Anda di halaman 1dari 20

PEKERJAAN RUMAH

KORTIKOSTEROID

Oleh:

Maryo Juan B.L.T.


201810401011098

Pembimbing:
dr. Diana Kartika Sari, Sp.KK

SMF ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN RSUD GAMBIRAN KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


2019
1. Definisi1
Kortikosteroid adalah sejenis hormon yang dihasilkan secara alami oleh
manusia. hormon steroid dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai
tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar
hipofisis. Hormon ini berperan dalam sistem fisiologis pada tubuh, misalnya
tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan
inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta
tingkah laku.
Kelenjar adrenal terdiri dari dua bagian yaitu bagian korteks dan medulla,
bagian korteks terbagi lagi menjadi dua zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona
fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada
keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Bentuk asli dari golongan ini
adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga
glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason.
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K,
sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Oleh
karena itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip dari golongan
ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat
anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini
tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada
keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.

2. Klasifikasi Kortikosteroid2
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis
yang menonjol darinya, yakni:
1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara
menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar
elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal.

Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu


kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal.

KORTIKOSTEROID SISTEMIK

1. Farmakokinetik3
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis
terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja,
jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan
sekresinya
Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari
yaitu sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur.
Pada pagi hari kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang
membuat orang menjadi lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang
ssehat pengeluaran kortisol mengikuti kurva dimana dapat dibuat grafik mulai
menurunnya kadar kortisol hingga kadar terendah yaitu pada pukul 11 malam
dibuktikan dengan seseorang yang dapat beristirahat dengan cukup.

2. Mekanisme Kerja3
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di
jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami
perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin.
Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis
protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan,
misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik;
pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang
sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini
menimbulkan efek katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.
Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk
regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas.
Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat
sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi
dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg
kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein
dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-
(CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat
lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar
plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas
bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan
albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu
paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan
dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati.
Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar
20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor
mineralokortikoid sebelum mencapai hati.Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi
afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah prodrug yang dengan
cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara
mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit
fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.
Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu
proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks.
Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit
perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne
imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit
kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh
serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang
berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis
tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat ,
sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut
berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan
menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh
peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi
dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat
inflamasi.
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab
antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan
mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan
membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta
menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator
plasminogen.Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi
reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin,leukotrien dan
platelet-activating factor.

3. Penggunaan Klinik3
Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah
prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar
digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon.
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada
pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan,
misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom Stevens-Jhonson harus diberikan
kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara intravena. Jika masa kritis telah diatasi
dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih
hati-hati. Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit
efek samping terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan
dalam jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping
yang tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum
berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel
epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek
toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada
bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat
topikal sangat tinggi.Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid
topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi
sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak
sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-
rata dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/hari, sedangkan
dosis dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi
pengguna yang sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan
pengobatan kortikosteroid sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan
mental sedangkan 80% tidak.

4.Dosis Dan Mekanisme Pemberian1,3


Pada saat memilih kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek
samping sedikit dan harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di
pertimbangkan yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu
stadium penyakit, luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi. Perlu
juga dipertimbangkan umur penderita
Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral,
intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan
keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena
efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah
kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang. Kortikosteroid biasanya digunakan
setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang dugunakan untu mengontrol penyakit
rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari
3-4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil
dengan masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek
samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi
umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari
kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga
dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum tidur dapat
digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun
hirsustisme.
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah
mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak
mengalami eksaaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom
putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat
melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per hari dan kalau
lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia
dan demam ringan yang jaranng melebihi 39ºC.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu
perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis
pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik
dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan
penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar
adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi
hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan
pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh.
Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan
kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian
obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg
prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan
kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini
merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.
Tabel 3. Berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta
dosisnya:
Macam kortikosteroid dan dosisnya
Nama penyakit
sehari
Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
ringan Deksametason 6x5 mg
SJS berat dan NET Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Eritroderma Prednison 3x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 40-80 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 60-150 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 3x20 mg
Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 4x10 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 20-40 mg
Reaksi Jarish-
Herxheimer

