nyata pada seseorangpun dengan ukuran

nyata seperti dia. Sifat-sifat ini mewajibkan imam itu hendaklah dari

Bani Hasyim, wara, bertakwa, alim, dan dermawan. Dan sesudah Ali,

imam itu diisyaratkan hendaklah dari Bani Fathimiyah, artinya anak

keturunan Fathimah ra. (tidak termasuk Muhamad al-Hanafiyah, putra

Ali dari istri yang lain).12

3. Imamah, sebagaimana telah disebutkan, merupakan doktrin fundamental

dalam Syiah secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang

dikembangkan Syiah lain, Syiah Zaidiyah mengembangkan doktrin

11
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, h. 113.
12
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, h. 111.
7

imamah yang tipikal. Kaum Zaidiyah menolak pandangan yang

menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi

Saw. Telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya

ditentukan sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan sekte Syiah lain

yang percaya bahwa Nabi Saw. Telah menunjuk Ali sebagai orang yang

pantas menjabat sebagai imam setelah nabi wafat karena Ali memiliki

sifat-sifat yang dimiliki oleh orang lain, seperti keturunan Bani Hasyim,

wara (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik,dan

membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengikutinya

sebagai imam.13 Selanjutnya, menurut Zaidiyah, seorang imam paling

tidak harus memiliki sifat ciri-ciri sebagai berikut, pertama, ia

merupakan keturunan ahl-al-bait, baik melalui garis Hasan maupun

Husein. Kedua, memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya

mempertahankan diri atau menyerang. Ketiga, memiliki kecendrungan

inteelektualisme yang dapat dibuktikan melalui ide dan karya dalam

bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman iman, bahkan

mengembangkan doktrin imamat al-mafdul. artinya, seseorang dapat

dipilih menjadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan pada

saat yang sama ada yang afdal.

4. Bertolak dari doktrin tentang al- imamahal-mafdu, Syiah Zaidiyah

berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khathab

adalah sah dari sudut pandang Islam. Mereka tidak merampas kekuasaan

dari tangan Ali binAbi Thalib. Dalam pandangan mereka, jika ahl al-hall
13
M. Quraish Shihab, Sunni Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?, h. 81
8

wa al-aqd telah memilih seorang imam dari kalangan kaum muslimim,

meskipun ia tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh

Zaidiyah dan telah dibaiat oleh mereka, keimanannya menjadi sah dan

rakyat wajib berbaiat kepadanya. Mereka juga tidak mengkafirkan

seorang pun sahabat. Mengenai hal ini, Zaid sebagaimana dikutip Abu

Zahra mengatakan :14 Sesungguhnya imam Zaid berpendapat tentang

bolehnya imam yang kurang utama. Sifat- sifat imam yang disebutkan

bukanlah sifat-sifat yang wajib kesempurnaannya untuk sahnya imam,

tetapi sifat-sifat imam merupakan percontohan yang sempurna, yang

memilih lebih utama dari lain nya. Apabila Ahlul Halli Wal Aqdi

memilih imam yang tidak sempurna sebagian sifat-sifat dan

membaiatnya, maka sahlah imam dan baiatnya. Atas dasar prinsip itu,

imam Zaid menetapkan sahnya keimaman Abu Bakar dan Umar dan

tidak mengkafirkan seorang pun di antara sahabat-sahabat Nabi. Dia

mengatakan:15

Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib sahabat yang paling utama.


Kekhalifahannya diserahkan kepada Abu Bakar karena
mempertimbangkan kemasalahatan dan kaidah agama yang mereka
pelihara.Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru saja
berlalu.Pedang Amir Al Mukminin Ali belum lagi kering dari darah
orang-orang kafir.Begitupula kedengkian suku tertentu untuk
menuntut balas dendam belumlah surut.Sedikit pun hati kita tidak
pantas untuk cenderung untuk ke situ.Jangan ada lagi leher terputus
karena masalah itu.Inilah yang disebut dengan kemasalahatan bagi
orang yang mengenal dengan kelemahlembutan dan kasih sayang,
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 103.
14

15
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, h. 112.
9

juga bagi orang yang lebih tua dan lebih dahulu memeluk Islam,
serta yang dekat dengan Rasulullah.”
Perinsip inilah, menurut Abu Zahrah, yang menyebabkan banyak

orang keluar dari Syiah Zaidiyah. Salah satu implikasinya adalah

berkurangnya dukungan terhadap Zaid ketika ia berperang melawan

pasukan Hisyam bin Abdul Malik. Hal ini wajar mengingat salah satu

doktrin Syiah yang cukup mendasar adalah menolak kekhalifahan

Abu Bakar dan Umar dan menuduh mereka perampas hak

kekhalifahan dari tanggan Ali.

