Anda di halaman 1dari 23

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Persediaan

Definisi dari persediaan adalah material berupa bahan baku baik berupa barang

setengah jadi, atau barang jadi yang disimpan dalam suatu tempat dimana barang

tersebut menunggu untuk diproses lebih lanjut. Menurut Sumarni dan Soeprihanto

(2000), persediaan merupakan sebuah aktiva yang meliputi barang-barang milik

perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam suatu periode usaha, atau persediaan

barang yang masih dalam proses produksi.

Menurut Assauri (1999), persediaan bahan baku (raw materials stock) yaitu

persediaan dari barang-barang berwujud yang digunakan dalam proses produksi,

dimana barang tersebut dapat diperoleh dari sumber-sumber alam maupun dibeli dari

supplier atau perusahaan yang menghasilkan bahan baku bagi perusahaan pabrik

yang menggunakan usahanya. Menurut Rangkuti (2000), persediaan yang diadakan

mulai dari bahan baku sampai barang jadi memiliki fungsi sebagai berikut.

1. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang

2. Menghilangkan resiko barang yang rusak.

3. Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan

4. Mencapai penggunaan mesin yang optimal

5. Memberi pelayanan yang sebaik-baiknya bagi konsumen

8
9

Dalam persediaan terdapat beberapa fungsi menurut Rangkuti (2000),

mengatakan fungsi-fungsi persediaan sebagai berikut.

1. Fungsi Decouping

Fungsi decouping adalah persediaan yang memungkinkan perusahaan dapat

memenuhi permintaan pelanggan tanpa tergantung pada pemasok. Persediaan ini

diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan konsumen yang tidak dapat

diperkirakan.

2. Fungsi Economic Lot Sizing

Persediaan Lot sizing ini perlu mempertimbangkan penghematan-penghematan

atau potongan pembelian, biaya pengangkutan per unit menjadi lebih murah dengan

frekuensi pemesanan yang lebih sedikit, dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena

perusahaan melakukan pembelian dalam kuantitas yang lebih besar dibandingkan

dengan biaya-biaya yang timbul karena besarnya persediaan.

3. Fungsi Antisipasi

Apabila perusahaan menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diperkirakan

dan diramalkan berdasarkan pengalaman atau data-data masa lalu, yaitu permintaan

musiman. Dalam hal ini perusahaan dapat mengadakan persediaan musiman

(seasonal inventories).

2.2 Pengendalian Persediaan Bahan Baku

Pengendalian persediaan (Inventory Control) merupakan penentuan suatu

kebijakan pemesanan bahan baku, kapan bahan baku tersebut dipesan, berapa banyak

yang dipesan secara optimal untuk dapat memenuhi permintaan.


10

Masalah penentuan besarnya persediaan merupakan masalah yang penting bagi

perusahaan. Persediaan mempunyai efek yang langsung terhadap keuntungan

perusahaan. Adanya persediaan bahan baku yang terlalu besar dibandingkan

kebutuhan perusahaan akan menambah biaya atau beban bunga, biaya penyimpanan,

biaya pemeliharaan gudang atau mesin, serta memungkinkan penyusutan dan kualitas

yang tidak bisa dipertahankan sehingga akan mengurangi keuntungan perusahaan.

Sebaliknya apabila persediaan bahan baku yang terlalu kecil atau kurang akan

mengakibatkan kemacetan dalam produksi, sehingga perusahaan akan mengalami

kerugian juga.

Pengertian bahan baku adalah barang-barang yang dibeli perusahaan untuk

digunakan dalam proses produksi (Jusup 1999). Suadi (2000), menyatakan bahan

baku adalah bahan yang menjadi bagian produk jadi dan dapat diidentifikasikan ke

produk jadi, maka bahan baku adalah bahan input yang akan diproses menjadi barang

jadi. Pengendalian erat hubungannya dengan pengawasan. Penentuan jumlah

persediaan perlu ditentukan sebelum melakukan penilaian persediaan. Jumlah

persediaan dapat ditentukan dengan dua sistem yang paling umum dikenal pada akhir

periode yaitu: Periodic system, yaitu setiap akhir periode dilakukan perhitungan

secara fisik agar jumlah persediaan akhir dapat diketahui jumlahnya secara pasti.
11

2.2.1 Sistem pengendalian persediaan

Menurut Assauri (1998), penentuan jumlah persediaan ditentukan sebelum

melakukan penilaian persediaan. Jumlah persediaan dapat ditentukan dengan dua

sistem yang umum dikenal pada akhir periode yaitu sebagai berikut.

