Anda di halaman 1dari 33

METODE PENGEMBANGAN

WILAYAH PESISIR
Dosen : Dr. Ir. R. Didin Kusdian, MT.

TUGAS II

H. Endang Somad, S.T


NIM. 2212171021

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SANGGA BUANA (USB)
BANDUNG
2018

1
12 Langkah Mencerdaskan Kota

Smart city atau kota cerdas adalah sebuah kota


yang mengeksploitasi teknologi idan inovasi
untuk menciptakan penggunaan sumber daya
yang eflsien dan memgurangi jejak dari
penggunaan ekologika. Ide tentang kota cerdas
ini adaiah sebuah ide yang menetap. Istilah kota
cerdas memiiki dasar kata dari teknologi, tetapi
istilah ini juga menjadi suatu pertanyaan atas
inovasi kota. Pelayanan seperti apa yang harus
ditawarkan kepada masyarakat untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat?.
Teknologi hanya menjadi satu aspek. Kota
dengan penggunaan teknologi yang maju belum
tentu adalah kota cerdas. Banyak perencana kota
yang telah memahami bahwa kota adalah tentang
manusianya dan bukan tentang teknologi. Tidak
dapat dijelaskan sampai kapan kata "Kota
Cerdas" dapat bertahan dengan keadaan seperti
ini. Mungkin istilah kota cerdas nantinya akan
berubah menjadi "Kota Masa Depan" atau "Kota
Inovatif", tetapi pada dasarnya, hal tersebut tidak
berbeda.
Buku ini akan menjelaskan faktor-faktor
penting sebagai upaya menuju suatu kota cerdas.
Faktor-faktor penting tersebut dikelompokan
menjadi sepuluh bagian, yang dapat dijadikan
sebagai tahapan-tahapan pertimbangan dalam
mengembangan suatu kota berkualitas. Pada tiap
tahapan ataupun langkah tersebut dapat terdiri
dari beberapa lapisan kembali yang menjadi
penting untuk dipertimbangkan sehingga secara
keseluruhan, sepuluh langkah ini pula dari sisi
perencana kota sekaligus dapat memberikan
koreksi pula kepada proses umum perencanaan
suatu kota dilakukan, dan bagaimana
perubahannya menuju kota berkualitas,
berkelanjutan, bagi semua.
Setiap langkah dari sepuluh langkah menuju
kota cerdas diberi label untuk mengingat fokus
dari masing-masing tahapan yang mesti
dipertimbangkan. Kesepuluh langkah menuju
kota cerdas tersebut memiliki fokus sebagai
berikut: Fokus 01 kepada penetapan tujuan;
Fokus 02 kepada pemahaman terhadap proses;
Fokus 03 kepada pemahaman akan kebutuhan;
Fokus 04 kepada pemahaman ruang rencana;
Fokus 05 kepada pemahaman akan kepentingan;
Fokus 06 kepada pemahaman terhadap system
saluran komunikasi; Fokus 07 kepada
pemahaman terhadap jejaring substansi rencana;
Fokus 08 kepada pemahaman terhadap system logistik; Fokus 09 kepada
pemahaman terhadap konsep pembangunan berkelanjutan; Fokus 10 kepada
pemahaman terhadap kapasitas pemangku kepentingan.
Menciptakan lingkungan untuk berbagi informasi, kolaborasi, kapabilitas produk
atau sistem tanpa batasan akses atau implementasi, serta pengalaman di suatu kota

Masyarakat yang terhubung dengan dukungan infrastruktur


komunikasi yang luas dalam memenuhi kebutuhan
pemerintahan, kewarganegaraan, dan bisnis.

Kemampuan
Kemajuan
untuk
kesadaran
Kemajuan mendukunguntuk
kesadaran pembelajaran,
menggunakan
untuk pengembangan
menggunakanTIKTIK
untuk
untuk mentransformasi
mentransformasi
teknologi, sertakehidupan
inovasi didan
suatu
kehidupan cara
dankota
bekerja
cara bekerja
Keluasan aksesibilitas, yakni metode komputasi terjadi Intelegent Digital
Ubiquitos
City
di mana-mana pada masing-masing elemen di suatu kota City City
Warga kota mendapatkan layanan di mana pun dan kapan pun
melalui perangkat tertentu

Sebelum menetapkan tujuan merencana, terdapat dua hal yang menjadi


pertimbangan penentuan tujuan dalam konteks yang lebih luas. Lapisan pertama,
ialah adanya tantangan bagi perencana kota untuk menyatukan tiga kutub hasil
pembangunan, yaitu terciptanya kehidupan yang nyaman dengan
mempertimbangkan keterbatasan lingkungan, terciptanya bisnis berkelanjutan,
serta memastikan terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera. Pada lapisan
berikutnya, ialah tantangan perencana untuk menanggapi secara lebih strategis
dinamika pembangunan pada tataran global yang setidaknya dihadapkan kepada
empat hal besar, yaitu: volatility, uncertainty, complexity, serta ambiguity.

