Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam kehidupan sehari-hari konflik atau sengketa dapat

diselesaikan melalui jalur litigasi dan non litigasi. Litigasi adalah penyelesaian

sengketa hukum melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi adalah

penyelesaian sengketa hukum di luar pengadilan yang dikenal dengan alternatif

penyelesaian sengketa (ADR/Alternative Dispute Resolution). Tidak ubahnya

seperti manusia, bank sebagai badan usaha yang bergerak dalam sector

keuangan juga sering mengalami konflik atau benturan kepentingan dengan

nasabah ataupun Manakala terjadi Wanprestasi pihak bank lebih

mengutamakan penyelesaian secara damai melalui prosedur-prosedur 3R

(Rescheduling, Reconditioning dan Restructuring) setelah tahapan tersebut

dilalui dan debitur masih tetap saja tidak dapat melakukan kewajibannya pihak

bank masih menempuh upaya penyelesaian melalui jalur non litigasi. Setelah

melalui penyelesaian melaui jalur non litigasi sengketa belum terselesaikan

maka sebagai sarana terakhir penyelesaian melalui litigasi.1

Proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama

lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir

(ultimum remedium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak

membuahkan hasil. Pada umumnya, masyarakat lebih banyak menyelesaikan

1
Ismiyanto. 2019. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Gugatan Sederhana Berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan
Sederhana. Mahkamah Agung, Jakarta, hlm. 2.

1
sengketa melalui proses litigasi karena lebih dikenal oleh masyarakat itu

sendiri.2

Dalam masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi dan

bahkan dapat dikatakan populer (dan merakyat), sehingga dalam bahasa sehari-

hari sudah dicampurbaurkan begitu saja dengan istilah utang. Dalam bahasa

latin kredit disebut “credere” yang artinya percaya, maksudnya si pemberi

kredit percaya kepada si penerima kredit sedangkan bagi si penerima kredit

berarti menerima kepercayaan. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan

yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jayat waktu

tertentu dengan pemberian bunga.

Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian pinjam-meminjam (uang)

itu dibuat atas dasar kepercayaan bahwa nasabah peminjam dana dalam

tenggang waktu yang telah ditentukan, akan melunasi atau mengembalikan

pinjaman uang atau tagihan itu kepada bank disertai pembayaran sejumlah

bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan sebagai imbal

jasanya.3

Maka sebelum kredit diberikan bank terlebih dahulu mengadakan

analisis kredit. Analisis kredit mencakup, latar belakang nasabah atau

2
Ibid, hlm. 3.
3
M. Yahya Harahap. 2006, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hlm. 23.

2
perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang diberikan, serta faktor-faktor

lainnya. Akibatnya jika salah menganalisis, maka kredit yang disalurkan

akan sulit ditagih (macet). 4

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada ketentuan

tentang bagaimana seharusnya bentuk suatu perjanjian. Di dalam perjanjian

kredit juga tidak ada ketentuan bahwa perjanjian kredit harus dalam bentuk

tertentu. 5 Sedangkan didalam praktik perbankan, perjanjian kredit pada

umumnya dibuat secara tertulis, karena perjanjian tertulis lebih aman

bagi para pihak dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuk tertulis

para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan, dan ini

merupakan bukti yang jelas.

Dari perjanjian tersebut timbul suatu hubungan hukum antara dua

pihak pembuatnya yang dinamakan perikatan. Sedangkan pengertian

Perikatan adalah suatu hubungan hukum di bidang hukum kekayaan di mana

satu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya berkewajiban

untuk melaksanakan suatu prestasi. Manusia sebagai mahluk yang lebih

mulia dari mahluk lainnya, mempunyai hasrat patuh, hasrat sosial dan hasrat

untuk meniru, hal inilah yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-

perbuatan yang merugikan orang lain. 5

Di dalam prakteknya sering debitur mengalami kegagalan dalam

menjalankan usahanya. Ini menjadikan debitur tidak dapat mengembalikan

pinjaman kredit yang telah diperolehnya dengan tepat pada waktunya.


4
Gazali S, Djoni., Rachmadi Usman. 2012, Hukum Perbankan, Cetakan II, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 12.
5
M. Yahya Harahap. 2006, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hlm. 23.

3
Beberapa faktor penting yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan

pemenuhan kontraktual meliputi:6

1. Wanprestasi

2. Overmacht (force majeure, daya paksa)

3. Keadaan Sulit (hardship)

Di dalam hukum perjanjian perbuatan merugikan orang lain ini

dinamakan juga dengan Wanprestasi yaitu jika pihak dan nasabah

debitur tidak memenuhi isi perjanjian, maka salah satu pihak dapat menuntut

pihak lainnya sesuai dengan jenis prestasinya. Kondisi ini dinamakan

Wanprestasi (ingkar janji). Istilah Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda

yang berarti prestasi buruk. Mengenai pengertian Wanprestasi sendiri,

masih belum mendapat keseragaman atau masih terdapat bermacam-macam

istilah maupun pengertian yang digunakan untuk menggambarkan Wanprestasi.

Terjadinya Wanprestasi senantiasa diawali dengan hubungan kontraktual

(characteristics of default is always by a preceded contractual relationship).7

Menurut R. Soebekti, Wanprestasi artinya apabila si berutang tidak

melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan

Wanprestasi. Ia alpa lalai atau juga ingkar janji atau juga ia melanggar

perjanjian bila ia lakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh ia lakukan.

Tindakan Wanprestasi ini akan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak

6
Yahman. 2014, Karakteristik Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penipuan, Cetakan I,
Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 9.
7
Ibid, hlm 10.

4
pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan Wanprestasi agar

melakukan ganti rugi.8

Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan,

melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya,

melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan yang

menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu masalah kredit

bermasalah memerlukan penyelesaian yang bijaksana dimana para pihak

tidak merasa dirugikan.9

Perkembangan Hukum Acara Perdata di Indonesia yang awalnya hanya

terdiri dari pemeriksaan secara biasa sekarang telah disederhanakan seiring

dengan terbitnya PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara

Penyelesaian Gugatan Sederhana. Dalam perma tersebut, sengketa yang bisa

diselesaikan adalah sengketa Wanprestasi atau cidera janji dan diselesaikan

dengan tenggang waktu maksimal 1 bulan (25 hari kerja).10

Peradilan sederhana atau lazim disebut Small Claim Court adalah

sebuah mekanisme penyelesaian perkara secara cepat sehingga yang diperiksa

dalam Small Claim Tribunal tentunya adalah perkara-perkara yang sederhana.

Dalam pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 4 Tahun 2019 disebutkan Gugatan

perdata cidera janji/Wanprestasi, dan dengan nilai gugatan materil paling

banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) Pasal 1 ayat (2) perkara

8
Ibid, hlm 11.
9
Afriana, A., Chandrawulan, A.A, 2019, Menakar Penyelesaian Gugatan Sederhana di
Indonesia, Bina Mulia, Malang, hlm. 19.
10
Ibid, hlm 20.

