Anda di halaman 1dari 8

Ujian Tengah Semester Genap Periode 2010/2011

Name : Adlini Ilma Ghaisany Sjah


Dept./NPM : International Relations / 0906550360
Mata Kuliah : Teori Ekonomi Politik Internasional 1
Tanggal : 23 Maret 2011

Perspektif Merkantilisme, Liberalisme dan Marxisme: Pemerkaya Kajian Isu


dalam Analisis Ekonomi Politik Internasional

Kajian ekonomi politik internasional merupakan salah satu bidang penting dalam studi
Hubungan Internasional. Ekonomi politik internasional meneliti hubungan antara negara dan
pasar dalam lingkungan internasional. Aspek yang ditekankan dari hubungan tersebut adalah
aspek politik, dikarenakan power yang dimiliki oleh sebuah negara dianggap tidak akan dapat
terpisahkan dari wealth negara tersebut. Secara umum, Robert Gilpin menjelaskan bahwa ada
tiga isu yang merupakan pokok analisis dalam ekonomi politik internasional. 1 Pertama, mengenai
sebab dan akibat, baik secara ekonomi maupun secara politik, dalam perkembangan pasar
ekonomi. Isu kedua adalah hubungan antara perubahan ekonomi dan perubahan politik dalam
lingkup hubungan internasional. Isu ketiga dan terakhir adalah mengenai dampak dari pasar
ekonomi dunia terhadap kondisi ekonomi domestik sebuah negara. Terdapat tiga
perspektif/ideologi berbeda dalam menganalisis tiga isu ini, yaitu Merkantilisme (ekonomi
nasionalisme), liberalisme, dan marxisme. Esai ini akan membandingkan tiga perspektif utama
tersebut dalam argumennya mengenai ekonomi politik internasional. Struktur perbandingan akan
dilakukan per isu yang menjadi pokok analisis dalam ekonomi politik internasional.
Sebelum mulai membandingkan, perlu dicatat bahwa yang menjadi kontroversi utama
dalam bahasan ekonomi politik internasional adalah bagaimana cara untuk memenuhi
kepentingan negara sekaligus kepentingan pasar. Yang dimaksud dengan kepentingan negara
adalah terpenuhinya nilai-nilai stability dan keadilan dalam kebijakan sosial. Sementara itu,
kepentingan pasar adalah mengedepankan nilai “keuntungan”, yang didapatkan melalui
“efisiensi” operasi. Ini menjadi tarik ulur antar kedua pihak, karena efisiensi lebih mudah
didapatkan dengan menganggap bahwa manusia dan buruh adalah alat produksi yang tidak
memiliki hak, sementara pemenuhan nilai-nilai keadilan dapat berarti harus ada pengorbanan
dari sisi efektivitas produksi. Letak ekonomi politik internasional dalam hubungan internasional

1
Robert Gilpin, The Political Economy of International Relations, (New Jersey: Princeton University Press, 1987),
hal. 12-14

1
dapat dikaitkan dengan tiga perspektif utama yang meneliti aktor dan isu dalam hubungan
internasional, yaitu realism, liberalism, dan strukturalisme. Dalam hal ini asumsi-asumsi realism
direpresentasikan dalam perspektif nasionalisme ekonomi politik internasional, liberalism
dengan liberalism, dan strukturalisme dengan marxisme.