A. GOALS / TUJUAN

Langkah pertama fokus kepada penetapan tujuan, dalam penetapan tujuan ini
meliputi tiga pisan. Lapisan pertama berkaitan dengan penciptaan suasana yang
kondusif antara tiga kepentingan utama, mulai dari bisnis berkelanjutan, hidup
dengan mempertimbangkan keterbatasan lingkungan, serta memastikan
terciptanya masyarakat yang adil. Lapisan kedua berkaitan dengan pertimbangan
dinamika pembangunan global, berupa volatility, icertainty complexity, dan
ambiguity. Lapisan ketiga berkaitan dengan kerangka perumusan tujuannya itu
sendiri, mulai dari pertimbangan tujuan, sumber daya, kerangka tindakan,
struktur, serta masyarakatnya itu sendiri.
Tujuan; arah; haluan (jurusan); Menjelaskan kejelasan dari rencana yang akan
disusun (Ritchie Dunham & Rabbino,2001) Tujuan yang dibahas adalah tujuan
yang berkenaan dengan perencanaan yang dapat dikatakan adalah tujuan dari
perencanaan itu sendiri. Menurut W. H. Newman, perencanaan adalah suatu
pengambilan keputusan pendahuluan mengenai apa yang harus dikerjakan dan
merupakan langkah-langkah sebelum kegiatan dilaksanakan. Menurut Dr. S.P.
Siagian M.P.A., perencanaan dapat :finisikan sebagai keseluruhan proses
pemikiran dan penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di masa
yang akan datang dalam rangka pencapaian yang telah ditentukan. perencanaan
sendiri, menurut Albert Silalahi (1987: 167), adalah :
1. Perencanaan adalah jalan atau cara untuk mengantisipasi dan merekam
perubahan (a way to anticipate and offset change).
2. Perencanaan memberikan pengarahan {direction) kepada administrator
-administrator ataupun nonadministrator.
3. Perencanaan juga dapat menhindari atau setidak-tidaknya memperkecil
tumpang-rindih dan pemborosan (wasteful) pelaksanaan aktivitas
-aktivitas.
4. Perencanaan menetapkan tujuan-tujuan dan standar-standar yang akan
di gunakan untuk memudahkan pengawasan.
Tiga Tahapan Menetapkan Tujuan
Sebelum menetapkan tujuan, terdapat lapisan yang diperhatikan dalam
menetukan arah yang pasri karena lapisan-lapisan tersebut membentuk suatu
tahapan yang harus dicapai dengan dimensi dan perspektif yang berbeda. Tahapan
mi dimulai dari lapisan terdalam yang mana lebih mengarah kepada kegiatan atau
dimensi internal, lalu merambat keluar yang dalam hal ini dimensi perencanaan
lebih mengarah atau dipengaruhi dimensi eksternal.
a. lapisan pertama : How to Embrace
Adalah bagaimana mengakomodasi dan mengaitkan riga dimensi
pembangunan di dalam naan di bawah tujuan yang sama.
b. Lapisan Kedua : Manajemen
Adalah bagaimana mempertimbangkan dinamika pembangunan global
di dalam perumusan tujuan rencana.
c. lapisan ketiga; kerangka
Adalah berupa kerangka dari susunan tujuan itu sendiri dan bagaimana
menciptakan tujuan itu.
Tujuan perencanaan terbagi menjadi dua tujuan secara nasional atau
global, serta tujuan secara lokal, hal ini terlepas dari kaitannya secara spesial
tetapi juga dalam non spesial.

Setiap perencanaan dan penataan ruang memiliki suatu tujuan yang ingin
dicapai Tujuan ini sendiri dapat dikatakan sebagai latar belakang dari adanya
perencanaan dan penataan ltu sendiri. Bagaimanapun, pelaksanaan penataan ruang
sebagai bentuk perencanaan sebuah upaya pencapaian tujuan pembangunan
melalui penyelenggaraan perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang, serta
pengendalian pemanfaatan ruang (UU 26 tahun 2007). Tujuan nasional atau dapat
dikatakan tujuan global sendiri meliputi tujuan yang lebih yang mendasari mjuan-
tujuan lokal dan mempengaruhi aspek atau cakupan yang luas, seperti negara
penganut, ruang lingkup perencanaan, aspek yang direncanaka sebagainya. Pada
contohnya, semakin besar cakupannya, tujuan yang ingin dicapai pun tentu
menjadi semakin besar, semakin visioner, dan juga semakin komprehensif dalam
perencanaan serta implementasinya.

B. PROSES
Langkah kedua berkaitan dengan dua lapisan yang menunjukkan dua sisi
mata uang dari suatu proses perencanaan. Perencanaan adalah proses pengambilan
pendahuluan keputuusan mengenai apa yang harus dikerjakan untuk mencapai
suatu tujuan. Apa yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan tersebut
memerlukan suam fokus. Yang dimaksud dalam fokus tersebut adalah upaya
memfokuskan proses dalam perencanaan itu sendiri. Berdasarkan permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh seorang perencana, tentu dibutuhkan suatu
fokus agar rencana yang dibuat dapat tepat sasaran atau sesuai dengan tujuan
penyelesaian masalah dan bukan menimbulkan masalah. Memang benar bahwa
dalam membuat suatu rencana dibutuhkan pandangan yang komprehensif dan
rencana output yang dapat menyelesaikan beberapa persoalan dalam satu rencana,
tetapi perlunya fokus dalam suatu pembuatan rencana adalah agar seridaknya
pemberlakuan rencana dapat menangani suatu masalah dengan penanganan yang
tepat, yakni penanganan sesuai dengan karakteristik dan batasan dari masalah itu
sendiri.
Lapisan pertama berkaitan dengan konsep ruang, yaitu sisi spasial dan
aspasial. Lapisan kedua berkaitan dengan sisi proses perencanaan itu sendiri, yaitu
proses perencanaan secara teknis dan proses perencanaan secara politis (Chapin,
etal, 1979). Langkah kedua, berkaitan dengan proses dapat dilihat dari kedua sisi
selayaknya proses perencanaan dimana terdapat perspektif yangberagam dan
dengan pemahaman yang berbeda dari suatu proses perencanaan itu sendiri.
Sebagaimana halnya tersebut, dapat disimpulkan pandangan tersebut kepada sudut
pandang dan proses perencanaan.
a. Tiga Proses Menjalankan Tujuan
Langkah kedua berkaitan dengan dua lapisan yang menunjukkan dua sisi
mata uang dad suatu proses perencanaan. Lapisan pertama berkaitan
dengan konsep ruang, yaitu sisi spasial dan aspasial. Lapisan kedua
berkaitan dengan sisi proses perencanaan itu sendiri, yaitu proses
perencanaan secara teknis, dan proses perencanaan secara politik
(Chapin, et.al, 1979).

