Anda di halaman 1dari 57

Nama : Naila Nadhifa Qotrunnada

NPM : 20024010090
Kelas : Agribisnis B
Golongan : T3

Pengenalan Alat Agroklimatologi


No. Gambar Nama Alat Fungsi dan Kegunaan
1. Solarimeter Tipe Campbell Digunakan untuk mengukur
intensitas dan lama penyinaran
matahari. Dipergunakan untuk
mengukur waktu dan lama matahari
bersinar dalam satu hari dimana alat
tersebut dipasang.

2. Kertas Pias Untuk sensor skala pada Solarimeter


Tipe Campbell Stokes. Sebagai
indikator lamanya penyinaran
matahari dengan melihat sudut atau
letak matahari
3. Pagar Tanah Berumput Tempat yang terdapat pipa yang
akan dimasukkan ke dalam tanah
yang berfungsi untuk mengukur
suhu tanah tersebut. Meminimalisir
kemungkinan akan adanya timbal
balik antar instrumen atau juga tiang
pagar memberi bayangan pada
instrumen tertentu.
4. Termometer Tanah Berfungsi sebagai pengukur suhu di
dalam tanah dengan memasukkan
thermometer ke dalam pipa yang
dihubungkan ke tanah.

5. Sangkar Stevenson Berfungsi sebagai tempat peletakan


alat meterologi. Berventilasi, double
jalusi berguna untuk mengalirkan
udara masuk-keluar.
Sebagai tempat alat-alat pengukur
cuaca tertentu, agar tehindar dari
sinar matahari langsung dan
pengaruh lingkungan lainnya.
6. Termohighrometer Untuk mengukur suhuh dan
kelembapan di suatu tempat, baik
dalam ruangan (indoor) maupun
luar ruangan (outdoor).

7. Termometer Max dan Minimum Thermometer maximum berfungsi


untuk mengukur suhu maksimum.
Thermometer ini menggunakan air
raksa.
Thermometer minimum digunakan
untuk mengukur temperature
rendah, karena alcohol mempunyai
titik rendah (-90⁰C) dan merupakan
penghantar yang baik, sehingga
menggunakan alcohol bukan air
raksa
8. Termometer Dry and Wet Digunakan untuk menghitung
kelembapan udara secara manual.
Mengukur kelembapan relative
udara.
9. Penyiram Berputar Untuk membuat hujan buatan serta
memperluas area penyiraman

10. Gelas Ukur Alat untuk mengukur volume cairan


yang tidak memerlukan ketelitian
yang tinggi.

11. Umbrometer Alat untuk untuk menampung air


hujan yang akan diambil sampelnya
dan mengukur curah hujan di suatu
daerah.
12. Panci Kelas A Sebagai alat untuk mengukur
penguapan air langsung dengan
satuan millimeter (mm).

13. Evaporimeter Soviet CGI-3000 Untuk merekam penguapan yang


terjadi dengan cara membaca angka
yang ditunjukkan sesuai tinggi
permukaan air pada panic. Untuk
mengukur kecepatan penguapan air
dalam udara pada lingkungan
tertentu dan waktu tertentu.

14. Weather Station Untuk memantau dan merekam


perubahan cuaca secara real time
dan juga otomatis. unsur cuaca
seperti, temperature, kelembapan,
tekanan udara, kecepatan angina dan
radiasi matahari.
15. Anemometer Anemometer adalah alat yang
digunakan untuk mengukur
kecepatan angin dan tekanan angin
(Azwar & Kholiq, 2013).
Sebagian besar anemometer ini
umumnya tidak dapat merekam
kecepatan angin dibawah 1 sampai 2
mil/jam karena ada faktor gesekan
pada awal putaran.

16. Tiang Penyangga Anemometer Sebagai penyangga untuk


anemometer. Untuk mengefektifkan
kestabilan penggunaan anemometer
ketika mengukur kecepatan angina
dan akan muncul pada speedometer
secara otomatis.

17. Touch Screen Weather Station Mengukur cuaca secara otomatis


dan merupakan pengembangan alat
dari weather station.
”PERHITUNGAN LAMA PENYINARAN MATAHARI”
III. METEDOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum “ Perhitungan Lama Penyinaran Matahari “ ini dilaksanakan pada tanggal 26


Maret 2021. Pukul 07.30 - 08.30 WIB yang bertempat di Rumah masing-masing
menggunakan Google Meet.

3.2. Alat da Bahan

3.2.1. Alat

• Campbell Stokes
• Kertas pias
• Penggaris Mika
• Alat tulis
• Kunci pas

3.2.1 Bahan

• Lembar Pengamatan

3.3. Cara Kerja

1. Menyiapkan semua alat dan bahan yang telah ditentukan


2. Meletakkan solarimeter pada stand / tiang yang tersedia di stasiun lapangan (tidak
terhalang bangunan, pohon dan gunung) dengan posisi horizontal
3. Memposisikan salah satu kaki campbell stokes menghadap utara supaya posisi bias
melintang dari barat ke timur dan alat diposisikan rata air dengan cara melihat
waterpass pada alat
4. Membaut kaki campbell stokes agar tidak bergeser. Lalu kunci posisi lintang dengan
sekrup
5. Mengatur posisi kemiringan bola kaca (harus sesuai dengan posisi lintang stasiun). Hal
ini dapat dilihat melalui skala derajat yang ada di bawah bola kaca yaitu pada
penyangga bola kaca.
6. Meletakkan kertas pias tapat di bawah bola kaca
7. Mencatat waktu pada posisi awal pengukuran dan biarkan proses pembakaran kertas
pias terjadi selama 60 menit waktu pengamatan
8. Mengamati hasil pembakaran kertas pias pada garis lurus setelah 60 menit waktu
pengamatan berlalu
9. Meghitung lama penyinaran matahari yang telah terekam
10. Menuliskan data lalu membahas apa yang sudah didapat dari pengamatan tadi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pegamatan

No. Konstanta Terbakar (cm) Lama Penyinaran (menit) Persen %


1. 1,27 1,8 cm 60 menit 2,3 %
2. 1,27 1,6 cm 60 menit 2%
3. 1,27 1,2 cm 60 menit 1,5 %
4. 1,27 2 cm 60 menit 2,6 %
5. 1,27 1 cm 60 menit 1,3 %
6. 1,27 1,5 cm 60 menit 1,9 %
7. 1,27 1,7 cm 60 menit 2,2 %
8. 1,27 0,8 cm 60 menit 1%
9. 1,27 1,5 cm 60 menit 1,9%
10. 1,27 2,3 cm 60 menit 3%
11. 1,27 1,9 cm 60 menit 2,4 %
12. 1,27 2,6 cm 60 menit 3,4 %

4.2. Pembahasan

Lama penyinaran matahari merupakan satu dari beberapa unsur klimatologi. Lama
penyinaran matahari atau durasi penyinaran matahari (periodisitas) adalah lamanya matahari
bersinar cerah pada permukaan bumi yang dihitung mulai dari matahari terbit hingga
terbenam. Besarnya lama penyinaran matahari ditulis dalam satuan jam, nilai persepuluhan,
atau dalam satuan persen terhadap panjang hari maksimum (Ariffin, dkk., 2010).

Campbell Stokes Recorder merupakan alat yang resmi digunakan oleh BMKG untuk
mengukur lama penyinaran matahari dengan satuan /10an jam. Satuan dari intensitas dan lama
penyinaran matahari adalah persen atau jam. Memiliki 2 komponen utama, yaitu bola kaca
berdiameter 10 cm yang berfungsi sebagai lensa cembung, dan kertas pias. Bola kaca akan
mengumpulkan cahaya matahari pada titik fokusnya, dan pada titik fokusnya terdapat sebuah
lempenganbaja dengan ukuran lebar kira-kira 10 cm tempat meletakkan kertas pias. Jika sinar
matahari yang terkumpulkan tersebut memiliki kekuatan lebih dari 120 W/m2 maka akan
membakar kertas pias sehingga meninggalkan jejak-jejak terbakar.( Hamdi, 2014 )

Cara kerja dari alat ini yaitu, pada saat matahari bersinar cerah (yaitu intensitas radiasi sinar
mataharisama atau lebih besar dari 0,3 kalori 𝑐𝑚−2 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 −1) Sinar yang jatuh pada bola kaca
akan dikumpulkan dan difokuskan pada suatu titik dan diarahkan pada kertas pias. Kertas pias
akan menerima sinar dalam benntuk titik api dan meninggalkan bekas terbakar pada keertas
pias. Kertas pias yang tebakar itulah merupakan hasil lama penyinaran sinar matahari.