1. Sebab dan akibat dalam ekonomi politik internasional


Isu pertama yang akan dibandingkan adalah sebab dan akibat, baik secara ekonomi
maupun secara politik, dalam pasar ekonomi. Dalam hal ini, penulis akan membahas aktor utama
yang diajukan masing-masing perspektif, tujuan yang ingin dicapai, dan argumen mengenai cara
mencapai tujuan tersebut. Perspektif nasionalisme menyatakan bahwa negara adalah aktor utama
dalam ekonomi politik internasional. Gill dan Law menjelaskan bahwa perspektif ekonomi
nasionalisme menekankan asumsi-asumsi realis dimana tujuan utama adalah survival, security
dan national interest.2 Oleh karena itu, negara dilihat sebagai aktor yang paling tepat untuk
mencapai tujuan tersebut, karena negara dapat menggabungkan dan merefleksikan keseluruhan
kepentingan dari masyarakat. Dengan adanya otonomi dan kontrol di tangan negara di bidang
ekonomi, lebih mungkin untuk aktivitas ekonomi diarahkan sesuai kepentingan negara dan untuk
membangun negara. Para merkantilis percaya bahwa strategi terbaik untuk mencapai survival,
security, dan kepentingan nasional tersebut adalah melalui proses industrialisasi ekonomi.
Robert Gilpin menjelaskan mengenai tiga keunggulan sektor industri.3 Pertama, industri
memiliki spillover effect terhadap keseluruhan ekonomi. Pembangunan industri yang meliputi
perkembangan teknologi akan memajukan sektor-sektor lain menjadi lebih efisien dan
menguntungkan. Kedua, kepemilikan atas industri dianggap sebagai simbol kemandirian dan
otonomi politik. Hal ini dikarenakan industrialisasi melibatkan perkembangan teknologi,
sementara teknologi adalah kunci untuk efisiensi dan kontrol dalam sebuah negara terhadap
sumber daya yang dimilikinya. Sebagai contoh, negara-negara berkembang yang belum melalui
proses industrialisasi sepenuhnya, seperti Indonesia, kini sangat bergantung pada negara-negara
industri untuk mengelola sumber dayanya. Dalam pandangan merkantilisme, negara berkembang
yang seperti ini dilihat telah gagal dalam memastikan kepentingan politik, security, dan survival-
nya. Alasan ketiga dalam penekanan terhadap industri dikarenakan industri dianggap sebagai

2
Stephen Gill dan David Law, The Global Political Economy: Perspectives, Problems and Policies, (Exeter: A.
Wheaton & Co. Ltd, 1988), hal. 27
3
Robert Gilpin, Op Cit., hal. 33

2
basis dari kekuatan militer dan pusat dari keamanan nasional dalam dunia modern. Negara
industri merupakan negara manufaktur, yang dapat menentukan nasib banyak negara lain yang
membutuhkan pasokannya
Jika ekonomi nasionalisme atau merkantilisme menekankan bahwa ekonomi politik
internasional harus dapat membangun dan menguatkan negara, maka perspektif liberalisme 180
derajat berbeda. Dalam perspektif liberalisme, aktor utama yang dikaji adalah individu sebagai
homo economicus yang rasional. Individu sebagai konsumer, pembentuk perusahaan, serta
pemilik rumah tangga merupakan fondasi dasar dari masyarakat. Interaksi ekonomi antar
individu ini dapat menghasilkan suatu equilibirium keadaan yang paling efisien dan paling
menguntungkan untuk semua pihak terlibat. Hal ini dikenal sebagai positive sum game4, yang
mengandung asumsi adanya kerjasama dan kompetisi yang harmonis. Sesuai dengan
tujuan/target utama liberalisme dalam ekonomi politik internasional, yaitu untuk menguntungkan
individu-individu yang menjadi konsumer (dengan demikian, sekaligus menguntungkan setiap
pihak lain yang terlibat proses ekonomi). Strategi terbaik menurut liberalisme adalah untuk
mengupayakan terciptanya pasar bebas dan terbuka, dengan minimal intervensi dari negara dan
alur informasi yang bebas/transparan. Informasi yang mudah diakses ini menjadi kebutuhan
dasar dalam pembuatan keputusan yang rasional oleh individu – tanpa informasi, individu dapat
melakukan analisis cost/benefit yang keliru dan tidak berujung pada keputusan terbaik.
Terakhir, ekonomi strukturalisme atau marxisme berasumsi bahwa aktor utama yang
harus dikaji adalah kelas, khussnya kelas proletariat, karena kelas inilah yang nantinya akan
membawa perubahan dan menuntu dihapuskannya sistem kapitalisme di dunia. Berbeda dengan
dua perspektif sebelumnya, Marxisme tidak memberikan argumentasi pada suatu metode
pengelolalaan terbaik untuk mencapai tujuan tertentu, namun lebih menganggap bahwa sistem
ekonomi kapitalistik adalah “given” (memang seperti itu, tidak dapat diubah) dan lebih fokus
pada menjelaskan apa yang akan terjadi pada kapitalisme dalam perkembangannya. Hal yang
ingin diteliti oleh Marxisme, lebih khususnya, adalah mengenai modal/kapital, dimana modal
dilihat sebagai proses produksi dan pengaturan insititusional/kekeuasaan yang membentuk
kesadaran kolektif dan mengeksploitasi pekerja/buruh. Perkiraan yang dibuat oleh Marxisme
berlandaskan filsafat “Historis Materialisme”, yaitu bahwa hubungan produksi yang menjadi
penentu dalam sejarah. Sebab yang diajukan oleh Marxisme adalah tindakan kaum pemilik
4
R. J. Barry Jones, “International Political Economy: Perspectives and Prospects: Part II”, dalam Review of
International Studies, Vol. 8, No. 1 (Jan., 1982), diakses dari http://www.jstor.org/stable/20096936, hal. 40