b. Lapisan Pertama: Perspective


Pandangan dalam melaksanakan suatu perencanaan terdapat perspektif
atau sudut pandang berbeda dikaji dari sisi spasial atau keruangan, dan
sisi nonspasial atau nonkeruangan.
c. Lapisan Kedua Process
Proses dan kegiatan yang terjadi di dalam perencanaan. Mengait dua hal
penring; proses teknis yang menyangkut penyusunan dan realisasi
rencana; serta proses politik yang dibawah ini proses pengajuan rencana
hingga direalisasikan.
Dalam perencanaan, terdapat dua jenis proses yang dapat dilihat sebagai
fokus perencanaan, yakni proses teknis dalam perencanaan dan proses politis
dalam perencanaan itu sendiri.
Perencanaan seperti yang sudah diketahui bersama, keseluruhan proses
pernikiran penentuan secara matang daripada hal-hal yang akan dikerjakan di
masa yang akan datang dalam rangka pencapaian yang telah ditentukan (Siagian,
1994). Perencanaan adalah pemilihan yang menghubungkan fakta-fakta, membuat
serta menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan masa datang dengan
menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan tertentu yang diyakini
diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu. (Terty, 1997). Jika Anda
rangkum, terdapat beberapa hal yang menjadi Tujuan; yakni pencapaian Masa
Depan; yakni masalah tujuan tersebut Pertimbangan; yakni aspek-aspek pengaruh,
dan Fakta atau Data; Perencanaan, berkat adanya pertimbangan berupa aspek-
aspek yang sebelumnya disebutkan di atas, menjadi suatu proses kegiatan yang
memiliki banyak cabang berdasarkan tujuan atau dapat disebutkan fokus
perencanaan. Fokus perencanaan ini adalah suatu scope atau lingkup perencanaan
yang diciptakan demi menanggulangi permasalahan yang membutuhkan suatu
pencapaian tujuan; sesuai dengan permasalahan yang akan diatasinya.
C. Stakeholder

Stakeholder merupakan orang dengan suatu kepentingan atau pada


permasalahan, stakeholder iru sering diidendfikasi dengan dasar tertentu
sebagaimana dikemukakan Freeman "1984" yakni di segi kekuatan dan
kepentingan relatif stakeholder terhadap issu, Oleh sebab itu, maka secara kota
dan perencanaannya, J&A(L dapat diarrikan sebagai seorang individu, kelompok,
atau sekumpi kelompok yang membentuk komunitas dan memegang kepentingan
di dalam urusan perkotaan, baik secara kontribusi, kuasa, maupun lainnya.
Langkah ketiga fokus kepada pemahaman atas kebutuhan sehingga langkah
ini setidaknya meliputi lima lapisan, pertama berkaitan dengan kesahihan data,
lapisan kedua berkaitan dengan upaya untuk memberikan layanan prima di era
modern, lapisan ketiga berkaitan dengan kerangka tata kelola pemerintahan dalam
memberikan layanan, layanan keempat berkaitan dengan kerangka kebutuhan
untuk melakukan kolaborasi antar pemangku kepentingan ataupun antarkota, dan
lapisan terakhir berkaitan dengan layanan di era modern serta fasilitas pendukung
serta kesiapan suatu kota supaya dapat memberikan solusi kebutuhan warganya.
Langkah ketiga fokus kepada pemahaman atas kebutuhan sehingga langkah
ini seridaknya meliputi lima lapisan, pertama berkaitan dengan kesahihan data,
lapisan kedua berkaitan dengan upaya untuk memberikan layanan prima di era
modern, lapisan ketiga berkaitan dengan kerangka tata kelola pemerintahan dalam
memberikan layanan, lapisan keempat berkaitan dengan kerangka kebutuhan
untuk melakukan kolaborasi an tar pemangku kepentingan ataupun antarkota,
lapisan terakhir berkaitan dengan layanan di era modern serta fasilitas pendukung
serta kesiapan suatu kota supaya dapat memberikan solusi kebutuhan warganya.
Lapisan pertama : data credibility lapisan
Kedua : how to serve lapisan
Ketiga : stakeholder typology lapisan
Keempat : colaboration lapisan
Kelima : readiness

D. Teknologi

Langkah keempat ini memiliki fokus kepada konteks ruang rencana. Dalam
hal ini, langkah keempat ini terdiri dari dua lapisan.
Teknologi adalah apa-apa saja yang berada di masyarakat madani, apa-apa
saja yang dijadikan manusia teman, dan apa saja yang menjadi pengantar
manusia- dan masyarakat dalam hidup. Teknologi dapat berupa apa saja, dapat
berupa IT, perangkat-perangkat keras (sekop, sendok, garpu pun teknologi)
bahkan, kota pun dapat dibilang sebagai teknologi (Stephen Graham & Simon
Marvin, 1996). Kota, sebagai teknologi, atau setidaknya yang dipenuhi teknologi,
adalah kota yang sebagaimana adanya, tempat manusia melakukan kegiatan, anya
dengan batas yang menghilang dan mengabur, teknologi bagi adalah bagaimana
suatu batas fisik menghilang di antaranya. ini akan membahas secara mendetail
mengenai salah satu inti dari nsep kota cerdas, yakni penggunaan ICT
(Information & Communication chnology) sebagai tools atau pembantu tentang
komunikasi dan hal membangunan yang terjadi di dalam perkotaan. Teknologi
sendiri, dalam ehadirannya sebagai tools bagi kota cerdas memiliki dampak-
dampak efek yang dihasilkan akibat perubahan paradigma dalam penggunaan
teknologi itu sendiri, begitu juga dengan perspektif-perspektif baru a adiran
teknologi itu sendiri.
Lapisan pertama berkaitan dengan harapan akan kehadiran teknologi bagi
peningkatan peradaban suatu wilayah dan kota. Lapisan kedua berkaitan dengan
kesiapan ekosistem suatu wilayah dan kota yang akan bergeser dan perlu
disiapkan sebagai konsekuensi dari kehadiran dari suatu teknologi, khususnya
pengembangan dari teknologi informasi dan komunikasi bagi kehidupan sehari-
hari warganya. Kedua lapisan dari langkah keempat ini dikembangkan dari buku
Telecommunication and the City (Graham dan Marvin, 1996)
Keterlibatan teknologi di dalam perencanaan dan penyelenggaraan kegiatan
kota pada dewasa ini bukanlah hal yang asing, terlebih teknologi sudah sukar
untuk dipisahkan dari kegiatan masyatakat yang berpusat di kota itu sendiri.
Adapun teknologi itu sendiri dalam adaptasinya memiliki dampak-dampak yang
ditimbulkan yang meruba perspektif dad perencanaan dan penyelenggaraan kota
itu sendiri. Terdapat berbagai macam pengaruh yang dapat diidentifikasi dari
terkontaminasinya kotaf dengan kehadiran teknologi. Teknologi yang
mengaburkan batas-batas manusia secara langsung menjadi suatu keterkaitan
antara manusia dan kota, kota dan kegiatan, dan kegiatan dengan teknologi.
Pengaruh ini dapat secara langsung memberikan dampak kepada kota,
pembangunannya, pengembangannya, dan hal lainnya (Stephen Graham and
Simon Marvin, 1996) Teknologi membawa perbedaan yang signifikan terhadap
perencanaan kota itu sendiri. Saat ini bahkan terdapat suatu konsep kota tematik
yang mengedepankan penggun teknologi seperti smart city yang kali ini dibahas.
Adapun perbedaan-perbedaan yang jadi adalah adanya dampak yang diberi dari
teknologi itu sendiri kepada kota dan pernggunannya, serta dari segi perspektif
perencana. Perspektif baru inilah yang menjadikan adanya pandangan baru
mengenai konsep kota cerdas.

