Anda di halaman 1dari 30

RESUME SL

CR SKENARIO 2

NAMA : Diaz Ayu Pitaloka


NPM : 118170045
KELOMPOK : 9B
BLOK : 4.3

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2021
SKENARIO CR 2
Seorang laki-laki berusia 18 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan BAK keruh dan
bengkak pada mata.
STEP 1
keluhan utama BAK keruh dan bengkak pada mata.
STEP 2
DIAGRAM VENN

BAK KERUH BENGKAK PADA MATA


Glomerulonefritis
Karsinomasel renal 1. Kalazion
Nekrosis Tubular Sindromnefrotik
Akut
InfeksiSaluran
Kemih

STEP 3
BAK KERUH

1. GLOMERULONEFRITIS

Definisi
Glomerulonefritis adalah suatu kondisi terjadinya peradangan pada glomerulus di
ginjal. Secara umum, peradangan ini disebabkan oleh reaksi sistem imun yang
menyerang jaringan tubuh yang sehat. Reaksi imun ini terjadi karena adanya antigen
yang memicu kompleks antigen-antibodi di glomerulus. Glomerulonefritis dapat
berlangsung dalam waktu singkat (akut) maupun menetap (kronis). Dalam tulisan ini
akan dibahas mengenai etiologi dan epidemiologi glomerulonefritis.
Meskipun masih sedikit yang diketahui sebagai etiologi glomerulonefritis, akan
tetapi jelas bahwa mekanisme sistem imun yang bertanggung jawab menyebabkan
glomerulonefritis.

Etiologi

Seperti yang telah dikemukakan pada pendahuluan, mekanisme sistem imunlah


yang menyebabkan terjadinya glomerulonefritis. Sistem imun ini dapat menyerang
glomerulus jika terdapat antigen yang memicu terjadinya kompleks antigen-antibodi
maupun endapan imunoglobulin dengan beberapa macam komponen protein
komplemen. Ada dua bentuk perlukan yang diasosiasikan dengan antibody pada kasus
glomerulonephritis yaitu :

1. Glomerulonefritis yang disebabkan oleh deposisi kompleks imun (antigen-


antibodi) dari sistem sirkulasi di glomerulus.

Etiologi terjadinya glomerulonefritis pada kondisi ini adalah adanya


antigen yang bersirkulasi di dalam darah, kemudian terjebak diglomerulus.
Adanyaantigeniniakanmemicuterjadinyareaksiimundiglomerulusyang pada
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya peradangan glomerulus
(glomerulonefritis). Dengan kata lain, antigen pada kondisi glomerulonefritis
seperti ini bukan asli dari glomerulus.

Jenis antigen yang bersirkulasi seperti ini dapat bersifat endogen maupun
eksogen. Sebagai contoh antigen yang bersifat endogen adalah antigen yang
berasosiasi dengan SLU (Systemic Lupus Erythematosus) yang dapat memicu
hipersensitivitas tipe III di glomerulus dan pada akhirnya menimbulkan
glomerulonefritis. Sedangakan jenis antigen yang bersifat eksogen di antaranya
adalah antigen yang berasal dari infeksi bakteri Streptococcus β hemolyticus
yang dapat menyebabkan terjadinya poststreptococcal lglomerulonephritis,
antigen dari virus hepatitis B, antigen dari parasit, sebagai contoh Plasmodium
falciparum, dan antigen dari infeksi spirocheta, sebagai contoh Treponema
pallidum. Selain yang disebutkan di atas, ada beberapa antigen yang tidak
diketahui yang dapat menyebabkan Membranoproliferative Glomerulonephritis
(MPGN).

Apa pun jenis antigennya, antigen ini bersirkulasi di dalam darah,


kemudian terjebak di dalam glomerulus dan membentuk kompleksantigen-
antibodi. Adanya kompleks antigen-antibodi di dalam glomerulus ini akan
memicu terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe III dengan cara mengaktifkan
sistem komplemen dan migrasi leukosit di glomerulus. Akibatya, terjadi
perlukaan atau peradangan pada glomerulus yang disebut
sebagaiglomerulonefritis.

Peradangan ini dapat berlangsung sementara (akut) maupun menetap


(kronik) karena adanya paparan antigen berulang, sehingga menimbulkan siklus
reaksi imun berulang dan persisten. Kondisi glomerulonefritis akut sering
ditemukan pada infeksi poststreptococcal yang disebabkan oleh infeksi
Streptococcus β hemolyticus. Kondisi ini hanya berlangsung singkat dan
merupakan self-limited disease, namun dapat menyebabkan sindroma nefritik
baik pada anak maupun dewasa muda yang ditandai dengan gejala hematuria,
edema, azotemia (penurunan fungsi ginjal), dan hipertensi. Sedangkan
glomerulonefritis kronis sering ditemukan pada kondisi terinfeksi virus hepatitis
B dan penyakit autoimun seperti SLU (Systemic Lupus Erythematosus).
2. Glomerulonefritis yang disebabkan oleh kompleks imun in situ di
glomerulus, intrinsik antigen glomerulus atau molekul yang “tertanam” di
glomerulus.
Etiologi terjadinya kondisi glomerulonefritis pada kondisi ini adalah
adanya reaksi secara langsung antara antibodi dengan antigen yang sudah
tertanam di glomerulus. Antibodi juga dapat bereaksi in situ dengan antigen
nonglomerular yang sudah “tertanam” sebelumnya yang berinteraksi dengan
komponen intrinsik glomerulus. Contoh antigen yang sudah tertanam ini adalah
kompleks nukleosomal pada pasien SLE, produk bakteri, seperti endostroptosin
yang dihasilkan oleh kelompok streptococcus A, agregat protein besar, seperti
agregat IgG yang cenderung terdeposit di mesangial, dan kompleks imun
glomerulus sendiri yang mengandung sisi reaktif terhadap antigen bebas,
antibodi bebas, dan komplemen. Adanya interaksi antara reaksi imun in situ dan
kompleks imun yang terjebak di glomerulus menyebabkan terjadinya perubahan
pada morfologi dan fungsi glomerulus, sehingga menimbulkanglomerulonefritis.
Etiologi Lain Glomerulonefritis
a. Podocyte Injury

Perlukaan pada podosit dapat diinduksi oleh antibodi terhadap antigen


podosit oleh toksin, sebagai contoh puromisin yang meracuni ribosom dan focal
segment dari glomerulosclerosis yang dapat melukai podosit. Perlukaaan pada
podosit ditandai dengan adanya perubahan morfologi, vakuolisasi, dan retraksi
atau sobekan pada Glomerulus Basement Membrane (GBM), sehingga struktur
kapiler glomerulus menjadi terurai. Hal ini dikarenakan fungsi dari podosit
(intraglomerular mesangial cell) adalah mengikat kapiler glomerulus, sehingga
membentuk kuntuman di dalam kapsula Bowman.