1. Periodic system, yaitu setiap akhir periode dilakukan perhitungan secara fisik agar

jumlah persediaan akhir dapat diketahui jumlahnya secara pasti.

2. Perpetual system atau book inventory yaitu setiap kali pengeluaran diberikan

catatan administrasi barang persediaan.

Dalam melakukan penilaian persediaan terdapat beberapa cara yang dapat

digunakan yaitu sebagai berikut.

1. First In First Out (FIFO) cara ini didasarkan atas asumsi bahwa arus harga bahan

adalah sama dengan arus penggunaan bahan. Sejumlah unit bahan dengan harga

beli tertentu sudah habis dipergunakan, maka penggunaan bahan baku berikutnya

harga akan didasarkan pada harga beli berikutnya. Dasar metode ini maka harga

atau nilai dari persediaan akhir adalah sesuai dengan harga dan jumlah pada unit

pembelian terakhir.

2. Last In First Out (LIFO) perusahaan beranggapan harga beli terakhir dipergunakan

untuk bahan baku yang pertama keluar sehingga masih ada stok dnilai berdasarkan

harga pembelian terdahulu.

3. Weighted Average (rata-rata tertimbang) cara ini didasarkan atas harga rata-rata

per unit bahan adalah sama dengan jumlah harga per unit yang dikalikan dengan
12

masing-masing kuantitasnya kemudian dibagi dengan seluruh jumlah unit bahan

dalam perusahaan tersebut.

4. Harga standar merupakan besarnya nilai persediaan akhir dari suatu perusahaan

akan sama dengan jumlah unit persediaan akhir dikalikan dengan harga standar

perusahaan. Harga pokok produksi suatu unit atau produk selama periode tertentu,

yang ditentukan dimuka.

2.2.2 Tujuan pengendalian persediaan bahan baku

Tujuan diadakan pengendalian persediaan bahan baku pada perusahaan adalah

agar proses produksi dapat berjalan dengan lancar. Pengendalian yang dimaksud

adalah secara kuantitas dan kapan pemesanan bahan baku dilakukan. Menurut

Ginting (2007), menjelaskan bahwa tujuan dari pengendalian persediaan adalah

sebagai berikut.

a. Pemasaran ingin melayani konsumen secepat mungkin sehingga menginginkan

persediaan dalam jumlah yang banyak.

b. Produksi ingin beroperasi secara efisien. Hal ini mengimplikasikan order produksi

yang tinggi akan menghasilkan persediaan yang besar (untuk mengurangi set-

upmesin). Selain itu, produk memerlukan persediaan bahan baku, setengah jadi

atau komponen yang cukup sehingga proses produksi tidak terganggu karena

kekurangan bahan.

c. personalia menginginkan adanya persediaan untuk mengantisipasi fluktuasi

kebutuhan tenaga kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak perlu

dilakukan.
13

Menurut Assauri (1998), tujuan pengawasan persediaan dapat diartikan sebagai

usaha untuk.

1. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga menyebabkan

proses produksi terhenti.

2. Menjaga agar penentuan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar sehingga

biaya yang berkaitan dengan persediaan dapat ditekan.

3. Menjaga agar pembelian bahan baku secara kecil-kecilan dapat dihindari.

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi persediaan bahan baku

Menurut Ahyari (1995), ada beberapa faktor yang mempengaruhi persediaan

bahan baku. Faktor-faktor tersebut akan saling berkaitan dan faktor-faktor tersebut

adalah sebagai berikut.

1. Perkiraan pemakaian

Sebelum kegiatan pembelian bahan baku dilaksanakan , maka manajemen harus

dapat membuat perkiraan bahan baku yang akan dipergunakan di dalam proses

produksi pada suatu periode . Perkiraan bahan baku ini merupakan perkiraan tentang

berapa besar jumlahnya bahan baku yang akan dipergunakan oleh perusahaan untuk

keperluan produksi pada periode yang akan datang . Perkiraan kebutuhan bahan baku

tersebuat dapat diketahui dari perencanaan produksi perusahaan berikut tingkat

persediaan bahan jadi yang dikehendaki oleh manajemen.

2. Harga dari bahan

Harga bahan baku yang akan dibeli menjadi salah satu faktor penentu pula

dalam kebijaksanaan persediaan bahan. Harga bahan baku ini merupakan dasar
14

penyusunan perhitungan berapa besar dana perusahaan yang harus disediakan untuk

investasi dalam persediaan bahan baku tersebut. Sehubungan dengan masalah ini,

maka biaya modal (cost of capital) yang dipergunakan dalam persediaan bahan baku

tersebut harus pula diperhitungkan.