E. Concern / Perhatian

Langkah kelima ini fokus kepada pemahaman akan kepentingan. Dalam


memahami kepentingan, lapisan pertama yang harus diperhatikan ialah membatasi
perhatian terhadap pilihan strategis ketika awal merencana, apakah akan lebih
fokus kepada lingkup, penyederhanaan kompleksitas persoalan, penguraian
konflik, memahami ketidakpastian, ataukah mendorong kemajuan (Friend dan
Hickling, 2005). Perhatian berbeda dari simpati, empati dan komunikasi walaupun
ketiganya berhubungan erat dalam pemusatan tenaga seseorang. Menurut Dakir
( 1993 : 114 ) "Perhatian adalah keaktifan peningkatan kesadaran seluruh fungsi
jiwa yang dikerahkan dalam pemusatannya kepada barang sesuatu baik yang ada
di dalam maupun yang ada di luar individu sedangkan pendapat senada
dikemukakan oleh Slameto (1995 : 105)
Bagian ini akan membahas lebih mendalam mengenai aspek-aspek atau
fokus yang perencana butuh perhatian lebih dalam mengenai merencanakan kota
dan konsep kota cerdas. Perhatian atau fokus dalam merencana berbeda dari segi
kota, dan segi masyarakatnya. Pada segi kota, pembahasan akan lebih mendalam
mengenai fisik kota, dan bagaimana pemerintah {government) mengelola kota.
Pada segi masyarakat, perhatian ditujukan kepada hal-hal yang lebih fokus bagi
masyarakat dan kebutuhan masyarakat dalam kaitannya dengan berkegiatan di
kota itu sendiri. Aspek masyarakat sendiri lebih melihat kebutuhan masyarakat
dalam kota dengan kaitannya untuk mewujudkan kota yang berkelanjutan.
Lapisan kedua, berkaitan dengan bagaimana supaya kota yang kita rencana
menjadi lebih baik bagi semua, melalui pertimbangan akan pasar, lokasi,
rancangan, pembiayaan, dan kewirausahaan (Garvin, 2002). Langkah kelima ini
fokus kepada pemahaman akan kepentingan. Dalam memahami kepentingan,
lapisan pertama yang harus diperhatikan ialah membatasi perhatian terhadap
pilihan strategis ketika awal merencana, apakah akan lebih fokus kepada lingkup,
penyederhanaan kompleksitas persoalan, penguraian konflik, memahami
ketidakpastian, ataukah mendorong kemajuan (Friend dan Hickling, 2005).
Lapisan kedua, berkaitan dengan bagaimana supaya kota yang kita rencana
menjadi lebih baik bagi semua, melalui pertimbangan akan pasar, lokasi,
rancangan, pembiayaan, dan kewirausahaan (Garvin, 2002).
a. Lapisan Pertama: Lingkup
Perencana harus dapat mengatasi dan membatasi lingkup dari pilihan-pilihan
yang akan diambil terkait dengan kepentingan dan perhadan-perhatian yang
ada. Membatasi lingkup ini penting agar perhatian yang dicondongkan
nantinya dapat terfokus dan ddak terbelah sehingga dapat berjalan dengan
baik.
b. Lapisan Kedua: Faktor
Selain merencanakan sebuah kota untuk mencapai suatu tujuan, terdapat
juga kepentingan-kepentingan atau faktor yang memengaruhi perkembangan
dan embangunan kota itu sendiri. Faktor tersebut kemudian menjadi aspek
penting di dalam perencanaan dan pembangunan kota.
Perencanaan perlu memperhatikan aspek-aspek yang dinilai penting dan
terlibat di dalam perencanaan itu sendiri. Adapun aspek-aspek yang perlu
diperhatikan secara luas dalam perencanaan adalah objek perencanaan; kota, dan
subjek yang direncanakan; masyarakat.

Setiap perencanaan kota memiliki tujuan khusus yang ingin dicapai oleh
perencananya sesuai dengan apa yang dijelaskan pada bagian awal. Perencanaan
berangkat dan tujuan yang menjadi acuan dalam hasil akhir perencanaan yang
ingin dicapai. Walaupun begitu, pada dasarnya terdapat dua hal yang harus
diperhatikan, yang mana menjadi inti permasalahan dari perencanaan itu sendiri,
yakni melingkupi apa saja perencanaan itu, dan bagaimana agar perencanaan itu
berhasil. Adapun kepentingan yang diatur dalam perkotaan terkait dengan
kepentingan masyaral kegiatan atau aktivitas di dalamnya, dan kota itu sendiri.
Pada dasarnya kepentingan in bertujuan menjadikan suatu kota yang direncanakan
menjadi kota yang berkelanjutai karena pada dasarnya isu-isu besar perkotaan
yang harus dan penting diperhatikan dalam perencanaan kota adalah mengenai air,
energi, kesehatan masyarakat, lingkungan, dan keanekaragamannya. (Rydin,
2005).