b. Nephron Loss

Penyakit ginjal dalam bentuk apapun dapat merusak nefron, sehingga


mengurangi GFR sebesar 30%-50%. Penurunan ini akan berakibat timbulnya
berbagai macam kelainan dan gangguan fungsi ginjal, seperti glomerulosclerosis,
proteinuria, perlukaan podosit, dan lain-lain. Karena nefron hilang, secara
otomatis dapat menyebabkan hilangnya glomerulus.

c. Glomerular Disease

Bebarapa penyakit glomerulus dapat menjadi etiologi glomerulonefritis baik


itu primary glomerular disease, secondary glomerular disease, maupun penyakit
yang diturunkan. Disebut primer bila penyakit tersebut hanya menyerang ginjal
dan disebut sekunder bila penyakit tersebut tidak hanya menyerang ginjal, akan
tetapi dapat menyebabkan penyakit glomerulus pada ginjal. Untuk lebih jelasnya,
dapat dilihat pada table di bawah ini.
Epidemiologi Glomerulonefritis

Berdasarkan studi literature review dari tahun 1980-2010 mengenai insiden


primary glomerulonephritis (GN) worldwide yang dilakukan oleh 40 studi insidensi
primary GN di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Kanada, Australasia, dan Timur
Tengah menunjukkan bahwa rata-rata glomerulonefritis ditemukan pada dewasa
dengan 0,2/100.000/tahun untuk membrano-proliveratife GN dan 0,2/100.000/tahun
untuk mesangio-proliveratife GN.

Glomerulonefritis mewakili 1-15% penyakit glomerulus. Meskipun berjangkit


secara sporadik, insidensi dari Poststreptococcal Glomerulonephritis (PSGN) telah
turun selama beberapa decade terakhir. Faktor yang menyebabkan hal ini
kemungkinan adalah adanya layanan kesehatan yang lebih baik dan peningkatan
kondisi sosioekonomi.
Berdasarkan statistik internasional, penyakit Berger merupakan penyebab
tersering dari GN. Meskipun insidensi PSGN turun di negara barat, namun insidensi
PSGN masih tetap tinggi di daerah-daerah seperti India, Afrika, Karibia, Malaysia,
Pakistan, Papua Nugini, dan Amerika Selatan. Di Nigeria, insidensi GN pada anak 3-
16 tahun adalah 15,5 kasus/tahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 1,1:1.
Prevalensi PSGN lebih besar pada GN yang berasosisasi dengan faring daripada GN
yang bearsosiasi dengan kulit.

PSGN dapat terjadi pada semua usia, akan tetapi biasanya terjadi pada anak
usia 5-15 tahun. Hanya 10% PSGN yang terjadi pada dewasa di atas 40 tahun. Secara
keseluruhan, PSGN sering terjadi pada anak usia 6-16 tahun. GN akut predominan
terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 2:1 pada wanita. Higenitas yang rendah
pada beberapa kelompok sosioekonomi menunjukkan adanya insidensi yang tinggi
pada infeksi PSGN, akan tetapi hal ini bukan berarti PSGN memiliki predileksi untuk
beberapa ras atau kelompok.

Manifestasi klinis

Gejala klinis GNAPS terjadi secara tiba-tiba, 7–14 hari setelah infeksi saluran
nafas (faringitis), atau 3-6 minggu setelah infeksi kulit (piodermi). Gambaran klinis
GNAPS sangat bervariasi, kadang-kadang gejala ringan atau tanpa gejala sama sekali,
kelainan pada urin ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin. Pada anak
yang menunjukkan gejala berat, tampak sakit parah dengan manifestasi oliguria,
edema, hipertensi, dan uremia dengan proteinuria, hematuria dan ditemukan cast.
Kerusakan pada dinding kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing
berwarna merah daging dan albuminuria., Gejala overload cairan berupa sembab
(85%), sedangkan di Indonesia6 76.3% kasus menunjukkan gejala sembab orbita dan
kadang-kadang didapatkan tanda-tanda sembab paru (14%), atau gagal jantung
kongestif (2%).3 Hematuria mikroskopik ditemukan pada hampir semua pasien (di
Indonesia 99.3%).6 Hematuria gros (di Indonesia6 53.6%) terlihat sebagai urin
berwarna merah kecoklatan seperti warna coca-cola.

Diagnosis

Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien


dengan gejala klinis berupa hematuri makroskopis (gros) yang timbul mendadak,
sembab dan gagal ginjal akut, yang timbul setelah infeksi streptokokus. Tanda
glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara
laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan
diagnosis.Beberapa keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut
pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis kronik.
Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak
segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut
pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan
pada saat faringitis, sementara pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria
timbul 7-14 hari setelah faringitis, sedangkan hipertensi dan sembab jarang ditemukan
padanefropati-IgA.

Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa


hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa
glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis
membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis proliferatif kresentik.
Perbedaan dengan GNAPS sulit diketahui pada awal penyakit.

Pada GNAPS perjalanan penyakitnya cepat membaik (hipertensi, sembab dan


gagal ginjal akan cepat pulih). Pola kadar komplemen C3 serum selama pemantauan
merupakan tanda (marker) yang penting untuk membedakan dengan glomerulonefritis
kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8
minggu pada GNAPS sedangkan pada glomerulonefritis yang lain tetap rendah dalam
waktu yang lama.Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada
glomerulonefritis kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik
lain, terutama pada glomerulonefritis membranoproliferatif. Pasien GNAPS tidak perlu
dilakukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan
fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk,
biopsi ginjal merupakanindikasi.

Penderita tampak pucat karena anemia akibat hemodilusi. Penurunan laju filtrasi
glomerulus biasanya ringan sampai sedang dengan meningkatnya kadar kreatinin
(45%).Takhipnea dan dispnea yang disebabkan kongesti paru dengan efusi pleura
sering ditemukan pada penderita glomerulonefritis akut. Takikardia, kongesti hepar
dan irama gallop timbul bila terjadi gagal jantung kongesti. Proteinuria (di Indonesia
98.5%) biasanya bukan tipe proteinuria nefrotik. Gejala sindrom nefrotik dapat terjadi
pada kurang dari 5% pasien. Hipertensi ringan sampai sedang terlihat pada 60-80%
pasien ( di Indonesia 61.8%) yang biasanya sudah muncul sejak awal penyakit.
Tingkat hipertensi beragam dan tidak proporsional dengan hebatnya sembab. Bila
terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama
beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang.
Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat
vasospasme masih belum diketahui dengan jelas.

Kadang-kadang terjadi krisis hipertensi yaitu tekanan darah mendadak


meningkat tinggi dengan tekanan sistolik > 200 mm Hg, dan tekanan diastolik > 120
mmHg. Sekitar 5% pasien rawat inap mengalami ensefalopati hipertensi (di Indonesia
9.2%), dengan keluhan sakit kepala hebat, perubahan mental, koma dan kejang.
Patogenesis hipertensi tidak diketahui, mungkin multifaktorial dan berkaitan dengan
ekspansi volume cairan ekstraseluler. Ensefalopati hipertensi meskipun jarang
namun memerlukan tindakan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa
pasien.