5
yang tidak masuk dalam gugatan sederhana bukan (lagi) mengenai mengenai

pembatasan domisili dimana mengharuskan satu wilayah hukum pengadilan.11

Penulis tertarik pada penyelesaian Wanprestasi Debitur Bank Tabungan

Negara Kantor Cabang Kendari yang telah di putus oleh Pengadilan Negeri

Kendari (putusan nomor 30/Pdt.G.S/2020/PN Kdi. Dimana Rahyun

mengajukan Kredit Pemilikan Rumah BTN Platinum senilai Rp.

350.000.0000,- dan Kreditur telah memberikan surat peringatan untuk

melunasi tunggakan selama 2 bulan, namun Debitur tidak beritikad baik

sehingga Debitur dalam hal ini telah melakukan Wanprestasi berdasarkan

perjanjian kredit antara keduanya.

Berdasarkan Putusan Nomor 30/Pdt.G.S/2020/PN Kdi, hakim sama

sekali tidak menjabarkan dengan spesifik mengenai pertimbangan

pengadilan/hakim untuk sampai kepada suatu keputusan yang merupakan

referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum (ratio

decidendi) sehingga tidak menerima gugatan Bank BTN KC Kendari

(Penggugat) terhadap Rahyun selaku Debitur (Tergugat). Fokus penulis pada

pertimbangan Hakim menolak gugatan Penggugat berdasarkan pasal 4 ayat 3

yang mengharuskan Penggugat dan Tergugat dalam gugatan sederhana

berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama sebab Rahyun berdomisili

di Kota Bogor.

Hakim seharusnya membuat terobosan dengan pembatasan atau

memperhatikan pasal 17 ayat (1). Dimana Pembatasannya adalah sepanjang

para pihak memiliki alamat domisili elektronik, maka berdasarkan pasal 17


11
Ibid, hlm 14.

6
ayat (1) tersebut yang berbunyi ”pihak yang berdomisili diluar pengadilan,

panggilan /pemberitahuan kepadanya dapat disampaikan secara eletronik dan

ditembuskan kepada pengadilan di daerah hukum tempat pihak tersebut

berdomisili” sehingga perbedaan domisili hukum bagi penulis, tidak menjadi

hambatan dalam penyelesaian perkara melalui gugatan sederhana.

Hakim lalai atau kurang memperhatikan pasal 17 ayat (1) Perma Nomor

1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan

Secara Elektronik (Perma e-court) padahal aturan tersebut wajib diketahui oleh

seorang Hakim. Hakim menggunakan PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang

Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana untuk tidak menerima gugatan

sederhana Penggugat tetapi juga tidak memperhatikan pasal 6A PERMA

Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana itu

sendiri yang berbunyi ”Penggugat dan Tergugat dapat menggunakan

administrasi perkara di pengadilan secara eletronik sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.”

Sehingga atas dasar masalah tersebut, penulis tertarik untuk meneniti

“Analisis Pertimbangan Hakim Tidak Menerima Gugatan Wanprestasi

Debitur Bank Tabungan Negara KC Kendari (Studi Putusan PN Kendari

Nomor 30/Pdt.G.S/2020/PN Kdi).”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penyelesaian sengketa kredit perbankan terhadap Debitur

Wanpretasi melalui gugatan sederhana di Pengadilan Negeri Kendari?

7
2. Bagaimanakah pertimbangan Hakim (Ratio Decidendi) tidak menerima

Gugatan Wanprestasi Debitur PT Bank Tabungan Negara KC Kendari

(Studi Putusan Nomor 30/Pdt.G.S/2020/PN. Kdi)?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa kredit perbankan terhadap Debitur

Wanpretasi melalui gugatan sederhana di Pengadilan Negeri Kendari.

2. Untuk mengetahui analisis/dasar/ pertimbangan Hakim (Ratio Decidendi)

tidak menerima Gugatan Wanprestasi Debitur PT Bank Tabungan Negara

KC Kendari (Studi Putusan Nomor 30/Pdt.G.S/2020/PN. Kdi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi

penyusun maupun bagi pihak lainnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis, yaitu hasil penelitian dapat memberikan ilmu pengetahuan

hukum khususnya hukum perdata dan juga sebagai bahan masukan dan

referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

Melalui penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi:

a. Penulis

Selain untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan strata satu

dan juga untuk memperluas dalam menambah pengetahuan mengenai

penyelesaian Wanprestasi oleh Debitur Bank melalui gugatan sederhana

baik secara teori maupun praktek.

8
b. Bagi Penegak Hukum

Diharapkan dengan adanya penulisan ilimiah ini, Penulis dapat

memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dipergunakan oleh alat-

alat penegak hukum dalam usaha penertiban hukum, sehingga dapat

mengurangi kekeliruan, ketidaktahuan atau kelalaian terhadap hakim

memutus perkara Wanprestasi oleh Debitur Bank melalui gugatan

sederhana.

c. Bagi Perguruan Tinggi

Dengan adanya penulisan ilmiah ini dapat membantu

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum perdata maupun

hukum acara perdata dalam praktek di peradilan.

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kreditur dan Debitur

Dalam Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian kreditur adalah

adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang

yang dapat ditagih di muka pengadilan.15 Namun dalam penjelasan Pasal 2 ayat

(1) UU No. 37 Tahun 2004 memberikan defenisi yang dimaksud dengan

kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis

maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur

preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa

kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta

debitur dan haknya untuk didahulukan.Sedangkan Debitur adalah orang yang

mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya

dapat ditagih di muka pengadilan. 12

Selain itu adapun pengertian lain kreditur dan debitur yaitu Kreditur

adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang

karena perjanjian atau undang-undang. Debitur adalah orang atau badan usaha

yang memilki hutang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena

perjanjian atau undang-undang. Debitur pailit adalah debitur yang sudah

dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan.13

12
Gazali S, Djoni., Rachmadi Usman. 2015, Kreditur dan Debitur Dalam Hukum Perbankan,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm 5.
13
Ibid, hlm, 6.

10
Istilah kreditur juga sering kali menimbulkan multitafsir. Ada 3 (tiga)

kreditur yang dikenal dalam KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:14

1. Kreditur konkuren

Kreditur konkuren ini diatur daam asal 1132 KUH Perdata. Kreditur

konkuren adalah para kreditur dengan hak pai Passau dan pro rata, artinya

para kreditur secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang

didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-

masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap

seluruh harta kekayaan debitur tersebut. Dengan demikian, para kreditur

konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta

debitur tanpa ada yang didahulukan.

2. Kreditur preferen (yang diistimewakan)

Yaitu kreditur yang oleh undang-undang, semata-mata karena

sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditur preferen

merupakan kreditur yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang

oleh undang- undang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga

tingkatnya lebih tinggi dari pada orang berpiutang lainnya, semata-mata

berdasarkan sifat piutangnya.

