Anda di halaman 1dari 9

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Kadar Trombosit dengan Derajat Keparahan DBD

Penelitian yang dilakukan oleh Towidjojo (2014) dengan total yang didapat 94

sampel didapatkan rerata umur 20 tahun. Berdasarkan penelitian tidak dijumpai

DBD derajat IV; 77,7% sampel masuk dalam DBD derajat I dan secara umum

prevalensi DBD dijumpai pada kelompok umur 20-22 tahun berjumlah 46 orang.

Kadar trombosit tertinggi didapatkan pada DBD derajat I sebesar 95.917 ± 35.912

dengan rentang 27.000-196.000/mm3, sedangkan paling rendah pada derajat III

sebesar 14.273 ± 20.525 dengan rentang 10.000-58.000/mm3. Pada pasien DBD

derajat I, II, III didapatkan rata-rata (mean) nilai trombosit 95.917/mm3,

33.567/mm3, dan 14.273/mm3.Hasil analisis stastitik hubungan kadar trombosit

dengan derajat DBD secara statistik bermakna (p<0,05). Nilai korelasi Spearman

(r) didapatkan sebesar -0,529 dengan korelasi derajat sedang (0,400-0,599). Hal ini

menunjukkan bahwa semakin berat derajat DBD makan akan semakin rendah kadar

trombosit walaupun korelasi ini dalam derajat sedang31.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Syumarta, dkk (2014) jumlah

sampel yang diperoleh adalah sebanyak 84 orang, dimana 50 orang berada pada

derajat I, 28 orang berada derajat II dan 6 orang berada derajat III dan tidak

ditemukan derajat IV. Peneliti meneliti yang banyak menderita DBD adalah usia

dibawah 20 tahun dengan rerata usia penderita DBD adalah 25.49±10.09 ribu/mm 3.

Didapatkan rerata jumlah trombosit pada derajat I adalah 62.64±3.63 ribu/mm 3.

40
41

Pada derajat II adalah 31.14±2.25 ribu/mm3. Pada derajat III adalah 36.17±2.29

ribu/mm3. Hasil analisis hubungan jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD

bermakna dengan uji korelasi Kendall’s tau didapatkan nilai p < 0,05 yang berarti

terdapat hubungan bermakna antara jumlah trombosit dengan derajat klinik DBD.

Dengan koefisien r = -0,0336 yang berarti kekuatan hubungan lemah dengan arah

hubungan negatif34.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Ayunani, dkk (2017) hasil

penelitian analisis univariat, sampel yang memenuhi kriteria sebanyak 85 pasien

bahwa penderita demam berdarah pada derajat I (60 pasien) lebih banyak dari pada

derajat II (25 pasien) dan tidak ditemukan penderita demam berdarah derajat III dan

IV. Pada pasien derajat I masih didapatkan kadar yang normal untuk jumlah

trombosit (22%) dan jumlah trombosit sebagian besar rendah (78%). Pada pasien

demam berdarah derajat II sebanyak 100% untuk semua pasien yang ada pada

derajat II. Pada hasil penelitian analisis bivariat jumlah trombosit derajat I secara

berturut-turut mempunyai nilai mean (130.000), median (129.000) dan range

(100.00-150.000), dan pada derajat II didapatkan nilai mean (84.480), median

(88.000) dan range (64.000- 100.000). Didapatkan hubungan yang bermakna

antara derajat keparahan pasien demam berdarah dengan jumlah trombosit karena

nilai p = 0,000 (nilai p < 0,05). Nilai korelasi Spearman sebesar -0,732, nilai

korelasi ini menunjukkan hubungan yang kuat, walaupun arahnya negatif. Arah

negatif menunjukkan semakin besar derajat demam berdarah, maka semakin rendah

jumlah trombositnya35.
42

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Rosdiana, dkk (2017) distribusi

kelompok usia terbanyak 4-8 tahun, yaitu 39 anak pasien perempuan lebih banyak

54 dari laki-laki 41 dengan perbandingan 1;1,3. Derajat klinik pasien DBD anak

paling banyak didapatkan pada derajat klinik I 56, dan paling sedikit pada derajat

klinik IV 5. Pada klinik derajat II sebanyak 26, dan klinik derajat III sebanyak 8.

Jumlah trombosit pada derajat I rerata 105160,7/mm3. Pada derajat II rerata

81653,8/mm3, pada derajat III rerata 59000/mm3, dan pada derajat IV rerata

35200/mm3. Korelasi negatif bermakna antara trombosit dan derajat klinik DBD

dengan kekuatan hubungan sedang (p=0,000; r=-0,449). Berarti semakin rendah

jumlah trombosit maka semakin berat derajat klinisnya33.