3
modal yang ingin mengeksploitasi, semetara negara berfungsi memastikan proses produksi
seperti ini terus berjalan, sehingga berujung pada penindasan buruh.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa dalam ulasan mengenai sebab dan akibat dalam
ekonomi politik internasional pun ketiga perspektif tersebut sudah sangat beda konsentrasinya.
Masing-masing perspektif menyatakan tujuan yang berbeda dari ideologinya, sehingga tentu saja
cara yang diajukan berbeda dan tidak bisa didebatkan secara langsung, tanpa debat mengenai apa
tujuan yang lebih penting terlebih dahulu, dan apa fungsi ekonomi dalam negara. Daripada
menganggap ketiga perspektif ini adalah oposisi dimana satu perspektif yang paling benar/logis
penjelasannya, lebih baik untuk menganggap bahwa tiga perspektif ini ada dalam tataran yang
setara dan berfungsi untuk memberikan penekanan yang berbeda pada setiap contoh kasus.
Adanya perspektif yang dominan, misalnya perspektif liberalisme, tidak mencerminkan bahwa
liberalisme lebih “benar” dari merkantilisme atau marxisme, hanya saja perspektif ini lebih
banyak dipercayai oleh statesmen dan diterapkan. Namun, peneliti masih dapat meneliti apakah
ada unsur-unsur Merkantilisme yang diterapkan dalam kasus tersebut, dan Marxisme masih
dapat meneliti tingkat eksploitasi yang berlangsung dan dampaknya pada hubungan sosial dalam
kasus tersebut.
Contoh kasus yang mungkin diambil adalah dalam perdagangan bebas NAFTA (North
Atlantic Free Trade Area), antara Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada. Perspektif liberalisme
akan menekankan bahwa perdagangan bebas antar tiga negara ini sangat menguntungkan untuk
konsumen di tiga negara, karena ada persediaan produk yang lebih besar dan lebih
terdiversifikasi, sehingga konsumen lebih diuntungkan. Amerika Serikat diuntungkan secara
absolut karena mendapatkan pasokan bahan mentah dalam harga yang lebih murah dan juga
tenaga kerja yang lebih murah. Sementara itu, Meksiko diuntungkan karena mendapatkan
transfer teknologi dari Amerika Serikat dan juga dapat mengimpor barang dengan lebih murah.
Sehingga, perspektif liberalisme akan membuktikan bahwa ada mutual gain. Namun, perspektif
Merkantilisme dapat tetap berargumentasi bahwa dalam tujuan penguatan negara, Meksiko
berada dalam bahaya karena penyediaan barangnya sangat bergantung pada Amerika Serikat
yang memiliki teknologi untuk mengolah bahan mentah menjadi siap pakai. Sementara itu,
Amerika Serikat akan dinilai oleh Merkantilisme telah melakukan kebijakan yang sangat
strategis karena dapat menciptakan assymetrical interdependence yang lebih menguntungkan
pihak AS. Untuk perspektif Marxisme, yang dapat dianalisis dari kasus NAFTA adalah