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut
pengalaman, tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis
untuk anak disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum
tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.
Tabel 3. Mengenal lama kerja, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen, dan
potensi mineralokortikoid
Macam Potensi Dosis ekuivalen Potensi
Kortikosteroid glukokortikoid (mg) mineralokortikoid
1. Kerja singkat
a. Hidrokortison 1 20,0 2+
b. Kortison 0,8 25,0 2+
2. Kerjasedang
a. Meprednison 4-5 4,0 0
b. Metilprednisolon 5 4,0 0
c. Prednisolon 4 5,0 1+
d. Prednison 4 5,0 1+
e. Triamsinolon 5 4,0 0
3. Kerjalama
a. Betametason 20-30 0,60 0
b. Deksametason 20-30 0,75 0
c. Parametason 10 2,0 0
Keteragan:
Masa paruh biologik kortikostreroid
Kerja singkat : 8-12 jam
Kerja sedang : 12-36 jam
Kerja lama : 36-72 jam

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan


deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan
kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut
kekuatan (potensi) dan yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason,
betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh
36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling
singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin
besar efek samping yang terjadi.
5. Monitor Pengobatan1
Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid
untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan
keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi
diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan
pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harus tetap di ukur. Jika dilakukan
pengobatan jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran
densitas tulang spinal dengan menggunakan computed tomography (CT), dual-photon
absorptiometry, atau dual-energy x ray absorptiometry (DEXA).
Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi
diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen,
demam, gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar
mempunyai kemungkinan terjadinya efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis.
Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula
darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja
perlu dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut
pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma.
6. Efek Samping2
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis
yang sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping
yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi.

Tabel 4. Efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.


Tempat Macam efek samping
1.Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi
gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis,
2.Otot ileitis regional, kolitis ulseratif.
3.Susunan saraf Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
pusat Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,
mudah tersinggung, psikosis, paranoid,
4.Tulang hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu
makan bertambah.
5.Kulit Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,
fraktur tulang panjang.
6.Mata Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis
7.Darah akneiformis, purpura, telangiektasis.
8. Pembuluh darah Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
9. Kelenjar adrenal Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
bagian kortek Kenaikan tekanan darah
10.Metabolisme Atrofi, tidak bisa melawan stres
protein, KH
dan lemak Kehilangan protein (efek katabolik),
11. Elektrolit hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo
hump, perlemakan hati.
12.Sistem
immunitas Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,
tetani, aritmia kor)
Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan
herpes simplek, keganasan dapat timbul.
Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat
menopause. Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas muka bulan,
buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, striae atrofise,
purpura, dermatosis akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi,
nyeri kepala, psedudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing, vertigo,
hepatomegali dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada anak memperlambat
pertumbuhan.
Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik
Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek
samping yang serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:
 Gangguan tidur
 Meningkatkan nafsu makan
 Meningkatkan berat badan
 Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi
Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari
kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan
nekrosis aseptik yang pinggul.

Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama


 Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka
kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di
bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas
bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres
seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
 Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang
yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah
paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul
bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari
pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan
hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
 Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika
steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).
 Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
 Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).
 Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
 Kenaikan lemak darah (trigliserida).
 Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
 Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan
dan gagal jantung.
 Kegoyahan dan tremor.
 Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak
subcapsular posterior.
 Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi,
kegembiraan, delirium atau depresi.
 Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
 Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya
tuberkulosis).
 Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.
 Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri
otot dan sendi dan depresi.
Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhdap efek samping,
hendaknya diperiksa tekanan darah dan berat badan (seminggu sekali) terutama pada
usia diatas 40 tahun dan pemeriksaan laboratorium Hb, jumlah leukosit, hitung jenis,
L.E.D, urin lengkap kadar Na dan K dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto
toraks, apakah ada tuberkulosis paru (3bulan sekali).
Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila :
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau
penggunaan sangat oklusif.
Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan dengan sifat
potensiasinya, tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah dari
potensi, kecuali mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal sistemik.
Dengan ini efek samping hanya bisa dielakkan sama ada dengan bergantung pada
steroid yang lebih lemah atau mengetahui dengan pasti tentang cara penggunaan,
kapan, dan dimana harus digunakan jika menggunakan yang lebih paten. Secara
umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striae atrofise,
telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat,
hipopigmentasi, dermatitis peroral.
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat yaitu