Untuk megetahui piutang-piutang mana yang diistimewakan dapat

dilihat dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata. Menurut Pasal 1139

piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu antara

lain:15

14
Ibid, hlm, 7.
15
Ibid, hlm, 8.

11
1) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya perbaikan yang
menjadai kewajiban si penyewa, beserta segala apa yang mengenai
kewajiban memenuhi persetujuan sewa;
2) Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar;
3) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
4) Biaya untuk melakukan pekerjaan pada suatu barang, yang masih harus
dibayar kepada seorang tukang;
5) Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan
sebagai demikian kepada seorang tamu;
6) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan;
7) Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukng kayu dan lain-lain
tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan benda-benda
tidak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan
hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berutang.
8) Penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang
memangku sebuah jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan,
pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.
Adapun Pasal 1149 KUH Perdata menentukan bahwa piutang-

piutangnya yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak

bergerak pada umumnya adalah yang disebutkan di baawah ini, piutang-

piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu menurut

urutan sebaga berikut:16

1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan


penyelesaian suatu warisan, biaya-biaya ini didahulukan dari pada gadai
dan hipotek;
2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim
untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi;
3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan;
4) Upah para bururh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar
dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah;
5) Piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan yang dilakukan kepada
si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir;
6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah bersrama, untuk tahun yang
penghabisan;
7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu
terhadap sekalian wali dan pengampu mereka.

2. Kreditur separatis
16
Ibid, hlm, 10.

12
Yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan in rem, yang dalam

KUH Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Hak penting yang

dipunyai kreditur separatis adalah hak untuk dapat kewenangan sendiri

menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa putusan pengadilan (parate

eksekusi). Hak tersebut untuk:17

a. Gadai

Diatur dalam pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata

yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak.dalam sistem jaminan

gadai, seseorang pemberi gadai (debitur) wajib melepaskan penguasaan

atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai

(kreditur).

b. Hipotek

Yang diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal 20

m3 dan sudah terdaftar di syahbandar serta pesawat terbang.

c. Hak tanggungan

Hak tanggungan diatur dalam Undang-UndangNo. 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang

berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas

tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah.

d. Jaminan fidusia

Hak fidusia diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminankan dengan gadai, hipotek

dan hak tanggungan.


17
Ibid, hlm, 11.

13
B. Tinjauan Umum Tentang Hak dan Kewajiban Kreditur

Di atas telah dikatakan bahwa kredtur adalah orang yang memiliki

piutang. Dalam hal ini orang yang memiliki piutang dapat berupa orang

orang atau badan hukum, Bank, Lembaga Pembiayaan, Penggadaian atau

Lembaga Penjamin Lainnya. Dalam hal ini hak maupun kewajiban dari

kreditur adalah memberikan pinjaman kepada seorang debitur berupa uang

atau mungkin modal untuk sebuah usaha dari debitur atau penggunaan lain

yang akan digunakan dari pinjaman uang tersebut.18

Dalam hal ini hak kreditur mempunyai kewajiban membantu siapa

saja yang akan melakukan pinjaman. Dan sebagai gantinya kreditur berhak

menahan barang atau benda berharga milik debitur sebagai jaminan kepada

kreditur untuk melakukan pelunasan hutangnya. Dalam hal lembaga

peminjaman adalah Gadai maka benda yang berharga sebagai jaminannya

seperti emas. Dalam hal jaminan fidusia yang merupakan perjanjian khusus

yang diadakan antara debitur dan kreditur untuk memperjanjikan hal-hal

sebagai berikut:19

1. Jaminan yang bersifat kebendaan, yaitu adanya benda tertentu yang

dijadikan agunan.

2. Jaminan yang bersifat perorangan atau personlijk yaitu adanya orang

tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi debitur jika

debitur cidera janji.21

Dalam hubungan fidusia, jelas bahwa ada keterkaitan erat antara

18
Ibid, hlm, 12.
19
Ibid, hlm, 14.

14
para pihak yaitu adanya hubungan kepercayaan atas dasar itikad baik.

Hubungan kepercayaan tersebut sekarang bukan semata-mata atas dasar

kehendak kedua belah pihak saja, namun didasarkan atas aturan hukum

yang mengikat. Jaminan bersifat kebendaan dilembagakan dalam bentuk

hipotek, hak tanggungan, fidusia, gadai, dan undang-undang sistem resi

gudang.

Secara garis besar, jaminan diatur dalam peraturan perundang-

undangan Republik Indonesia mempunyai asas sebagai berikut:20

1. Hak jaminan merupakan hak assessoir terhadap perjanjian pokok yang


dijamin dengan perjanjian tersebut. Perjanjian pokok yang dijamin itu
adalah perjanjian utang-piutang antara kreditur dan debitur, artinya
apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian hak jaminan demi
hukum berakhir pula.
2. Hak jaminan memberikan hak separatis bagi kreditur pemegang hak
jaminan itu. Artinya, benda yang dibebani dengan hak jaminan itu bukan
merupakan harta pailit dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh
pengadilan.
3. Hak jaminan merupakan hak kebendaan atas real right artinya hak
jaminanitu akan selalu melekat di atas benda tersebut atau selalu
mengikuti benda tersebut kepada siapapunjuga benda beralih
kepemilikannya atau droit de suite.
4. Kreditur pemegang hak jaminan mempunyai kewenangan penuh untuk
melakukan eksekusi atas hak jaminannya. Artinya, kreditur pemegang
hak jaminan itu berwenang untuk menjual sendiri, baik berdasarkan
penetapan pengadilan maupun berdasarkan kekuasaan yang diberikan
undang-undang, benda yang dibebani dengan hak jaminan tersebut dan
mengambil hasil penjualannya untuk melunasi piutangnya kepada
debitur.
5. Oleh karena merupakan hak kebendaan, maka hak jaminan berlaku bagi
pihak ketiga, terhadap hak jaminan berlaku asas publisitas.
Artinya, hak jaminan tersebut harus didaftarkan di kantor

pendaftaran hak jaminan yang bersangkutan. Dari pemaparan diatas tersebut

jelas dapaat dikatakan bahwa hak dan kewajiban kreditur adalah sebagai

20
Ibid, hlm, 14.

15
lembaga jaminan atau peminjaman untuk memberikan bantuan dana

terhadap debitur, dimana hal tersebut di daftarkan kepada lembaga penjamin

kebendaan yang bersangkutan, dan dalam hal ini kreditur berhak menerima

jaminan dari seorang debitur, dan jika tidak terjadi pelunasan hutang oleh

debitur maka kreditur berhak mengeksekusi barang jaminan dengan menjual

atau menyatakan debitur tersebut pailit karena tidak mampu membayar

hutang.21

C. Tinjauan Umum Tentang Hak dan Kewajiban Debitur

Pengertian mengenai debitur telah dipaparkan diatas, yaitu seseorang

yang memiliki hutang. Dalam hal mengenai hak dan kewajiban seorang debitur

merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban kreditur. Karena seorang debitur