F. Awareness/ Kesadaran

Bagian ini akan membahas secara mendetail tentang tools atau alat penting
yang dapat diadapsi untuk digunakan sebagai upaya menurtitt kesadaran kepada
masyarakat, sebagai harapannya untuk dapat menumbuhkan rasa partisipasi juga
dari masyarakat. Bagian ini juga akan menjelaskan mengenai bentuk Kota
Komunikatif, sebagai bentuk tematik kota yang menjunjung penyelarasan dan
aksesibilitas informasi di dalam kota, serta penggunaan media sosial sebagai
sarana penyebaran informasi, yang marak digunakan dalam upaya mencerdaskan
kota atau adaptasi smart city.
Langkah keenam fokus kepada pemahaman akan sistem saluran komunikasi
guna mendorong para pemangku kepentingan terlibat aktif dalam pembangunan
dan pengembangan kota. Pada dasarnya, komponennya terdiri dari mendorong
keterikatan masyarakat terhadap rencana kota, pengembangan jaringan interaksi
antarwarga, upaya mengakomodasikan kelompok terpinggirkan, mendorong
terciptanya peluang ekonomi warga, pertimbangan keberadaan dan partisipasi
organisasi-organisasi kemasyarakat, serta pertimbangan sisi budaya dan sejarah
(Jeffres, 2010).
Kesadaran & Komunikasi
Langkah keenam fokus kepada pemahaman akan sistem saluran komunikasi
guna mendorong para pemangku kepentingan terlibat aktif dalam pembangunan
dan pengembangan kota. Pada dasarnya komponennya terdiri dari mendorong
keterikatan yarakat terhadap rencana kota, pengembangan jejaring interaksi antar
warga, upaya gakomodasikan kelompok terpinggirkan, mendorong terciptanya
peluang ekonomi , pertimbangan keberadaan dan partisipasi organisasi-organisasi
kemasyarakat, serta pertimbangan sisi budaya dan sejarah (Jeffres, 2010). Untuk
meningkatkan kesadaran dan partisipasi adalah untuk meningkatkan komunikasi
yang terjadi. Sebuah kota yang cerdas berawal dari penggunaan elemen-elemen
komunikasi yang tepat di dalam pembangunan serta pengembangannya.
Perencanaan mengenal sifat partisipasi dimana partisipasi adalah hal yang
cukup penting. dalam pengupayaan kota cerdas. Adapun Kota Cerdas sendiri
menganut sistem partisipasi masyarakat dimana hal ini dicapai dengan adanya
syarat-syarat dari pardsipasi itu sendiri, dan pengetahuan masyarakat mengenai
partisipasi itu sendiri.

Partisipasi berasal dari bahasa serapan Inggris, yakni kata "participation"


yang dapat diartikan sebagai kegiatan ikut serta dalam sebuah pekerjaan. Dalam
pembangunan dan perencanaan sendiri, partisipasi memiliki arti yang mendalam
terkait kegiatan pembangunan. Menurut Simatupang (dalam Yuwono, 2001:124),
terdapat beberapa definisi mengenai partisipasi seperti berikut:
 • Partisipasi berarti apa yang kita jalankan adalah bagian dari us ah a
bersama yang dijalankan bahu-membahu dengan saudara kita unruk
membangun masa depan bersama.
 • Partisipasi tidak hanya berarti menagambil bagian dalam pelaksanaan,
perencanaan bangunan. Partisipasi berarti memberikan sumbangan agar
dalam pengertian kita mengenai pembangunan kita nilai-nilai kemanusiaan
dan cita-cita mengenai keadilan sosial tetap dijunjung tinggi.
 Partisipasi dalam pembangunan berarti mendorong ke arah pembangunan
yang serasi dengan martabat manusia. Keadilan sosial dan keadilan
Nasional dan yang memelihara lam sebagai lingkungan hidup manusia
juga untuk generasi yang akan datang.

G. Komunikasi
Saluran komunikasi pada dasarnya menggambarkan tentang media
penyampaian informasi, yang dilakukan saat pemberi informasi memberikan
informasi kepada penerima informasi. Adapun hal ini terbagi ke dalam tiga tipe
saluran komunikasi, yakni saluran komunikasi formal, saluran komunikasi
informal, dan saluran komunikasi tidakresr Sebuah saluran komunikasi memiliki
kapasitas sendiri dalam menerima informasi dan kapasitas itu sendiri menyangkut
dengan informasi serta media penyampaian. Adapun pada perencanaan, saluran
komunikasi lebih menjelaskan mengenai media penyampaian informasi dari
perencana kepada penerima informasi, yakni masyarakat.
Langkah ketujuh ini fokus kepada pemahaman akan pentingnya jaringan
substansi rencana. Lapisan pertama fokus kepada terciptanya jaringan utama
kepedulian warga akan rencana, meliputi sisi keterbukaan, kesukarelaan,
kejelasan, kesederhanaan, kinerja, kemudahan hubungan, serta perbaikan mandiri
(Andersson, Curley & Piero, 2010). Adapun lapisan kedua, lebih menekankan
kepada sisi kota sebagai suatu kawasan terbangun di dalamnya perlu kolaborasi
antaraktor termasuk antarlingkungan alami dan binaan, meliputi sisi produk,
interior, struktur, lansekap, kota, wilayah, dan bumi itu sendiri (McClure dan
Bartuska, ed., 2007).
Lapisan Jaringan Dan Komunikasi
Langkah ketujuh ini fokus kepada pemahaman akan pentingnya jejaring
substansi rencana. Lapisan pertama fokus kepada terciptanya jaringan utamanya
kepedulian warga akan rencana, meliputi sisi keterbukaan, kesukarelaan,
kejelasan, kesederhanaan, kinerja, kemudahan hubungan, serta perbaikan mandiri
(Andersson, Curley & Piero, 2010). Adapun lapisan kedua, lebih menekankan
kepada sisi kota sebagai suatu kawasan terbangun yang di dalamnya periu
kolaborasi antaraktor termasuk antarlingkungan alami dan binaan, meliputi sisi
produk, interior, struktur, lansekap, kota, wilayah, dan bumi itu sendiri (McClure
dan Bartuska, ed., 2007).
a. Lapisan Pertama Kanal Komunikasi
Kanal komunikasi adalah saluran-saluran tempat masyarakat dapat
terhubung dengan perencanaan dan pembangunan dari perkotaan, baik
secara langsung maupun menggunakan perantara. Adapun kanal ini
bertindak sebagai media. Pesan-pesan yang ingin disampaikan pemangku
kepentingan kepada masyarakat atau sebaliknya dapat berjalan dengan
baik untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam pembangunan.
b. Lapisan Kedua Lingkungan
Kanal komunikasi sendiri bukan hanya terjalin dari satu pemangku
kepentingan dengan kepentingan lainnya, melainkan juga merupakan
bagaimana masyarakat dan perencana di dalam suatu sistem yang lebih
luas.
COLLABORATION
Suatu perbuatan kerja saraa antara satu pihak dan pihak lainnya dalam
tujuan penciptaan sesuatu.
NETWORK
Suatu kolaborasi yang tercipta dari pemanfaatan network-network yang ada
akan memunculM suam tujuan bersama.