Kadang kadang terdapat gejala-gejala neurologi karena vaskulitis serebral,


berupa sakit kepala dan kejang yang bukan disebabkan karena ensefalopati hipertensi.
Adanya anuria, proteinuria nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal yang lebih parah,
mungkin suatu glomerulonefritis progresif cepat yang terjadi pada 1% kasus GNAPS.
Gejala-gejala GNAPS biasanya akan mulai menghilang secara spontan dalam 1-2
minggu. Kelainan urin mikroskopik termasuk proteinuria dan hematuria akan menetap
lebih lama sekitar beberapa bulan sampai 1 tahun atau bahkan lebih lama lagi. Suhu
badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Gejala
gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang
menyertai penderitaGNA

Pemeriksaan penunjang

 Urinalisis
Pada pemeriksaan urin rutin ditemukan hematuri mikroskopis ataupun
makroskopis (gros), proteinuria. Proteinuri biasanya sesuai dengan derajat
hematuri dan berkisar antara ± sampai 2+ (100 mg/dL). Bila ditemukan proteinuri
masif (> 2 g/hari) maka penderita menunjukkan gejala sindrom nefrotik dan
keadaan ini mungkin ditemukan sekitar 2-5% pada penderita GNAPS.3 Ini
menunjukkan prognosa yang kurang baik. Pemeriksaan mikroskopis sedimen urin
ditemukan eritrosit dismorfik dan kas eritrosit, kas granular dan hialin (ini
merupakan tanda karakteristik dari lesi glomerulus) serta mungkin juga
ditemukan leukosit. Untruk pemeriksaan sedimen urin sebaiknya diperiksa urin
segar pagihari.

 Darah

Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda


gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia.
Komplemen C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi
C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada
50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada penderita GNAPS kadar antara 20-40 mg/dl
(harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan komplemen C3 tidak berhubungan
dengan derajat penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen C3 akan mencapai
kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Bila setelah waktu tersebut
kadarnya belum mencapai normal maka kemungkinan glomerulonefritisnya
disebabkan oleh yang lain atau berkembang menjadi glomerulonefritis kronik atau
glomerulonefritis progresif cepat. Anemia biasanya berupa normokromik
normositer, terjadi karena hemodilusi akibat retensi cairan. Di Indonesia 61%
menunjukkan Hb < 10 g/dL. Anemia akan menghilang dengan sendirinya setelah
efek hipervolemiknya menghilang atau sembabnyamenghilang.

Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan


tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba
sebelumnya. Beberapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai
untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain antistreptozim, ASTO,
antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antistreptozim cukup bermanfaat
oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus.
Titer anti streptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS
dengan faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi
streptolisin O, sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen
streptokokus. Bila semua uji serologisdilakukan,lebih dari 90% kasus
menunjukkan adanya infeksi streptokokus, titer ASTO meningkat pada hanya
50% kasus. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat,
hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara serial. Kenaikan titer 2-3 kali berarti
adanyainfeksi.

 Pencitraan

Gambaran radiologi dan USG pada penderita GNAPS tidak spesifik. Foto
toraks umumnya menggambarkan adanya kongesti vena sentral daerah hilus,
dengan derajat yang sesuai dengan meningkatnya volume cairan ekstraseluler.
Sering terlihat adanya tanda-tanda sembab paru (di Indonesia 11.5%), efusi pleura
(di Indonesia 81.6%), kardiomegali ringan (di Indonesia 80.2%), dan efusi
perikardial (di Indonesia 81.6%). Foto abdomen dapat melihat adanya asites. Pada
USG ginjal terlihat besar dan ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila terlihat
ginjal yang kecil, mengkerut atau berparut, kemungkinannya adalah penyakit
ginjal kronik yang mengalami eksaserbasi akut. Gambaran ginjal pada USG
menunjukkan peningkatan echogenisitas yang setara dengan echogenisitas
parenkhim hepar. Gambaran tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan pada
penyakit ginjallainnya.
Diagnosis banding
GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit glomerulonefritis penyebab
lainnya, yaitu: Henoch-Schonlein purpura, IgA nephropathy, MPGN, SLE, ANCA-
positive vasculitis.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien GNAPS meliputi eradikasi kuman dan pengobatan


terhadap gagal ginjal akut dan akibatnya.

 Antibiotik

Pengobatan antibiotik untuk infeksi kuman streptokokus yang menyerang


tenggorokan atau kulit sebelumnya, tidak mempengaruhi perjalanan atau beratnya
penyakit. Meskipun demikian, pengobatan antibiotik dapat mencegah penyebaran
kuman di masyarakat sehingga akan mengurangi kejadian GNAPS dan mencegah
wabah. Pemberian penisilin pada fase akut dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama tidak dianjurkan.

Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen
lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Jika alergi terhadap golongan
penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis selama 10
hari. Beberapa klinisi memberikan antibiotik hanya bila terbukti ada infeksi yang
masih aktif, namun sebagian ahli lainnya tetap menyarankan pemberian antibiotik
untuk menghindarkan terjadinya penularan dan wabah yang meluas. Pemberian
terapi penisilin 10 hari sekarang sudah bukan merupakan terapi baku emas lagi,
sebab resistensi yang makin meningkat, dan sebaiknya digantikan oleh antibiotik
golongan sefalosporin yang lebih sensitif dengan lama terapi yang lebihsingkat.

 Suportif

Tidak ada pengobatan spesifik untuk GNAPS, pengobatan hanya


merupakan simptomatik. Pada kasus ringan, dapat dilakukan tirah baring,
mengatasi sembab kalau perlu dengan diuretik, atau mengatasi hipertensi yang
timbul dengan vasodilator atau obat-obat anti hipertensi yang sesuai. Pada gagal
ginjal akut harus dilakukan restriksi cairan, pengaturan nutrisi dengan pemberian
diet yang mengandung kalori yang adekuat, rendah protein, rendah natrium,
serta restriksi kalium dan fosfat. Kontrol tekanan darah dengan hidralazin,
calcium channel blocker, beta blocker, atau diuretik. Pada keadaan sembab paru
atau gagal jantung kongestif akibat overload cairan perludilakukan restriksi
cairan, diuretik, kalau perlu dilakukan dialisis akut atau terapi pengganti ginjal.
Pembatasan aktivitas dilakukan selama fase awal, terutama bila ada hipertensi.
Tirah baring dapat menurunkan derajat dan durasi hematuria gross, tetapi tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit atau prognosis jangkapanjang.

