Anda di halaman 1dari 6

NAMA : ROSITA

KELAS : B/2
NIM : 1176000143
MATKUL : ILMU FIQH

METODE ITJIHAD DALAM PENGEMBANGAN PRODUK


FIQH

A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad dalam bahasa Arab berasal dari kata jahada yang artinya bersunggung-sungguh
atau mencurahkan segala daya dalam berusaha (Othman Ishak, 1980:1). Menurut bahasa,
pengertian itjihad adalah “pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.
Secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan
dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci
baik dalam Al-Quran maupun Sunnah (Khallaf, 1978: 216).
Dalam hubungannya dalam hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-
sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada, yang dilakukan oleh orang (ahli
hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada
ketentuannya di dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah (Mohammad Daud Ali, 2011:116).
Hukum Islam diperoleh dari sumbernya yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, sekurang-
kurangnya dilakukan dengan dua cara. Pertama, diperoleh secara langsung berdasarkan hukum
yang terdapat pada ayat Al-Quran atau As-Sunnah. Cara ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran
atau As-Sunah yang sudah jelas menunjukkan suatu hukum tertentu secaara qat’iy. Kedua,
dilakukan dengan mengambil makna yang terkandung dalam suatu ayat Al-Quran atau As-
Sunah. Hal ini dilakukan terhadap ayat Al-Quran atau As-Sunnah yang bersifat dzanny dengan
jalan ijtihad. Ijtihad dilakukan oleh para ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, dengan
mengerahkan segenap kemampuan berfikir yang ditunjang oleh kekuatan dzikir dan doa, oleh
sebab itu ijtihad menjadi sumber hukum pelengkap bagi ummat Islam.

B.     Metode-metode Ijtihad


Metode-metode yang umum dipergunakan adalah ishtihsan, al-maslahah al-mursalah,
istishhab, dan ‘urf
1.      Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama
ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau
kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan
dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau
kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa
pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan
hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula
peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash
yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi
kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas
yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada
istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari
satu peristiwa.

2.      al-Maslahatul Mursalah


Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara'
dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya,
sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat
mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan
atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak
kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode
al-maslahah al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini membagi jenis mashlahah kepada dua
macam, yaitu:
A. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahah yang diakui syari'ah terdiri
dari tiga, macam yaitu:
(1) Dharuriyyah (bersifat mutlak), yaitu kemaslahatan yang menyangkut komponen
kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara [a] agama, [b]
diri (jiwa, raga dan kehormatannya), [c] akal pikiran, [d] harta benda, dan [d] nasab keturunan.
Kelima komponen tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau al-dharuriyyat al-khams,
yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan kebutuhan manusia).
(2) haajiyyah (kebutuhan pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan hal-hal
yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak
halangan-halangan. Dan apabila hal-hal tersebut tidak terwujud, maka tidak sampai menjadikan
aturan hidup manusia berantakan atau kacau, melainkan hanya membawa kesulitan-kesulitan
saja.
(3) Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata
krama dalam kehidupan.
Penempatan masalah ini sebagai suatu sumber hukum sekunder, menjadikan hukum
Islam itu luwes dan dapat diterapkan pada setiap kurun waktu di segala lingkungan sosial.
Namun perlu dicatat ruang lingkup penerapan hukum mashlahah ini adalah bidang mu'amalat,
dan tidak menjangkau bidang ibadat, karena ibadat itu adalah hak prerogatif Allah sendiri.
Sedangkan objek kajiannya adalah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya,
tetapi tidak ada satupun nash (Alquran dan Hadis) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini
disepakati oleh kebanyakan pengikut madzhab fikih, demikian pernyataan Imam al-Qarafi ath-
Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah yang menerangkan bahwa mashlahat mursalah itu
sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu'amalah dan semacamnya. Sedang
dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak
sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum
muslimin beribadat sesuai dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.
Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi'i dan sebagian besar
pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahat mursalah harus dengan syarat,
harus ada persesuaian dengan mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.
Para ulama fikih yang mendukung konsep ini mencatat tiga persyaratan dalam
penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia
memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau
kemelaratan).
2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil
masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang
ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').