5. Orang-orang Zaidiyah berkeyakinan bahwa orang yang berdosa

besar kekal dalam neraka, selama dia tidak bertobat dengan tobat

yang sebenar-benarnya. Yang demikian itu mereka menempuh jalan

seperti pendirinya golongan Mu‟tazilah, karna Zaid mempunyai

hubungan dengan Washil bin Atho. Pemimpin Mutazilah. Hubungan

itu meyebabkan dia dibenci oleh sebagian orang-orang Syiah sendiri

berdasarkan sebab-sebab tersebut. Karena Washil berulang-ulang

mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib ra. Pada peperangan yang

terjadi antara dia dengan pasukan berunta (dipimpin oleh Siti

Aisyah ra.), orang-orang Syam (perang Siffin). Tidaklah

meyakinkan kebenarannya. Sesungguhnya salah satu di antara

kedua belah tentu ada yang salah, sekalipun dia tidak

menentukannya.16 Dalam hal ini, Syiah Zaidiyah memang dekat

Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan


16

Perkembangannya, h. 114.
10

dengan Mu‟tazilah. Ini bukan ssesuatu yang aneh mengingat

Washil bin Atha, salah seorang pemimpin Mu‟tazilah, mempunyai

hubungan dengan Za‟id. Moojan Momen bahkan mengatakan Zaid

pernah belajar kepada Wasil bin Atha. Baik Abu Zahra maupun

Mojaan Momen mengatakan bahwa dalam teologi Syiah Zaidiyah

hampir sepenuhnya mengikuti Mu‟tazilah, selain itu, secara etis

mereka boleh dikatakan anti-Mur‟jiah, dan berpendirian puritan

dalam menyikapi tarekat. Organisasi tarekat memang dilarang

dalam pemerintahan Zaidiyah.17 Dalam hal ini mereka terbagi dua

pendapat, sebahagian mereka mengatakan iman adalah ma‟rifat,

iqrar dan menjauhi hal- hal yang mendatangkan ancaman. Mereka

membagi kufur menjadi tiga, kufur syirik, kufur inkar dan kufur

nikmat. Orang yang menjalankan hal-hal yang mendatangkan

ancaman adalah kufur nikmat, sebab menjalankan hal-hal yang

demikian adalah bahagian dari iman. Sedang yang lain

mengatakan iman adalah seluruh ketaatan. Barang siapa

menjalankan hal-hal mendatangkan ancaman, seperti membunuh,

maka dia adalah kafir.18 Yang menjadi dasar adalah Q.S al-Nisa>/4:

93

‫ض َر ْبتُ ْم يِف َس بِ ِيل اللَّ ِه َفتََبَّينُ وا َواَل‬ ِ َّ‫ياأَيُّهَا ال‬


َ ‫ين َآمنُ وا إِذَا‬ َ ‫ذ‬ َ
‫ض‬ ‫َر‬‫ع‬ ‫ن‬َ ‫و‬ ‫غ‬ ‫ت‬ ‫ب‬ ‫ت‬
َ ‫ا‬ ‫ن‬ ِ ‫الس اَل م لَس ت م ْؤ‬
‫م‬ َّ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ي‬‫ل‬
َِ‫إ‬ ‫ى‬ ‫ق‬
َ ‫ل‬
َْ‫أ‬ ‫ن‬ ‫م‬ ِ‫َت ُقولُوا ل‬
َ َ ُ َ ْ ً ُ َ ْ َ ُ ْ َْ
17
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 103.
18
Aminun P. Omolu, “Syi’ah Zaidiyah: Konsep Imamah dan Ajaran-ajaran yang
lainnya” Jurnal Islaika Vol. 9 No.2 (Desember), Hal. 21
11

‫ك ُكْنتُ ْم ِم ْن َقْب ُل‬ ِ‫يَاة ال ُّد ْنيا فَعِْن َد اللَّ ِه مغَامِن َكثِ ريةٌ كَ َذل‬ ِ ‫احْل‬
َ َ ُ َ َ َ
‫فَ َم َّن اللَّهُ َعلَْي ُك ْم َفتََبَّينُوا إِ َّن اللَّهَ َكا َن مِب َا َت ْع َملُو َن َخبِ ًريا‬
Terjemahnya:

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan


sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya”(Qs.Annisa :
93)19
6. Mereka dalam ajaran-ajarannya lebih dekat kepada Ahlus Sunnah. Mereka

tidak mau bertaqiyah, berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar (tidak

mencelahnya) dan tidak melaknatinya. Mereka tidak mempercayai

ishmahnya imam dan menghilang (gaib) nya. Mereka berpendapat bahwa

rakyat berhak memilih imam mereka dari keturunan Rasululah Saw.