Edukasi penderita

Penderita dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai perjalanan dan prognosis


penyakitnya. Keluarga perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan yang sempurna
diharapkan (95%), masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap dan
bahkan memburuk (5%). Perlu dielaskan rencana pemantauan selanjutnya, pengukuran
tekanan darah dan pemeriksaan urine untuk protein dan hematuria dilakukan dengan
interval 4-6 minggu untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap 3-6 bulan sampai
hematuria dan proteinuria menghilang dan tekanan darah normal untuk selama 1 tahun.
Kadar C3 yang telah kembali normal setelah 8-10 minggu menggambarkan
prognosis yangbaik.

Komplikasi

Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari, terjadi sebagai akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Walau oliguria atau anuria yang lama jarang
terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang
di perlukan. Hipertensi ensefalopati, didapatkan gejala berupa gangguan penglihatan,
pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal
dengan anoksia dan edema otak. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne,
terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang
bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat
hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. Anemia yang timbul karena
adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yangmenurun.
Prognosis

Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan


penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel glomerulus.
Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan
menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali.
Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam
waktu 3-4 minggu. Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi
kelainan sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun pada sebagian besar pasien. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya
perubahan histologis penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa.
Selama komplemen C3 belum pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang,
pasien hendaknya diikuti secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan
terjadinya pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstra-kapiler dan gagal
ginjalkronik.

2.KARSINOMA SEL RENAL


Definisi
Karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC) adalah kanker yang berasal
dari epitelium tubulus ginjal. Penyakit ini memiliki beragam subtipe seperti karsinoma sel
jernih, karsinoma sel renal papiler, dan karsinoma sel renal kromofob.

Etiologi
aktor genetik masih menjadi etiologi utama pada karsinoma sel renal atau renal cell
carcinoma (RCC) yang menentukan perbedaan tipe sel karsinoma sel renal dan
kemiripannya dengan sel normal.
Karsinoma sel jernih atau clear cell renal cell carcinoma (ccRCC) diduga berasal
dari tubulus proksimal ginjal karena mirip dengan sel normal di segmen tersebut yang
memiliki brush border. Penemuan ini berkontribusi pada perkembangan metode
identifikasi jenis RCC dengan menggunakan antigen RCC dan protein CD10.
Penggunaan biomarka semacam ini membantu mengidentifikasi kemiripan ccRCC dan
karsinoma sel renal papiler (papillary renal cell carcinoma/pRCC) dengan sel tubulus
proksimal dan karsinoma sel renal kromofob (chromophobe renal cell carcinoma/chRCC)
yang berkaitan dengan intercalated cell di tubulus kolektivus.
Sejalan dengan pemeriksaan struktur makroskopik berbagai subtipe RCC, analisis
molekuler sel kanker pada RCC dan sel normal ginjal menguatkan kesimpulan dari
pemeriksaan makroskopik. Sebagai contoh, hasil analisis transkriptomik pada hewan coba
dan nefron manusia membuktikan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara karakteristik
transkriptome ccRCC dan pRCC dengan sel pada nefron segmen proksimal. Sementara
itu, ekspresi transkriptomik pada chRCC mirip dengan ekspresi pada tubulus distal dan
tubulus kolektivus.

Patofisiologi
Pengetahuan tentang patofisiologi karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC)
telah berkembang pesat sejak dekade 1990 dan telah berhasil mengidentifikasi kaitan
RCC dengan berbagai sindrom familial, gen penekan tumor, dan onkogen. Pemahaman
tentang sifat berbagai subtipe RCC yang berbeda tak hanya mempengaruhi klasifikasi
histologi tumor, namun juga bermanfaat mengarahkan tata laksana pasien yang
diperantarai oleh terapi target.

Mayoritas RCC bersifat sporadis dan melibatkan mutasi pada kedua alel pada gen
tertentu. Sementara itu, pada sebagian kecil kasus, RCC bersifat familial yang ditandai
mutasi bawaan pada satu alel dan disfungsi alel lainnya akibat mutasi lanjutan.

Diagnosis
Diagnosis karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC) secara klasik dilakukan
berdasarkan penelusuran keluhan nyeri panggul atau pinggang, gross hematuria, dan
massa abdomen. Namun, pada era modern, diagnosis RCC sering terjadi secara tidak
sengaja (60%) berdasarkan hasil pencitraan noninvasif seperti USG.
 Anamnesis
Letak ginjal yang berada di ruang retroperitoneal membatasi temuan
anamnesis yang khas untuk membantu diagnosis kecuali pada pasien dengan
tumor yang besar dan stadium penyakit lanjut.Berdasarkan anamnesis pada kasus
didapatkan keluhan urine bercampur darah, disertai nyeri pinggang kanan, pasien
juga sempat mengeluhkan nyeri saat berkemih dan terasa seret.
Demam sumer-sumer dialami pasien sejak kurang lebih 3 bulan
disertai lemas dan nafsu makan yang menurun.
 Pemeriksaan penunjang
- Dari urinalisis didapatkan darah (+250), pemeriksaan darah lengkap
didapatkan anemia ringan dan dari kimia darah didapatkan peningkatan
serum kreatinin.
- Pemeriksaan pencitraan merupakan bagian penting dalam mendiagnosis
KSR, termasuk didalamnya, pemeriksaan USG, CT dan MRI, sementara
BNO-IVP dan angiografi ginjal sudah jarang digunakan saat ini. Skrining
radioisotope terutama digunakan untuk menilai metastase tulang atau hati.
- Pasien hematuria awalnya diperiksa dengan USG, jika menemukan
kecurigaan suatu massa,
- dilanjutkan dengan pemeriksaan CT atau MRI untuk memperjelas
diagnosis. Karsinoma asimtomatik sebagian terbesar terdeteksi dengan USG.
Pemeriksaan USG umumnya dapat membedakan massa solid dan kista
ginjal sederhana. Pada USG gambaran KSR tampak sebagai massa
solid, tetapi dapat juga dijumpai sebagai lesi kistik pada 5-10% kasus. Namun
USG kurang sensitif dalam mendeteksi massa yang berukuran kecil
Gambaran KSR pada pemeriksaan USG dapat hipoekoik, isoekoik, atau
ekogenik relatif terhadap parenkim ginjal yang normal.5,12 Tumor
memiliki kecenderungan untuk menyebar ke vena renal ipsilateral
dan vena cava inferior sehingga perlu mengevaluasi adanya trombus pada
vena tersebut. Trombus tumor akan tampak sebagai space-occupying
mass.
- CT Scan kontras dapat mendiagnosis secara tepat sebagian besar kasus
karsinoma ginjal, tapi kista hemoragik juga memiliki gambaran seperti
karsinoma ginjal, dalam hal ini diperlukan pemeriksaan lanjutan
berupa MRI untuk membantu membedakannya. Pada pemeriksaan CT
Scan dapat ditemukan central scar tanpa penyangatan yang dikelilingi oleh
penyangatan bentuk rim yang irregular. Tumor yang lebih besar
cenderung memiliki batas tidak jelas antara tumor dan parenkim normal
yang berdekatan. CT- Scan dan MRI sangat membantu dalam
menemukan embolus vena dan stadium klinis.10,13
Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC)
sangat ditentukan stadium penyakit serta melibatkan metode pembedahan, radioterapi,
dan terapi sistemik. Nefrektomi parsial merupakan standar pembedahan bagi pasien
dengan RCC lokal. Sementara itu, terapi pada pasien dengan RCC tahap lanjut lebih
diarahkan pada nefrektomi radikal. Nefrektomi sitoreduktif masih menjadi pilihan bagi
pasien dengan RCC yang bermetastasis dan dapat diikuti dengan terapi sistemik,
metastasektomi, atau radioterapi sesuai indikasi.