Terdapat beberapa macam kolaborasi yang terbentuk dari jaringan-jaringan


yang ada bentuk kolaborasi, dan jaringan beragam dari batasan dan ketentuan,
juga tujuan dari diadakannya kolaborasi tersebut. saat ini, untuk mengembangkan
pembangunan kota dan untuk mencerdaskan suatu kota terdapat bentuk jaringan
dan pemanfaatan berupa kolaborasi yang menggunakan teknologi sebagai suatu
media pengembangan komunikasi.
H. Sistem logistik

Langkah kedelapan ini merupakan langkah yang menaruh perhatian kepada


pemahaman terhadap sistem logistik. Dasar pemikirannya ialah bahwa para
perencana sering merencanakan wilayah dan kota lebih kepada sisi sediaan bagi
suatu kota dalam bentuk struktur dan pola ruang, kemudian dikembangkan
menjadi tata guna lahan. Sementara itu, sistem logistik menggambarkan
bagaimana suatu kebutuhan akan barang ataupun jasa dari sisi individu maupun
pemsahaan yang merupakan elemen dari suatu kota, memberikan warna penting
bagi suatu kota. Oleh sebab itu, menjadi penting memasukkan sistem logistik ke
dalam konsep perencanaan suatu kota yang cerdas karena memerhatikan
kebutuhan warganya.

I. Green Development
Bangunan hijau (juga dikenal sebagai konstruksi hijau atau bangun
berkelanjutan) mengarah pada struktur dan pemakaian proses yan bertanggung
jawab terhadap lingkungan dan hemat sumber day sepanjang siklus hidup
bangunan tersebut, mulai dari pernilihan temp sampai desain, konstruksi, operasi,
perawatan, renovasi, dan peruntuhan. Menurut Brunddand Report dari PBB, 1987,
pembangunan berkelanju adalah terjemahan dari bahasa Inggris, sustainable
development. Salah sa faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan
berkelanjur adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanp
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Bagian ini
akan menjelaskan lebih mendalam mengenai pembanguna berkelanjutan yang
menjadi dasar pembangunan yang menjunjung kota cerdas. Bagian ini juga akan
menjelaskan mengenai basis aspek yang mendasari pembangunan berbasis hijau
atau berkelanjutan.

Langkah kesembilan ini terdiri dari dua lapisan. Lapisan pertama lebih
menekankan kepada bagaimana seluruh komponen kota, termasuk warga kota
secara satu kesatuan harus bersiap terhadap tantangan kehidupan perkotaan di
abad ke-21 (dikembangkan dari konsep sembilan prinsip pembangunan kota di
abad ke-21 menurut John Lund Kriken). Lapisan kedua lebih menekankan kepada
bagaimana suatu kota ekonominya dapat bertumbuh, tapi dengan dampak negatif
minimal terhadap lingkungannya dengan mengadaptasi konsep pembangunan
berbasis ekonomi hijau.
Langkah kesembilan ini terdiri dari dua lapisan. Lapisan pertama lebih
menekankan kepada bagaimana seluruh komponen kota, termasuk warga kota
secara satu kesatuan harus bersiap terhadap tantangan kehidupan perkotaan di
abad ke-21 (dikembangkan dari konsep Sembilan prinsip pembangunan kota di
abad ke-21 menurut John Lund Kriken). Lapisan kedua lebih menekankan kepada
bagaimana suatu kota ekonominya dapat bertumbuh, tetapi dengan dampak
negatif minimal terhadap lingkungannya dengan mengadaptasi konsep
pembangunan berbasis ekonomi hijau.
a. Lapisan Pertama: Prinsip Pembangunan
Prinsip-prinsip pembangunan adalah sembilan prinsip yang
dikembangkan dari konsep pembangunan yang terjadi di abad ke-21, tang
dalam hal ini sembilan prinsip ini mengangkat tema pembangunan suatu
kota.
b. Lapisan Kedua: Green Economy
Sama seperti sebelumnya yakni berisi prinsip-prinsip pembangunan.
Hanya prinsip pembangunannya lebih menekankan kepada
pembangunan berbasis ekonomi dan •ingkungan, yang mana dapat
disingkat menjadi green economy.