7. Berbeda dengan Syiah lain, Zaidiyah menolak nikah Mut’ah

(temporer).Tampaknya ini merupakan implikasi dari pengakuan mereka

atas kekhalifahan Umar bin Khatab. Seperti diketahui, nikah Mut’ah

merupakan salah satu jenis pernikahan yang dihapuskan pada masa Nabi

Saw. Pada perkembangannya, jenis perniikahan ini dihapuskan oleh

Khalfah Umar bin Khatab. Penghapusan ini jelas ditolak oleh sekte-sekte

Syi’ah selain Zaidiyah. oleh karena itu hingga sekarang- kecuali kalangan

Zaidiyah-kaum Syiah tetap mempraktekkan nikah mut’ah. Selanjutnya,

kaum Zaidiyah juga menolak doktrin taqiyah. Padahal menurut

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an al-Karim: Terjemah Perkata Transliterasi Latin (Jakarta:
19

Cahaya Qur’an, 2017), h. 93.


12

Thabathaba‟I, taqiyah merupakan salah satu doktrin yang penting dalam

Syiah.20

8. Meskipun demikian, dalam bidang ibadah, Zaidiyah tetap cenderung

menunjukkan simbol dan amalan Syiah pada umunya. Dalam azan

misalnya, mereka memberi selingan ungkapan hayya‟ala khair al-

amal, takbir sebanyak lima kali dalam salat jenazah, menolak sahnya

mengusap kaus kaki (maskh al-khuffaini), menolak imam salat yang

tidak saleh dan menolak binatang sembelihan bukan muslim.21

C. Model Penafsiran Syiah Zaidiyyah

Sebagai contoh penafsiran ketika Imam Asy-Syaukani menafsirkan

surah ali imran:3/169

‫َحيَاءٌ ِعْن َد‬


‫أ‬ ‫بَل‬ ‫ا‬ ‫ت‬
ً ‫ا‬ ‫و‬‫َم‬‫أ‬ ِ َّ‫واَل حَتْس َّ الَّ ِذين قُتِلُ وا يِف س بِ ِيل الل‬
‫ه‬
ْ ْ َْ َ َ ‫َ نَب‬ َ

‫َرهِّبِ ْم يُْر َزقُو َن‬

Trejemahnya:

20
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 104.
21
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 103.
13

Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur

di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup, disisi tuhannya

mendapat rezeki.22

Dalam kitab tafsirnya imam al-Syaukani mengemukakan

bahwa orang yang mati syahid hidup secara hakiki, bukan secara

majazi, dan mereka diberi rizki disisi tuhan mereka. Pendapatnya ini

beliau dasarkan kepada pendapat jumhur ulama bahkan berdasaran

hadis Rasulullah saw. beliau mengatakan bahwa ruh orang yang mati

syahid berada dalam rongga perut burung-burung hijau, mereka

mendapat rezeki dan mereka bersenang-senang.23

Inilah gambaran beberapa metode tafsir dalam kelompok

syiah. Ada beberapa perbedaan yang dapat dilihat dari kelompok-

kelompo syiah dalam metode menafsirkan al-Qur’an. Syiah Imamiyah

Itsna Asyariyah lebih banyak memakai metode takwil. Di samping itu

mereka juga memakai metode tafsir bl ma’tsur. Hal ini dapat dilihat

dalam kitab tafsir al-Sahfi karya imam al-Kahsyi. Adapun Syiah

Imamiyah Isma’iliyah atau biasa disebut kaum bahiniyah, walaupun

sama memakai metode takwil, tetapi cenderung arogan dan

mengabaikan aturan-aturan takwil dalam khazanah ulumul quran.

Selain itu kelompok syiah ini tidak pernah memiliki satupun kitab

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an al-Karim: Terjemah Perkata Transliterasi Latin (Jakarta:
22

Cahaya Qur’an, 2017), h. 72.


23
Ignaz Goldziher, Mazahib Tafsir: dari aliran klasik hingga modern (Yogyakarta:
Kalimedia, 2015) h. 328
14

tafsir. Penafsiran mereka tersebar di dalam kitab-kitab karangan ulama

mereka yang tidak mengkhususkan diri sebagai kitab tafsir.

