KORTIKOSTEROID
Oleh:
Pembimbing:
dr. Diana Kartika Sari, Sp.KK
FAKULTAS KEDOKTERAN
2. Klasifikasi Kortikosteroid2
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis
yang menonjol darinya, yakni:
1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara
menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar
elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal.
KORTIKOSTEROID SISTEMIK
1. Farmakokinetik3
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis
terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja,
jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan
sekresinya
Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari
yaitu sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur.
Pada pagi hari kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang
membuat orang menjadi lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang
ssehat pengeluaran kortisol mengikuti kurva dimana dapat dibuat grafik mulai
menurunnya kadar kortisol hingga kadar terendah yaitu pada pukul 11 malam
dibuktikan dengan seseorang yang dapat beristirahat dengan cukup.
2. Mekanisme Kerja3
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di
jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin.
Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis
protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan,
misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik;
pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang
sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini
menimbulkan efek katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.
Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk
regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas.
Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat
sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi
dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg
kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein
dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-
(CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat
lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar
plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas
bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan
albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu
paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan
dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati.
Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar
20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor
mineralokortikoid sebelum mencapai hati.Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi
afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan
cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara
mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit
fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.
Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu
proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks.
Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit
perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne
imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit
kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh
serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang
berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis
tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat ,
sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut
berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan
menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh
peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi
dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat
inflamasi.
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab
antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan
mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan
membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta
menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator
plasminogen.Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi
reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin,leukotrien dan
platelet-activating factor.
3. Penggunaan Klinik3
Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah
prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar
digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon.
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada
pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan,
misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom Stevens-Jhonson harus diberikan
kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara intravena. Jika masa kritis telah diatasi
dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih
hati-hati. Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit
efek samping terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan
dalam jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping
yang tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum
berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel
epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek
toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada
bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat
topikal sangat tinggi.Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid
topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi
sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak
sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-
rata dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/hari, sedangkan
dosis dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi
pengguna yang sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan
pengobatan kortikosteroid sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan
mental sedangkan 80% tidak.
Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut
pengalaman, tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis
untuk anak disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum
tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.
Tabel 3. Mengenal lama kerja, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen, dan
potensi mineralokortikoid
Macam Potensi Dosis ekuivalen Potensi
Kortikosteroid glukokortikoid (mg) mineralokortikoid
1. Kerja singkat
a. Hidrokortison 1 20,0 2+
b. Kortison 0,8 25,0 2+
2. Kerjasedang
a. Meprednison 4-5 4,0 0
b. Metilprednisolon 5 4,0 0
c. Prednisolon 4 5,0 1+
d. Prednison 4 5,0 1+
e. Triamsinolon 5 4,0 0
3. Kerjalama
a. Betametason 20-30 0,60 0
b. Deksametason 20-30 0,75 0
c. Parametason 10 2,0 0
Keteragan:
Masa paruh biologik kortikostreroid
Kerja singkat : 8-12 jam
Kerja sedang : 12-36 jam
Kerja lama : 36-72 jam
KORTIKOSTEROID TOPIKAL
1. Penggolongan4
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatjf dan
supresjf terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada
kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan
usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada
dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan
kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai
dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar
kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus
eritematosus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika
diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema
fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit
kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan
secara sistemik.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping
terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu
yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit
bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum,
kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat
sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi
secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka
penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi
steroid topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi
sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering,
waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan
perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering
digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (SOP). Percobaan pada
hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan menyebabkan
abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek
pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di absorbsi
di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah yang
besar, jangka waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan
memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester
pertama dengan bibir sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate
saat penggunaan steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan
pada saat kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan
hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan
kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah
steroid topikal diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang
menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata
dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/ hari, sedangkan dosis
dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang
sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan kortikosteroid
sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.
3. Indikasi
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit (MARKS 1985). Harus selalu diingat bahwa kortikosteroid topikal
bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan
kausal.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid topikal ialah psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis
numularis, dermatitis stasis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa dan dermatitis
solaris (fotodermatitis).
