Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menjelang Pemilu Presiden (Pilpres), isu di bidang ekonomi yang diangkat
oleh calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) baik pasangan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) maupun pasangan Prabowo Subianto dan Hatta
Rajasa (PrabowoHatta) dalam agenda dan programnya akan menjadi pedoman bagi
banyak pihak khususnya pelaku bisnis untuk menentukan arah investasi di masa
mendatang. Salah satu visi misi yang sama-sama dicanangkan oleh kedua pasangan
capres dalam pilpres tahun 2014 adalah tekad mengurangi utang luar negeri.
Pembangunan ekonomi diperlukan bagi negara berkembang, termasuk
Indonesia, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkecil
kesenjangan ekonomi dari negara lain. Namun demikian, keterbatasan sumber daya
modal memaksa suatu negara mendatangkan aliran modal dari luar negeri berupa
pinjaman untuk membiayai pembangunan yang cukup besar.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2014 menyepakati
belanja negara sebesar Rp1.842 triliun, naik 6,7 persen dari APBN 2013 sebesar
Rp1.726 triliun. Belanja negara tersebut lebih besar dari pada penerimaan negara yang
ditetapkan Rp1.667 triliun pada APBN Tahun 2014. Akibatnya pemerintah
dihadapkan oleh defisit anggaran yang memaksa pertumbuhan ekonomi tahun 2014
harus direvisi dari 6,4 persen menjadi kisaran 5,1 – 5,5 persen. Besarnya defisit
anggaran tahun 2014 salah satunya dipicu oleh lonjakan subsidi energi dan listrik.
Terkurasnya uang negara untuk lonjakan subsidi ini membuat pemerintah pada
pilihan, yakni mengandalkan utang sebagai salah satu cara untuk menutup defisit
anggaran.
B. Rumusa Masalah
1. Bagaimana kondisi utang luar negri ?
2. Bagaimana cara alternatif kebijakan pengentasan utang luar negri ?
3. Bagaimana perkembangan dan masalah hutang luar negri ?
BAB II

PEMBAHSAN

A. Proses Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Utang Luar Negri


Pada awalnya, kebijakan ekonomi yang bertumpu pada utang luar negeri telah
membuktikan kesulitan pemerintah dalam memposisikan utang hanya sebagai
pelengkap penerimaan dalam negeri. Posisi ini bertambah sulit ketika kebijakan utang
luar negeri tidak berubah, sedangkan tekanan utang cenderung semakin berat.
Sementara dalam implementasinya dan dilapangan utang luar negeri tidak menambah
perbaikan produktivitas dan efisiensi ekonomi, yang Nampak dari kemampuan
membayar yang lemah, sebagai akiabat demoralisasi yang hebat.
Menurut Didik J Rachbini1 secara teoritis, kegagalan dalam mempertahankan
kesinambungan pembangunan ekonomi bermuara pada kegagalan dalam kebijakan
utang luar negeri. Adanya kegagalan kebijakan utang luar negeri secara ekonomi
dapat dijelaskan dengan teori ekonomi kelembagaan dan paradigma pilihan publik.
Aspek kelembagaan ini mencakup proses politik, mekanisme kebijakan
publik, institusi kepresidenan, parlemen, birokrasi, dan teknokrat. Aspek kelembagaan
ada yang sangat rapuh sehingga tidak mampu memfasilitasi kebijakan dan program
utang luar negeri, yang berujung pada pemborosan, inefisiensi dan korupsi. Para
teknokrat ekonom ternyata mengabaikan aspek kelembagaan ini serta tidak memiliki
perspektif pilihan publik dalam memformulasikan kebijakan.
Hal ini tidak sesuai dengan penggunaan bantuan luar negeri secara normatif,
seharusnya digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek yang produktif dan
bermanfaat atas dasar inspirasi dari program Marshall Plan. Menurut pendapat Didik J
Rachbini2 ada lima persoalan yang dihadapi dalam kenyataan yakni:
a. Sirkulasi uang dari transaksi uang tersebut kembali ke negara kreditor melalui
kontrak dengan pengusaha yang berasal dari negara pemberi uang, bantuan
teknis, konsultan dan prasyarat lainnya.
b. Bantuan luar negeri merupakan peluang bisnis tanpa resiko dan pasti
menghasilkan keuntungan bagi pengusaha dari negara pemberi pinjaman.
c. Bantuan atau utang luar negeri cenderung diiringi oleh pemborosan
pembiayaan pembangunan (kekeliruan proyek yang tidak produktif).