Sementara itu kaum syiah zaidiyyah cenderung lebih moderat. Dari

segi ajaran mereka lebih dekat dengan Ahlu Sunnah, sehingga dalam

penafsiran terhadap al-Qur’an mereka memakai metode tafsir bil

Ma’tsur yang banyak dipakai kaum sunni. Pandangan mereka juga

tidak jauh berbeda dengan aliran Mu’tazilah.24 Dan tafsirnya pun

banyak memakai metode tafsir bil Ra’yi, juga banyak dipakai oleh

kaum Mu’tazilah, disamping memakai metode tafsir bil Ma’tsur.

Ada kelebihan yang dapat diambil dari metode tafsir yang digunakan

kelompok Syiah. Dengan menggunakan metode takwil, kelompok

syiah lebih konsen kepada makna bathin al-Qur’an, walaupun harus

diperhatikan bahwa banyak takwil mereka yang cenderung arogan.

Hal ini berbeda dengan metode tasir sunni yang cenderung literal dan

skriptualis, sehingga penafsian al-Qur’an di dunia sunni kurang

memperhatikan aspek Bathin al-Qur’an.

24
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran politik dan Aqidah dalam Islam (Cet. I; Jakarta
Selatan: Logos Pubishing House, 1996), h. 46.
15

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat dibuat beberapa poin

kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut:

1. Syiah Zaidiyah adalah sekte Syiah yang dinisbatkan kepada Zayd bin Ali

Zainal Abidin. Golongan ini berkembang di tahun 94 H. sepeninggal Ali

Zaynal Abidin, imam keempat dalam Syiah Imamiyah. Aliran Zaidiyah ini

adalah aliran yang paling dekat dengan Jamaah Islam (Sunni) dan paling
16

moderat Bahkan beberapa ulama dari kalangan ini sering mengambil

pendapat dari para ulama kalangan ahlus sunnah.

2. Diantara pokok-pokok ajaran Syiah Zaidiyyah berpendapat berpendapat

bolehnya membaiat dua orang imam pada satu daerah, yang mana masing-

masing imam itu menjadi imam yang dia keluar padanya. Di antaranya lagi

Orang-orang Zaidiyah berkeyakinan bahwa orang yang berdosa besar kekal

dalam neraka, selama dia tidak bertobat dengan tobat yang sebenar-

benarnya.

3. kaum syiah zaidiyyah cenderung lebih moderat. Dari segi ajaran mereka

lebih dekat dengan Ahlu Sunnah, sehingga dalam penafsiran terhadap al-

Qur’an mereka memakai metode tafsir bil Ma’tsur yang banyak dipakai

kaum sunni. Pandangan mereka juga tidak jauh berbeda dengan aliran

Mu’tazilah. Dan tafsirnya pun banyak memakai metode tafsir bil Ra’yi, juga

banyak dipakai oleh kaum Mu’tazilah, disamping memakai metode tafsir bil

Ma’tsur.
17

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Kariim
Abu Zahrah, Muhamma Imam d Aliran politik dan Aqidah dalam Islam , Cet. I;
Jakarta Selatan: Logos Pubishing House, 1996
al-Hasyimi Kamil Muhammad, ‘Aqaidus-Syi’ah fil-Mizan, terj. H.M. Rasjidi,
Hakikat Akidan Syi’ah , Cet. I; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989
Anwar Rosihon dan Rozak Abdul, Ilmu Kalam ( Bandung: Pustaka Setia, 2015
Fadli Su‟ud Ja‟fari, Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib Huseinal-
Habsyi (Cet. I; Malang: UIN-Maliki Press, 2010
Haq Hamka, Pengaruh Teologi dalam Ushul Fikih Cet. I; Makassar: Alauddin
University Press, 2013
Goldziher Ignaz, Mazahib Tafsir: dari aliran klasik hingga modern, Yogyakarta:
Kalimedia, 2015
18

Izutsu Toshihiko, The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical


Analysis of Iman and Islam, terj. Agus Fahri Husein, Konsep
Kepercayaan dalam Teologi Islam: AnalisisnSemantik Iman dan Islam
(Cet. I; Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 3.
Momen Moojan, An Introduction to Shi’i Islam, New York: Vail-Ballau Press,
1985
Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya,
Omolu P. Aminun, Syi’ah Zaidiyah: Konsep Imamah dan Ajaran-ajaran yang
lainnya” Jurnal Islaika Vol. 9 No.2 (Desember)
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012
Shihab M. Quraish, Sunni Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? ,Cet. IV;
Tangerang: Lentera hati, 2014

Anda mungkin juga menyukai