J. Intelegent Urbanism
Bagian ini akan menjelaskan lebih mendalam mengenai sepuluh prinsip dari
Principles of Urbanism yang dicatut dari berbagai sumber mengenai sepuluh
prinsip tersebut, dan menjelaskannya secara lebih meluas dengan mengaitkan
konsep prinsip tersebut kepada kehidupan dan perencanaan kota cerdas yang
sebenarnya. Adapun prinsip prinsip ini pada dasarnya menjadi dasar penghubung
antara konsep-konsep pembangunan yang telah dijabarkan di bagian-bagian
sebelummya, terhadap perencanaan pembangunan kota cerdas atau Smart City.
Bagian ini juga akan menjadi bagian akhir dalam buku tentang mencerdaskan kota
dan sepuluh cara cerdas untuk Merencanakannya.
Langkah kesepuluh terdiri dari dua lapisan, lapisan pertama berkaitan
dengan perubahan kapasitas warga kota menuju arah yang berkualitas
(dikembangkan dari prinsip intelligenturbanism yang diusung oleh Christopher
Charles Benninger), sedangkan lapisan kedua berkaitan dengan bagaimana upaya
menciptakan kota sebagai suatu ekosistem yang tanggap terhadap warganya
sehingga baik dari sisi standar sediaan komponen ruang kota maupun peluang
beraktivitas bagi warganya menjadikannya kota berkualitas pada tataran global
(menganut kepada konsep how to make a great city yang diusung oleh Alexander
Garvin).

K. Infrastruktur, Warga dan Pemerintah


Kunci keberhasilan Smart City menurut Suhono adalah penerapan seluruh
komponen secara holistik. Namun demikian, komponen yang paling penting
untuk mengakselerasi penerapan Smart City tidak hanya terletak pada smart
infrastruktur, melainkan juga pada warga dan pemerintah kota. Infrastruktur,
warga, dan pemerintah kota merupakan enabler yang perlu ditonjolkan. Tidak
sedikit kota yang terjebak hanya mengembangkan teknologi/aplikasi namun
mengabaikan enabler. Contohnya sebuah kota yang sudah memiliki Command
Center , tapi tetap saja, kemacetan masih terjadi. Kurangnya edukasi terhadap
warga untuk mengubah perilaku keseharian, menjadikan kesiapan penggunaan
teknologi menjadi kurang maksimal. Beberapa kota yang sudah dan sedang
membangun Command Center, dikatakan Suhono lebih lanjut yaitu, Bandung,
Surabaya, Denpasar, Makasar, Jakarta, Sleman, Menado, Binjai, Pontianak, dan
Bogor, namun beberapa masih belum efektif untuk menyelesaikan persoalan kota.
Penerapan Smart City menuntut adanya sebuah forum komunikasi yang
disebut sejenis Dewan Smart City. Kebutuhan ini muncul karena dalam
mengintegrasikan semua komponen kota, seorang walikota tidak sepenuhnya
memiliki kewenangan mutlak. Integrasi dengan seluruh komponen kota, termasuk
masyarakat kota harus dilakukan untuk mencapai sinergi yang dapat
mengoptimalkan Smart City. Dewan Smart City berperan dalam beberapa hal
seperti koordinasi antar semua komponen kota (pemerintah, non-pemerintah,
masyarakat), menyusun rancang bangun Smart City, menyusun program kerja
Smart City, dan mengevaluasi pencapaian program-program tersebut. Dewan
Smart City tidak mengeksekusi proyek, namun mengkoordinasikan komponen
kota agar proyek tersebut rampung
Setelah mengoptimalkan seluruh komponen kota dan mengeksekusi proyek-
proyek yang dibuat, maka diperlukan suatu metode untuk mengukur pencapaian
Smart City. Setidaknya terdapat dua indikator utama yakni indikator kualitas
hidup dan indikator tingkat kematangan pengembangan Smart City. Indikator
kualitas hidup mengukur hasil akhir dari berbagai upaya yang diharapkan akan
meningkatkan kualitas hidup. Indikator tingkat kematangan pengembangan Smart
City mengukur sejauh mana tingkat kematangan kita secara efektif, efisien,
terintegrasi, berkelanjutan dan terukur untuk menghasilkan layanan kepada
warganya.
Komponen-komponen kota dapat dijadikan titik acuan dalam mengukur
pencapaian Smart City. Dari aspek sumber daya dan enabler, dapat ditelusuri
berapa banyak potensi sumber daya kota yang sudah dimanfaatkan dan apakah
enabler telah menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien. Dari aspek
pengembangan dan pengelolaan kita, dapat dievaluasi bagaimana pemerintah kota
mengelola semua potensi kota dan manajemen potensi tersebut untuk menciptakan
layanan yang berkualitas. Dari aspek layanan kota, dapat dilihat layanan apa saja
yang sudah diberikan pemerintah kota untuk meningkatkan kualitas hidup
warganya.