Edukasi
Edukasi dan promosi kesehatan yang dapat dilakukan bagi pasien karsinoma sel
renal atau renal cell carcinoma (RCC) mencakup pengenalan tanda dan gejala RCC,
tujuan dan manfaat metode pencitraan dalam menunjang diagnosis, serta pilihan terapi
berbasis bukti. Selain itu, pasien yang memiliki riwayat merokok juga perlu didorong
untuk tidak merokok agar prognosis tidak kian memburuk.

Edukasi pada Pasien yang Belum Terdiagnosis RCC

Edukasi pada pasien yang memiliki faktor risiko karsinoma sel renal (RCC)
mencakup pengenalan tanda dan gejala RCC. Pasien perlu mengetahui bahwa pada
sebagian besar kasus RCC, gejala sangat mungkin tidak jelas terlihat. Namun, RCC patut
dicurigai apabila pasien yang berisiko memiliki gejala berupa adanya darah pada urin,
nyeri pada punggung bagian samping bawah, adanya massa abdomen atau punggung,
pembengkakan pada testis yang tidak mengecil, penurunan berat badan, keringat di
malam hari, dan demam tanpa sebab yang jelas.

3.NEKROSIS TUBULAR AKUT


Definisi

Nekrosis tubular akut (NTA) secara patologis ditandai dengan kerusakan dan
kematian sel tubulus ginjal akibat iskemia atau nefrotoksik. Tidak terdapat kriteria
pasti untuk diagnosis NTA. Secara klinis, NTA ditandai dengan penurunan tiba-tiba
laju filtrasi glomerulus hingga 50%, dan peningkatan kadar kreatinin darah sebesar
0,5 mg/dL (40 mol/L). Dengan adanya disfungsi tubulus dapat terjadi peningkatan
natrium urin, penurunan osmolalitas urin, dan penurunan rasio kreatinin urin
terhadapdarah.

Epidemiologi

Di Indonesia, data lengkap mengenai NTA belum tersedia. Prevalensi NTA di


Amerika +1% saat masuk rumah sakit dan 2-5% selama dirawat. NTA merupakan
penyebab utama AKI pada pasien yang dirawat (38%) dan pasien di ICU (76%).
Mortalitas NTA pada pasien yang dirawat dan pasien di ICU berturut-turut adalah
37,1% dan 78,6%. Pada 56-60% pasien, ginjal dapat sembuh sempurna, sedangkan 5-
11% pasien memerlukan dialisis.

Etiologi

Penyebab NTA dapat dibagi menjadi dua, yaitu iskemia dan nefrotoksin.
Iskemia sebagai penyebab NTA terbanyak terjadi karena trauma, syok, dan sepsis.
Trauma dapat menyebabkan hipovolemia dan pelepasan mioglobin dari jaringan
rusak. Sedangkan syok dan sepsis dapat menyebabkan hipoperfusi ginjal akibat
vasodilatasi sistemik dan vasokonstriksi di ginjal sendiri.
Nefrotoksin dapat berasal dari endogen, misalnya mioglobin, dan eksogen,
misalnya obat dan racun. Nefrotoksin tersebut dapat menyebabkan vasokonstriksi
atau cedera tubulus ginjal secara langsung.

Patofisiologi
Cedera tubulus akibat iskemia diawali dengan deplesi ATP secara cepat
akibat deplesi oksigen. Deplesi ATP menyebabkan terganggunya sitoskeletal epitel
tubulus proksimal dan hilangnya mikrovili disertai perpindahan lokasi integrin dari
permukaan basal ke permukaan apikal. Pada keadaan normal, integrin di permukaan
basal berperan pada adhesi epitel. Akibat perpindahan lokasi ini, epitel tubulus
terlepas. Adanya dinding tubulus yang tidak dilapisi epitel menyebabkan filtrat bocor
lalu masuk kembali ke sirkulasi. Hal ini sering disebut dengan fenomena back-leak.
Selain itu, jejas tubulus juga menyebabkan reabsorbsi natrium menurun
sehingga natrium di lumen tubulus meningkat. Peningkatan natrium ini menyebabkan
polimerisasi protein Tamm-Horsfall membentuk gel. Gel polimerik Tamm-Horsfall
bersama epitel tubulusyang terlepas, serta mikrovili akan membentuk silinder
sehingga terjadi obstruksi tubulus distal.
Deplesi ATP juga mengaktifkan protease yang menyebabkan cedera
oksidatif epitel tubulus dan endotel kapiler akibat pembentukan reactive oxygen
species (ROS) saat reperfusi. Cedera oksidatif bersama dengan vasokonstriktor
misalnya endotelin, akan menyebabkan vasokonstriksi, kongesti, hipoperfusi dan
ekspresi molekul adesi. Ekspresi molekul adesi dan sitokin yang dihasilkan epitel
tubulus mengawali infiltrasi leukosit, sehingga terjadi obstruksi mikrosirkulasi.
Penglepasan sitokin dan ROS oleh leukosit tersebut dapat merusak epitel tubulus
sehingga terjadi NTA.
Perjalanan penyakit NTA dibagi menjadi 3 fase, yaitu inisiasi (initiation),
kerusakan menetap (maintenance), dan penyembuhan (recovery). Fase inisiasi
diawali dengan paparan nefrotoksin atau iskemia, serta mulai terjadi kerusakan epitel
tubulus, laju filtrasi glomerulus menurun, dan jumlah urin berkurang.
Pada fase kerusakan menetap, cedera tubulus ginjal semakin lanjut, laju
filtrasi glomerulus di bawah normal, dan jumlah urin sedikit atau tidak ada.
Meskipun oliguri atau anuri sering dijumpai pada NTA fase kerusakan menetap,
tetapi pada beberapa pasien dapat terjadi nonoliguri, terutama akibat nefrotoksin.
Fase ini berlangsung 1-2 minggu tapi bisa juga berlanjut hingga beberapa bulan. Pada
fase penyembuhan, dapat ditemukan poliuri dan berangsurangsur laju filtrasi
glomerulus menjadi normal.