1
J. Rachbini Didik, Ekonomi Politik Utang, dalam Kompas, 4 Juli 2001.
2
J. Rachbini Didik, Ekonomi Politik Utang, jakarta: Ghalia Indonesia 2000, h. 89
d. Pihak kreditor yang berasal dari negara maju seharusnya mengetahui
persoalan kelembagaan non pasar di negara berkembang, misalnya masalah
penegakan hukum pasar dan birokrasi.
e. Birokrat asing dan para analisisnya lupa bahwa kelembagaan berperan penting
sebagai kerangka pondasi ekonomi.

Perkembangan jumlah utang luar negeri selama tiga dekade kecenderungannya


semakin membengkak dilihat dari jumlah total maupun proporsinya di dalam APBN.
Ternyata kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah bertolak belakang dengan
filosofi kebijakan utang yakni awalnya berperan sebagai pelengkap untuk mendukung
tiang utama anggaran. Nampaknya kebijakan ini akan tidak berubah, akibatnya
pemerintah tidak akan dapat menjawab kapan utang berhenti dan pembangunan secara
efisien dapat didukung oleh dana publik dalam negeri sendiri.

Tabel. 1
Posisi Utang Pemerintah, 2001 – 20103

Perkembangan akumulasi utang luar negeri pemerintah tidak sedikitpun


memperlihatkan kecenderungan menurun. Padahal untuk cicilan pokok dan bunganya
yang harus dibayar terus membengkak. Hal ini terus bergulir karena permintaan utang
juga meningkat, mengingat kebutuhan riil anggaran yang membesar tanpa perbaikan
dalam efisiensi maupun alokasinya. Keadaan ini terjadi pada sisi pengeluaran terjadi
tekanan yang berat pada pengeluaran rutin, sedangkan pada sisi penerimaan tidak
terjadi perkembangan yang cepat dalam perbaikan rasio pajak (tax ratio). Dapat
dilihat pada tabel diatas. Hal ini berarti strategi kebijakan utang luar negeri
mengalami distorsi dari konsep semula dengan proses formulasi kebijakan di tingkat
pemerintah dan implementasinya di lapangan. Perumusan kebijakaan dan

3
Kementrian Keuangan Republik Indonesia, ( diakses pada tanggal 18 Juli 2021)
implementasinya terus melenceng dari harapan sebenarnya sehingga utang luar negeri
menjadi semakin besar bahkan menjerat perekonomian nasional.
B. Indikasi Kebutuhan Pinjaman Luar Negri tahun 2015 – 2019
Penyusunan indikasi kebutuhan pinjaman luar negeri jangka menengah
mengacu pada kebijakan dan kebutuhan pembiayaan dalam RPJMN 2015-2019 serta
memperhatikan batas maksimal pinjaman selama periode tersebut. Proses tersebut
dapat digambarkan seperti pada Gambar 2 :