Jika lama penyinaran matahari dinyatakan dengan waktu maka besarnya adalah sesuai
dengan hasil pengukuran skala. Sedangkan untuk menyatakan persentase maka besarnya dapat
𝑛/𝑘
diperoleh darirumus-rumus. Salah satu rumus yang digunakan yaitu LPM = ( x 100% ).
𝑁

Pada praktikum kali ini, terdapat 12 sampel data hasil dari pengukuran lama penyinaran
matahari dengan durasi waktu per 60 menit. Untuk mencari presentasenya, mulanya kertas
pias yang telah tebakar dihitung dulu menggunakan penggaris mika untuk mengetahui berapa
𝑛/𝑘
panjang kertas pias yang terbakar. Kemudian dimasukkan pada rumus LPM = ( x 100% )
𝑁

dimana n merupakan panjang kertas pias yang terbakar, k merupakan konstanta (1,27) dan N
adalah lamanya waktu pengukuran (menitt).

Data yang pertama, setelah di ukur menggunakan penggaris, kertas pias terbakar 2,8 cm
jika dihitung menggunakan konstanta 1,27 dan lama penyinaran selama 60 menit maka bisa
di dapatkan hasil presentase yaitu 3,67%. Begitupun seterusnya sampai pada 12 sampel,
didapatkan hasil sebagai berikut. Data kedua terbakar 2,6 cm didapatkan hasil presentase yaitu
3,41 %, Data ketiga terbakar 2,2 cm maka didapatkan hasil presentase 2,89 %, Data keempat
terbakar 3 cm di dapat hasil 3,94 %, Data kelima terbakar 2,2 cm didapatkan hasil presentase
yaitu 2,89 %, Data keenam terbakar 2,5 cm didapatkan hasil presentase yaitu 3,28 %, Data
ketujuh terbakar 2,7 cm didapatkan hasil presentase yaitu 3,54 %, Data kedelapan terbakar 1,8
cm didapatkan hasil presentase yaitu 2,36 %, Data kesembilan terbakar 2,5 cm didapatkan
hasil presentase yaitu 3,38 %, Data kesepuluh terbakar 3,3 cm didapatkan hasil presentase
yaitu 4,33 %, Data kesebelas terbakar 2,9 cm didapatkan hasil presentase yaitu 3,81 %, Data
keduabelas terbakar 2,9 cm didapatkan hasil presentase yaitu 3,81 %.

Dari perhitungan data diatas, persentase lama penyinaran matahari terkecil 1% dan terbakar
0,8 cm, lalu persentase lama penyinaran matahari terbesarnya 3,4% dan terbakar 2,6 cm.

Kualitas cahaya memberikan pengaruh berbeda terhadap proses-proses fisiologis tanaman.


Spesies atau berbagai jenis tanaman juga memiliki tanggapan yang berbeda-beda pada setiap
kualitas cahaya. Perbandingan antara lama penyinaran matahari pada waktu siang dan malam
disebut Fotoperiode. Fotoperiode tumbuhan dapat dibedakan mejadiyiga kelompok yaitu,
tanaman hari panjang (long day plants) (tanaman yang hanya berbunga bila mengalami
fotoperiode yang lebih tinggi daripada fotoperiode kritisnya (12-14 jam)), tanaman hari
pendek (short day plants) (tanaman yang hanya berbunga bila mengalami fotoperiode yang
lebih rendah dari pada fotoperiode kritisnya (11-15 jam)) dan tanaman hari netral (neutral day
plants), tanaman yang berbunga tidak dipengaruhi oleh fotoperiode.

Contoh tanaman yang dapat tumbuh pada lahan dengan intensitas matahari tinggi adalah
kol, lobak, bunga aster china, bit, bayam dan lain-lain. Sedangkan contoh tanaman yang dapat
tumbuh pada lahan dengan intensitas matahari rendah adalah kentang, cannabis, ketela
rambat, dan lain-lain.
LAMPIRAN

𝑛/𝑘
1. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (1,8 / 1,27) ÷ 60
= 1,41 ÷ 60
= 0,023 x 100%
= 2,3%

𝑛/𝑘
2. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (1,6 / 1,27) ÷ 60
= 1,25 ÷ 60
= 0,02 x 100%
= 2%

𝑛/𝑘
3. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (1,2 / 1,27) ÷ 60
= 0,94 ÷ 60
= 0,015 x 100%
= 1,5%

𝑛/𝑘
4. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (2 / 1,27) ÷ 60
= 1,57 ÷ 60
= 0,026 x 100%
= 2,6%

𝑛/𝑘
5. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (1 / 1,27) ÷ 60
= 0,78 ÷ 60
= 0,013 x 100%
= 1,3%

𝑛/𝑘
6. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (1,5 / 1,27) ÷ 60
= 1,18 ÷ 60
= 0,019 x 100%
= 1,9%
𝑛/𝑘
7. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (1,7 / 1,27) ÷ 60
= 1,33 ÷ 60
= 0,022 x 100%
= 2,2%
𝑛/𝑘
8. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (0,8 / 1,27) ÷ 60
= 0,62 ÷ 60
= 0,01 x 100%
= 1%

𝑛/𝑘
9. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (1,5 / 1,27) ÷ 60
= 1,18 ÷ 60
= 0,019 x 100%
= 1,9%

𝑛/𝑘
10. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (2,3 / 1,27) ÷ 60
= 1,81 ÷ 60
= 0,03 x 100%
= 3%

𝑛/𝑘
11. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (1,9 / 1,27) ÷ 60
= 1,49 ÷ 60
= 0,024 x 100%
= 2,4%

𝑛/𝑘
12. LPM = ( x 100% )
𝑁

= (2,6 / 1,27) ÷ 60
= 2,04 ÷ 60
= 0,034 x 100%
= 3,4%
”PENGUKURAN SUHU TANAH DAN SUHU UDARA”
III. METEDOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum “Pengukuran Suhu Tanah dan Suhu Udara“ ini dilaksanakan pada tanggal 02
April 2021. Pukul 07.30 - 08.30 WIB yang bertempat di Stasiun Agroklimatologi Fakultas
Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3.2. Alat da Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah termometer elektronik suhu tanah,
termometer elektronik suhu ruang, dan sangkar Stevenson.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat tulis dan lembar
pengamatan.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Suhu Tanah

1. Menyiapkan tanah berlubang lalu di dalmnya diberi pipa paralon dengan ujung
terbuat dari logam kuningan.
2. Menyiapkan dua termometer elektronik suhu tanah sebagai pembanding.
3. Mencatat suhu awal termometer elektronik sebelum dimasukkan ke dalam tanah.
4. Memasukkan termometer pada kedalaman ± 20-30 cm.
5. Tunggu selama 30 menit.
6. Setelah 30 menit, keluarkan termometer dari dalam tanah dan lihat suhu akhirnya,
kemudian catat.

3.3.2. Suhu Udara


1. Menyiapkan termometer elektronik suhu ruang.
2. Mencatat suhu awal termometer tersebut.
3. Meletakkan termometer elektronik suhu ruang ke dalam sangkar Stevenson
selama 30 menit.
4. Setelah 30 menit, ambil termometer elektronik suhu ruang dari sangkar Stevenson
dan mencatat suhu akhir yang didapat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pegamatan

Tabel 1.1. merupakan hasil dari pengukuran Suhu Tanah dan Suhu Udara dengan
menggunakan alat termometer elektronik suhu tanah dan termometer elektronik suhu
ruangan pada stasiun Agroklimatologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan
Naisonal “Veteran” Jawa Timur.