L. Tata kelola Sampah


1. Sampah Perkotaan
Telah diketahui bahwa limbah merupakan konsekuensi langsung dari
kehidupan. Sehingga dapat dikatakan limbah timbul sejak adanya aktivitas
manusia. Timbulnya bersamaan dengan aktivitas manusia, mulai dari usaha
penambangan/pengambilan sumber daya alam sebagai bahan baku, berlanjut
menjadi bahan yang siap untuk energi, bahan setengah jadi untuk suatu barang
dan aktivitas dalam mengkonsumsi barang-barang tersebut untuk mencapai
kesejahteraan hidupnya. Limbah-limbah tersebut dapat berwujud padat (solid
waste), cair (liquid waste) dan gas (gas waste).
sampah (limbah) dapat diartikan sebagai limbah padat yang dibuang dari
aktivitas manusia untuki mencapai sebuah kesejahteraan. Sampah merupakan
konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti
menghasilkan buangan atau sampah. Sampah adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang berwujud padat atau semi padat berupa zat organik dan atau
anorganik bersifat dapat terurai maupun tidak dapat terurai yang dianggap sudah
tidak berguna lagi dan dibuang ke lingkungan. Sumber limbah padat perkotaan
berasal dari permukiman, pasar, kawasan pertokoan dan perdagangan, kawasan
perkantoran dan prasarana umum, kawasan industri, peternakan hewan dan
fasilitas umum lainnya . Jenis sampah perkotaan terdiri atas 2 bagian yaitu,
sampah organik dan non organik. Sampah organik adalah sampah yang
mempunyai komposisi kimia mudah terurai oleh bakteri (biodegradable) misalnya
sisa makanan, sayur mayur, daun-daunan, kayu dan lainnya. Sedangkan sampah
non organik adalah sampah yang mempunyai komposisi kimia sulit untuk
diuraikan atau membutuhkan waktu yang lama (non biodegradable) misalnya
sampah plastik, kaleng, besi, kaca dan lainnya (Kodoatie, 2005: 217). Kategori
sumber penghasil sampah yang sering digunakan adalah (1) sampah domestik,
yaitu sampah yang berasal dari pemukiman; (2) sampah komersial yaitu sampah
yang berasal dari lingkungan perdagangan atau jasa komersial berupa toko, pasar,
rumah makan dan kantor; (3) sampah industri, yaitu sampah berasal dari sisa
produksi dan (4) sampah yang berasal dari selain yang telah disebutkan tadi,
misalnya sampah pepohonan, sapuan jalan dan bencana alam (Hadiwijoto, 1983:
77). Masalah sampah di kota-kota besar bukan lagi masalah baru dan masalah ini
menjadi masalah kota menengah dan kecil di negara sedang berkembang pada
umumnya dan negara Indonesia pada khususnya. Permasalahan sampah
merupakan hal yang krusial karena dampaknya terkena berbagai sisi kehidupan,
terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung,
Palembang, Makassar dan Medan (Sudradjat, 2008: 6).
2. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan
Kebijakan yang diterapkan di Indonesia dalam mengelola sampah kota
secara formal adalah seperti yang diarahkan oleh Departemen PU (Direktorat
Jenderal Cipta Karya) yang sekarang menjadi Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah (KIMPIRASWIL) sebagai departemen teknis yang membina
pengelola limbah padat perkotaan (persampahan). Sistem pengelolaan sampah
perkotaan pada dasarnya dilihat sebagai komponen-komponen sub sistem yang
saling mendukung satu dengan yang lain, yang saling berinteraksi untuk mencapai
tujuan yaitu kota yang bersih, sehat dan teratur. Komponen-komponen tersebut
adalah:
a. Sub sistem teknik operasional (sub sistem teknik
Sub sistem operasional memiliki komponen-komponen tersendiri atau sub-
sub sistem tersendiri yaitu ; pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan
akhir. Termasuk dalam operasional sarana dan prasarananya.
b. Sub sistem teknik kelembagaan (sub sistem institusi)
Sub sistem ini menitikberatkan pada aspek kelembagaan atau organisasi,
yaitu pihak-pihak yang berwenang dalam pengelolaan sampah atau
institusi yang mengatur, merencanakan, mengendalikan dan mengawasi
pengelolaan persampahan. Di Indonesia pihak institusi yang berwenang
secara umum adalah Dinas Kebersihan Kota.
c. Sub sistem pembiayaan (sub sistem finansial)
Sub sistem finansial memiliki tujuan untuk mengatur aspek pendanaan
/pembiayaan dalam pengelolaan persampahan, baik oleh Dinas Kebersihan
Kota (pemerintah), swasta maupun oleh masyarakat itu sendiri.
d. Sub sistem hukum dan pengaturan (sub sistem hukum)
Sub sistem ini mengacu pada bidang perundang-undangan, penegakan
hukum, penentuan kebijakan dan upaya-upaya lainnya yang menyangkut
aspek hukum dan pengaturan baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan
maupun pengawasan dalam pengelolaan persampahan.
e. Sub sistem peran serta masyarakat dan swasta
Sub sistem peran serta masyarakat dan swasta mencakup pada sistem
mekanisme pengawasan, pelaksanaan, pemanfaatan hingga pendanaan.
Bagi peran serta masyarakat lebih mengarah pada upaya peningkatan
kesadaran masyarakat dan aspek finansial dalam pengelolaan sampah
sedangkan pihak swasta terarah pada keterlibatan dalam pendanaan.
Karena sistem pengelolaan sampah perkotaan harus utuh dan tidak
terpotong rantai ekosistemnya maka diperlukan tindakan yang koordinatif,
sinkronisasi dan simplikasi. Sistem pengelolaannya dapat ditunjukkan
pada gambar berikut (Kodoatie, 2005: 217)
3. Pokok-pokok Permasalahan Pengelolaan Sampah
Berdasarkan konsep manajemen pengelolaan sampah perkotaan di atas,
secara umum persoalan yang muncul pada pengelolaan di Indonesia adalah:
a. Aspek Kelembagaan
Bentuk kelembagaan yang tidak sesuai dengan besarnya kewenangan yang
harus dikerjakan, sumber daya manusia sebagai salah satu unsur pengelola
kurang memadai dari jumlah maupun kualifikasinya.
b. Aspek Teknik Operasional
Keterbatasan dan kondisi sarana dan prasarana pengumpulan kontainer,
pengangkutan (arm roll truck), pengolahan di tempat pembuangan akhir
(buldozer, track dozer) yang tidak optimal serta terbatasnya lahan untuk
tempat pembuangan dan penanganan akhir.
c. Aspek Pembiayaan
Tidak seimbangnya antara besarnya biaya operasional-pemeliharaan (OP)
dengan besarnya biaya penerimaan retribusi sebagai konsekuensi logis
pelayanan akibat mekanisme penarikan retribusi yang kurang memadai.
d. Aspek Pengaturan dan Hukum
Tidak maksimalnya kebijakan pengaturan pengelolaan di daerah yang
mampu memberikan motivasi kesadaran peran serta masyarakat untuk ikut
secara utuh dalam pengelolaan baik menyangkut pembiayaan maupun
teknik operasional.
e. Aspek Peran Serta Masyarakat dan Swasta
Kesadaran masyarakat untuk ikut serta secara utuh dalam pengelolaan
kurang memadai disisi lain sampah akibat dari kegiatan dari masyarakat
itu sendiri. Pihak swasta sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan lain,
sehingga kebanyakan program pemerintah tidak berjalan maksimal
(Kodoatie, 2005: 219).
DAFTAR PUSTAKA

Ridwan Sutriadi (2017) 10 langkah mencerdaskan kota, Bandung : ITB

Kodoatie, Robert J. 2005. Pengantar Manajemen Infrastruktur. Pustaka Pelajar,.

Sudrajat, Hr. 2008. Mengelola Sampah Kota . Depok; Penebar Swadaya

Anda mungkin juga menyukai