adalah orang yang memiliki hutang, maka kewajibannya adalah membayar

lunas hutangnya kepada kreditur. Selain itu debitur juga mempunyai kewajiban

berupa memberikan jaminan kepada kreditur sebagai jaminan hutangnya,

seketika debitur membayar lunas maka debitur berhak menerima kembali

barang yang dijaminkan sebagai agunan peminjaman kepada pihak kreditur.22

Dalam hal ini orang dikatakan sebagai debitur adalah orang atau

perorangan yaitu dalam hal ini baik laki-laki maupun perempuan dapat

dinyatakan pailit oleh pengadilan jika tidak mampu membayar hutang kepada

satu atau lebih kreditur. Perserikatan-perserikatan atau perkumpulan-

perkumpulan badan hukum seperti maatschap, firma dan perkumpulan

komanditer, perseroan-perseroan atau perkumpulan-perkumpulan yang

21
Ibid, hlm, 15.
22
Ibid, hlm, 16.

16
berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Yayasan.23

Undang–Undang No. 37 Tahun 2004 melalui Bab I Ketentuan Umum

pada Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “setiap orang adalah orang

perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum

maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi”. Melalui ketentuan ini jelas

bahwa setiap orang baik orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi

yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam

likuidasi dapat mengajukan permohonan pailit dan dapat diajukan pailit, dalam

arti bisa menjadi kreditur atau debitur.

D.Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi

1. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestastie”, yang

artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan

terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang

dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena

undang-undang. Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian,

kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian.24

Pengertian yang umum mengenai wanprestasi adalah pelaksanaan

kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut

selayaknya. Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat

waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan

sama sekali.
23
Dsalimunthe, D, 2017, Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW), Alumni, Bandung, hlm. 45.
24
Ibid, hlm. 46.

17
Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang

dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi

prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam

keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak

memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan

dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Wanprestasi

atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun

tidak disengaja.25

Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi

kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah

diperjanjikan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa

wanprestasi adalah ketiadaaan suatu prestasi di dalam hukum perjanjian,

berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.

Barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji

untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya jani untuk wanprestasi”.

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur

“karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka

debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat

penting, oleh karena debitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan

sama sekali bukan karena salahnya. Wanprestasi (atau ingkar janji) adalah

berhubungan erat dengan adanya perkaitan atau perjanjian antara pihak.

Baik perikatan itu di dasarkan perjanjian sesuai Pasal 1338 KUHPerdata

sampai dengan Pasal 1431 KUHPerdata maupun perjanjian yang bersumber


25
Ibid, hlm. 47.

18
pada undang-undang seperti diatur dalam Pasal 1352 KUHPerdata sampai

dengan Pasal 1380 KUHPerdata.26

Mengenai pengertian dari wanprestasi, menurut Ahmadi Miru

wanprestasi itu dapat berupa perbuatan: (1) sama sekali tidak memenuhi

prestasi, (2) prestasi yang dilakukan tidak sempurna, (3) terlambat

memenuhi prestasi, dan (4) melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang

untuk dilakukan. Menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu

dapat berupa:27

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali, sehubungan dengan debitur yang


tidak memenuhi prestasi maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi
sama sekali.
b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya, apabila prestasi debitur
masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu, sehingga dapat dikatakan
wanprestasi.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru, debitur yang
memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi
sama sekali.
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi.

Somasi sendiri merupakan terjemahan dari ingerbrekestelling. Somasi diatur

dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata. Pada

umumnya mulai terjadinya wanprestasi yaitu suatu wanprestasi baru terjadi

jika debitur dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan

kata lain, wanprestasi ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia

telah melakukan wanprestasi itu di luar kesalahannya atau karena keadaan

memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan

26
Ibid, hlm. 48.
27
Ibid, hlm. 49.

19
tenggang waktunya, maka seorang kreditur dipandang perlu untuk

memperingatkan atau menegur debitur agar ia memenuhi kewajibannya.

Teguran ini disebut dengan somasi.28

Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah

diberikan somasi oleh kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah

dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu

tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke

pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur

wanprestasi atau tidak.

Apabila memperingatkan debitur agar memenuhi prestasinya, maka

debitur perlu diberikan peringatan tertulis yang isinya menyatakan debitur

wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan, jika dalam waktu

itu debitur tidak memenuhinya, maka debitur dinyatakan wanprestasi.

Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dilakukan melalui

Pengadilan Negeri yang berwenang dengan perantaraan Jurusita

menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitur disertai berita acara

penyampaiannya. Dan dapat juga secara tidak resmi misalnya melalui surat

tercatat, telegram atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debitur

dengan tanda terima.29

2. Akibat Hukum Wanprestasi

Terkait dengan hukum perjanjian apabila si berutang (debitur) tidak

28
Ibid, hlm. 51.
29
Ibid, hlm. 52.

20
melakukan apa yang diperjanjikannya, maka dikatakan debitur melakukan

wanprestasi. Debitur alpa atau lalai atau ingkar janji, atau juga melanggar

perjanjian, bila debitur melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh

dilakukannya. Terkadang juga tidak mudah untuk mengatakan bahwa

seseorang lalai atau lupa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan

tepat kapan sesuatu pihak diwajibkan melakukan wanprestasi yang

dijanjikan.30

Di Pengadilan, kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa

lawannya (debitur) tersebut telah melakukan wanprestasi, bukan keadaan

memaksa (overmacht). Begitu pula dengan debitur, debitur harus

meyakinkan hakim jika kesalahan bukan terletak padanya dengan

pembelaan seperti keadaan memaksa, menyatakan bahwa kreditur telah

melepaskan haknya, dan kelalaian kreditur. Terhadap kelalaian atau

kealpaan si berutang (si berutang atau debitur sebagai pihak yang wajib

melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman

atau akibat-akibat yang diterima oleh debitur yang lalai ada empat macam,

yaitu:31

a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat


dinamakan ganti-rugi.
b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian.
c. Peralihan risiko.
d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim.
Salah satu hal yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perikatan

ialah bahwa kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga

30
Ibid, hlm. 54.
31
Ibid, hlm. 55.

21
yang dideritanya. Membolehkan adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur

maka undang-undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu

dinyatakan berada dalam keadaan lalai. Wanprestasi pada umumnya adalah

karena kesalahan debitur, namun ada kalanya debitur yang dituduh lalai

dapat membela dirinya karena ia tidak sepenuhnya bersalah, atau dengan

kata lain kesalahan debitur tidak disebabkan sepenuhnya karena

kesalahannya.32

Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu mengajukan tuntutan

adanya tersebut harus dapat diduga akan terjadinya kerugian dan juga

besarnya kerugian. Sedangkan dalam syarat yang kedua, yaitu antara

wanprestasi dan kerugian harus mempunyai hubungan kausal, jika tidak,

maka kerugian itu tidak harus diganti. Kreditur yang menuntut ganti rugi

harus mengemukakan dan membuktikan bahwa debitur telah melakukan

wanprestasi yang mengakibatkan timbulnya kerugian pada kreditur.