No. Rata – rata pada T awal °𝐶 T akhir °𝐶 T rata – rata °𝐶

1. Tanah 37 48 30,05 °𝐶

2. Udara 35 37 36 °𝐶

Tabel 1.1. Hasil Pengukuran

1. Rata – rata suhu tanah


Diketahui : Suhu awal = 37
Suhu akhir = 48

Jawab : T rata rata harian = (( 2 × TP) + Tsi ) / 4

= (( 2 × 37 ) + 48 ) / 4

= ( 74 + 48 ) / 4

= 122/4

= 30,05 °𝐶

2. Rata – rata suhu udara


Diketahui : Suhu awal = 35
Suhu akhir = 37
Jawab : T rata rata harian = (T maks – T min ) / 2
= ( 35 + 37 ) / 2
= 72 / 2
= 36 °𝐶

4.2. Pembahasan

Suhu tanah merupakan hasil dari keseluruhan radiasi yang merupakan kombinasi emisi panjang
gelombang dan aliran panas dalam tanah. Kelembaban tanah merupakan air yang terikat secara
adsorbtif pada permukaan butir-butir tanah. Suhu udara dipermukaan bumi adalah relative, tergantung
pada faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti misalnya lamanya penyinaran matahari (Bimo, dkk.
2015).

Suhu tanah adalah suatu sifat tanah yang sangat penting secara langsung mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan juga terhadap kelembaban, struktur, aktivitas mikrobial dan
enzimatik, sisa tanaman, dan ketersediaan hara-hara tanaman. Suhu tanah merupakan salah
satu faktor tumbuh tanaman yang penting sebagaimana halnya air, udara, dan unsur hara. Suhu
tanah berperan untuk menentukan reaksi kimia dan aktivitas mikrobia tanah yang dapat
merombak senyawa organik tertentu menjadi hara dan suhu tanah mempengaruhi
perkecambahan biji dan pertumbuhan kecambah (lutfiyana, 2017).

Suhu udara merupakan salah satu unsur yang sangat penting dari keadaan cuaca. Suhu
udara dalam suatu wilayah biasanya diukur dalam dua kondisi atau keadaan, suhu udara
minimum dan suhu udara maksimum. Suhu udara minimum adalah suatu keadaan di mana
suhu udara pada suatu wilayah berada pada titik terendah dalam interval waktu tertentu,
biasanya dalam interval satu hari. Sedangkan suhu udara maksimum adalah keadaan di mana
suhu udara di wilayah tertentu berada pada titik tertinggi pada hari yang bersangkutan (
Anwar, 2017 )

Tinggi rendahnya kelembaban udara di suatu tempat sangat bergantung pada beberapa
faktor yaitu suhu, tekanan udara, pergerakan angin, kuantitas, kualitas penyinaran, vegetasi,
dan ketersediaan air di suatu tempat ( air, tanah, perairan) ( Umar, 2010).
Pada praktikum kali ini alat yang digunakan yaitu termometer elektronik suhu tanah dan
termometer elektronik suhu ruang. Termometer suhu tanah sendiri merupakan termometer yang
khusus dirancang untuk mengukur suhu tanah. Termometer ini sangat berguna dalam perancangan
penanaman dan juga termometer ini digunakan oleh para ilmuwan iklim, ilmuwan tanah, dan petani.

Diketahui dalam tabel 1.1., bahwa suhu tanah awal (T Awal) adalah 37 °C dan suhu akhirnya (T
Akhir) menjadi 48°C. Dengan data tersebut dapat dicari suhu rata-rata harian (T°C) yaitu 30,05°C
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

T rata rata harian = (( 2 × TP) + Tsi ) / 4

Keterangan :

T Rata-Rata Harian : suhu rata-rata harian

T Awal / Tp : suhu awal termometer

T Akhir / Tsi : suhu akhir setelah dimasukkan kedalam tanah

Suhu tanah pada saat siang dan malam sangat berbeda, pada siang hari ketika permukaan tanah
dipanasi matahari, udara yang dekat dengan pemukaan tanah memperoleh suhu yang tinggi, sedangkan
pada malam hari suhu tanah semakin menurun (Rayadin, dkk. 2016).

Fluktasi suhu dalam tanah juga berpengaruh langsung terhadap aktivitas pertanian terutama proses
perakaran tanaman didalam tanah. Apabila suhu tanah naik akan berakibat berkurangnya kandungan
air dalam tanah sehingga unsur hara sulit diserap tanaman, sebaliknya jika suhu tanah rendah maka
akan semakin bertambahnya kandungan air dalam tanah, dimana sampai pada kondisi ekstrim terjadi
pengkristalan. Akibatnya aktivitas akar/respirasi semakin rendah mengakibatkan translokasi dalam
tubuh tanaman jadi lambat sehingga proses distribusi unsur hara jadi lambat.

Pada praktikum suhu udara menggunakan Thermo Hygometer, yang merupakan alat pengukur suhu
dan kelembapan baik diruangan terbuka maupun tertutup. Praktikum ini juga menggunakan sangkar
Stevenson. Sangkar Stevenson ini berfungsi sebagai pelindung terhadap hujan dan radiasi matahari
secara langsung.

Diketahui dalam tabel 1.1 bahwa suhu udara awal (T Awal) adalah 35°C dan suhu akhir (T Akhir)
adalh 37°C. Dengan diketahui suhu awal dan suhu akhir, maka akan didapat suhu rata-rata harian
(T°C) adalah 36°C. Rata-rata harian didapat dengan menggunakan rumus:

T rata rata harian = (T maks – T min ) / 2


Keterangan :

T. Rata-Rata Harian : suhu rata-rata harian

T Awal / T maks : suhu awal sebelum melakukan praktikum

T Akhir / T min : suhu akhir/suhu yang didapat setelah melakukan praktikum

Terjaadinya perbedaan suhu dikibatkan oleh adanya kelembaban udara yang berbeda pula. Suhu
udara sangat berpengaruh sekali di bidang pertanian dan biologi, sebab dengan adanya pengamatan
suhu udara maka kita dapat mengetahui jenis tanaman yang cocok untuk ditanam pada musim tersebut
sebab tidak semua tanaman yang dibudidayakan hidup diudara panas maupun diudara yang lembab.

Praktikum kali ini di dapatkan hasil rata-rata suhu harian tanah dan udara, rata-rata suhu
udara 36 oC,sedangkan rata-rata suhu tanah yaitu 30,05 oC pada suhu ini ada beberapa tanaman
yang tidak bisa berkembang dengan baik atau tanah terlalu kering namun ada juga tanaman
yang bisa lebih optimal untuk berkembang, hal ini di perjelas lagi melalui Temperatur tanah
mempengaruhi aktivitas biologi tanah sehingga agar aktivitas biologi tanah optimal maka suhu
harus di pertahankan di suhu tertentu. Tingkat aktivitas optimum yang mempengaruhi
perkembangan tumbuhan adalah di suhu 18ºC sampai 30ºC. Jika kurang dari 10ºC maka
menghambat perkembangan mikroorganisme tanah sehinga menghambat penyerapan zat hara
oleh akar tanaman.(Gunawan, 2015).

Suhu udara mempengaruhi kegiatan pertanian khususnya kegiatan pertanaman, tanaman dapat
tumbuh pada suhu yang optimal.Suhu yang baik bagi tumbuhan adalah antara 22°C sampai dengan 37
°C. Suhu mempengaruhi beberapa proses fisiologis penting seperti bukaan stomata, laju transpirasi,
laju penyerapan air dan nutrisi, fotosintesis, dan respirasi. Peningkatan suhu sampai titik optimum akan
diikuti oleh peningkatan proses tersebut. Setelah melewati titik optimum, proses tersebut mulai
dihambat baik secara fisik maupun kimia dan menurunnya aktifitas enzim.

Jenis tanaman yang dapat tumbuh sesuai dengan tabel 1.1 adalah tanaman musim panas. Contoh
tanamannya seperti kaktus, jengger ayam, padi, pohon pisang, jagung, dan lain sebagainya.