Penelitian diatas berbeda dengan penelitian Widyanti (2016) penelitian ini

dilakukan pada 100 rekam medis pasien. Karakteristik sampel yang diambil terdiri

dari 63 orang laki-laki dan 37 orang perempuan. Hasil trombosit minimal 10,7 x10 3

sel/mm3 dan nilai trombosit tertinggi 133 x 103 dengan rata-rata sebesar 67,726 x

103 sel/mm3. Pada 50 sampel dengan derajat I ditemukan nilai trombosit terendah

adalah 19,6 x 103 sel/mm3 dan tertinggi 115 x 103 sel/mm3. Pada 48 sampel dengan

derajat II ditemukan nilai trombosit terendah adalah 11 x 103 sel/mm3 dan tertinggi

133 x 103 sel/mm3. Sedangkan pada demam berdarah dengue derajat III ditemukan

trombosit terendah adalah 10,7 x 103 sel/mm3 dan tertinggi 76 x 103 sel/mm3.

Dengan Uji Kolmogorov-Smirnov yang dilakukan, variabel trombosit memiliki

sebaran data normal (p>0,05). Diperoleh korelasi koefisien (r) senilai -0,117

menunjukkan hubungan antara derajat keparahan DBD dan trombosit adalah

hubungan negatif namun sama halnya dengan hasil uji dengan hematokrit. Dengan
43

demikian analisis regresi linier untuk menguji arah kekuatan hubungan tersebut

tidak bermakna dilakukan32.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Elindra, dkk (2014) dari 129 orang

yang diteliti, 72 orang diantaranya memiliki kadar trombosit kurang dari

100.000/mm3, 46 orang diantaranya memiliki kadar trombosit antara 100.000 -

150.000/mm3 dan 11 orang diantaranya memiliki kadar trombosit lebih dari

150.000/mm3. pada penelitian ini kadar trombosit terbanyak pada pasien DBD yang

dirawat inap yaitu kurang dari 100.000/mm3. Terlihat bahwa 120 orang yang

memiliki penyakit DBD derajat I, 64 orang diantaranya memiliki kadar trombosit

kurang dari 100.00/mm3, 45 orang diantaranya memiliki kadar trombosit antara

100.00-150.000/mm3 dan 11 orang diantaranya memiliki kadar trombosit lebih dari

150.000/mm3. Dari 7 orang yang memiliki penyakit DBD derajat II, 6 orang

diantaranya memiliki kadar trombosit kurang dari 100.000/mm 3 dan 1 orang

diantaranya memiliki kadar trombosit antara 100.000-150.000/mm 3. Dari 2 orang

yang memiliki penyakit DBD derajat III, semuanya memiliki kadar trombosit

kurang 100.000/mm3. Didapatkan tidak ada hubungan bermakna antara kadar

trombosit dengan derajat DBD, hasil uji statistik ditunjukkan bahwa nilai p=

0,34228.

Berdasarkan penelitan Towidjojo, dkk, Syumarta dkk, Ayunani, dkk, dan

Rosdiana, dkk adanya hubungan signifikan antara trombosit dan derajat keparahan

DBD yang memiliki hasil yang sama, tetapi cara penghitungan dari cara

pengambilan sampel maupun statistikanya berbeda-beda. Hasilnya tersebut semakin

tinggi derajat keparahan DBD pada perhitungan di penelitian trombositnya semakin


44

rendah jumlah trombosit. Dimana pengambilan sempelnya adalah pengambilan

secara acak sederhana merupakan pengambilan secara acak tidak melihat yang

mana paling banyak dan paling sedikit diambil, retrospektif dimana

pengambilannya mengambil dalam 5 tahun terakhir atau 5 tahun kedepan dan

secara cross-sectional dimana pengambilan tersebut yang sebenarnya harus

memakai besar sampel tetapi penelitian pada Ayunani tidak ada besar sampel.

Berbeda dengan Widyanti, dkk, dan Elindra, dkk tidak ada hubungan signifikan

antara trombosit dan derajat keparahan DBD karena jumlah sampelnya sedikit dan

dimana tiga peneliti tersebut memakai pengambilan sampel cross-sectional.

Pengambilan sampel tersebut mempunyai kekurangannya tidak ada besar

sampelnya.