Berdasarkan Pasal 1244 KUHPerdata, debitur dapat melepaskan dirinya dari

tanggung jawabnya jika debitur dapat membuktikan bahwa tidak

terlaksananya perikatan disebabkan oleh keadaan yang tidak terduga dan

tidak dapat dipersalahkan kepadanya.33

Penetapan suatu pihak melakukan wanprestasi adalah dalam

perjanjian, yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan.

Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk

melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas


32
Eddhie, P., Soesi, I., Khamdani, H, 2019, Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Gugatan
Sederhana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 32.
33
Ibid, hlm. 33.

22
waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu

yang ditetapkan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Kepada

debitur itu harus diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan

perjanjian. Kalau prestasi dapat seketika dilakukan, misalnya dalam jual beli

suatu barang tertentu yang sudah di tangan si penjual, maka prestasi tadi

tentunya juga dapat dituntut seketika. Apabila prestasi tidak seketika dapat

dilakukan maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas. Misalnya

dalam jual beli barang yang belum berada di tangan si penjual, pembayaran

kembali uang pinjaman, dan lain sebagainya.34

Cara memperingatkan si seorang debitur agar jika ia tidak memenuhi

teguran itu dapat dikatakan lalai, diberikan petunjuk dalam Pasal 1238

KUHPerdata yaitu: “debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau

dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri,

yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan

lewatnya waktu yang ditentukan.” Apabila seorang debitur sudah

diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, seperti yang

diterangkan diatas, maka jika ia tetap tidak melakukan prestasinya, ia berada

dalam keadaaan lalai atau alpa dan terhadap dia dapat diperlakukan sanksi-

sanksi sebagaimana disebutkan di atas yaitu ganti rugi, pembatalan

perjanjian, dan peralihan risiko.35

3. Ganti Kerugian Akibat Wanprestasi

Ganti rugi dalam hukum perdata dapat timbul dikarenakan

34
Ibid, hlm. 35.
35
Ibid, hlm. 36.

23
wanprestasi akibat dari suatu perjanjian atau dapat timbul dikarenakan oleh

perbuatan melawan hukum. Ganti rugi yang muncul dari wanprestasi adalah

jika ada pihak-pihak dalam perjanjian yang tidak melaksanakan hukum dia

dapat dimintakan tanggung jawabnya, jika pihak lain dalam perjanjian

tersebut menderita kerugian karenanya.36

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa

“kosten, schaden en interessen” diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata dan

seterusnya. Kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya

biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau

kerugian yang sungguhsungguh menimpa benda si berpiutang (schaden),

tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan

yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving). Bahwa

kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan

merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-

akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. KUHPerdata

memperincikan kerugian (yang harus diganti) dalam tiga komponen sebagai

berikut:37

a. Biaya (kosten) adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-


nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak.
b. Rugi (schaden) adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
c. Bunga (interesten) adalah kerugian yangberupa kehilangan keuntungan,
yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

Pemberian suatu ganti rugi sebagai akibat dari tindakan wanprestasi

36
Ibid, hlm. 37.
37
Ibid, hlm. 38.

24
dari suatu perjanjian, dapat diberikan dengan berbagai kombinasi antara lain

pemberian ganti rugi (berupa rugi, biaya dan bunga), pelaksanaan perjanjian

tanpa ganti rugi, pelaksanaan perjanjian dan ganti rugi, pembatalan

perjanjian timbal balik tanpa ganti rugi, pembatalan perjanjian timbal balik

dabeberapa model ganti rugi atas terjadinya wanprestasi, yaitu

sebagaiberikut:38

a. Ganti rugi yang ditentukan dalam perjanjian, yang dimaksudkan dengan


ganti rugi yang ditentukan dalam perjanjian adalah suatu model ganti
rugi karena wanprestasi dimana bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut
sudah ditulis dan ditetapkan dengan pasti dalam perjanjian ketika
perjanjian ditanda tangani, walaupun pada saat itu belum ada
wanprestasi.
b. Ganti rugi ekspektasi adalah suatu bentuk ganti rugi tentang hilangnya
keuntungan yang diharapkan (di masa yang akan datang), seandainya
perjanjian tersebut tidak wanprestasi. jadi, dalam hal ini, pihak yang
dirugikan karena wanprestasi ditempatkan seolah olah tidak terjadi
wanprestasi dengan berbagai keuntungan yang akan didapatkannya.
c. Pergantian biaya adalah ganti rugi dalam bentuk pergantian seluruh biaya
yang telah dikeluarkan oleh salah satu pihak yang harus dibayar oleh
pihak lain, yang telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian
tersebut. Karena perhitungan biaya yang telah dikeluarkan tersebut
umumnya dilakukan dengan melihat kepada bukti-bukti pengeluaran
berupa kwitansi-kwitansi.
d. Restitusi adalah suatu model ganti rugi yang juga menempatkan
perjanjian pada posisi seolah-olah sama sekali tidak terjadi perjanjian.
Akan tetapi dalam hal ini, yang harus dilakukan adalah mengembalikan
seluruh nilai tambah dalam wujudnya semula yang telah diterima oleh
salah satu pihak atau kedua belah pihak dari pihak yang satu ke pihak
yang lainya. Nilai tambah yang dimaksud disini suatu nilai lebih yang
telah diterima oleh para pihak seabgai akibat dari pelaksanaan perjanjian,
nilai tambah tersebut harus dikembalikan dalam bentuk semula sebagai
salah satu wujud dari ganti rugi.
e. Quantum meruit merupakan model ganti rugi yang hampir mirip dengan
model restitusi yang membedakan adalah nilai tambah yang harus
dikembalikan dalam model ini bukan nilai tambah dalam wujud aslinya
melainkan harga dari nilai tambah yang telah diterima, karena bendanya
dalam bentuk asli sudah tidak dalam posisi untuk dikembalikan lagi.
Misalnya semen yang telah diguanakan untuk bangunan maka tidak
mungkin dikembalikan dalam bentuk bangunan, yang dapat dilakukan
38
Ibid, hlm. 39.