Pada kemungkinan lain di sebutkan bahwa kelapa sawit juga bisa tumbuh pada suhu rata-
tersebut, (Yan Suhatman, 2016), Pada suhu ini tanaman jamur juga mampu berkembang biak
dengan baik,(Pamungkas, 2020).
Pada suhu tersebut tidak cocok untuk tanaman buah-buahan dan sayur-sayuran. Karena dapat
menghambat proses perkecambahan, perlambatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan
absorbsi unsur hara dan air. Suhu optimum untuk tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan sekitar 7°C
sampai 15°C.
”PENGUKURAN KELEMBAPAN NISBI”
III. METEDOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum “Pengukuran Kelembapan Nisbi“ ini dilaksanakan pada tanggal 02 April 2021.
Pukul 07.30 - 09.10 WIB yang bertempat di Stasiun Agroklimatologi Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3.2. Alat da Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah hygrometer rambut/hygrometer


digital, termometer bola basalt tulis/termometer basah dan kering.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat tulis dan lembar
pengamatan.

3.3. Cara Kerja

1. Menyiapkan termometer dry and wet.


2. Mengisi tabung air di bawah thermometer wet dengan air secukupnya.
3. Membalut tabung air dengan sehelai kecil dari kain untuk menghubungkan air pada tabung
dengan thermometer wet.
4. Mencatat suhu awal pada thermometer dry and wet dan hygrometer digital.
5. Meletakkan thermometer dry and wet serta hygrometer digital ke dalam sangkar
Stevenson. Termometer diletakkan dalam keadaan tegak lurus agar air dalam tabung tidak
tumpah karena akan membuat thermometer tidak dapat mengukur suhu dengan baik.
6. Melakukan pembacaan yang dilakukan sesingkat mungkin dan mengusahakan pengaruh
panas badan pengamat sekecil mungkin.
7. Melakukan pembacaan thermometer dry and wet dilakukan sebanyak tiga kali selama 30
menit, yaitu setiap sepuluh menit sekali. Sedangkan, pembacaan higrometer digital
dilakukan sebanyak sekali selama 30 menit.
8. Mencari nilai persentase kelembaban nisbi dengan menggunakan tabel kelembaban relatif
berdasarkan suhu kering, dan selisih suhu kering dengan suhu basah. Kemudian
menghitung kelembaban rata-rata hariannya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pegamatan

Tabel 4.1. merupakan hasil dari pengukuran Kelembapan Nisbi dengan menggunakan
alat berupa thermometer dry and wet dan hygrometer digital yang dilakukan selama 30 menit
pada stasiun Agroklimatologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Naisonal
“Veteran” Jawa Timur.

No. Waktu Dry Wet D−W T°C


1. 10 menit 36° 33° 3° 80°
2. 10 menit 37° 30° 7° 59°
3. 10 menit 38° 30° 8° 54°

Tabel 4.1. Hasil Pengukuran

1. 10 Menit Pertama (RHp) = 80°


2. 10 Menit Kedua (RHsi) = 59°
3. 10 Menit Ketiga (RHsr) = 54°
RH rata-rata harian = (2 x RHp + RHsi + RHsr) /4
= ((2 x 80) + 59 + 54) /4
= ( 160 + 59 + 54 ) /4
= ( 273) / 4
= 68,25%

4.2. Pembahasan

Kelembaban merupakan suatu tingkat keadaan lingkungan udara basah yang disebabkan
oleh adanya uap air. Tingkat kejenuhan sangat dipengaruhi oleh temperatur. Jika tekanan uap
parsial sama dengan tekananuap air yang jenuh maka akan terjadi pemadatan. Secara
matematis kelembaban relative (RH) didefinisikan sebagai prosentase perbandingan antara
tekanan uap air parsial dengan tekanan uap air jenuh. Kelembaban dapat diartikan dalam
beberapa cara. Relative Humidity secara umum mampu mewakili pengertian kelembaban.
(Lagiyono, 2012).
Kelembaban mutlak adalah jumlah uap air dalam udara yang dinyatakan sebagai berat
persatuan udara. Semua uap air didalam udara itu berasal dari penguapan (Umar, 2010).

Faktor yang mempengaruhi kelembaban antara lain tajuk tanaman, sinar matahari, curah
hujan, suhu udara dan tanah, dan kandungan air. Dalam bidang pertanian kelembaban besar
peranannya antara lain: jika kelembaban tinggi maka jamur dan penyulut tumbuh-tumbuhan
akan menjadi subur yang dapat menyerang tanaman, serta akan mengakibatkan hasil sayuran
dan buah-buahan cepat membusuk. Pada umumnya kelembaban berlawanan dengan suhu,
kelembaban maksimum pada pagi hari dan minimum pada sore hari secara harian. Kadar air
dalam udara dapat mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan tumbuhan. Tempat
yang lembab menguntungkan bagi tumbuhan di mana tumbuhan dapat mendapatkan air lebih
mudah serta berkurangnya penguapan yang akan berdampak pada pembentukan sel yang
lebih cepat. Namun, kelembaban yang tinggi dapat membuat kepala putik dapat busuk.
Selain itu, aktivitas serangga penyerbuk juga berkurang saat kelembaban tinggi.

Pada praktikum kali ini menggunakan termometer dry and wet / termometer bola basah
dan bola kering. Termometer bola basah dan bola kering adalah dua termometer gelas air
raksa biasa yang dipasang tegak, dimana yang satu dibagian reservoarnya bibalut dengan
kain yang dapat menyerap air, seperti kain kaos atau kain perban yang dicelupan kedalam air
di gelas yang disimpan di bawah termometer, sebagai termometer bola basah dan yang satu
lagi tidak diapa-apakan sebagai termometer bola kering.

Diketahui pada tabel 4.1. dapat diketahui pada sepuluh menit pertama mendapatkan suhu
36°C untuk dry dan 33°C untuk wet dengan RH (kelembaban relatif) 80°C. Pada sepuluh
menit kedua didapatkan suhu 37°C untuk dry dan 30°C untuk wet dengan RH (kelembaban
relatif) 59°C. Sedangkan pada sepuluh menit ketiga didapatkan suhu 38°C untuk dry dan
30°C untuk wet dengan RH (kelembaban relatif) 54°C. Dan RH rata-rata harian yang didapat
adalah 68,25%. Kelembapan rata-rata relatif dapat diketahui melalui :

RH rata-rata harian = (2 RHp + RHsi + RHsr) /4

Keterangan :

RH rata-rata harian : kelembaban relatif rata-rata harian


RHp : kelembaban udara pada pengamatan 10 menit pertama

RHsi : kelembaban udara pada pengamatan 10 menit kedua

RHsr : kelembaban udara pada pengamatan 10 menit ketiga

Untuk mengetahui RHp, RHsi, RHsr dapat diketahui melalui tabel kelembaban relatif
(%) dari suhu bola kering dan bola basah yang diketahui pada saat pengamatan.

Kelembabapan relatif (RH) dapat mempengaruhi pertumbuhan daun, fotosintesis,


penyerbukan, terjadinya penyakit, dan hasil akhir yang ekonomi. Selain mempengaruhi
pertumbuhan daun, RH juga dapat mempengaruhi Fotosintesis proses transpirasi meningkat
menyebabkan penutupan sebagian atau penuh stomata dan meningkatkan ketahanan mesofil
menghalangi masuknya CO2. Dan tanaman yang cocok tumbuh pada lahan ini adalah
tanaman kelapa.

RH juga dapat mempengaruhi penyerbukan tanaman dimana kelembaban udara yang


cukup rendah menguntungkan untuk pemberian benih pada suatu lahan yang diatur dalam
pemberian pasokan air yang memadai. Misalnya, benih diatur dalam gandum tinggi 60%
dibandingkan dengan RH 80% ketika ketersediaan air dalam tanah tidak membatasi. Pada
serbuk sari RH yang tinggi mungkin tidak tersebar dari anther/serbuk sari (Winarno, 2019)
”PENGUKURAN CURAH HUJAN”
III. METEDOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum “Pengukuran Kelembapan Nisbi“ ini dilaksanakan pada tanggal 23 April 2021.
Pukul 15.00 - 16.20 WIB yang bertempat di Stasiun Agroklimatologi Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3.2. Alat da Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah Umbrometer tipe Observatorium,
Gelas Ukur, Selang Air.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah alat tulis dan lembar
pengamatan.