5.2. Hubungan Hematokrit dengan Derajat Keparahan DBD

Penelitian yang dilakukan oleh Towidjojo (2014) total yang didapat 94 sampel

didapatkan rerata umur 20 tahun dengan umur terendah 20 tahun dan tertinggi 40

tahun. Berdasarkan penelitian tidak dijumpai DBD derajat IV; 77,7% sampel masuk

dalam DBD derajat I dan secara umum prevalensi DBD dijumpai pada kelompok

umur 20-22 tahun berjumlah 46 orang. Didapatkan hasil bahwa kadar hematokrit

yang paling tinggi pada pasien DBD derajat III sebesar 49 ± 4,67 dengan rentang

43,4 -55,8% sedangkan kadar hematokrit terendah pada pasien derajat I sebesar 41

± 4,74 dengan rentang 27,5 - 55,8%. Pada pasien DBD derajat I, II, III didapatkan

rerata (mean) nilai hematokrit masing-masing 41%, 45%, dan 49%. dari hasil

analisis statistik hubungan antara kadar kadar hematokrit dengan derajat DBD yang
45

diperoleh, didapatkan adanya korelasi antara kadar hematokrit dan derajat DBD

yang bermakna secara statistik (p<0,05). Nilai korelasi Spearman (r) didapatkan

sebesar 0,0345, dengan korelasi derajat lemah (0,200-0,399). Hal ini menunjukkan

bahwa semakin berat derajat DBD semakin tinggi kadar trombosit walaupun

korelasi ini dalam derajat lemah31.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Ayunani, dkk (2017) sampel yang

memenuhi kriteria sebanyak 85 pasien bahwa penderita demam berdarah pada

derajat I (60 pasien) lebih banyak dari pada derajat II (25 pasien) dan tidak

ditemukan penderita demam berdarah derajat III dan IV. Pada pasien demam

berdarah derajat I masih didapatkan kadar yang normal untuk hematokrit (50%).

Kadar hematokrit rendah didapatkan (10%). Hanya hematokrit yang didapatkan

kadar tinggi (40%). Pada pasien demam berdarah derajat II mengalami peningkatan

kadar hematokrit sebanyak 72%, 20% pasien mempunyai kadar hematokrit yang

normal, dan hanya 8% yang rendah. Hasil penelitian analisis bivariat kadar

hematokrit pada pasien demam berdarah derajat I secara berturut-turut mempunyai

nilai mean (44,78), median (43,0) dan range (35-55), dan pada derajat II didapatkan

nilai mean (47,64), median (50,0) dan range (34-53). Didapatkan hubungan yang

bermakna antara derajat keparahan pasien demam berdarah dengan kadar

hematokrit karena nilai p = 0,035 (nilai p < 0,05), dengan arah positif tetapi

hubungannya lemah karena nilai r = 0,229. Arah positif menunjukkan semakin

besar derajat demam berdarah, maka semakin besar/tinggi kadar hematokritnya35.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Elindra, dkk (2014) dari 129 orang

yang diteliti, 5 orang diantaranya memliki kadar hematokrit yang tinggi, 108 orang
46

diantaranya memiliki kadar hematokrit yang normal dan 16 orang diantaranya

memiliki kadar hematokrit yang rendah. Pada penelitian ini kadar hematokrit

terbanyak pada DBD yang rawat inap yaitu dengan kadar normal. Bahwa terlihat

dari 120 orang yang memiliki penyakit DBD derajat I, 2 orang diantaranya

memiliki kadar hematokrit tinggi, 103 orang diantaranya memiliki kadar hematokrit

dengan kategori normal dan 15 orang diantaranya memiliki kadar hematokrit

dengan kategori rendah. Dari 7 orang yang memiliki penyakit DBD derajat II, 1

orang diantaranya memiliki kadar hematokrit dengan kategori tinggi, 5 orang

diantaranya memiliki kadar hematokrit dengan kategori normal dan 1 orang

diantaranya memiliki kadar hematokrit dengan kategori rendah. Dari 2 orang yang

memiliki penyakit DBD derajat III, semuanya memiliki kadar hematokrit dengan

kategori tinggi. Hasil analisis statistik pada kadar hematokrit dengan derajat DBD,

didapatkan bahwa nilai p (0,00) < 0,05 dan keeratan hubungan yang kuat dengan

nilai C = 0,541. Maka dengan hasil tersebut dinyatakan bahwa terdapat hubungan

yang kuat kadar dengan derajat penyakit DBD28.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Rosdiana, dkk (2017) distribusi

kelompok usia terbanyak 4-8 tahun, yaitu 39 anak pasien perempuan lebih banyak

54 dari laki-laki 41 dengan perbandingan 1;1,3. Derajat klinik pasien DBD anak

paling banyak didapatkan pada derajat klinik I 56, dan paling sedikit pada derajat

klinik IV 5. Pada klinik derajat II sebanyak 26, dan klinik derajat III sebanyak 8.