4
bagaimana penciptaan NAFTA oleh Amerika Serikat dimaksudkan untuk mempertahankan
sistem kapitalisme AS dan terus mengeksploitasi masyarakat Meksiko dengan membangun
pabrik-pabrik di Meksiko dengan bayaran rendah untuk tenaga kerjanya. Dengan demikian, telah
ditunjukkan bahwa tiga perspektif tersebut dapat digunakan sesuai dengan argumentasi dan
konsentrasi kasus yang ingin ditunjukkan oleh penulis. Tentu saja, penulis tetap dapat
berargumentasi mengenai konsentrasi kasus yang paling penting untuk dikaji antara penguatan
negara, pemberian keuntungan untuk konsumen, dan pembangunan hubungan sosial.
2. Hubungan antara perubahan politik dan perubahan ekonomi
Isu kedua adalah mengenai hubungan antara perubahan politik dan perubahan ekonomi.
Gilpin mengajukan pertanyaan mengenai faktor politik apa yang memepengaruhi sifat dan akibat
dari perubahan struktural dalam bidang ekonomi, dan sebaliknya?5 Sebelum kita dapat
menganalisis secara spesifik faktor-faktor dalam pertanyaan Gilpin, harus dimengerti terlebih
dahulu posisi/hubungan antara urusan politik dan urusan ekonomi dalam setiap perspektif.
Dalam perspektif merkantilisme, urusan ekonomi sifatnya di bawah (subordinate to) urusan
politik. Ini sesuai dengan tujuan merkantilisme yang ingin menguatkan negara, sehingga urusan
ekonomi memang harus dimaksudkan untuk perkembangan politik. Perubahan dan
perkembangan dalam bidang ekonomi dapat membatasi ruang gerak politik, namun pada
akhirnya tujuan politik yang ingin dicapai akan bersifat kaku (untuk setiap negara), dan lebih
banyak perubahan terletak di struktur ekonomi yang menyesuaikan dengan tujuan politik
tersebut. Ada unsur kesengajaan dalam merubah ekonomi demi politik. Pengorbanan salah satu
bidang untuk bidang yang lain tentunya dalam asumsi bahwa perkembangan ekonomi dan politik
tidak seterusnya saling menguntungkan. Hal ini masih menjadi perdebatan antara para ahli.
Sementara itu, dalam perspektif ekonomi liberalisme, para penganutnya percaya bahwa
ekonomi harusnya terpisah dari politik, karena logika yang berlaku di setiap bidang berbeda.
Seperti yang diulas di awal esai ini, ekonomi mengedepankan efisiensi dan efektivitas dan
bagaiamna cara mengedepankan biaya, sementara negara dan politik mengedepankan bagaimana
cara mendapatkan keadilan dan hak merata untuk setiap penduduknya. Sedangkan tujuan
liberalisme adalah untuk efisiensi ekonomi dan keuntungan individu, maka liberalisme
menyatakan lebih baik negara/insititusi politik tidak ikut campur dalam urusan pasar, dan
biarkan pasar berjalan sendiri dengan “invisible hand”-nya. Konsep kemandirian pasar ini juga