3. Biaya-biaya persediaan

Biaya-biaya untuk menyelenggarakan persediaan bahan baku ini sudah selayaknya

diperhitungkan pula di dalam penentuan besarnya persediaan bahan baku.

4. Pemakaian senyatanya

Pemakaian bahan baku senyatanya dari periode-periode yang lalu (actual

demand) merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan karena untuk keperluan

proses produksi akan dipergunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam

pengadaaan bahan baku pada periode berikutnya . Seberapa besar penyerapan bahan

baku oleh proses produksi perusahaan serta bagaimana hubungannya dengan

perkiraan pemakaian yang sudah disusun harus senantiasa dianalisa . Dengan

demikian maka dapat disusun perkiraaan bahan baku mendekati pada kenyataan.

5. Model Pembelian bahan

Manajemen perusahaan harus dapat menentukan model pembelian yang paling

sesuai dengan situasi dan kondisi bahan baku yang dibeli. Model pembelian yang

optimal atau EOQ.

6. Persediaan bahan pengaman (SS)

Persediaan pengamanan adalah persediaan tambahan yang diadakan untuk

melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan bahan (stock out).


15

Selain digunakan untuk menanggulangi terjadinya keterlambatan datangnya bahan

baku. Adanya persediaan bahan baku pengaman ini diharapkan proses produksi tidak

terganggu oleh adanya ketidakpastian bahan. Persediaan pengaman ini merupakan

sejumlah unit tertentu , dimana jumlah ini akan tetap dipertahankan, walaupun bahan

bakunya dapat berganti dengan yang baru.

7. Waktu tunggu

Waktu tunggu (lead time) adalah tenggang waktu yang diperlukan (yang

terjadi) antara saat pemesanan bahan baku dengan datangnya bahan baku itu sendiri.

Waktu tunggu ini perlu diperhatikan karena sangat erat hubungannya dengan

penentuan saat pemesanan kembali (re-order point). Dengan waktu tunggu yang tepat

maka perusahaan akan dapat membeli pada saat yang tepat pula, sehingga resiko

penumpukan persediaan atau kekurangan persediaan dapat ditekan seminimal

mungkin.

8. Pemesanan kembali (re-order point)

Re-order point adalah saat atau waktu tertentu perusahaan harus mengadakan

pemesanan bahan baku kembali, sehingga datangnya pemesanan tersebut tepat

dengan habisnya bahan baku yang dibeli, khususnya dengan metode EOQ. Ketepatan

waktu tersebut harus diperhitungkan kembali agak mundur dari waktu tersebut akan

menambah biaya pembelian bahan baku atau stock out cost (SOC) , bila terlalu awal

akan diperlukan biaya penyimpanan yang lebih atau extra carrying cost (ECC).
16

2.3 EOQ

EOQ merupakan volume atau jumlah pembelian yang paling ekonomis untuk

dilaksanakan pada setiap kali pembelian. Metode EOQ merupakan salah satu metode

dalam manajemen persediaan yang klasik dan sederhana.

Menurut Gitosudarmo (2002), EOQ merupakan volume atau jumlah pembelian

yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada setiap kali pemesanan. Menurut

Hansen dan Mowen (2005), EOQ atau kuantitas pemesanan ekonomis adalah sebuah

contoh dari sistem persediaan yang bertujuan menentukan kuantitas pesanan yang

akan meminimalkan total biaya. Pembelian bahan baku dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan perusahaan agar tidak kekurangan bahan baku serta pembelian dan

persediaan bahan baku optimal dengan menggunakan EOQ.

Perumusan metode ini sering disebut EOQ Wilson karena metode ini

dikembangkan oleh seorang peneliti bernama Wilson pada tahun 1934. Metode EOQ

mengasumsikan permintaan secara pasti dengan pemesanan yang dibuat secara

konstan serta tidak adanya kekurangan persediaan. Untuk memenuhi kebutuhan itu

maka dapat diperhitungkan pemenuhan kebutuhan (pembeliannya) yang paling

ekonomis yaitu sejumlah barang yang akan dapat diperoleh dengan pembelian dengan

menggunakan biaya yang minimal. Grafik EOQ dapat dilihat pada Grafik 2.1.
17

Tingkat Persediaan

MI Pesanan diterima

ROP
EOQ

SS SS

0 Lt Lt

Grafik 2.1 Grafik EOQ menurut Gitosudarmo (2002)


Keterangan :

ROP : Re-Order Point


Lt : Waktu tunggu (Lead time)
Q : Jumlah persediaan
SS : Persediaan pengaman
EOQ : Economic Order Quantity
MI ; Maximum Inventory
Beberapa asumsi perlu diperhatikan apabila ingin melakukan metode

EOQ.Asumsi-asumsi EOQ menurut Harahap (1999) dan Indra (2008) sebagai

berikut.