KORTIKOSTEROID TOPIKAL

1. Penggolongan4

Kortikosteroid topikal bagi menjadi 7 golongan besar, diantaranya berdasarkan anti


inflamasi dan anti mitotik, Golongan 1 yang paling kuat daya anti inflamasi dan anti
mitotiknya (superpoten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).

Tabel 6. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi kilnis:


Kiasifikasi Nama Dagang Nama Generik
Golongan 1: (super poten) Diprolene ointment 0,05% betamethason dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate
Temovate ointment 0,05% clobetasol propionate
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment 0,05% halobetasol propionate
Ultravate cream
Golongan II: (potensi tmggi) Cyclocort ointment 0,1% ameinonide
Diprosone ointment 0,05% betamethasoiie dipropionate
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate ointment 0,05% betamethasone dipropionate
Maxivate cream
Topicort ointment 0,25% desoximetasone
Topicort cream
Topicort gel 0,05% desoximetasone
Golongan III: (potensi finggi) Aristocort A ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Cultivate ointment 0,005% fluticasone propionate
Cyclocort cream 0,1 amcinonide
Cyclocort lotion
Diprosone cream 0,05% betamethasone dipropionate
Flurone cream 0,05% diflorosone diacetate
Lidex E cream 0,05% fluocmomde
Maxiflor cream 0,05% diflorosone diacetate
Maxivate lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Topicort LP cream 0,05% desoxitnetasone
Valisone ointment 0,01% betamethasone valerate

Golongan IV: (potensi medium) Aristocort omtment 0,1% traamcinolone acetomde


Cordran ointment 0,05% flurandrenolide
Elocon cream 0,1% mometasone furoate
Elocon lotion
Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide
Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate
Golongan V: (potensi medium) Cordran cream 0,05% flurandrenolide
Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate
Dermatop cream 0,1% prednicarbate
Diprosone lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate
Locoid cream
Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide
Tridesilon ointment 0,05% desonide
Valisone cream 0,1% betamethasone valerate
Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate
Golongan VI: (potensi medium) Aclovate ointment 0,05% aclometasone
Aclovate cream
Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide
Desowen cream 0,05% desonide
Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide
Kenalog lotion
Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate
Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide
Synalar solution
Tridesilon cream 0,05% desonide
Valisone lotion 0,1% betamethasone valerate

Golongan VII: Potensi lemah) Obat topical dengan


hidrokortison,
dekametason,
glumetalone,
prednisolone, dan
metilprednisolone
2. Penggunaan Klinik4

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatjf dan
supresjf terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada
kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan
usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada
dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan
kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai
dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar
kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus
eritematosus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika
diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema
fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit
kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan
secara sistemik.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping
terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu
yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit
bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum,
kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat
sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi
secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka
penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi
steroid topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi
sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering,
waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan
perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering
digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (SOP). Percobaan pada
hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan menyebabkan
abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek
pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di absorbsi
di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah yang
besar, jangka waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan
memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester
pertama dengan bibir sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate
saat penggunaan steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan
pada saat kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan
hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan
kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah
steroid topikal diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang
menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata
dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/ hari, sedangkan dosis
dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang
sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan kortikosteroid
sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.