Manifestasi Klinik
1. perubahan warna pada urin
2. Kadar sodium dalam urin meningkat
3. sekresi sodium sedikit dan urea relative tinggi
4. BUN dan serum kreatinin meningkat
5. Penurunan jumlah urin atau tidak sama sekali
6. pembengkakan ginjal secara menyeluruh, akibat retensi cairan
7. mual dan muntah
8. penurunan kesadaran

Pemeriksaan Fisik
a. Napas khas berbau urea
b. Penurunan kesadaran
c. Pembengkakan ginjal karena retensi urin
Diagnostik
a. Kadar ureum (>20mg/dl)
b. Kreatininserum
Terjadi peningkatan nilai kreatinin. Nilai normal adalah 0,5 – 1.1 untuk perempuan
dan 0,6 – 1,2 untuk laki-laki. Peningkatan hingga 4 mg/dl mengindikasikan adanya
kerusakan fungsi renal
c. Urinalisis dan Mikroskopik
d. Sel-sel tubular memperlihatkan adanya nekrosis tubular akut. Urinalisis
memperlihatkan sedimen kencing yang mengandung sel darah merah dan
struktur silinder dan urin cair yang memiliki gravitasi spesifik rendah (1,010),
osmolalitas rendah (kurang dari 400m0sm/kg) dan kadar natrium tinggi (40
sampai 60 mEq/L).
e. Osmolaritasurin
f. Elektroliturin
g. Pemeriksaan darah Studi darah memperlihatkan kenaikan kadar BUN dan kreatinin
serum, anemia, kelainanpada trombosit, asidosis metabolik dan hiperkalemia.
h. Ultrasound
i. Elektrokardiograf
Elektrokardiografi bisa menunjukkan aritmia (akibat ketidakseimbangan elektrolit)
dan, jika terjadi hiperkalemia, elektrokardiografi menunjukkan pelebaran kompleks
QRS, gelombang P hilang dan gelombang T yang tinggi dan berpuncak (T tall).
Tatalaksana

1) Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

2) Hemodialisis

4.INFEKSI SALURAN KEMIH

Definisi
Infeksi saluran kemih adaJah invasi mikroorganisme (biasanya bakteri) pada saluran
kemih, mulai dari uretra hingga ginjal. Berbagai istilah pada infeksi saluran kemih dan
definisinya:
1) Pielonefritis : infeksi pada ginjal;
2) Ureteritis : infeksi pada ureter;
3) Sistitis : infeksi pada kandung kemih/buli;
4) Uretritis : infeksi pada uretra.

Klasifikasi
Infeksi saluran kemih OSK) secara anatomis dapat dibagi menjadi dua kategori:
1) ISK atas : pielonefritis, prostatitis, abses intrarenal, dan abses perinefrik;
2) ISK bawah : sistitis dan uretritis.

Berdasarkan gambaran klinis, ISK diklasifikasikan menjadi:

1. Sistitis akut nonkomplikata pada perempuan;


2. Sistitis akut rekurens pada perempuan. Apabila terdapat tiga episode !SK pada
I tahun terakhir atau dua episode pada 6 bulan terakhir;
3. Pielonefritis akut nonkomplikata pada perempuan;
4. Sistitis akut non komplikata pada dewasa. Dapat disertai kondisi yang
mengindikasikan keterlibatan ginjaJ/ prostat tanpa disertai bukti faktor komplikasi
lain; antara lain:
a. Jenis kelamin lak.i-laki
b. Usia lanjut
c. Kehamilan
d. Diabetes melitus
e. Instrumentasi pada traktus urinarius
f. Infeksi saluran kemih pada anak
g. Gejala > 7 hari

5. ISK komplikata. Infeksi saluran kemih pada pasien dengan kelainan struktural
atau fungsional yang dapat menurunkan efikasi terapi antibiotik, antara lain:
 Pemakaian kateter atau adanya stent pada saluran kemih,
 Urin residu setelah berkemih >I 00 mL,
 Uropati obstruktif {batu, tumor, atau neurogenic bladder).
 Refluks vesikoureter atau abnormalitas fungsional lainnya,
 Jejas kimia atau radiasi pada uroepitel
 ISK perioperatif dan pascaoperasi,
 Insufisiensi dan transplantasi ginjal, diabetes melitus, dan imunodefisiensi.

6. Bakteriuria asimtomatik, apabila:


a. Dua kultur urin berturutan ≥105 CFU/ml pada perempuan tanpa gejala;
b. Satu kultur urin ≥105 CFU/ml pada laki-laki atau kateter
Etiologi
Berbagai mikroorganisme dapat menginfeksi traktus urinarius, antara lain:
 Bakteri Gram negatif (80%): Escherichia coli, Proteus sp .. Klebsiella sp. ,
Enterobacter sp.;
 Bakteri Gram positif (10-15%): Enterococcus sp., Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus;
 Lain-lain: Pseudomonas sp. dan Serratia pada pasien yang menjalani prosedur
urologi atau obstruksi saluran kemih; Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma sp.,
Candida. Adenovirus.