25
adalah nilai taksiran harga semen itu yang harus dikembalikan.
f. Pelaksanaan perjanjian berupa pelaksanaan perjanjian adlah kewajiban
melaksanakan perjanjian meskipun sudah terlambat, dengan atau tanpa
ganti rugi.
D. Tinjauan Umum Tentang Gugatan Sederhana

1. Pengertian Gugatan sederhana

Gugatan sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan

terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan cara dan

pembuktian yang sederhana. Gugatan sederhana termasuk dalam

kewenangan atau ruang lingkup dalam peradilan umum. Banyak perkara

yang sebenarnya dapat diselesaikan secara cepat dan sederhana, dengan

biaya ringan, tapi prosedur penyelesainnya harus melalui jalan yang berliku-

liku, bahkan bukan tidak mungkin kemenangan yang diperoleh setelah

berjuang selama bertahun-tahun menjadi tidak ada artinya karena

merosotnya nilai ekonomi. 39

Hal ini bukan saja sangat mengusik rasa keadilan, tetapi juga

menjadi faktor penghambat terhadap investor dari luar negeri menanamkan

sahamnya di Indonesia. Atas dasar pertimbangan ini Mahkamah Agung

(MA) mencari solusi bagaimana sebuah sengketa perdata dapat diselesaikan

dengan cara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Akhirnya Mahkamah

Agung mengeluarkan PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara

Penyelesaian Gugatan Sederhana, dimana latar belakangnya lebih kepada

aspek lingkungan ekonomi global, termasuk mengapresiasi hasil riset Bank

39
Ibid, hlm. 40.

26
Dunia yang menunjukan bahwa proses hukum di Indonesia ini memakan

waktu lama sehingga secara keuangan, sangat mahal dan menghambat

investor dari luar negeri menanam modalnya di Indonesia.40

Terbitnya Perma ini tidak terlepas dari peranan Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM) yang mendorong Mahkamah Agung

menciptakan proses beracara yang lebih sederhana dan singkat sehingga

investor tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Demikian juga Takdir

Rahmadi, mengatakan dari segi normatif, Undang- Undang Kekuasaan

Kehakiman mengendaki asas beracara sederhana, cepat, dan biaya ringan,

untuk mengurangi arus perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Tidak

semua perkara dapat diselesaikan dengan gugatan sederhana.41

PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian

Gugatan Sederhana menentukan Gugatan Perdata yang dapat

dikategorikan sebagai Gugatan Sederhana sebagaimana Pasal 3 dan 4

Perma tersebut yaitu sebagai berikut:42

1. Sengketa cidera janji atau wanprestasi dan atau Gugatan Perbuatan


melawan Hukum yang nilai gugatan materil maksimal 500 juta;
2. Bukan perkara yang masuk dalam kompetensi Pengadilan Khusus;
3. Bukan sengketa hak atas tanah;
4. Penggugat dan Tergugat masing-masing tidak lebih dari satu, kecuali
memiliki kepentingan hukum yang sama;
5. Tempat tinggal Tergugat harus diketahui;
6. Penggugat dan Tergugat harus berdomisili di Daerah Hukum Pengadilan
yang sama.
Syarat-syarat tersebut bersifat limitatif. Salah satu syarat tersebut

diatas tidak dipenuhi maka perkara tersebut tidak dapat diselesaikan melalui
40
Afriana, A., Chandrawulan, A.A, 2019, Menakar Penyelesaian Gugatan Sederhana di
Indonesia, Bina Mulia Hukum, Malang, hlm. 45.
41
Ibid, hlm. 47.
42
Ibid, hlm. 48.

27
mekanisme small claim court. Dalam praktek tidak mudah untuk

menentukan perkara tersebut adalah murni perkara sederhana, karena pasti

ada keterkaitan dengan obyek sengketa lainnya, contohnya dalam sengketa

hutang piutang yang ada jaminan tanah atau gadai tanah. Karena dalam

menentukan posisi perkara tiap pihak pasti beda. Bisa jadi pihak penggugat

menyatakan ini cidera janji mengenai gadai tanah, tetapi pihak Tergugat

menyatakan adalah sengketa tanah. Pendafataran Perkara gugatan

sederhana. Seperti perkara perdata pada umumnya, penggugat mendaftarkan

perkara ke kepaniteraan di Pengadilan. Dalam Perkara sederhana ini

Penggugat cukup mengisi formulir gugatan yang sudah disiapkan di kantor

pengadilan. Blanko gugatan berisi keterangan mengenai:43

a. Identitas Penggugat dan Tergugat

b. Penjelasan Ringkas duduk perkara

c. Tututan Penggugat

Saat mengajukan gugatan Pihak Penggugat harus langsung

membawa bukti- bukti surat yang telah dilegalisasi dan dilampirkan dalam

surat gugatan, Saat mengajukan gugatan sederhana pihak penggugat boleh

diwakili oleh Kuasa Hukumnya atau Advokat. Namun apakah tidak timbul

permasalahan lain bagi Penggugat, apabila diajukan melalui Advokat, akan

mengurangi esensi dari gugatan sederhana, karena bisa jadi nilai obyek

gugatan hampir sama dengan nilai honor advokat yang harus dibayar.

Panitera memeriksa gugatan yang diajukan, apakah memenuhi syarat

sebagaimana Pasal 3 dan 4 Perma ini, jika tidak memenuhi syarat maka
43
Ibid, hlm. 49.

28
panitera akan mengembalikan gugatan tersebut, Jika memenuhi syarat

gugatan tersebut didaftar dalam register khusus perkara gugatan sederhana.44

Sebagaimana prinsip beracara selalu ada biayanya, dan dalam

Perkara Sederhana Pihak Penggugat membayar biaya panjar perkara

sederhana sebagaimana ketentuan yang dibuat oleh Ketua Pengadilan.

Namun demikian untuk orang yang tidak mampu dapat mengajukan

gugatan dengan cara beracara cuma-cuma (prodeo) yang segala biaya

ditanggung oleh negara. Dalam Pasal 8 PERMA Nomor 4 Tahun 2019

tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.45

Ketua Pengadilan menunjuk Hakim untuk memeriksa perkara

gugatan sederhana dan Panitera menunjuk seorang panitera untuk

membantu memeriksa gugatan sederhana. Proses pendaftaran, penunjukan

Hakim dan Panitera. paling lambat 2 (dua) hari. Dengan demikian gugatan

sederhana ini diperiksa dengan Hakim tunggal. Biasanya Pemeriksaan

Hakim tunggal dalam perkara perdata adalah untuk memeriksa perkara

permohonan.46

Pada isi PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara

Penyelesaian Gugatan Sederhana ada tahap Pemeriksaan Pendahuluan yang

tidak dikenal sebelumnya dalam pemeriksaan perkara perdata. Pemeriksaan

pendahuluan menjadi tahapan paling krusial karena di tahap ini, Hakim

berwenang menilai dan kemudian menentukan apakah perkara tersebut

adalah gugatan sederhana. Hakim menilai syarat-syarat suatu perkara


44
Ibid, hlm. 50.
45
Ibid, hlm. 51.
46
Ibid, hlm. 52.

29
sebagai kategori perkara sederhana atau tidak sebagiamana ketentuan Pasal

3 dan 4 Perma ini. Selain itu Hakim menentukan sederhana atau tidaknya

pembuktian perkara ini.47

Apabila Hakim berpendapat bahwa berkas gugatan penggugat

bukanlah gugatan sederhana, maka Hakim mengeluarkan penetapan yang

artinya small claim court tidak berlanjut dan diperintahkan mencoret dari

register perkara dan sisa panjar uang perkara dikembalikan kepada

Penggugat. Atas penetapan Hakim ini, tidak dapat dilakukan upaya hukum

apapun.48

Hakim yang berpendapat gugatan penggugat termasuk kategori

perkara sederhana maka ditentukan penetapan hari sidangnya dalam

menentukan hari sidang harus diingat apabila jangka waktu pemeriksaan

perkara sederhana adalah 25 (dua puluh lima) hari sejak sidang pertama.