Jumlah hematokrit pada derajat I rerata 36,60/mm3. Pada derajat II rerata

38,45/mm3, pada derajat III rerata 40,62/mm3, dan pada derajat IV rerata

38,20/mm3. Korelasi positif bermakna antara hematokrit dan derajat klinik DBD
47

dengan kekuatan hubungan lemah (p=0.038; r=0.214). Berarti semakin tinggi

jumlah hematokrit maka semakin berat derajat klinisnya33.

Penelitian di atas berbeda dengan penelitian Syumarta, dkk (2014) Jumlah

sampel yang diperoleh adalah sebanyak 84 orang, dimana 50 orang berada pada

derajat I, 28 orang berada derajat II dan 6 orang berada derajat III dan tidak

ditemukan derajat IV. Peneliti meneliti yang banyak menderita DBD adalah usia

dibawah 20 tahun. Rerata jumlah hematokrit pada derajat I adalah 44.22 ± 5.59%.

Rerata jumlah hematokrit pada derajat II adalah 46.90 ± 5.50%. Rerata jumlah

hematokrit pada derajat III adalah 38.47 ± 7.48%. Hasil analisis dengan uji korelasi

Kendall’s tau didapatkan nilai r = 0.059 yang berarti kekuatan hubungan sangat

lemah dengan arah hubungan positif dan nilai p > 0.05 yang berarti tidak terdapat

hubungan bermakna antara nilai hematokrit dengan derajat klinik DBD33.

Penelitian di atas sejalan dengan penelitian Widyanti (2016) Nilai hematokrit

didasarkan atas karakteristik jenis kelamin dan diperoleh hasil 50 dari 63 laki-laki

dengan hematokrit normal, 8 dari 63 laki- laki dengan hematokrit tinggi, 5 dari 63

laki-laki dengan hematokrit rendah, 21 dari 37 perempuan hematokrit normal, 14

dari 37 perempuan dengan hematokrit tinggi, dan 2 dari 37 perempuan dengan

hematokrit rendah. Berdasarkan derajat keparahan DBD dengan hematokrit maka

diperoleh distribusi kasus DBD yakni pasien dengan derajat I yang memiliki

hematokrit normal sebanyak 40 dari 50 orang, hematokrit rendah 3 orang, dan

hematokrit tinggi sebanyak 7 dari 50 orang. Dari pasien tergolong derajat II

ditemukan 30 dari 48 orang memiliki hematokrit normal, 4 dari 48 orang dengan

hematokrit rendah, dan 14 dari 48 orang dengan hematokrit tinggi. Dengan uji
48

Kolmogorov- smirnov yang dilakukan, Dari analisis korelasi Pearson didapatkan

korelasi koefisien (r) antara derajat keparahan demam berdarah dengue dengan

hematokrit adalah sebesar 0,173 dengan p>0,05. Nilai ini menunjukkan hubungan

antara derajat keparahan DBD dan hematokrit adalah hubungan positif namun tidak

signifikan32.

Berdasarkan penelitan Towidjojo, dkk, Ayunani dkk, Elindra, dkk dan

Rosdiana, dkk adanya hubungan signifikan antara hematokrit dan derajat keparahan

DBD yang memiliki hasil yang sama, tetapi cara pengambilan sampel peneliti

tersebut berbeda-beda. Hasilnya walaupun lemah hubungan tersebut tetapi adanya

peningkatan nilai hematokrit menggambarkan hemokosentrasi yang selalu dijumpai

pada pasien DBD, yang merupakan indikator yang peka akan terjadinya kebocoran

plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit berkala. Berbeda dengan

penelitian Livina dkk, Syumarta, dkk, dan Widyanti dkk tidak signifikan hubungan

antara hematokrit dengan keparahan derajat DBD disebabkan nilai korelasi ketiga

peneliti tersebut lemah dengan penghitungan statistiknya mengarah lebih besar.

5.3. Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan dengan metode Literature Rieview memiliki

keterbatasan yang tidak adanya ketentuan khusus dalam pemilihan jurnal

serta jurnal dipilih secara subyektif.

2. Peneliti hanya mampu menyajikan berdasarkan jurnal yang didapat, peneliti

tidak dapat menyediakan data primer diakibatkan adanya pandemi Covid-

19.

Anda mungkin juga menyukai