Patogenesis
Secara fisiologis, bakteri pada kandung kemih dapat dibersihkan dengan cepat melalui
mekanisme aliran urin, pelarutan, serta sifat antibakteri dari urin dan mukosa kandung
kemih. Selain itu, kandungan urea serta osmolaritas urin yang tinggi juga menghambat
pertumbuhan bakteri. Se! epitel kandung kemih mensekresikan sitokin dan kemokin OL-6
dan IL-8) yang menyebabkan sel polimorfonuk.Jear masuk ke epitel kandung kemih dan
urin pada saat terjadi infeksi. Sel-sel ini akan berinteraksi membunuh bakteri.
Introitus vagina dan uretra distal memiliki flora normal yaitu basil Gram negatif yang
tidak menyebabkan !SK. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat
meningkatkan kerentanan terhadap kolonisasi mikroorganisme penyebab !SK. antara lain
jenis kelamin (perempuan lebih rentan dibandingkan laki-Jaki), aktivitas seksual,
kehamilan, obstruksi, dan penggunaan antibiotik. Saluran kemih merupakan unit anatomis
yang berawal dari saluran uretra hingga ginjal. Pada umumnya, port d'entree bakteri dan
mikroorganisme lain berasal dari uretra dan kemudian terjadi infeksi asendens menuju
kandung kemih hingga parenkim ginjal.
Diagnosis
1. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala bergantung kepada organ apa dari saluran kemih yang terkena.
 Pielonefritis akut
- Demam, mual dan muntah, nyeri abdomen, dan diare. Dapat
ditemukan gejala sistitis;
- Nyeri tekan dan kemerahan pada sudut kostovertebra atau palpasi
abdomen dalam;
- Urinalisis: ditemukan silinder leukosit
 Prostatitis
- Akut: nyeri pada perineum, demam, dan prostat yang membengkak
pada pemeriksaan;
- Kronis: gejala serupa sistitis, pancaran urin lemah, sulit mulai buang
air kecil.
 Sistitis
- Gejala saluran kemih bawah (LUTS) iritatif
- Trias: disuria, frekuensi, urgensi;
- Nyeri suprapubik atau dapat bermanifestasi sebagai nyeri pinggang
bawah;
- Urin keruh dan berbau tidak sedap. Urin dapat berdarah pada 30%
kasus;
- Kemerahan pada uretra atau area suprapubik.
 Uretritis
- LUTS iritatif
- Disuria, frekuensi, dan piuria.
2. Pemeriksaan Penunjang
 Urinalisis: piuria, bakteriuria, hematuria, nitrit (+), Jeukosit >5/LPB;
 Kultur urin (dari urin porsi tengah atau sampel diambil langsung dari kateter)
dapat menegakkan diagnosis definitifISK apabila:
- Jumlah koloni ≥ 105 mL dari jenis sampel apapun. Apabila didapatkan
jumlah koloni ≥ 105/mL tetapi banyak spesies bakteri ditemukan,
kemungkinan sampel mengalami kontaminasi;
- Pada pasien simtomatik, jumlah koloni 102 - 104/mL mungkin
mengindikasikan infeksi;
- Urin berasal dari pungsi suprapubik: berapapun jumlah koloni;
- Urin berasal dari kateter: jumlah koloni 102 - 104/mL.
 Kultur darah untuk pasien yang demam tinggi atau dicurigai mengalami
komplikasi;
 Pada pasien yang dicurigai prostatitis, spesimen yang diambil: urin pertama
kali pagi hari, porsi tengah, dan urin setelah masase prostat;
 Pencitraan: USG ginjal, CT scan abdomen, sistografi;
 Pada perempuan hamil dan pasien yang menjalani operasi urologi selalu
curiga kemungkinan adanya !SK asimtomatik.
Tata Laksana
Terapi Farmakologi
1. Sistitis akut nonkomplikata. Pilihan antibiotik per oral, antara lain:
a. Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 3 hari;
b. Siprofloksasin 2 x 250 mg selama 3 hari;
c. Nitrofurantoin 2 x I 00 mg selama 7 hari;
d. Co-amoxiclav 2 x 625 mg selama 7 hari.
2. Sistitis akut rekurens pada perempuan, diperlukan antibiotik profilaksis untuk
pencegahan:
a. Nitrofurantoin 50 mg/ hari;
b. Kotrimoksazol 240 mg/hari atau tiga kali seminggu;
c. Apabila terjadi infeksi ditengah masa profilaksis, dapat diberikan
siprofloksasin 125 mg/ hari
3. Pielonefritis akut nonkomplikata:
a. lndikasi rawat: adanya tanda-tanda toksisitas sistemik, tidak mampu minum
antibiotik oral. Antibiotik parenteral pilihan: seftriakson I x 1 gram atau
levofloksasin 4 x 500 mg a tau siprofloksasin 2 x 400 mg selama 7-14 hari;
b. Gejala ringan: siprofloksasin 2 x 250 mg selama 7 hari;
c. Gejala berat: siprofloksasin 2 x 250 mg selama 14 hari
4. ISK pada laki-laki:
a. Kotrimoksazol atau siprofloksasin selama 7 hari.
5. Bakteriuria asimtomatik:
a. Tata Jaksana hanya diberikan pada perempuan hamil, sebelum
tindakan bedah urologi, dan setelah transplantasi ginjal.
6. ISK pada perempuan hamil:
a. Co-amoxiclav, nitrofurantoin, sefalosporin oral, atau fosfomisin dosis
tunggal;
b. Pielonefritis: antibiotik IV sampai pasien afebris selama 24 jam diikuti terapi
oral 10-14 hari;
c. Antibiotik kontraindikasi: sulfonamid dan quinolon.
7. ISK pada pasien diabetes diobati dengan medikamentosa atau terapi
pembedahan.

Terapi Nonfarmakologis

 Asupan cairan yang banyak;


 Penggantian kateter yang teratur pada pasien yang menggunakannya;
 Pencegahan rekurensi ISK: menjaga kebersihan dan higiene daerah uretra dan
sekitarnya.

BENGKAK PADA MATA

1. KALAZION

Definisi
Radang granulomatosa yang timbul akibat proses inflamasi karena sumbatan
pada kelenjar Meibom atau tersumbatnya sekresi kelenjar sebasea. Pada palpebra,
terdapat setidaknya 27 duktus yang berpotensi untuk menyebabkan inflamasi
granulomatosa kronis. Infeksi tersebut pada umum sering bersifat steril. Infeksi ini sering
ditemukan pada penderita dermatitis seboroik, akne rosacea, dan diabetes melitus.

Gejala dan Tanda


Dapat terjadi pada semua umur dengan gradasi kesakitan yang berhubungan
dengan besarnya nodul yang berkembang lambat. Nodul pada lempeng tarsal dapat satu
atau multipel. Gejala inflamasi kronis, tidak nyeri, penekanan pada kornea dapat
menyebabkan astigmatis dan kaburnya penglihatan apabila nodul tersebut berada tepat
dibawah palpebra.
Diagnosis Banding
Hordeolum (pada hordeolum nodul teraba lembut pada palpasi dan reaksi radang
akut lebih dominan), granuloma pyogenik, tumor kelenjar sebasea (bersifat ganas) dapat
juga dipikirkan apabila pasien perempuan usia tua yang sering timbul benjolan di
kelopak berulang.

Tata Laksana
Bersifat swasirna apabila lesi tersebut berukuran kecil, dapat hilang dalam
beberapa minggu tanpa terapi. Pemberian kompres hangar dapat meredakan gejala.
Apabila nodul tidak mengecil maka dapat diberikan salep antibiotik (tetrasiklin salep) 3x
sehari selama 7-14 hari.
Pemberian injeksi steroid intralesi (0.1 -0.2ml triamsinolon lOmg/mL) dapat
dilakukan pada kalazion ukuran kecil. lnsisi dan kuret dilakukan apabila nodul terjadi
penyumbatan sekresi kelenjar.

Etiologi dan Patofisiologi


Bahan sebasea yang terperangkap dalam kelenjar Meibom dan zeis mendesak
jaringan sekitarnya hingga tetap dan tidak membaik dengan terapi. Insisi tersebut
dilakukan dengan anetesi lokal (topikal dan infiltratif) dan sendok kuret khusus untuk
mengeluarkan isi nodul, setelah itu diberikan salep mata (tetrasiklin/ kloramfenicol 3x
sehari) dan dilanjutkan selama 3-7 hari. Apabila diagnosis banding tumor kelenjar
sebasea dipikirkan maka harus dilakukan biopsi untuk diperiksakan secara histopatologi.

Prognosis
Jinak apabila tidak timbul berulang.