3.3. Cara Kerja

1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan (Umbrometer tipe Observatorium, Gelas
Ukur, Alat tulis, Lembar Pengamatan, Selang air)
2. Menyemprotkan air dari selang yang telah terhubung oleh saluran air ke atas Umbrometer
layaknya hujan (atau)
3. Membuat hujan buatan melalui selang air yang telah terhubung dengan saluran air ke atas
Umbrometer per- 10 menit dan dilakukan selama 3 kali
4. Mengambil sampel air didalam Umbrometer dengan gelas ukur
5. Mengambil sampel air didalam Umbrometer dengan gelas ukur
6. Menghitung volume air yang telah di ambil menggunakan gelas ukur
7. Mencatat dan menghitung jumlah volume air, curah hujan dan intensitas hujan pada lembar
kerja
8. Mencari nilai persentase kelembaban nisbi dengan menggunakan tabel kelembaban relatif
berdasarkan suhu kering, dan selisih suhu kering dengan suhu basah. Kemudian
menghitung kelembaban rata-rata hariannya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pegamatan

Tabel 4.1. merupakan hasil dari pengukuran Curah Hujan dengan menggunakan alat
berupa Umbrometer tipe Observatorium yang dilakukan selama 30 menit pada stasiun
Agroklimatologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Naisonal “Veteran” Jawa
Timur.

Pengukuran Vol Air (mm) Curah Hujan / 10 Intensitas Curah Hujan /


Menit 10 Menit
1 70 mm 0,73 0,073
2 68 mm 0,71 0,071
3 58 mm 0,61 0.061
Jumlah 196 mm 2,05 0,205
Rata-rata 65,3 mm 0,68 0,068

Tabel 4.1. Hasil Pengukuran

• Perhitungan Luas Lingkaran


Luas lingkaran penangkap hujan
= 𝜋 x 𝑟2
= 3,14 x (5,5)2
= 3,14 x 30,25
= 94,99

• Perhitungan Curah Hujan


V 70
a) CH1 = = = 0,73
L 94,99
V 68
b) CH2 = = = 0,71
L 94,99
V 58
c) CH3 = = = 0,61
L 94,99
• Perhitungan Intensitas Curah Hujan
CH1 0,73
a) I1 = = = 0,073
w 10
CH2 0,71
b) I2 = = = 0,071
w 10
CH3 0,61
c) I3 = = = 0,061
w 10

4.2. Pembahasan

Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses


hidrologi, karena jumlah kedalaman. Hujan adalah air yang jatuh ke permukaan bumi
sebagai akibat terjadinya kondensasi dari partikelpartikel air di langit (Endriyanto dan Ihsan,
2011). Hujan berasal dari kondensasi uap air yang jatuh kembali ke permukaan bumi
sehingga dalam analisis siklus hidrologi curah hujan selalu diperhitungkan (Juliansyah,
2015).

Alat penakar hujan yang biasa dipakai di Indonesia adalah tipe Observatorium atau
Ombrometer yang biasanya diletakkan ditempat terbuka dan tidak dipengaruhi pohon-pohon
dan gedung-gedung disekitarnya (Petonengean et al., 2016).

Ombrometer Observatorium atau penakar hujan adalah instrumen yang berbentuk


silindris yang digunakan untuk mendapatkan dan mengukur curah hujan pada satuan waktu
tertentu dan prinsip kerjanya yaitu mengukur tinggi hujan seolah-olah air hujan yang jatuh
ke tanah menumpuk ke atas merupakan kolom air dan air yang tertampung, volumenya
dibagi dengan luas corong penampung kemudian menghasilkan tinggi atau tebal dengan
satuan milimeter (Manullang et al., 2013).

Data curah hujan sangat penting dan dibutuhkan dalam bidang pertanian, diantaranya
dalam kegiatan manajemen pengelolaan air untuk tanaman. Karena jika data tidak akurat
maka dapat mengakibatkan terjadinya gagal panen. Data yang valid juga diperlukan karena
banyak kesalahan dalam menggunakan data untuk secara keseluruhan, termasuk penentuan
tipe iklim maupun keperluan usahatani daerah tersebut.
Pada praktikum Pengukuran Curah Hujan yang dilakukan di Stasiun Agroklimatologi
Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan “Veteran” Jawa Timur yang dilakukan sebanyak 3
kali pengambilan data selama 30 menit mendapatkan hasil sebagai berikut. Pada pengukuran
pertama dengan volume air 70 maka curah hujannya yaitu 0,73 dan intensitas curah hujannya
sebesar 0,073. Data yang kedua yaitu, volume air sebesar 68 kemudian curah hujanya 0,71 dan
intensitas curah hujannya 0,071. Data yang ke tiga yaitu volume air 58, curah hujannya sebesar
0,61 dan intensitas curah hujannya 0,061. Hasil akhir yang di dapat yaitu curah hujan 2,05 dengan
rata-rata 0,68. Sedangkan total dan intensitas curah hujannya 0,205 dengan rata-rata 0,068. Untuk
menghitung CH menggunakan rumus sebagai berikut:
V
CH1 =
L

Keterangan :

CH : Curah Hujan

V : Volume air (mm)

L : Luas lingkaran penangkap air

Lo : 𝜋 x 𝑟2

Data jumlah curah hujan (CH) rata-rata untuk suatu daerah tangkapan air (catchment area)
atau daerah aliran sungai (DAS) merupakan informasi yang sangat diperlukan oleh pakar bidang
hidrologi. Dalam bidang pertanian data CH sangat berguna, misalnya untuk pengaturan air irigasi,
mengetahui neraca air lahan, mengetahui besarnya aliran permukaan (run off). Besarnya CH di
suatu wilayah daerah diperlukan penakar CH dalam jumlah yang cukup untuk dapat mewakili.
Semakin banyak penakar dipasang di lapangan diharapkan dapat diketahui besarnya rata-rata CH
yang menunjukkan besarnya CH yang terjadi di daerah tersebut. Disamping itu juga diketahui
variasi CH disuatu titik pengamatan. Dan untuk menghitung intensitas curah hujan menggunakan
rumus sebagai berikut:

CH1
I1 =
w

Keterangan :
I : Intensitas Curah Hujan

CH : Curah Hujan

W : waktu yang didentukan (per 10 menit)

Selain intensitas curah hujan yang sangat tinggi berpengaruh signifikan terhadap
produktifitas pertanian, curah hujan yang sangat rendah juga dapat membawa dampak buruk di
sektor pertanian. Rendahnya curah hujan dapat mengakibatkan pengairan dilahan pertanian
menjadi sulit. Tanaman padi akan kehilangan unsur hara dan ada beberapa organisme yang dapat
bergembang biak dengan sangat baik ketika curah hujan rendah. Maka dari itu penting untuk
menentukan jadwal dan pola tanam di lahan kering. Sampai saat ini, petani masih menetapkan
jadwal dan pola tanam yang berpedoman pada kebiasaan yang turun menurun, seperti berdasarkan
bulan dan terjadinya hujan. Penetapan yang dilakukan seperti ini, mengakibatkan pola tanam
kurang optimal dan seringkali mendatangkan risiko gagal panen akibat salah prediksi. Untuk
menghindari kejadian-kejadian tersebut maka diperlukan informasi yang akurat tentang
karakteristik atau pola curah hujan pada suatu wilayah tertentu (Dwiratna dkk, 2013).
”PENGUKURAN EVAPORASI”
III. METEDOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum “Pengukuran Kelembapan Nisbi“ ini dilaksanakan pada tanggal 30 April 2021.
Pukul 15.00 - 16.00 WIB yang bertempat di Stasiun Agroklimatologi Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3.2. Alat da Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah Kancah (panci kelas A),
Mikrometer pancing (Hook Gauge), Penggaris, dan Alat tulis.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah air dan lembar pengamatan.

3.3. Cara Kerja

1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan yaitu Kancah (panci kelas A),
Mikrometer pancing (Hook Gauge), Penggaris, Air, Alat tulis, dan lembar prngamatan.
2. Mengisi air pada Kancah (panci kelas A) sampai penuh lalu mengukurnya menggunakan
hook gauge atau penggaris.
3. Mendiamkan air pada kancah selama 30 menit.
4. Mengukur kembali banyak air pada Kancah menggunakan hook gauge atau penggaris dan
mencatatnya.
5. Menghitung tingkat evaporasi dengan memasukkan data pengukuran awal dan
pengukuran akhir dengan rumus tidak ada hujan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pegamatan

Tabel 4.1. merupakan hasil dari pengukuran Evaporasi dengan menggunakan alat berupa
Kancah (panci kelas A) yang dilakukan selama 30 menit pada stasiun Agroklimatologi
Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Naisonal “Veteran” Jawa Timur.