Kebutuhan pinjaman luar negeri mengacu pada kebijakan makro RPJMN


2015-2019. Beberapa kebijakan makro dalam RPJMN yang menjadi dasar penentuan
kebutuhan pinjaman luar negeri adalah: (i) menjaga dan mempertahankan
kesinambungan fiskal, (ii) meningkatkan kinerja neraca pembayaran, (iii) diarahkan
dengan mengurangi rasio defisit anggaran menjadi sekitar satu persen pada tahun
2019, dan (iv) menjaga rasio utang di bawah 30 persen terhadap PDB. Berbagai
kebijakan tersebut mendasari nilai perkiraan pembiayaan defisit yang salah satunya
akan dibiayai melalui pinjaman luar negeri selama 2015-2019.
C. Kondisi Utang Luar Negri
Utang merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal dalam kerangka
kebijakan pengelolaan ekonomi dan merupakan konsekuensi dari postur APBN yang
mengalami defisit anggaran. Menurut Bank Indonesia, Utang Luar Negeri (ULN)
Indonesia terdiri dari ULN publik (pemerintah dan bank sentral) serta ULN swasta.
ULN pemerintah adalah utang yang dimiliki oleh pemerintah pusat, terdiri dari utang
bilateral, multilateral, fasilitas kredit ekspor, komersial, leasing, serta surat berharga
yang diterbitkan di luar negeri dan dalam negeri yang dimiliki oleh bukan penduduk.
ULN Bank Sentral adalah utang yang dimiliki oleh Bank Indonesia dalam rangka
mendukung neraca pembayaran dan cadangan devisa. Sedangkan ULN swasta adalah
ULN penduduk (selain pemerintah dan bank sentral) kepada bukan penduduk (bank
dan bukan bank) dalam valuta asing dan atau rupiah berdasarkan perjanjian utang
(loan agreement) atau perjanjian lainnya, simpanan, dan kewajiban lainnya.
D. Alternatif Kebijakan Pengentasan Utang Luar Negri
1. Pembatasan Pinjaman Baru
Dalam jangka pendek ULN sangat membantu Indonesia dalam upaya menutup
defisit APBN, akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan yang besar. Laju pertumbuhan ekonomi dipacu sesuai dengan
target yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun dalam jangka panjang, ULN
dapat menimbulkan persoalan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu
dilakukan kebijakan pembatasan pinjaman baru, yaitu hanya diperbolehkan
untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang produktif, seperti
pembangunan infrastruktur serta pengembangan pendidikan, dan kesehatan.
Pembatasan tersebut dilakukan untuk mengurangi pinjaman yang bersifat
program/ hanya menghasilkan produk kebijakan, sehingga output pinjaman
baru diharapkan dapat berpotensi memberikan multiplier effect yang tinggi di
masa mendatang dan meningkatkan devisa negara. Di samping itu, perlu
diberlakukan ketentuan terhadap pinjaman baru yang mengatur suku bunga
yang lebih murah, masa pinjaman (tenor) lebih panjang, serta tidak ada
persyaratan yang memberatkan pemerintah.
2. Peningkatan penerimaan pajak (Tax Ratio)
Target terhapusnya semua ULN Indonesia dirasakan cukup sulit
dicapai apabila tidak didukung oleh upaya keras terhadap peningkatan
penerimaan negara dari sektor pajak. Peningkatan pendapatan negara dari
sektor pajak dapat mengurangi ketergantungan ULN Indonesia. Adapun tax
ratio Indonesia saat ini hanya sebesar 12-13 persen terhadap rasio PDB, jauh
di bawah Filipina dan negara tetangga lainnya. Menurut Tony Prasetiantono,
sebagai negara emerging market, idealnya tax ratio Indonesia mampu berada
di angka 17-20 persen terhadap rasio PDB. Untuk itu, diperlukan
pengembangan inovasi pendukung seperti inovasi dalam instrumen
perpajakan, skema insentif-disinsentif dalam investasi, serta peningkatan
kuantitas dan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung kebijakan di
bidang perpajakan.
3. Sinergi BUMN
Salah satu alternatif mengurangi ULN adalah dengan menggandeng
BUMN dalam pengadaan infrastruktur tanpa mengandalkan investasi asing
atau pinjaman dari luar negeri. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan
memaksimalkan sumber daya dalam negeri yang dimiliki oleh BUMN,
sehingga akan dapat meningkatkan kontribusi pajak dan deviden BUMN
terhadap penerimaan negara. Untuk itu, diperlukan penataan kembali kinerja
BUMN sehingga BUMN Indonesia dapat berkontribusi terhadap pembiayaan
pembangunan negara.
4. Pengelolaan Utang
Beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban
ULN adalah sebagai berikut:
a. Penundaan pembayaran angsuran pokok utang (debt rescheduling)
dengan menjadwalkan kembali jatuh tempo pembayaran utang dan
bunga.
b. Pengalihan kewajiban membayar angsuran pokok utang menjadi
kewajiban melaksanakan suatu program/ proyek tertentu seperti
misalnya yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat serta
pemeliharaan lingkungan (debt swap).
c. Pembebasan atas seluruh atau sebagian utang (hair cut).
E. Perkembangan dan Masalah Hutang Luar Negri
Indonesia menggunakan hutang luar negeri untuk mempercepat pembangunan
ekonominya. Hutang luar negeri dimasukkan sebagai penerimaan pemerintah dalam
APBN setiap tahunnya. Sumber pinjarnan Indonesia selama ini berasal dari negara-
negara dan badan-badan bantuan multilateral yang tergabung dalam Consultative
Group for Indonesia)4 atau CGI (sebelurnnya Inter Governmental Group on Indonesia,
IOGI). Dengan tingkat suku bunga yang rendah, tenggang waktu (grace period) dan
masa pembayaran cicilan pokok dan bung any a yang cukup panjang, maka pinjaman
dari COl merupakan sumber pembiayaan utama.
Meskipun hutang luar negeri menjadi komponen yang penting dalam struktur
pembiayaan pembangunan, namun dalam menjalankan kebijaksanaannya, pinjaman
dana yang berasal dari luar negeri tersebut didasarkan pada beberapa kriteria pokok
yang tujuannya untuk menyelaraskan antara kebutuhan akan pinjaman dana luar
negeri dengan politik luar negeri yang bebas aktif, sebagaimana telah digariskan
dalam GBHN. Selain itu, efisiensi dan efektifitas penggunaan dana menjadi
pertimbangan utama, sehingga kriteria pokok tersebut diarahkan pada tiga hal, yaitu:
a. Bantuan luar negeri tidak boleh dikaitkan dengan politik.
b. Syarat-syarat pembayaran hams dalam batas-batas kemampuan untuk
membayar kembali.
c. Penggunaan bantuan luar negeri haruslah untuk pembiayaan proyek-proyek
produktif dan bermanfaat.