B. Dilihat dari segi wilayah kebutuhan, maslahah yang diakui syari'ah terdiri atas dua
macam, yaitu:
[1] mashlahah 'ainiyah (kepentingan perorangan) dari setiap manusia, yang sifatnya
umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang
digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-kulliyyat al-khams. Hal-hal ini terkait
dengan taklif yang berbentuk fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta
benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk makan, pakaian dan tempat
tinggalnya) hal ini bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam tuntunan Rasulullah
saw. (thalab-u 'l-halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu kewajiban bekerja mencari rizki
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Seterusnya yang menyangkut mashlahah akal
pikiran, bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam hadits lain yang berbunyi
(thalb-u 'l-'ilmi faridhatun 'ala kulli muslim). Begitu seterusnya menyangkut tiap mashlahah
yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya dengan kewajiban perorangan
sebagai imbalan adanya pengakuan atas mashlahah dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak
mutlak perorangan bagi setiap manusia.
[2] mashlahah 'ammah yang menjadi kepentingan bersama masyarakat atau
kepentingan umum. Ini menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam Rafi'i menjelaskan, fardhu kifayah itu adalah urusan umum yang menyangkut
kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya urusan agama dan dunia dalam kehidupan
kita, di antaranya adalah:
[a] mencegah madarat kekacauan, seperti persengketaan dan peperangan, kekacauan dan
pertumpahan darah, serta kondisi anarkis, sehingga al-hajah ad-dharuriyyah kehidupan menjadi
terancam, bahkan hancur.
[b] merealisasikan kewajiban agama, baik untuk individu maupun kelompok sosial.
[c] mewujudkan keadilan yang sempurna
Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan
Alquran yang terkenal dengan jam'ul Alquran. Pengumpulan Alquran ini tidak disinggung
sedikitpun oleh syara', tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang
melarangnya. Setelah terjadi peperangan Yamamah banyak para penghafal Alquran yang mati
syahid (± 70 orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar pengumpulan
Alquran itu, bahkan menyangkut kepentingan agama (dhurari). Seandainya tidak dikumpulkan,
dikhawatirkan aI-Alquran akan hilang dari permukaan dunia nanti. Karena itu Khalifah Abu
Bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.
Demikian pula tidak disebut oleh syara' tentang keperluan mendirikan rumah penjara,
menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat jama'ah, menjadikan tempat melempar
jumrah menjadi dua tingkat, tempat sa'i dua tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata
untuk kemashlahatan agama, manusia dan harta.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara qiyas, istihsan dan
mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian, yang pertama tidak ada
nashnya, karena itu belum ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah
ditetapkan hukumnya. Pada istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang kedua. tetapi karena ada
sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua. Sedang pada mashlahat mursalah hanya ada
satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari
peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan
hukumnya. Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.

3.    Istishhab
'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut
istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa
atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain,
ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah
ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah
ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum
pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan
yang telah ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa istishhab
itu terbagai kepada dua macam;
i.        Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau ada yang mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab
merupakan salah satu produk hukum.
ii.      Menetapkan segala hukum yang ada pada masa sekarang, berdasarkan ketetapan hukum
pada masa yang lalu. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan hukum.

Contoh istishab:
1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah
dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B
ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah
terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun
mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya
perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab.
2. Menurut firman Allah SWT:
ِ ْ‫ق لَ ُك ْم َما فِي اأْل َر‬
... ‫ض َج ِميعًا‬ َ َ‫ه َُو الَّ ِذي َخل‬
"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu (manusia)." (al-Baqarah: 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya,
kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah
kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau
mengecualikannya.

4.    ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. ‘Uruf yaitu suatu tindakan dalam
menentukan suatu perkara berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Contohnya : dalam hal jual beli. sipembeli
menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab
Kabul, karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli. Oleh sebagian ulama
ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak
ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan
bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping
telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah
merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli.
Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima
barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada
salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru
ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat,
bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu,
seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan
secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu
peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas
dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah
terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat
sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang
lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga
merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat
melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf,
masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya
baik.

5. Qiyas
Yaitu dengan cara menyamakan atau membandingkan hukum sesuatu dengan hukum lain
yang sudah ada hukumnya dalam nash dikarenakan adanya persamaan sebab.
Contoh : setiap minuman yang memabukan hukumnya haram. Hal ini diqiyaskan dengan hukum
khamr (arak) atau yang sejenisnya yaitu haram. Para ulama fiqih dan para pengikut ulama empat
madzhab mendasarkan pendapatnya antara lain dalam al-Qur’an :

“Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai
wawasan”. (Q.S Al-Hasyr : 2)

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. (Cet. ke-12) Jakarta: Widjaya.


Ahmad Azhar Basyir, dkk. (Ed. Jalaludin Rakhmat), 1988. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung:
Mizan.

http://linafatinahberbagiilmu.blogspot.co.id/2014/05/metode-metode-ijtihad.html

http://rohisbaitularqom.blogspot.co.id/2014/04/metode-metode-ijtihad.html
http://www.akidahislam.com/2016/11/pengertian-fungsi-dan-macam-macam_20.html

Anda mungkin juga menyukai