1. Harga per unit barang konstan

2. Biaya penyimpanan per unit per tahun konstan

3. Pada saat pemesanan barang tidak terjadi kehabisan barang yang menyebabkan

perhitungan tidak tepat.


18

4. Permintaan konsumen, biaya pemesanan, biaya transportasi, dan waktu antara

pemesanan barang sampai dengan barang tersebut dikirim dapat diketahui.

2.3.1 Waktu tunggu (Lead Time)

Dalam pengisian bahan baku, terdapat perbedaan waktu antara saat pemesanan

bahan baku untuk penggantian sampai dengan bahan baku tersebut sampai. Menurut

Assauri (2000), pengertian lead timeadalah waktu antara mulai dilakukannya

pemesanan bahan baku sampai dengan kedatangan bahan yang dipesan tersebut dan

diterima di gudang persediaan.

Menurut Ahyari (1999), penentuan waktu tunggu mempunyai dua macam biaya

yaitu

1. Biaya penyimpanan tambahan

Biaya penyimpanan tambahan sering disebut extra carrying cost. Biaya

penyimpanan tambahan adalah biaya penyimpanan yang harus dibayar oleh

perusahaan karena adanya surplus bahan baku. Keadaan ini disebabkan karena

kedatangan bahan yang dipesan lebih awal dari waktu yang direncanakan.

2. Biaya kekurangan bahan

Biaya kekurangan bahan sering disebut dengan stock out cost. Biaya kekurangan

bahan merupakan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan karena perusahaan

kekurangan bahan baku untuk keperluan produksinya. Biaya-biaya yang termasuk

mendapatkan bahan baku pengganti, termasuk selisih harganya merupakan contoh

dari biaya kekurangan bahan. Hal ini disebabkan apabila perusahaan tidak berhasil

mendapatkan pengganti bahan baku, yang berarti proses produksi perusahaan akan
19

terhenti. Keadaaan kekurangan bahan ini diakibatkan oleh karena bahan baku yang

dipesan datangnya lebih lama dari waktu yang diinginkan.

2.3.2 Persediaan pengaman atau safety stock (SS)

Persediaan pengaman adalah persediaan tambahan yang diadakan untuk

mengantisipasi atau menjaga kemungkinan bila terjadinya kekurangan atau kehabisan

bahan baku. Kekurangan bahan baku dapat disebabkan karena beberapa faktor,

seperti produksi yang tinggi sehingga penggunaan bahan baku menjadi terlalu besar

dari perkiraan semula, atau terjadinya keterlambatan dalam pengiriman bahan baku

yang dipesan. Persediaan pengaman dapat mengurangi kerugian akibat kekurangan

persediaan. Persediaan pengaman dapat menambah biaya penyimpanan bahan

(Assauri, 2000).

Meskipun dalam pembelian bahan baku sudah digunakan EOQ, kenyataannya

masih bisa terjadi out of stock (kehabisan persediaan) dalam proses produksi.

Menurut Gitosudarno (2002), out of stock akan timbul apabila penggunaan bahan

dasar dalam proses produksi lebih besar dari pada yang diperkirakan sebelumnya. Hal

ini berakibat persediaan akan habis diproduksi sebelum pembelian atau pemesanan

berikutnya akan datang.

Menurut Rangkuti (2004), persediaan pengaman adalah persediaan tambahan

yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan

bahan. Ada beberapa faktor yang menentukan besarnya persediaan pengaman yaitu.

1. Rata-rata tingkat permintaan dan rata-rata masa tenggang.

2. Keragaman permintaan pada masa tenggang.


20

3. Keinginan tingkat pelayanan yang diberikan.

Hal-hal yang harus dipenuhi dalam menyediakan persediaan pengaman adalah.

1. Persediaan yang minimum.

2. Besarnya permintaan pesanan

3. Waktu tunggu pemasaran.

Besarnya SS tergantung pada ketidakpastian pasokan bahan baku maupun

permintaan. Pada situasi normal, ketidakpastian pasokan bahan bau diwakili dengan

standar deviasi lead time, yaitu waktu antara perusahaan memesan sampai dengan

bahan baku tersebut diterima. Ketidakpastian permintaan biasanya diwakili dengan

standar deviasi permintaan per periode. Jika permintaan per periode maupun lead

time sama-sama konstan maka tidak diperlukan adanya SS karena bahan baku datang

pada persediaan di gudang sama dengan nol.