3. Indikasi
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit (MARKS 1985). Harus selalu diingat bahwa kortikosteroid topikal
bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan
kausal.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid topikal ialah psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis
numularis, dermatitis stasis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa dan dermatitis
solaris (fotodermatitis).
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritematosus diskoid, psoriasis
ditelapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare,
sarkoidosis. liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid, jaringan parut
hipertrofik, alopesia areata, akne berkista, prurigo nodularis, morfea, dermatitis dengan
likenifikasi, liken amiloidosis, dan vitiligo sebagian responsif).
Disamping kortikosteroid topikal tersebut ada pula kortikosteroid yang disuntikan intralesi,
misalnya triamsinolon asetonid.
4. Pemilihan Jenis Kortikosteroid Topikal4
Pada saat memilih kortikosteroid topikal yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan
harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu jenis
penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas atau tidaknya
lesi, dalam atau dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur
penderita.
Steroid topikal terdiri dan berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep
(ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi
seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis
ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung
pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan
dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum komeum sehingga meningkatkan penyerapan
dan potensi obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim meniiliki komposisi yang
bervaniasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya
hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara
kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan
bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion
(bedak kocok) tediri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin
sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim. Lotionterdiri dan agents yang membantu
melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdini dan air, alkohol dan propylene glycol. Gel komponen
solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan gel
memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan ointment tetapi berguna pada
pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara
kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.
5. Aplikasi Kiinis4
a. Cara aplikasi
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3x/hari sampai penyakit tersebut
sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah
menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang
berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan
menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul
kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.
b. Lama pemakaian steroid topikal
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dan 4-6 minggu untuk
steroid potensi lemah dan tidak lebih dan 2 minggu untuk potensi kuat.
6. Efek Samping4
Efek samping terjadi bila:
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan
2. Penggunaan kortikosteroid topilcal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau
penggunaan secara okiusif
Harus diingat bahwa makin tinggi potensi kortikosteroid topikal, makin cepat terjadinya efek
samping. Gejala efek samping:
1. Atrofi
2. Strie atrofise
3. Telengiektasis
4. Purpura
5. Dermatosis akneiformis
6. Hipertrikosis setempat
7. Hipopigmentasi
8. Dermatitis perioral
9. Menghambat penyembuhan ulkus
10. Infeksi mudah terjadi dan meluas
11. Gambaran kilnis penyakit infeksi menjadi kabur

Dermatofitosis yang diobati dengan kortikosteroid topikal gambaran klinisnya menjadi tidak
khas karena efek anti inflamasinya. Pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas menjadi
kabur dan meluas dikenal sebagai tinea incognito.
7. Pencegahan Efek Samping4
Efek sampmg sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang dianjurkan ialah
jangan melebihi 30 gram sehari .
Pada bayi kulit masih tipis, hendaknya dipakai kortikosteroid topikal yang lemah.
Pada kelainan akut dipakai pula kortikosteroid topikal yang lemah. Pada kelainan subakut
digunakan kortikosteroid topikal sedang. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid
topikal kuat. Bila telah membaik pengolesan dikurangi, yang semula dua kali sehari menjadi
sehari sekali atau diganti dengan kortikosteroid topikal sedang/lemah untuk mencegah efek
samping.
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan
pemakaiannya terbatas pada lesi yang resisten.
Pada daerah lipatan (inguinal, ketiak) dan wajah digunakan kortikosteroid topikal
lemah / sedang. kortikosteroid topikal jangan digunakan untuk infeksi bakterial, infeksi
mikotik, infeksi virus, dan skabies.
Di sekitar mata hendaknya berhati-bati untuk menghindari timbulnya glaukoma dan
katarak. Terapi intralesi dibatasi I mg pada satu tempat, sedangkan dosis maksimum
perkali 10mg.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ramamoorthy S, Cidlowski J. Corticosteroids-Mechanism of Action in
Health and Disease. Rheum Dis lin North Am. 2016. 42. 1. P. 15-31
2. Ericson-Neilsen W, Kaye A. Steroids: Pharmacology Complications,
Practice Delivery Issues. The Ochsner J. 14. 1. P. 203-207
3. Samuel S, Nuyen T, Choi H. Pharmacological Characteristic of
Corticosteroids. J Neurocrit Care. 2017. 10. 2. P. 53-59
4. Menaldi SL. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. p. 157-165

Anda mungkin juga menyukai