BAK KERUH DAN BENGKAK PADA MATA

1.SINDROM NEFROTIK
Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa
proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH)
yang terjadi secara akut
 Etiologi
Faktor Infeksi
a. Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus Beta Hemolyticus
(Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus). Sindroma nefritik akut bisa timbul
setelah suatu infeksi oleh streptokokus, misalnya strep throat (radang
tenggorokan).
b. Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain : endokarditis bakterialis
subakut dan Shunt Nephritis. Penyebab post infeksi lainnya adalah virus dan
parasit, penyakit ginjal dan sistemik, endokarditis, pneumonia. Bakteri :
diplokokus, streptokokus, staphylokokus. Virus: Cytomegalovirus,
coxsackievirus, Epstein-Barr virus, hepatitis B, rubella. Jamur dan parasit :
Toxoplasma gondii, filariasis, dll.

 Gejala klinis
SNA sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-14 tahun, gejala yang pertama kali
muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) di sekitar
wajah dan kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul
sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan
di tungkai dan bisa menjadi hebat. Berkurangnya volume air kemih dan air kemih
berwarna gelap karena mengandung darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala
tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri abdomen, dan malaise.
Gejalanya :
 Onset akut (kurang dari 7 hari)
 Hematuria baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gross hematuria
30% ditemukan pada anak-anak.
 Oliguria
 Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak; edema bisa
ditemukan sedang sampai berat.
 Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi.
 Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang.
 Kadang disertai dengan gejala spesifik; mual dan muntah, purpura pada
Henoch- Schoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
Gejala lain yang mungkin muncul :
 Pengelihatan kabur
 Batuk berdahak
 Penurunan kesadaran 
 Malaise
 Sesak napas
Pemeriksaan Urine terdapat sedimen eritrosit (+) sampai (++++), juga torak
eritrosit (+) pada 60-85% kasus. Pada pemeriksaan darah, didapatkan titer ASO
meningkat dan kadar C3 menurun. Pada pemeriksaan ‘throat swab’ atau ‘skin swab’
dapat ditemukan streptokokkus. Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral
dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan berupa kardiomegali, edema paru, kongesti
paru, dan efusi pleura (nephritic lung).

 Diagnosis
 Kriteria Klinik:

1. Onsetnya akut. (kurang dari 7 hari)


2. Edema. Paling sering muncul di Palpebra pada saat bangun pagi, disusul
tungkai, abdomen, dan genitalia.
3. Hematuri. Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti
teh tua / air cucian daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri
makroskopik muncul pada 30 – 50 % kasus, sedangkan hematuri mikroskopik
ditemui pada hampir semua kasus
4. Hipertensi. Muncul pada 50-90% kasus, umumnya hipertensi ringan dan timbul
dalam minggu pertama. Adakalanya terjadi hipertensi ensefalopati (5-10%
kasus). Dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistolik dan atau diastolik tiga
kali berturut-turut di atas persentil 95 menurut umur dan jenis kelamin.
Praktisnya:
- Hipertensi ringan jika tekanan darah diastolik 80 – 95 mmHg
- Hipertensi sedang jika tekanan darah diastolik 95 – 115 mmHg
- Hipertensi berat jika tekanan darah diastolik lebih dari 115 mmHg
- Oligouri. Terdapat pada 5-10% kasus. Dikatakan oligouri bila produksi urin
kurang dari atau sama dengan 1 cc/kgBB/jam. Umumnya terjadi pada
minggu pertama dan menghilang bersama dengan diuresis pada akhir
minggu pertama.
 Laboratorium
Sedimen Urin
- Eritrosit (+) sampai (++++)
- Torak eritrosit (+) pada 60 – 85% kasus
Darah
- Titer ASO meningkat pada 80 – 95% kasus.
- Kadar C3 (B1C globulin) turun pada 80 – 90% kasus.

 Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium

I. Darah
 LED dan hematokrit diperiksa pada saat masuk rumah sakit dan
diulangi tiap minggu
 Eiwit spektrum (albumin, globulin) dan kolesterol diperiksa waktu
masuk rumah sakit dan diulangi bila perlu
 Kadar ureum, kreatinin, klirens kreatinin diperiksa waktu masuk rumah
sakit.
II. Urin. Proteinuri diperiksa tiap hari
 Kualitatif (-) sampai (++), jarang yang sampai (+++)
 Kuantitatif kurang dari atau sama dengan 2 gram/m2/24 jam
 Volume ditampung 24 jam setiap hari
III. Bakteriologi. Pada Throat swab atau skin swab dapat ditemukan streptokokkus
pada 10-15% kasus
IV. Pencitraan. Foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan
foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan
berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic
lung). Foto thorax diperiksa waktu masuk rumah sakit dan diulang 7 hari
kemudian bila ada kelainan.

 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksaaannya adalah untuk mengurangi inflamasi pada ginjal dan
mengontrol tekanan darah. Pengobatannya termasuk penggunaan antibiotik ataupun
terapi lainnya.
 Tirah baring
Terutama pada minggu pertama penyakit untuk mencegah komplikasi.
Sesudah fase akut istirahat tidak dibatasi lagi tetapi tidak boleh kegiatan
berlebihan. Penderita dipulangkan bila keadaan umumnya baik, biasanya setelah
10-14 hari perawatan.(8)
 Diet
 Protein: 1-2 gram/kg BB/ hari untuk kadar Ureum normal, dan 0,5-1 gram/kg
BB/hari untuk Ureum lebih dari atau sama dengan 40 mg%
 Garam: 1-2 gram perhari untuk edema ringan, dan tanpa garam bila anasarka.
 Kalori: 100 kalori/kgBB/hari.
 Intake cairan diperhitungkan bila oligouri atau anuri, yaitu: Intake cairan =
jumlah urin + insensible loss (20-25cc/kgBB/hari + jumlah kebutuhan cairan
setiap kenaikan suhu dari normal [10cc/kgBB/hari])

 Medikamentosa
1. Antibiotik
Penisilin Prokain (PP) 50.000-100.000 SI/KgBB/hari atau
ampisilin/amoxicillin dosis 100mg/kgBB/hari atau eritromisin oral 30-50
mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari untuk eradikasi kuman.
Pemberian antibiotik bila ada tonsilitis, piodermi atau tanda-tanda infeksi
lainnya.

2. Anti Hipertensi
a. Hipertensi Ringan: Istirahat dan pembatasan cairan. Tekanan darah akan
normal dalam 1 minggu setelah diuresis.
b. Hipertensi sedang dan berat diberikan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari dan
furosemide 1-2mg/kgBB/hari per oral.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo W A, Setitohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V. Hlm 1612-
1578.Interna Publishing;Jakarta Pusat. 2014
2. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehtan
Primer. Jakarta; Pengurus besar IDI. 2016
3. AP Putra. Keganasan pada saluran kemih. Vol 1 no 3. FK UNILA; Oktober 2015

Anda mungkin juga menyukai