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritematosus diskoid, psoriasis
ditelapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare,
sarkoidosis. liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid, jaringan parut
hipertrofik, alopesia areata, akne berkista, prurigo nodularis, morfea, dermatitis dengan
likenifikasi, liken amiloidosis, dan vitiligo sebagian responsif).
Disamping kortikosteroid topikal tersebut ada pula kortikosteroid yang disuntikan intralesi,
misalnya triamsinolon asetonid.
4. Pemilihan Jenis Kortikosteroid Topikal4
Pada saat memilih kortikosteroid topikal yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan
harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu jenis
penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas atau tidaknya
lesi, dalam atau dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur
penderita.
Steroid topikal terdiri dan berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep
(ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi
seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis
ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung
pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan
dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum komeum sehingga meningkatkan penyerapan
dan potensi obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim meniiliki komposisi yang
bervaniasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya
hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara
kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan
bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion
(bedak kocok) tediri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin
sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim. Lotionterdiri dan agents yang membantu
melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdini dan air, alkohol dan propylene glycol. Gel komponen
solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan gel
memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan ointment tetapi berguna pada
pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara
kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.
5. Aplikasi Kiinis4
a. Cara aplikasi
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3x/hari sampai penyakit tersebut
sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah
menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang
berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan
menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul
kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.
b. Lama pemakaian steroid topikal
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dan 4-6 minggu untuk
steroid potensi lemah dan tidak lebih dan 2 minggu untuk potensi kuat.
6. Efek Samping4
Efek samping terjadi bila:
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan
2. Penggunaan kortikosteroid topilcal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau
penggunaan secara okiusif
Harus diingat bahwa makin tinggi potensi kortikosteroid topikal, makin cepat terjadinya efek
samping. Gejala efek samping:
1. Atrofi
2. Strie atrofise
3. Telengiektasis
4. Purpura
5. Dermatosis akneiformis
6. Hipertrikosis setempat
7. Hipopigmentasi
8. Dermatitis perioral
9. Menghambat penyembuhan ulkus
10. Infeksi mudah terjadi dan meluas
11. Gambaran kilnis penyakit infeksi menjadi kabur
Dermatofitosis yang diobati dengan kortikosteroid topikal gambaran klinisnya menjadi tidak
khas karena efek anti inflamasinya. Pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas menjadi
kabur dan meluas dikenal sebagai tinea incognito.
7. Pencegahan Efek Samping4
Efek sampmg sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang dianjurkan ialah
jangan melebihi 30 gram sehari .
Pada bayi kulit masih tipis, hendaknya dipakai kortikosteroid topikal yang lemah.
Pada kelainan akut dipakai pula kortikosteroid topikal yang lemah. Pada kelainan subakut
digunakan kortikosteroid topikal sedang. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid
topikal kuat. Bila telah membaik pengolesan dikurangi, yang semula dua kali sehari menjadi
sehari sekali atau diganti dengan kortikosteroid topikal sedang/lemah untuk mencegah efek
samping.
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan
pemakaiannya terbatas pada lesi yang resisten.
Pada daerah lipatan (inguinal, ketiak) dan wajah digunakan kortikosteroid topikal
lemah / sedang. kortikosteroid topikal jangan digunakan untuk infeksi bakterial, infeksi
mikotik, infeksi virus, dan skabies.
Di sekitar mata hendaknya berhati-bati untuk menghindari timbulnya glaukoma dan
katarak. Terapi intralesi dibatasi I mg pada satu tempat, sedangkan dosis maksimum
perkali 10mg.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramamoorthy S, Cidlowski J. Corticosteroids-Mechanism of Action in
Health and Disease. Rheum Dis lin North Am. 2016. 42. 1. P. 15-31
2. Ericson-Neilsen W, Kaye A. Steroids: Pharmacology Complications,
Practice Delivery Issues. The Ochsner J. 14. 1. P. 203-207
3. Samuel S, Nuyen T, Choi H. Pharmacological Characteristic of
Corticosteroids. J Neurocrit Care. 2017. 10. 2. P. 53-59
4. Menaldi SL. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. p. 157-165