5
Robert Gilpin, Op Cit., hal. 13

5
dikenal sebagai konsep Laissez faire. Oleh karena itu, perubahan politik yang berdampak pada
ekonomi dianggap tidak disengaja (dengan asumsi pemerintah memegang teguh prinsip
liberalisme). Kalaupun ada intervensi politik terhadap ekonomi, itu hanya untuk hal-hal yang
belum dapat dilakukan oleh pasar secara mandiri, misalnya saat krisis dan ekonomi kurang
modal, atau saat informasi tidak tersedia secara bebas, sehingga negara perlu memberikan
perlindungan terhadap produsen atau konsumen yang dirugikan karena tidak bisa membuat
keputusan rasional. Contoh kekurangan kedua terdapat sangat banyak dalam negara berkembang
dengan sektor agrikultur, seperti petani teh/biji kopi yang berdagang dengan Starbucks. Petani
tidak mendapatkan informasi mengenai harga teh/kopi mereka di pasar internasional, sehingga
menjualnya jauh di bawah harga. Dalam situasi ini, pasar bebas belum sempurna, sehingga
pemerintah/negara intervensi dalam usaha membuat pasar lebih “adil” terhadap individu.
Keynes6 mengajukan konsep Neoliberalisme ini di saat individu dan pasar tidak bijaksana dalam
prospek yang tidak jelas, contohnya dalam pasar finansial.
Dalam perspektif ketiga, yaitu Marxisme, hubungan antara perubahan ekonomi dan
perubahan politik justru merupakan dasar dari keseluruhan argumentasi Marxisme. Perubahan
ekonomi dalam hal ini yang merupakan faktor penentu, dan perubahan politik dan sosial
merupakan efek selanjutnya. Dalam hal ini dapat dilihat kontrasnya antara Merkantilisme yang
tujuan akhirnya kekuatan negara, Liberalisme yang tujuan akhirnya keuntungan individu, dan
Marxisme yang tujuan akhirnya adalah hubungan sosial yang lebih adil. Marx berargumentasi
bahwa meskipun individu dapat berlaku rasional, sistem kapitalis dasarnya irrasional dan akan
hancur pada waktunya. Ada tiga hukum yang harus dihadapi oleh sistem kapitalisme, yaitu (1)
Law of disproportionality – dalam hasil produksi ekonomi; (2) Law of concentration of capital,
dan (3) The falling rate of profit.7 Ketiga hal ini akan membuat modal dan kapital berakumulasi
pada pihak pemilik modal, sementara keuntungan yang didapatkan oleh kaum buruh semakin
sedikit, membuat mereka semakin marah dan bertindak secara revolusioner. Namun, dalam
perkembangan sejarah, kematian sistem kapitalis ini tidak terjadi. Lenin, murid Marx,
berargumentasi bahwa negara telah menghindari tiga hukum ini dengan cara imperialisasi, yaitu
mengekspansi aktivitas ekonomi mereka ke negara-negara berkembang dan memanfaatkan
sumber daya di situ untuk terus berkembang. Sehingga, Lenin menyatakan ada hukum ke-4 yang
6
“Nationalism, Liberalism, Marxism – International Political Economy Theory School, Academic Origins, and
Contemporary Representatives of”, diakses dari http://eng.hi138.com/?i75131# pada tanggal 22 Maret 2011, 13.11
WIB
7
Robert Gilpin,loc. Cit., hal. 36-37

6
harus dihadapi, yaitu: “Dengan berkembangnya sistem kapital dan tingkat keuntungan semakin
menurun, ada paksaan untuk mengkolonialisasi negara lain dan menciptakan ketergantungan.
Penguasaan sistem imperialisme ini dibagi antar negara besar, dan terus melalui dinamika politik
antar negara besar hingga ada revolusi dari kaum proletariat internasional secara kolektif.” 8
Dengan demikian, dalam perspektif Marxisme, perubahan ekonomi yang lebih menentukan atas
perubahan politik. Perubahan ekonomi ini bersifat inherent dan inevitable, yaitu sengaja tidak
sengaja akan tetap terjadi.
3. Dampak dari pasar ekonomi dunia terhadap pasar ekonomi domestik
Isu terakhir yang akan menjadi dasar perbandingan antara ketiga perspektif adalah
dampak dari pasar ekonomi dunia terhadap pasar ekonomi domestik. Dalam perspektif
merkantilisme, hubungan dalam pasar ekonomi dunia adalah sebuah zero sum game.
Kepentingan negara selalu berada dalam konflik. Ini berarti keuntungan (misalnya trade surplus)
yang didapatkan oleh sebuah negara berarti kerugian untuk negara lain (trade deficit). Perspektif
merkantilisme memandang posisi dan keuntungan negara selalu secara lebih relatif. Pandangan
ini juga harus diperhatikan saat menganalisis dampak dari pasar ekonomi dunia terhadap pasar
ekonomi domestik, apakah akhirnya negara tersebut untung atau rugi.
Sebaliknya, dalam perspektif liberalisme, hubungan dalam pasar ekonomi dunia adalah
positive sum game, yaitu sama-sama menguntungkan untuk setiap pihak yang terlibat, baik itu
produsen, konsumen, ataupun negara. Hal ini dimungkinkan karena cara pandang liberalisme
yang lebih menekankan pada keuntungan secara absolut. Dengan demikian liberalisme
meamndang bahwa pasar ekonomi dunia yang lebih luas dan menyediakan lebih banyak pilihan
dan kompetisi, sehingga lebih efisien, menguntungkan untuk kondisi ekonomi secara domestik.
Untuk lebih menguntungkan setiap pihak dalam perdagangan internasional, David Ricardo
berargumentasi bahwa setiap negara harusnya fokus pada keunggulan komparatif masing-masing
dalam produksi. Ricardo berasumsi bahwa setiap negara memiliki keunggulan produk masing-
masing, dan perdagangan bebas akan membuat produsen berspesialisasi dalam industrinya.
Spesialisai produk dan tenaga kerja ini akan membuat akitivitas ekonomi lebih efisien dan
efektif, untuk menekan biaya produksi dan memberikan harga termurah untuk konsumen.
Pandangan bahwa pasar ekonomi dunia menguntungkan secara ekonomi ini tidak
dibantah oleh Marxisme. Marxisme hanya menekankan bahwa meskipun secara ekonomi