2.3.3 Titik pemesanan kembali (Re-Order Point)

Re-Order Point (ROP) atau titik pemesanan kembali adalah suatu titik

minimum atau batas dari jumlah persediaan yang ada pada suatu saat dimana

pemesanan harus kembali dilakukan. Menurut Rangkuti (2007), ROP merupakan

batas titik jumlah pemesanan kembali termasuk permintaan yang diinginkan atau

dibutuhkan selama masa tenggang, misalnya suatu tambahan atau ekstra.

ROP terjadi apabila jumlah persediaan yang dimiliki sudah berkurang

mendekati nol, dengan demikian perusahaan harus menentukan berapa banyaknya

minimal tingkat persediaan yang harus dipertimbangkan agar tidak terjadi kekurangan

ataupun kehabisan persediaan.


21

Menurut Rangkuti (2007), model ROP ditentukan oleh jumlah permintaan dan

masa tenggangnya yaitu.

1. Jumlah permintaan dan masa tenggangnya konstan.

2. Jumlah permintaan berupa variabel, sedangkan masa tenggangnya konstan.

3. Jumlah permintaan konstan, sedangkan masa tenggangnya berupa variabel.

4. Jumlah permintaan dan masa tenggangnya berupa variabel.

2.3.4 Frekuensi pembelian bahan baku

Frekuensi pembelian bahan baku berpengaruh terhadap biaya pemesanan dan

biaya penyimpanan. Semakin sering perusahaan melakukan pembelian bahan baku,

semakin banyak biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang dikeluarkan. Oleh

karena itu, frekuensi pembelian bahan baku perlu ditetapkan secara cermat. Menurut

Carter (2009), penetapan frekuensi pembelian bahan baku didasarkan pada kebutuhan

bahan baku per tahun dan kuantitas pemesanan atau pembelian ekonomis.

2.3.5 Menentukan jumlah persediaan maksimum (Maximum Inventory)

Maximum Inventory (MI) diperlukan untuk menghindari jumlah persediaa yang

berlebihan di gudang sehingga tidak menimbulkan biaya yang lebih besar untuk

penyimpanan persediaan, dan perawatan alat tersebut. Persediaan maksimum adalah

jumlah persediaan bahan baku yang paling besar yang sebaiknya disediakan oleh

perusahaan. Terkadang persediaan maksimum yang ada di perusahaan tidak

didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan efektivitas biaya persediaan dan kegiatan

perusahaan.
22

Setelah diketahui besarnya EOQ, persediaan minimum, ROP, dan maksimum

inventory maka selanjutnya akan dapat digambarkan grafik yang menunjukkan

hubungan antara EOQ, SS, ROP, dan MI. Menurut Assauri (1999), persediaan

maksimum ditentukan dengan cara menjumlahkan SS dengan EOQ.

2.4 Biaya Persediaan Bahan Baku

Mengadakan persediaan bahan baku perusahaan harus mengeluarkan biaya

keperluan persediaan bahan baku tersebut. Untuk pengambilan keputusan penentuan

besarnya biaya-biaya variabel dan untuk menentukan kebijakan persediaan yang perlu

diperhatikan adalah bagaimana perusahaan dapat meminimalkan biaya-biaya. Biaya-

biaya yang harus dipertimbangkan menurut Rangkuti (2004), adalah sebagai berikut.

1. Biaya Penyimpanan (carrying cost)

Biaya Penyimpanan terdiri dari biaya-biaya yang bervariasi secara langsung

dengan kuantitas persediaan, biaya penyimpanan per periode akan semakin besar

apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak atau rata-rata persediaan

semakin tinggi. Biaya-biaya yang termasuk sebagai biaya penyimpanan antara lain:

a. Biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan (termasuk penerangan, pendingin

ruangan, dan sebagainya).

b. Biaya modal (opportunity cost of capital), yaitu alternatif pendapatan atas dana

yang di investasikan dalam persediaan.

c. Biaya penanganan persediaan dan sebagainya.

Biaya pemesanan atau pembelian (ordering cost atau procurement cost), biaya-

biaya ini meliputi biaya sewa tempat, upah, biaya telepon, pengeluaran surat-
23

menyurat, biaya pengepakan dan penimbangan, dan biaya pemeriksaan (inspeksi)

penerimaan.