Pemeriksaan Pendahuluan dalam Gugatan Sederhana tidak dihadiri para

pihak, Hakim hanya memeriksa berkas gugatan dan bukti yang dilampirkan

dalam surat gugatan, dan berpendapat gugatan penggugat termasuk kategori

perkara sederhana maka ditentukan penetapan hari sidangnya dan Apabila

Hakim berpendapat bahwa berkas gugatan penggugat bukanlah gugatan

sederhana, maka Hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan gugatan

penggugat bukan gugatan sederhana.49

Proses Pemeriksaan Persidangan Perkara Sederhana:50

47
Ibid, hlm. 54.
48
Ibid, hlm. 55.
49
Ibid, hlm. 57.
50
Ibid, hlm. 58.

30
Hal yang menarik dalam Pasal 14 PERMA Nomor 4 Tahun 2019

tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah Hakim wajib

berperan Aktif yang dilakukan dipersidangan. Kewajiban bagi Hakim untuk

berperan aktif itu dalam bentuk:51

a. memberikan penjelasan mengenai acara gugatan sederhana secara


berimbang kepada para pihak.
b. mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk
menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di luar
persidangan.
c. menuntun para pihak dalam pembuktian, dan
d. menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh para pihak.
Namun demikian apabila tidak dapat dihindari dan harus

memberikan penjelasan diluar persidangan, tetap dilakukan dihadapan

kedua belah pihak untuk menghindari prasangka atau kecurigaan

pihak.Persidangan pertama apabila pihak penggugat tidak hadir tanpa alasan

yang sah, maka gugatan dinyatakan gugur, sedangkan pihak tergugat tidak

hadir di sidang pertama, maka dipanggil kedua kali secara sah dan patut.

Jika dalam sidang kedua tergugat tetap tidak hadir, Maka Hakim memutus

perkara. 52

Dalam memutus perkara tanpa hadirnya pihak lawan, Hakim

seharusnya tetap mengedepankan prinsip kehati- hatian yaitu pihak

Penggugat tetap dibebani pembuktian. Walaupun pihak Tergugat tidak hadir

dan perkara diputus. Pihak tergugat mempunyai hak untuk mengajukan

upaya hukum keberatan. Apabila pihak tergugat hadir disidang pertama kali,

namun selanjutnya pernah hadir tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan

51
Ibid, hlm. 60.
52
Ibid, hlm. 62.

31
perkara tetap dilanjutkan dan perkara diputus secara contradictoir.53

Pada sidang pertama yang dihadiri para pihak, Hakim

mengupayakan perdamaian. Perdamaian disini mengecualikan ketentuan

yang diatur oleh Mahkamah Agung mengenai prosedur mediasi. Ini berarti

dalam gugatan sederhana tidak ada upaya mediasi dengan mediator, tetapi

Hakim yang menangani berperkara yang aktif mendorong para pihak untuk

berdamai.54

Apabila perdamaian disepakai para pihak, maka Perdamaian

dituangkan dalam Putusan Akta perdamaian yang mengikat para pihak.

Putusan akta perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum. Hakim tidak

terikat kepada perdamaian yang dibuat para pihak yang dilakukan diluar

persidangan yang tidak dilaporkan kepada hakim. Hakim setidaknya dalam

memeriksa perkara dalam setiap persidangan menanyakan kepada para

pihak apa tercapai kesepakatan diluar persidangan atau tidak, sekedar

mengingatkan para pihak apabila mereka lupa menyampaikan jika memang

terjadi kesepakatan. Perdamaian yang diupayakan oleh Hakim tidak

tercapai, maka sidang langsung dilanjutkan ketahap berikutnya baik untuk

jawaban atau pembuktian.

PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian

Gugatan Sederhana ini menetapkan bahwa small claim court memberikan

batasan jangka waktu pemeriksaan, yaitu paling lama 25 hari sejak hari

53
Ibid, hlm. 63.
54
Ibid, hlm. 64.

32
pertama sidang. Dengan jangka waktu yang begitu singkat inilah, yang

menjadikan Perma ‘melarang’ para pihak untuk mengajukan tuntutan

provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan.55

Adanya larangan mengajukan eksepsi adalah sangat tidak berimbang

dalam proses pemeriksaan perkara sederhana. Dilihat dari proses untuk

menentukan perkara sederhana hanya dari keterangan sepihak yaitu pihak

penggugat melalui dalil gugatan dan bukti suratnya yang sudah dilegalisasi.

Karena keterangan sepihak belum tentu semua keterangannya benar,

sehingga alangkah baiknya apabila Pihak Tergugat masih tetap diberi

kesempatan mengajukan eksepsi. Dengan tidak ada hak mengajukan

eksepsi, Perma Gugatan Sederhana ini bukan menjadi sebuah harga mati

yang harus diterapkan pengadilan. Apabila Pihak Tergugat menganggap

proses pembuktian perkara sederhana ternyata tidak sederhana dan

seharusnya diperiksa proses gugatan perdata biasa. maka pihak Tergugat

harus buktikan bahwa gugatan yang diajukan Penggugat itu pembuktiannya

tidak sederhana.56

Selain membuktikan hal tersebut Tergugat harus juga membuktikan

bantahan terhadap gugatan Penggugat. Gugatan yang diakui dan tidak

dibantah oleh Tergugat tidak perlu di buktikan. Apabila gugatan dibantah

Hakim melakukan proses pemeriksaan pembuktian kepada para pihak

sebagaimana hukum acara yang berlaku. Pihak tergugat yang tidak

membantah atau mengakui tidak perlu pembuktian, namun karena sejak


55
Ibid, hlm. 66.
56
Ibid, hlm. 67.

33
awal untuk menentukan perkara sederhana dalam surat Gugatan Penggugat

sudah melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi tentunya harus

dipertimbangkan Hakim dalam putusannya.57

Untuk tuntutan provisi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau

kesimpulan apabila para pihak tidak diberikan kesempatan, tidak menjadi

soal, karena proses pemeriksaan perkara dengan adanya proses tersebut

akan membutuhkan waktu yang lama. Dalam Perma tidak diatur mengenai

Sita Jaminan, dengan tidak diatur berarti Sita Jaminan diserahkan kepada

Hakim yang memeriksa perkara, Hakimlah yang melihat bagaimana

relevansinya. Putusan Hakim.58

2. Yuridiksi gugatan Sederhana

Gugatan sederhana termasuk dalam kewenangan atau ruang lingkup

Peradilan Umum. Tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan cara

mengajukan gugatan sederhana. Pembatasan materi gugatan sederhana

telah diatur oleh PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara

Penyelesaian Gugatan Sederhana khususnya Pasal 3 dan Pasal 4 yang

sebagai berikut:59

Pasal 3 : (1) Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji


dan/atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan
materil paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah);
(2) tidak termasuk dalam gugatan sederhana adalah :
a. perkara yang penyelesaiaannya dilakukan melalui pengadilan
khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undanagn; atau
57
Tjoneng, A, 2017, Gugatan Sederhana sebagai Terobosan Mahkamah Agung dalam
Menyelesaikan Penumpukan Perkara di Pengadilan dan Permasalahannya, Citra Grasindo, Bandung, hlm.
22.
58
Ibid, hlm. 23.
59
Ibid, hlm. 24.