𝑃0 (sebelum 30 menit) 𝑃1 (setelah 30 menit) 𝐸0 (jumlah air terevaporasi)


20 cm 10,5 cm 9,5 mm

Tabel 4.1. Hasil Pengukuran

→ Tidak ada hujan


𝐸0 = (𝑃0 - 𝑃1 )
= 20 - 10,5
= 9,5 mm

4.2. Pembahasan

Peristiwa evaporasi adalah penguapan air yang tersimpan di permukaan tanah, laut,
sungai, danau dan udara. Semakin tinggi intensitas radiasi matahari sebagaimana terjadi pada
musim kemarau maka kandungan air maupun uap air di permukaan bumi semakin habis.
Apabila suhu udara di permukaan laut meningkat, maka berakibat laju evaporasi meningkat
sehingga kandungan uap air di atmosfer menjadi semakin banyak dan peluang hujan semakin
banyak. Fenomena suhu dingin yang terjadi setiap musim kemarau berkaitan dengan
tingginya tingkat radiasi matahari dan berakibat tingginya proses evaporasi (Ariffin, 2019).

Proses evaporasi membutuhkan energi dari radiasi matahari di mana bahang laten dalam
jumlah banyak dipindahkan dari permukaan bumi ke atmosfer. Laju evaporasi bergantung
pada tiga faktor yaitu defisit tekanan uap air, suhu dan pergerakan udara. Evaporasi
meningkat jika tekanan uap air jenuh pada permukaan air menjadi lebih besar daripada
tekanan uap air aktual udara di atasnya atau defisit tekanan uap yang semakin besar. Dengan
demikian evaporasi lebih cepat terjadi pada udara kering dibandingkan udara lembab.
Gerakan angin dan turbulensi akan menggantikan udara dekat permukaan air dengan udara
yang lebih kering dan meningkatkan evaporasi.

Dari hasil praktikum Pengukuran Evaporasi yang dilaksanakan di Stasiun


Agroklimatologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan “Veteran” Jawa Timur pada
tanggal 30 April 2021 pukul 15.00-16.20 WIB menggunakan alat Kancah (panci kelas A)
dengan data 𝑃0 = 20 cm dan 𝑃1 = 10,5 cm menghasilkan hasil penguapan sebesar 9,5 mm.

Untuk mengetahui berapa mm air yang mengalami evaporasi pada praktikum ini
menggunakan rumus sebagai berikut:

𝑬𝟎 = (𝑷𝟎 - 𝑷𝟏 )

Keterangan :

𝑬𝟎 = Jumlah air yang dievaporasikan

𝑷𝟎 = Tinggi air awal

𝑷𝟏 = Tinggi air akhir (setelah terjadi proses evaporasi)

Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi terbagi menjadi dua yaitu faktor langsung
dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi terjadinya evaporasi adalah
(1) Suhu, dengan kenaikan suhu air dan tekanan uap air, kemampuan titik-titik air untuk
menguap ke udara mengalamai kenaikan dengan cepat; (2) Kelembaban udara, dipengaruhi
oleh jumlah usp sir diudara. Penguapan akan lebih besar jika kelembaban nisbi rendah; (3)
Angin, angin sangat mempercepat terjadinya penguapan, karena angin mengganti udara
basah dekat permukaan air dengan udara kering; (4) Susunan air, penguapan lebih tinggi
pada air tawar daripada air asin; (5) Luas permukaan, penguapan akan lebih besar pada
daerah yang memiliki permukaan yang luas; (6) Tekanan udara, pada umumnya jika
kelembaban udara lebih rendah di atas permukaan air, penguapan lebih besar; (7) Panas laten
penguapan. Dan untuk faktor tidak langsungnya adalah tata letak lintang, ketinggian sebuah
tempat, dan waktu (bervariasi dari mulai Januari sampai dengan Desember).

Tinggi rendahnya tingkat evaporasi berhubungan dengan besar kecilnya radiasi matahari
yang diterima bumi. Radiasi matahari mempengaruhi besar kecilnya suhu udara. Ketika suhu
udara relatif rendah, evaporasi pun relatif rendah (Febriyan dan Suyono, 2013). Dengan
demikian, tingkat radiasi matahari yang rendah diikuti oleh laju evaporasi yang rendah pula.
Laju evaporasi rendah dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan kerusakan tanaman
karena kelebihan air (Abdul, 2017).

Dampak evaporasi pada tumbuhan teratai putih adalah bila laju evaporasi tinggi, garam-
garam terlarut mungkin dapat merusak tanaman. Air yang melewati stomata lebih banyak
dibandingkan dengan air keluar melalui kutikula dan epidermis, karena kutikula mempunyai
sifat yang lebih permeabilitas terhadap air. Pergerakan air pada tumbuhan, khususnya pada
tanaman teratai putih berjalan secara osmosis dan difusi yang berupa pengisapan air dalam
tanah.

Jika tanah cukup mengandung air, laju trnaspirasi yang tinggi, dalam jangka waktu yang
pendek, tidak akan menimbulkan kerusakan yang berarti pada tumbuhan. Tetapi jika
kehilangan air berlangsung terus melalui absorpsi, pengaruh transpirasi yang merugikan akan
kelihatan dengan layunya daun, sebagai akibat hilangnya turgor. Tingkat kelayuan dan
kehilangan air yang diperlukan untuk menimbulkan gejala kelayuan dan kehilangan air yang
diperlukan untuk menimbulkan gejala kelayuan pada tumbuhan sangat beragam. Daunnya
yang tipis dan terdiri dari sel parenkim yang berdinding tipis akan layu dengan cepat.
”PENGUKURAN KECEPATAN ANGIN”
III. METEDOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum “Pengukuran Kecepatan Angin“ ini dilaksanakan pada tanggal 07 Mei 2021.
Pukul 15.00 - 16.20 WIB yang bertempat di Stasiun Agroklimatologi Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3.2. Alat da Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah Anemometer jenis mangkok /
Anemometer Digital dan Alat tulis.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah lembar pengamatan.

3.3. Cara Kerja

1. Menempatkan Anemometer pada tiang penyangga, alat ini terdiri dari tiga cawan yang
dihubungkan oleh lengan yang ditempelkan pada as (sumbu).
2. Tinggi tiang penyangganya adalah sekitar 2 meter dari permukaan tanah, atau 0,5 meter
di atas permukaan tanah, khusus untuk mengetahui kecepatan angin pada permukaan
panci kelas A.
3. Pengamatan dilakukan pada waktu yang seragam, hasil pembacaan periode pengamatan
kedua dikurangi dengan pembacaan awal. Selisih dari hasil pengurangan adalah ukuran
jarak tempuh angin total selama periode pengamatan.
4. Pengamatan dilakukan pada jam 07.30; 13.30 dan 17.30 waktu setempat, dimana angka
pengamatan jam 3.30 dikurangi angka pengamatan jam 07.30 (6 jam) dinamakan
kecepatan angin pagi hari. Selanjutnya pengamatan jam 17.30 dikurangi dengan angka
pengamatan jam 13.30 (4 jam) dinamakan kecepatan angin sore hari. Untuk seterusnya
angka pengamatan jam 07.30 berikutnya dikurangi angka pengamatan 17.30 dinamakan
kecepatang angin malam hari.
5. Pengamatan rata-rata kecepatan angin harian adalah angka pengamatan jam 07.30 hari
berikutnya dikurangi angka pengamatan jam 07.30 hari sebelumnya dibagi 24 jam.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pegamatan

Tabel 4.1. merupakan hasil dari pengukuran Kecepatan Angin dengan menggunakan alat
berupa Anemometer jenis mangkok yang dilakukan selama 30 menit pada stasiun
Agroklimatologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Naisonal “Veteran” Jawa
Timur.

Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Jumlah Rata-Rata


1,8 𝑚⁄𝑠 0,1 𝑚⁄𝑠 0,2 𝑚⁄𝑠 2,1 𝑚⁄𝑠 0,7 𝒎⁄𝒔

Tabel 4.1. Hasil Pengukuran

→ Jumlah = 1,8 𝒎⁄𝒔 + 0,1 𝑚⁄𝑠 + 0,2 𝑚⁄𝑠


= 2,1 𝒎⁄𝒔
2,1 𝑚⁄𝑠
→ Rata-Rata =
3
= 0,7 𝒎⁄𝒔

4.2. Pembahasan

Angin merupakan gerakan atau perpindahan massa udara dari satu tempat ke tempat lain
secara horizontal. Dari data diatas pengukuran kecepatan angin yang dilakukan terdapat data
kecepatan angin 2,1 m/s dengan rata rata 0,7 m/s. Gerakan angin akan berubah karena angin
akan bergerakdari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah (Miftahuddin. 2016).

Angin terjadi dikarenakan oleh adanya perbedaan tekanan udara atau karena adanya
perbedaan suhu udara pada suatu daerah atau suatu wilayah tertentu. Hal ini juga berkaitan
dengan besar kecilnya energi panas yang diterima oleh permukaan bumi. Pada suatu wilayah
tertentu, daerah-daerah yang menerima energi panas matahari yang lebih besar maka akan
mempunyai suhu udara yang lebih panas serta tekanan udara yang cenderung lebih rendah.
Sebaliknya, daerah yang menerima energi panas matahari yang lebih kecil atau sedikit maka
akan mempunyai suhu udara yang relatif lebih dingin serta memiliki tenanan udara yang
cenderung lebih tinggi.

Angin berfungsi dalam mempercepat pendinginan dari benda yang panas. Fungsi lain yaitu
sebagai pencampur lapisan udara, antara udara panas dan udara dingin, udara lembab dan
udara kering, udara yang kaya dengan CO2 dan udara yang CO2 nya rendah. Kecepatan angin
sangat berpengaruh terhadap vegetasi tanaman dan daerah di sekitarnya. Kecepatan angin
yang besar dapat mengakibatkan pohon-pohon bergerak sehingga bunga-bunga akan rontok
dan tidak terjadi pembuahan, atau bahkan angin dapat merobohkan pohon-pohon serta rumah-
rumah dan yang paling parah angin dengan kecepatan yang kuat akan mengakibatkan
kehancuran. Untuk mengatasi kerusakan pertanian akibat angin biasanya petani menanam
tanaman pematah angin, seperti lamtoro, sengon, dan lain-lain.

Angin mempunyai arah yaitu arah dari mana angin bertiup biasanya dinyatakan dalam 16
titik kompas (U, UTL, TL, TTL dan sebagainya) untuk angin-angin permukaan, untuk angin
di atas dinyatakan derajat atau 1/10 derajat dari utara, searah jarum jam. Kecepatan angin
km/jam, mil/jam, m/det, knot, dimana 1km/jam = 0.621mil/jam = 0.278 knot, 1knot =
1.852km/jam = 1.151mil/jam = 0.514m/det (Jekson. 2020).

Dari hasil praktikum Pengukuran Kecepatan Angin yang dilaksanakan di Stasiun


Agroklimatologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan “Veteran” Jawa Timur pada
tanggal 07 Mei 2021 pukul 15.00-16.20 WIB menggunakan alat Anemometer jenis mangkok
dengan data Perlakuan 1 = 1,8 𝑚⁄𝑠, Perlakuan 2 = 0,1 𝑚⁄𝑠, Perlakuan 3 = 0,2 𝑚⁄𝑠
menghasilkan hasil rata-rata 0,7 𝒎⁄𝒔 .

Secara luas angin akan mempengaruhi unsur cuaca seperti suhu yang optimum dimana
tanaman tumbuh dan berproduksi dengan sebaik-baiknya, kelembaban udara yang
berpengaruh terhadap penguapan permukaan tanah dan penguapan permukaan daun, maupun
pergerakan awan, Membawa uap air sehingga udara panas menjadi sejuk dan juga
Membawa gas-gas yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Angin juga mempengaruhi peningkatan jumlah luka pada tanaman inang dan dapat pula
mempercepat pengeringan permukaan tanaman yang basah. Penyebaran penyakit yang sangat
cepat dimungkinkan karena adanya angin baik secara langsung atau tidak langsung melalui
vektor yang dapat terbawa angin dalam jarak jauh. Selain itu karena hembusan keras angin
atau karena saling bersinggungan antar tanaman atau melalui pasir yang diterbangkan juga
dapat menyebabkan permukaan tanaman terluka dan hal ini memungkinkan terjadinya infeksi.

Banyak jamur parasit yang penyebarannya terutama dilakukan oleh angin karena jamur
membentuk dan membebaskan spora ke udara dalam jumlah yang tidak terhitung, mempunyai
ukuran yang kecil dan ringan sekali sehingga mudah diangkut oleh angin dalam jarak jauh.
Angin hampir tidak bisa dikendalikan. Perlu adanya suatu pengelolaan lingkungan karena
adanya pengaruh angin yang sangat komplek ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu
menghindari adanya pengaruh yang tidak dikehendaki misalnya penanaman tanaman sejenis
agar tidak terjadi penyerbukan silang. Angin selain sebagai unsur cuaca juga sangat
berpengaruh terhadap kondisi disekitar tanaman. Selain pengaruhnya banyak bermanfaat bagi
tanaman, potensi kerugian tanaman yang disebabkan adanya angin juga besar.
1

I. PENDAHULUAN

erlangsung secara berturut-turut.


Handoko (1994) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk tanaman padi
adalah 150 mm per bulan sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70mm/bulan,
dengan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75% maka untuk
mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan diperlukan curah hujan
sebesar 220 mm/bulan, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan air untuk tanaman
palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan, sehingga menurut
Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan
bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan
bulanan lebih kecil dari 100 mm.
Pada klasifikasi Oldeman, penggolongan tipe iklim untuk setiap zone (Tabel 3) dan
interpretasi iklimnya (Tabel 4) digunakan sebagai pedoman untuk menentukan tipe
iklim dan interpretasinya

Tabel 3. Penggolongan Tipe Iklim Untuk Setiap Zone


ZONA TIPE IKLIM BULAN BASAH BULAN KERING
A A1 10-12 Bulan 0-1 Bulan
A2 2 Bulan
B B1 0-1 Bulan
B2 7-9 Bulan 2-3 Bulan
B3 4-5 Bulan
C C1 0-1 Bulan
C2 5-6 Bulan 2-3 Bulan
C3 4-6 Bulan
C4 7 Bulan
D D1 0-1 Bulan
D2 3-4 Bulan 2-3 Bulan
D3 4-6 Bulan
D4 7-9 Bulan
2

E E1 0-1 Bulan
E2 0-2 Bulan 2-3 Bulan
E3 4-6 Bulan
E4 7-9 Bulan
E5 10-12 Bulan
sumber : Dwiyono (2009)

Tabel 4. Interpretasi Iklim


TIPE IKLIM PENJABARAN
Sesuai untuk padi terus menerus tetapi
A1, A2
produksi kurang karena pada umumnya
kerapatan fluks radiasi surya rendah
sepanjang tahun.

B1 Sesuai untuk padi terus menerus dengan


perencanaan awal musim tanam yang
baik produksi tinggi bila panen musim
kemarau.

B2 Dapat tanam padi dua kali setahun


dengan varietas umur pendek dan
musim kering yang pendek cukup untuk
tanaman palawija.

C1
Tanam padi dapat sekali dan palawija
dua kali setahun.

C2, C3 Tanam padi dapat sekali dan palawija


dua kali setahun. Tetapi penanaman
palawija yang kedua harus berhati-hati
jangan jatuh pada bulan kering.
3

D1
Tanam padi umur pendek satu kali dan
biasanya produksi bisa tinggi karena
kerapatan fluks radiasi tinggi waktu
tanam palawija.

D2, D3, D4 Hanya mungkin satu kali padi atau satu


kali palawija setahun tergantung pada
adanya persediaan air irigasi.