Pada umumnya biaya pemesanan diluar biaya bahan dan potongan kuantitas

tidak naik apabila kuantitas pesanan bertambah besar. Tetapi apabila semakin banyak

komponen yang dipesan setiap kali pesan, jumlah pesanan per periode turun, maka

biaya pemesanan total akan turun.

2. Biaya Pemesanan (ordering cost)

Menurut Mulyono (2002), ordering cost adalah biaya yang berhubungan

dengan penambahan persediaan yang dimiliki. Biaya ini biasanya dinyatakan dalam

rupiah per pesanan dan tidak terkait dengan volume pemesanan. Ordering cost

berhubungan positif dengan frekuensi persediaan. Biaya pengiriman, pemesanan,

inspeksi penerimaan dan pencatatan termasuk ke dalam ordering cost.

Ordering cost adalah biaya-biaya yang berubah-ubah sesuai dengan frekuensi

pesanan, yang terdiri dari.

1. Biaya selama proses pesanan

2. Biaya pengiriman pesanan

3. Biaya penerimaan barang yang dipesan

2.5 Tauco

Tauco merupakan makanan tradisional Indonesia yang memiliki cita ras khas

dan telah umum digunakan sebagai bumbu penyedap dalam berbagai hidangan

sehari-hari, seperti tauge goreng, sambal tauco, dan berbagai hidangan sayur-sayuran

danri kangkung, buncis, kacang panjang, dan sebagainya.


24

Tauco berbahan dasar dari biji kedelai, berbentuk pasta (semi padat), berwarna

kekuningan sampai coklat dan mempunyai rasa spesifik. Tauco dibuat dari campuran

kedelai dan garam. Jenis tauco ada dua macam yaitu bentuk kering dan bentuk basah,

sedangkan dari rasanya dibedakan atas yang asin dan yang manis. Perbedaannya

terletak dari jumlah air dan banyaknya gula yang ditambahkan (Koswara, 2009)

Pembuatan tauco dilakukan melalui dua tahap fermentasi, yaitu fermentasi

kedelai yang dilakukan oleh kapang (mold fermentation) dan fermentasi yang

dilakukan oleh khamir dan bakteri dalam larutan garam. Pembuatan tauco dilakukan

dengan perlakuan pendahuluan yang meliputi beberapa tahap seperti pencucian

kedelai, perendaman, perebusan, penghilangan kulit, penirisan, pendinginan,

fermentasi, dan terakhir perendaman biji kedelai dalam larutan garam (Koswara,

2009).

Menurut Koswara (2009), proses pembuatan tauco dilakukan dengan dua tahap

fermentasi, yaitu fermentasi kapang dan fermentasi dalam larutan garam. Fermentasi

kapang dilakukan baik secara spontan atau dengan menambahkan laru tempe.

Kedelai dicuci bersih dan direbus selama 1 s.d. 2 jam, kemudian dikupas kulitnya.

Kedelai tanpa kulit tersebut selanjutnya dicuci dan direndam selama 24 jam. Lalu

kedelai direbus kembali selama 1 s.d. 2 jam (sampai lunak), didinginkan dan

ditiriskan. Kemudian dilakukan fermentasi kapang (dengan spontan atau penambahan

laru tempe 2 s.d. 5 persen), selama 2 s.d. 5 hari pada suhu kamar. Kedelai hasil

fermentasi kemudian dihancurkan kasar menjadi 2 s.d. 4 bagian per biji kedelai dan

direndam dalam larutan garam 25 s.d. 50 persen, kemudian diinkubasi selama 10 s.d.
25

20 hari dalam wadah terbuka dibawah sinar matahari dan dilakukan pengadukan tiap

hari.

Setelah fermentasi garam selesai, ditambah sejumlah air dan direbus, diberi

bumbu-bumbu, kemudian dibotolkan. Hasilnya disebut dengan tauco basah. Jika

kemudian dikeringkan (dijemur) maka hasilnya disebut tauco kering.

Makin lama waktu fermentasi akan diikuti kenaikan pH karena adanya

peningkatan kelarutan protein. Makin lama waktu fermentasi, biji kedelai makin

lunak (Koswara, 2009).

2.6 Proses Pembuatan Tauco Menjadi Kecap

Kecap dapat dibuat melalui tiga cara, yaitu cara fermentasi, hidrolisis asam dan

kombinasi dari kedua cara tersebut. Dibandingkan dengan kecap yang dibuat secara

hidrolisis, kecap yang dibuat dengan cara fermentasi biasanya mempunyai rasa dan

aroma yang lebih baik. Hal ini merupakan alasan mengapa jarang dijumpai

pembuatan kecap secara hidrolisis asam, meskipun prosesnya lebih cepat

(Koswara,2009).