34
b. sengketa hak atas tanah.

Pasal 4 : (1) Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat
dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari
satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.
(2) penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung
setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi kuasa
hukum.

Namun dalam prakteknya tidak mudah untuk menentukan perkara

tersebut adalah murni perkara dengan obyek materi sederhana, contoh

dalam sengketa hutang piutang ada jaminan tanah atau gadai tanah. Karena

dalam menentukan posisi perkara tiap pihak pasti beda, bisa jadi pihak

penggugat menyatakan ini wanprestasi, tetapi tergugat menyatakan

sengketa tanah.

Hal ini perlu ditinjau lebih lanjut pada saat masa registrasi perkara

agar tidak terjadi kesalahan dalam penentuan materi gugatan apakah nanti

akan bisa diselesaikan melalui penyelesaian gugatan sederhana ataukah

melalui proses acara pemeriksaan biasa karena terdapat beberapa

kualifikasi agar perkara tersebut masuk dalam kategori gugatan sederhana

sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) PERMA Nomor 2 Tahun 2015.60

3. Manfaat Gugatan Sederhana (Small Claim Court)61

a. Meningkatkan aksesibilitas bagi masyarakat untuk mencapai

keadilan

1) Terutama aksesibilitas bagi masyarakat yang tidak mampu;


2) Penyelesaiaan kasus-kasus keseharian yang tidak kompleks;
3) Penyerderhanaan prosedur mengntngkan oang awam/hukum;
4) Menekan kemungkinan perkara yang berlart-larut, bahkan
berlanjut
60
Ibid, hlm. 25.
61
Ibid, hlm. 26.

35
5) Mendorong kepercayaan masyarakat kepada lembaga
peradilan karena sifat peradilan yang efisien dan efektif.
b. Mendorong terwujudnya asas peradilan yang sederhana.

1) Prosedur yang lebih sederhana;


2) Pemeriksaan oleh hakim tunggal;
3) Selaras dengan asas doelmagtigheid (kepatutan) karena
menghindari prosedur yang berbelit-belit.
c. Mendorong terwujudnya asas peradilan yang cepat.

d. Memberi kesempatan untuk memilih mekanisme dan yuridksi

yang tepat

e. Mengurangi kemungknan penumpukan perkara di Mahkamah

Agung          dan Peradilan Tinggi

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

36
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum

normatif. Penelitian normatif ini juga biasa disebut dengan penelitian

hukum doktriner atau juga di sebut dengan penelitian perpustakaan.

Dinamakan penelitian hukum doktriner, sebab penelitian ini hanya

ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian tersebut

sangat erat hubungannya pada pada perpustakaan dikarenakan hukum

normatif ini akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada

perpustakaan.62

Menurut Peter Mahumud Marzuki penelitian hukum normatif yang

nama lainnya adalah penelitian hukum doktrinal yang disebut juga sebagai

penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini dilakukan

atau ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-

bahan hukum yang lain. Pada intinya penelitian yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.63

Masalah penelitian yang tepat dikaji melalui metode diatas biasanya

berkenaan dengan kondisi, proses, kerakteristik, hasil dari suatu variabel

misalanya, penelitian terhadap Analisis Pertimbangan Hakim Tidak

Menerima Gugatan Wanprestasi Debitur Bank Tabungan Negara KC

Kendari (Studi Putusan PN Kendari Nomor 30/Pdt.G.S/2020/PN Kdi).

B. Pendekatan Penelitian

62
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke-8, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 8.
63
Ibid, hlm. 9.

37
Menurut Peter Mahmud Marzuki, Pendekatan dalam penelitian hukum

terdapat beberapa pendekatan yaitu:64

1. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan yang beranjak dari pandangan- pandangan  dan

doktrin doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.  Pendekatan ini

menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan atau doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun

argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi.

Pandangan atau doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan

pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang

relevan dengan permasalahan pada penelitian ini tentang Analisis

Pertimbangan Hakim Tidak Menerima Gugatan Wanprestasi Debitur Bank

Tabungan Negara KC Kendari (Studi Putusan PN Kendari Nomor

30/Pdt.G.S/2020/PN Kdi).

2. Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach)

Pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua perundang-

undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani. Maka berkenaan dengan isu hukum dalam penelitian ini maka

metode pendekatan yang dilakukan adalah dengan menelaah semua

perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum

yang sedang ditangani yaitu Analisis Pertimbangan Hakim Tidak Menerima

Gugatan Wanprestasi Debitur Bank Tabungan Negara KC Kendari (Studi

Putusan PN Kendari Nomor 30/Pdt.G.S/2020/PN Kdi).


64
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 35.

38
C. Sumber Bahan Hukum

Sumber data adalah benda, hal atau orang, dan tempat di mana peneliti

mengamati, membaca, atau bertanya tentang data. Adapun jenis sumber data

penelitian ini meliputi:65

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas.66 Bahan-bahan primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan. Adapun yang menjadi bahan hukum primer, yaitu:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


2. Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi
Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik
4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana
b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.67 Bahan hukum

sekunder seperti buku-buku hukum dan website berkaitan dengan

permasalahan yang akan diteliti. Serta sumber-sumber data lain yang terkait

dengan masalah yang di teliti.

D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

65
Ibid, hlm. 28.
66
Ibid. hlm. 27.
67
Ibid. hlm. 27.

39
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian library research adalah

teknik dokumenter, yaitu dikumpulkan dari yang telah siap atau studi pustaka

seperti, buku-buku dan karya para pakar.68 Selain itu, wawancara juga

merupakan salah satu dari teknik pengumpulan bahan hukum yang menunjang

teknik dokumenter dalam penelitian ini serta berfungsi untuk memperoleh

bahan hukum yang mendukung penelitian jika diperlukan.

E. Metode Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul maka bahan

hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk dalam teknik

analisis bahan hukum adalah Content Analysis. Sebagaimana telah dipaparkan

sebelumnya, bahwa dalam penelitian normatif empiris diperlukan data

lapangan untuk kemudian dilakukan analisis terhadap sesuatu yang ada di

balik data tersebut. Dalam analisis bahan hukum jenis ini dokumen atau arsip

yang dianalisis disebut dengan istilah “teks”. Content Analysis menunjukkan

pada metode analisis integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan

untuk menemukan, mengidentifikasi dan menganalisis bahan penelitian.

68
Ibid. hlm, 29.

40
41

Anda mungkin juga menyukai