E Daerah ini umumnya terlalu kering,


mungkin hanya dapat satu kali palawija,
itupun tergantung adanya hujan.
4

III. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum “Penentuan Klasifikasi Iklim Di Indonesia” dilaksanakan pada


hari Jumat, 21 Mei 2021. Pukul 15.00 WIB yang bertempat di Rumah masing-
masing menggunakan Google meet.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu Alat tulis dan Kalkulator.

3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah data curah hujan selama 10 tahun terakhir
dari suatu stasiun klimatologi pertanian.

3.3. Cara Kerja


1. Menyiapkan alat dan data curah hujan minimal 5 tahun.
2. Menentukan bulan basah (BB) dan bulan kering (BK).
3. Menjumlahkan masing-masing BK dan BB untuk seluruh data pengamatan.
4. Menghitung rata-rata bulan basah dan bulan keringnya.
5. Menghitung nilai Q dengan memasukkan harga rata-rata BK dan harga rata-
rata BB ke dalam rumus Q.
6. Melihat keberadaan nilai Q yang diperoleh pada tabel atau segitiga Schmidt-
Ferguson dibawah ini.
7. Menyatakan tipe hujan atau tipe iklim di daerah yang bersangkutan.
Tabel Schmidt-Ferguson
5

NILAI Q (%) TIPE IKLIM SIFAT

0≤Q<14,3 A Sangat basah

14,3≤Q<33,3 B Basah

33,3≤Q<60 C Agak basah

60≤Q<100 D Sedang

100≤Q<167 E Agak kering

167≤Q<300 F Kering

300≤Q<700 G Sangat kering

700≤Q< H Luar biasa kering


6

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


Tabel 4.1. Data curah hujan (mm) Kota Banyuwangi Tahun 2011-
2020

Bulan/Ta 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
hun

Januari 181,6 340,1 527,5 216,6 150,1 116,1 244 474,3 236,4 136,3

Februari 103,3 134,1 100,2 227,3 202,7 238,5 224,8 276 81,9 257

Maret 139,6 94,7 193,1 28,3 225,9 66,9 121,1 161,9 210,8 217,1

April 144,3 53,3 228,8 127 84,3 48,7 83,7 28,9 239,5 40,7

Mei 107,1 87,1 97,3 19,4 87,1 100 150,9 5,9 26,1 232,4

Juni 24,8 15,3 122,8 16,9 58,8 172,7 173,2 33,1 15,5 77,9

Juli 41,8 35,8 156 136,1 0 81,9 118,4 68,5 0 81,7

Agustus 8 10,7 37,3 24,3 14,9 145,1 48,2 69,4 6,8 48

Septembe 4 11,5 6,9 0 0,8 22,8 9,3 9 29,7 93,9


r
7

Oktober 40,8 6,3 0,8 36,5 0 76,7 113,2 0,7 0 242

Novembe 104,3 79,6 237,6 91,5 0 121,7 192,5 239,2 2,8 28,6
r

Desember 195,5 156,4 160,3 172,8 148,2 255,7 276,6 97,6 11,8 148,9

Rata-rata 91,26 85,41 155,72 91,39 81,07 120,57 146,33 122,04 71,78 133,71

Jumlah 7 3 8 5 4 7 9 4 3 6
BB

Jumlah 5 9 4 7 8 5 3 8 9 6
BK

4.1.1 Perhitungan Rata-rata Bulan Kering (BK) dan Bulan Basah (BB)

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐵𝐾 56
● Rata-rata BK = = 10 = 5,6
...𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐵𝐵 64
● Rata-rata BB = = 10 = 6,4
...𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛

Tabel 4.2 Hasil perhitungan Bulan Kering (BK) dan Bulan Basah (BB)
menurut Schmidt-Ferguson

Bulan Kering Bulan Basah Q


8

5,6 6,4 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐵𝐾


𝑄= × 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐵𝐵

5,6
𝑄= × 100%
6,4

𝑄 = 0,875 × 100%

𝑄 = 87,5%

4.2. Pembahasan

Iklim adalah kondisi cuaca di wilayah tertentu dalam periode waktu yang
lama. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan pola hujan, pergeseran
musim, kenaikan suhu, dan kenaikan muka air laut. Salah satu dampak perubahan
iklim di sektor pertanian yaitu kegagalan panen akibat kejadian iklim ekstrim
semakin sering terjadi dan semakin meluas. Ilmu yang mempelajari tentang iklim
disebut klimatologi.
Menurut (Susilokarti, dkk, 2015) Wilayah Indonesia sangat dipengaruhi
oleh kondisi iklim monsun yang mempunyai perbedaan yang jelas antara musim
basah dan musim kering Variabilitas iklim dan adanya fenomena iklim ekstrim
yang sering terjadi akhir akhir ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Perubahan iklim ditandai adanya perubahan pola curah hujan yang menyebabkan
terjadinya pergeseran awal musim tanam sehingga sulit membuat perencanaan
budidaya tanaman. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian prilaku iklim melalui
analisis deret waktu curah hujan. Di Indonesia faktor utama untuk mengidentifikasi
perubahan iklim adalah suhu dan curah hujan, yang diukur dari pola dan
intensitasnya (Aldrian, dkk, 2011).
Teori perhitungan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Schmidt-
Ferguson dan Oldeman. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data curah
hujan selama 5 tahun terakhir atau hasil rata-rata yang akan ditentukan bobot basah
dan bobot keringnya. Hasil yang diperoleh dari perhitungan akan menentukan tipe
iklim masing-masing sesuai dengan data yang tersedia. Dari data tersebut dapat
9

diketahui kesesuaian daerah tanaman untuk meningkatkan pertumbuhan pada


tanaman pertanian maupun perkebunan.
Sistem klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson banyak digunakan dalam bidang
kehutanan dan perkebunan serta sudah sangat dikenal di Indonesia. Kriteria yang
digunakan adalah dengan penentuan nilai Q, yaitu perbandingan antara bulan kering
(BK) dan bulan basah (BB) dikalikan 100%. Klasifikasi ini merupakan modifikasi
atau perbaikan dari sistem klasifikasi Mohr yang mana Mohr menentukan
berdasarkan nilai rata-rata curah hujan bulanan selama periode pengamatan. BB dan
BK pada klasifikasi Schmidt-Ferguson ditentukan tahun demi tahun selama periode
pengamatan yang kemudian dijumlahkan dan dihitung rata-ratanya (Lasiana, 2011)
Dari hasil tabel 4.1 diketahui bahwa pada tahun 2012 Banyuwangi cenderung
mengalami siklus bulan kering dimana pada tahun tersebut terdapat 9 kali
mengalami bulan kering, sedangkan pada tahun 2017 Banyuwangi cenderung
mengalami siklus sebaliknya yaitu dengan 9 kali mengalami bulan basah. Dari tabel
4.1.1 pula diperoleh rata – rata Bulan Kering (BK) sebesar 5,6 dan Bulan Basah
(BB) sebesar 6,4.

Berdasarkan tabel Schmidt-Ferguson, dari data tersebut menunjukkan


bahwa Banyuwangi memiliki tipe iklim D yang bersifat sedang dengan nilai curah
hujan (Q) sebesar 87,5% .
Perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan pola hujan, pergeseran
musim, kenaikan suhu, dan kenaikan muka air laut. Salah satu dampak perubahan
iklim di sektor pertanian yaitu kegagalan panen akibat kejadian iklim ekstrim
semakin sering terjadi dan meluas (Boer, et al. 2015).

Dengan curah hujan yang cenderung mengalami 5 – 6 Bulan Basah secara


berturut – turut, daerah Banyuwangi termasuk tipe iklim C menurut Oldeman.
Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada jumlah
kebutuhan air oleh tanaman. (Fadholi & Supriatin, 2016).

Pada tipe iklim C ini terdapat sub tipe dengan tipe C1 dengan tanaman yang
cocok yaitu Padi, sekali dan palawija dua kali dalam satu tahun. Dan sub tipe C2,
C3, C4 dengan tanaman yang cocok yaitu padi sekali dan palawija dua kali setahun.
Namun tanam palawija kedua harus hati-hati karena jatuh di musim kering
10

Anda mungkin juga menyukai