8
Ibid, hal. 39

7
mungkin sistem kapitalistik dunia berhasil, secara politik ini akan melahirkan ketidakstabilan:
pertama dalam hubungan antar negara besar yang ingin menjadi dominan, kemudian antara
negara besar dan negara berkembang yang dieksploitasi. Dengan demikian, dampak dari pasar
ekonomi dunia terhadap pasar ekonomi domestik adalah meningkatkan eksploitasi yang mungkin
terjadi. Jones menjelaskan bahwa eksploitasi ini muncul dari sistem spesialisasi yang persis sama
dengan yang diargumentasikan sebagai hal yang menguntungkan oleh para penganut liberalisme.
Untuk para “radical”, sebutan Jones untuk para Marxisme, spesialisasi yang dipaksakan terhadap
negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya mentah menciptakan kondisi
underdeveloped.9 Negara-negara yang berspesialisasi dalam sektor agrikultur, misalnya, tidak
mampu menciptakan produk bernilai tinggi dan tenaga kerjanya juga cenderung sifatnya
membutuhkan banyak orang dengan tingkat gaji rendah. Sementara itu, negara maju
berspesialisasi pada sektor teknologi dan manufaktur yang produknya berniali tinggi dan tingkat
gaji tinggi per orang. Contoh ini juga diulas oleh Barry Jones dalam hubungan Utara-Selatan,
dimana permintaan untuk produk industri maju semakin tinggi, namun permintaan untuk bahan
mentah semakin rendah, karena industri sudah lebih efisien.10
Dapat disimpulkan bahwa dalam ekonomi politik internasional, terdapat tiga perspektif
yang memberikan penekanan aspek berbeda mengenai hubungan antara negara dan pasar dalam
lingkup internasional, yaitu perspektif Merkantilisme (ekonomi nasionalisme), perspektif
Liberalisme, dan perspektif Marxisme (strukturalisme). Ketiga perspektif ini memiliki asumsi
dan argumen masing-masing saat membahas isu-isu dalam ekonomi politik internasional. Esai
ini telah mengulas isu sebab dan akibat dalam ekonomi politik internasional; hubungan antara
perubahan politik dan perubahan ekonomi; dan dampak pasar ekonomi dunia terhadap pasar
ekonomi domestik. Penggunaan salah satu dari tiga perspektif ini disesuaikan dengan argumen
yang ingin dibuktikan oleh peneliti. Meskipun terdapat asumsi perspektif yang berlawanan,
misalnya antara zero sum game Merkantilisme dan positive sum game Liberalisme, konsep yang
diajukan masing-masing perspektif tidak sepenuhnya berlawanan. Keberadaan tiga perspektif ini
dapat lebih memperkaya kajian kita dalam menganalisis ekonomi politik internasional.

9
Barry Jones, Loc. Cit., hal. 43
10
Ibid, hal. 44

Anda mungkin juga menyukai