Pembuatan kecap secara fermentasi pada prinsipnya menyangkut pemecahan

protein, lemak dan karbohidrat oleh aktivitas enzim dari kapang, ragi (kamir) dan

bakteri menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana yang menentukan cita rasa,

aroma dan komposisi kecap. Pembuatan kecap secara hidrolisis pada dasarnya

pemecahan protein dengan menggunakan asam sehingga menghasilkan peptida-

peptida dan asam-asam amino. Kecap jenis ini kurang lengkap komposisinya

dibandingkan dengan kecap fermentasi.


26

Pembuatan kecap kombinasi merupakan gabungan kedua cara diatas.

Pembuatan kecap di Indonesia pada umumnya dilakukan secara fermentasi.

Fermentasi terdiri dari dua tahap yaitu fermentasi kapang dan fermentasi dalam

larutan garam. Fermentasi kapang dapat dilakukan secara spontan atau menggunakan

biakan murni (yang disebut koji). Pada fermentasi kapang secara spontan, dipilih

terlebih dahulu kedelai yang baik, lalu dicuci, dan direbus, ditiriskan dan

dihamparkan pada tampah (nyiru). Selanjutnya nyiru yang berisi kedelai matang

ditutup dengan daun pisang atau karung goni dan dibiarkan selama 3 s.d 5 hari

sehingga ditumbuhi kapang (Koswara, 2009).

Fermentasi kapang dengan menggunakan koji dilakukan sebagai berikut,

kedelai dipilih yang baik, dicuci dan direndam selama 12 s.d 24 jam. Kemudian

dikukus atau direbus sampai matang dan didinginkan, selanjutnya diinokulasi dengan

koji sebanyak 2 s.d 5 persen dan diinkubasi pada suhu ruang selama 3 s.d 5 hari.

Menurut Koswara (2009), kedelai yang telah difermentasi dengan kapang

selanjutnya direndam dalam larutan garam 20 persen dan dibiarkan terfermentasi

selama 3 s.d 10 minggu. Selanjutnya hasil fermentasi garam ditambah dengan

sejumlah air dan direbus. Kemudian disaring dan bagian cairannya dipanaskan pada

suhu 60 s.d 70 0C selama 30 menit. Selanjutnya cairan tersebut dimasak bersama

bumbu dan gula aren (kecap manis) atau garam (kecap asin) dan disaring. Filtrat hasil

penyaringan merupakan kecap yang sudah jadi dan siap dibotolkan.


27

2.7 Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian sebelumnya adalah hasil penelitian oleh Rio (2014) yang

berjudul Analisis Pengawasan Persediaan Bahan Baku Kacang Koro Pada Perusahaan

Kacang Rajawali Boga Sejahtera Denpasar, Bali. Pokok permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimana pengawasan persediaan bahan baku agar optimal

sehingga didapatkan efisiensi biaya persediaan pada perusahaan.

Jumlah pembelian bahan baku yang dilakukan perusahaan berfluktuasi,

pembelian bahan baku kacang koro sebesar 1.290 kg, bawang putih sebesar 55 kg,

dan 51 kg untuk garam. Frekuensi pembelian setiap jenis bahan baku adalah 70 kali

untuk kacang koro, 87 kali untuk bawang putih, dan 47 kali untuk garam dalam satu

tahun. Setelah melakukan analisis persediaan bahan baku normatif, hasil jumlah

pembelian bahan baku yang didapat yaitu sebesar 1.311 kg untuk kacang koro,

bawang putih sebesar 254 kg, dan garam sebesar 358 kg dalam satu tahun. Jumlah SS

yang dimiliki perusahaan adalah 161 kg untuk kacang koro, 22 kg untuk bawang

putih, dan 13 kg untuk garam. Setelah melakukan analisis persediaan bahan baku

yang efektif didapatkan SS yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan untuk kacang

koro adalah sebesar 301 kg, 16 kg untuk bawang putih, dan delapan kg untuk garam.

Total biaya persediaan dengan efisiensi biaya persediaan perusahaan yang

aktual dan sesudah dilaksanakannya pengawasan persediaan bahan baku secara

efektif pada tahun 2013 adalah total biaya persediaan yang sesungguhnya dikeluarkan

perusahaan dengan realisasi 60.299 kg yaitu sebesar Rp 1.787.683. Sehingga dapat


28

disimpulkan bahwa dengan menggunakan analisis pengawasan persediaan yang

efektif, perusahaan dapat lebih mengefisiensikan biaya persediaan.

