Ham Dan Demokrasi Islam 4
Ham Dan Demokrasi Islam 4
Ham Dan Demokrasi Islam 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk bertambahnya pemahaman konsepsi hukum dalam Islam,
HAM dan Demokrasi dalam Islam serta keterkaitan antara ketiganya. Dan agar dapat membedakan antara
pengertian HAM Barat dan HAM dalam pandangan Islam.
BAB 2
PEMBAHASAN
Artinya : “wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara
kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah (Al-qur’an) dan
Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepadaa Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik(akibatnya)”.
Dari ayat tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan agamanya
harus didasarkan urutan :
1. Selalu mentaati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam Al-qur’an
2. Mentaati Rasulullah dan memahami seluruh sunnah-sunnahnya
3. Mentaati ulil amri
4. Mengembalikan kepada Al-qur’an dan alhadis jika terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum
Untuk memahami alqur’an dan alhadis tidaklah cukup dengan memaknainya secara literlijk, ada suatu hal
yang harus dipertimbangkan ketika membaca sebuah teks-teks alqur’an dan alhadist, yaitu seperti kondisi
masyarakat pada saat turunnya ayat, juga harus melihat dari segi bahasa. Contohnya Nahwu, balaghah, ilmu
mantek.
berkaitan dengan hadist nabawi yang mengatakan bahwa semua Bid’ah adalah sesat, kita tidak bisa memukul
kata. Nabi Muhammad SAW dalam hadist tersebut menggunakan lafadz “kullu” yang secara harfiyah berarti
seluruh. Namun, pada dasarnya “kullu” tidak selamanya berarti seluruh tetapi berarti juga sebagian. ini bisa kita
lihatdalam ayat al-qur’an Surat Anbiya’ ; 30, pada ayat ini, kita bisa melihat bahwa lafadz “kullu” yang ada
dihadist nabawi tersebut tidaklah bermakna seluruhnya, tetapi sebagian. Begitu juga dengan Bid’ah, tidak
seluruhnya dihukumi haram.
Imam Izzudin bin Abdus salam berpendapat bahwa bid’ah itu dibagi menjadi 5 ; Bid’ah wajibah,
muharromat, mandubah, makruhah dan mubahah. Sedangkan Imam Syafi’i membedakan bid’ah menjadi 2
bagian, yakni Bid’ah Sayyiah (bid’ah yang buruk) dan Bid’ah Hasanah (bid’ah kebaikan).
b. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagai anggota keluarga
dan sebagai individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan,
hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.
Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat,
diantaranya :
1. Pembagian hak menurut hak materiil yaitu: hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta
tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya: hak beragama, hak sosial dan berserikat.
2. Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan
rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
Pembagian hak asasi ini semata mata hanya untuk membendung pengaruh Sosialisme dan Komunisme,
partai-partai politik di Barat mendesak agar negara ikut campur-tangan dalam memberi jaminan hak-hak asasi
seperti untuk bekerja dan jaminan sosial.
2.4 Demokrasi Islam
Secara etimologi (lughawi), kata Demokrasi yaitu Democratie berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari
kata : demos yang berarti rakyat dancratos yang berarti kekuasaan. Lebih dikenal dengan istilah Kedaulatan
Rakyat, rakyatlah yang berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri. Makna kata ‘Kedaulatan’ itu sendiri ialah
“sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi”.
Secara terminologi (ishtilaahi), Demokrasi secara lugas ialah Sistem Pemerintahan yang secara konseptual
memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka, dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat
suara Tuhan).
Demokrasi menurut Islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan pendapat orang banyak
untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai – nilai keagamaan.
Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan
secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara
Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi
menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal
of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur
National Intelligence Council di CIA) menulis di Jurnal Foreign Affairs: “Kebanyakan peneliti Barat cenderung
untuk melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan
disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa
sejumlah sarjana yang mengkaji literatur utama Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan
demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”. Banyak kalangan sarjana
Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan
demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam
adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah). sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah
berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan
dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu
tergantung dan terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan. Realitasnya adalah
bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang
lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan
label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang
korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan
preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.
Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang
`’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah
kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran,
Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.
Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur
pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa
kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses
pemilihan populer. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam
Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem
konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam
kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab
pada Allah dan wahyu-Nya.
http://mawaddatulkarimah.blogspot.com/2012/10/hukum-ham-dan-demokrasi-dalam-islam.html