Alasan mendasar dibutuhkannya hutang luar negeri adalah karena tabungan


domestik tidak mencukupi, yang menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk
memobilisasi dana domestik tidak pernah mengimbangi besarnya kebutuhan dana
untuk investasi. Kesenjangan an tara tabungan dalam negeri baik pemerintah dan
swasta menyebabkan hutang luar negeri dan PMA merupakan suatu "keharusan" bagi
pembiayaan investasi.
Tingginya tingkat suku bunga di dalam negeri mendorong para investor swasta
untuk mencari dana dari luar negeri yang dianggap murah. Seiring dengan
diberlakukannya liberalisasi keuangan dan perbankan, besarnya hutang swasta
semakin membesar. Dalam melakukan peminjaman dana dari luar negeri terbukti di
kemudian hari bahwa investor swasta tidak mempertimbangkan fundamental
makroekonomi yang sesungguhnya telah memberi isyarat kurang baik, seperti
misalnya defisit transaksi betjalan yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke
tahun.

4
IGGI digantikan COl sejak tahun 1992. Penggantian ini sebagai suatu protes pemerintah Indonesia.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemampuan Indonesia sebagai negara berkembang untuk meningkatkan
tabungan dalam negeri dan mengurangi jurang tabungan-investasi (saving-investment
gap) hingga saat ini masih rendah sehingga untuk biaya pembangunan harus ditutupi
dari pinjaman luar negeri. Prinsip anggaran berimbang yang dianut selama ini oleh
Pemerintah Indonesia mempunyai konsekuensi bahwa defisit anggaran yang terjadi
secara reguler ditutup dari hutang luar negeri.
Pertumbuhan ULN yang didominasi oleh sektor swasta sangat cepat,
sementara kegiatan ekspor kurang memberikan kontribusi terhadap neraca
perdagangan. Oleh karena itu, Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan dapat
bekerja sama dalam menerapkan langkah strategis untuk memantau perkembangan
ULN khususnya sektor swasta, dan mengantisipasi faktor pendorong peningkatan
ULN swasta. Sejauh ini belum ada pengaturan terhadap batasan ULN sektor swasta,
dan upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia masih dalam kapasitas menghimbau
sektor swasta untuk lebih berhati-hati dalam melakukan pinjaman baru.
DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia, Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, June 2014.

Rachbini, D.J. (2001), Ekonomi Politik Utang, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Djamin Zulkarnain, Sumber Luar Negeri Bagi Pembangunan Indonesia, UI Press


1995.

J. Rachbini Didik, Ekonomi Politik Utang, dalam Kompas, 4 Juli 2001

J, Rachbini Didik, Ekonomi Politik Utang, Ghalia Indonesia, Jakarta 2001.

Anda mungkin juga menyukai