Penelitian yang juga mengangkat topik bahan baku yaitu Krisna (2007), dengan

judul Pengawasan Persediaan Bahan Baku Kacang Asin Pada Perusahaan Kacang

Asin Rahayu Multi Bogatama Denpasar. Penelitian ini dihitung menurut data tahun

2006. Perusahaan berproduksi sebesar 120.105 kg, sehingga hasil yang didapat dari

analisis EOQ adalah perusahaan sehareusnya melakukan pembelian bahan baku

kacang tanah sebesar 1.757 kg, 480 kg garam, dan 283 kg bawang putih dalam sekali

pemesanan. Jumlah safety stock yang seharusnya disediakan perusahaan sebesar 600

kg kacang tanah, 16 kg garam dan 20 kg bawang putih. Re-order Point yang

seharusnya dilakukan sebesar 1.200 kg kacang tanah, 32 kg garam, dan 40 kg bawang

putih. Persediaan maksimum yang seharusnya dimiliki perusahaan berdasarkan

analisis EOQ adalah 2.357 kg kacang tanah, 496 kg garam, dan 303 kg bawang putih.

Analisis biaya persediaan bahan baku tauco dilakukan dengan dua cara yaitu

menghitung total biaya aktual dan total biaya normatif. Total biaya aktual adalah total

biaya persediaan sesungguhnya yang dikeluarkan perusahaan. Total biaya normatif

adalah total biaya persediaan perusahaan setelah dilakukan perhitungan menggunakan

analisis EOQ.

Hasil perhitungan total biaya aktual dan normatif tersebut akan diperoleh

efisiensi biaya yang kemudian dapat diambil kesimpulan yang selanjutnya dapat

memberikan suatu saran atau rekomendasi kepada perusahaan Kecap Manalagi.

Berikut Tabel perbedaan dan persamaan penelitian relevan diatas.


29

Tabel 2.1
Tabel Perbedaan dan Persamaan pada Kedua Penelitian Relevan diatas

No Judul Penelitian Perbedaan Persamaan

1. Analisis Pengawasan Persediaan  Perbedaan lokasi  Menggunakan


Bahan Baku Kacang Koro Pada penelitian analisis EOQ
Perusahaan Kacang Rajawali Boga  Perbedaan waktu
Sejahtera Denpasar, Bali penelitian
2. Pengawasan Persediaan Bahan  Perbedaan lokasi  Menggunakan
Baku Kacang Asin Pada Perusahaan penelitian analisis EOQ
Kacang Asin Rahayu Multi  Perbedaan waktu
Bogatama Denpasar penelitian

2.8 Kerangka Pemikiran

Dalam memproduksi kecap dan keberlanjutan usaha, Perusahaan Kecap

Manalagi menggunakan bahan baku berupa tauco. Kenyataan pada perusahaan Kecap

Manalagi saat ini menunjukkan pembelian bahan baku masih berfluktuasi dan metode

yang dapat digunakan dalam menganalisis pembelian bahan baku adalah metode

EOQ, atau kuantitas pemesanan ekonomis. EOQ adalah jumlah volume atau jumlah

pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada setiap kali pembelian.

Metode EOQ memiliki beberapa efisiensi seperti jumlah barang yang dipesan pada

setiap pemesanan konstan, harga per unit barang juga konstan, biaya pemesanan dan

biaya penyimpanan.

Perhitungan biaya normatif diatas akan dibandingkan dengan perhitungan biaya

aktual yang ada pada Perusahaan Kecap Manalagi. Perhitungan biaya normatif

dengan menggunakan metode EOQ. Setelah melakukan perbandingan perhitungan


30

biaya normatif dengan biaya aktual pada Perusahaan Kecap Manalagi akan diperoleh

efisiensi biaya yang kemudian dapat diambil suatu keputusan pembelian bahan baku,

dan selanjutnya dapat memberikan suatu saran atau rekomendasi kepada Perusahaan

Kecap Manalagi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Perusahaan Kecap Manalagi

Pengendalian
persediaan bahan
baku

Analisis Persediaan Bahan Baku dengan


metode EOQ:
1. Economic Order Quantity (EOQ)
2. Safety Stock (SS)
3. Reorder Point (ROP)
4. Maximum Inventory (MI)
5. Frekuensi pembelian bahan baku (N)
6. Total Inventory Cost (TIC)

Total Biaya Total Biaya


normatif aktual

Efisiensi Biaya

Rekomendasi

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis Analisis Pengendalian Persediaan Bahan


Baku Tauco di Perusahaan Kecap Manalagi

Anda mungkin juga menyukai