Anda di halaman 1dari 45

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

LAPORAN KASUS INDIVIDU

GIZI BURUK PADA BAYI 12 BULAN DENGAN TB PARU

Oleh
Sri Rohmayana
H1A 013 061

Pembimbing Fakultas
dr. Lina Nurbaiti, M.Kes, FISPH, FISCM
dr. Wahyu Sulistya Affarah MPH

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
PUSKESMAS GUNUNGSARI KABUPATEN LOMBOK BARAT
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat


pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena
merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi. Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. 1
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau
nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum
terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk dapat terjadi pada semua kelompok umur,
tetapi yang perlu lebih diperhatikan pada kelompok bayi dan balita. Pada usia 0-2
tahun merupakan masa tumbuh kembang yang optimal (golden period) sehingga bila
terjadi gangguan pada masa ini tidak dapat dicukupi pada masa berikutnya dan akan
berpengaruh negatif pada kualitas generasi penerus. 2
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum
menggembirakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut antara lain
adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan sesuai dengan
kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga dalam meilih,
mengolah, dan membagi makanan di tingkat rumah tangga, ketersediaan air bersih
dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pelayanan
kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas.3
Status gizi balita dapat diukur dengan indeks berat badan per umur (BB/U),
tinggi badan per umur (TB/U) dan berat badan per tinggi badan (BB/TB).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016 didapatkan hasil persentase gizi
buruk sebesar 3,4% menurut indeks BB/U pada balita 0-59 bulan. Angka tersebut
tidak jauh berbeda dengan hasil tahun 2015, yaitu sebesar 3,9%. Sedangkan hasil
penimbangan status gizi pada balita 0-23 bulan menurut indeks BB/U tahun 2016
adalah 3,1% gizi buruk, hasil ini relatif sama dengan hasil tahun 2015 yaitu 3,2%.4

2
Menurut Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2016,
didapatkan prevalensi gizi buruk sebesar 3,0% menurut indeks BB/U.5 Jika
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu tahun 2014 dan 2015 prevalensi
gizi buruk tampak turun, yaitu tahun 2014 sebesar 4,83% menjadi 3,12% tahun 2015.
Akan tetapi prevalensi tersebut masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia,
khususnya di NTB. Pada daerah Kabupaten Lombok Barat, prevalensi gizi buruk
tahun 2016 sebesar 1,6% berdasarkan indeks BB/U 5, angka ini juga relatif menurun
bila dibandingkan dengan prevalensi tahun 2015 yaitu 3,31%6.
Pada wilayah kerja Puskesmas Narmada masih didapatkan anak di Bawah
Garis Merah (BGM). Pada tahun 2016 didapatkan kasus BGM sebanyak 14 (0,9%)
dari 92,6% yang ditimbang7 dan tahun 2017 sebanyak 18 (1,1%) dari 96,2% yang
ditimbang untuk anak 0-23 bulan8. Masalah gizi pada wilayah kerja Puskesmas
Narmada tampak masih menjadi masalah kesehatan terlihat dari semakin
meningkatnya insiden BGM di wilayah tersebut. Oleh karena itu, pada laporan kasus
ini akan dibahas tentang gizi buruk pada bayi usia 12 bulan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan
menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight
(Kemenkes RI, 2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi
tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan
(BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan
marasmus-kwashiorkor.1,4 Klasifikasi status gizi anak berdasarkan berat
derajatnyadijelaskan pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi
Indeks Simpangan Baku Status Gizi
≥ 2 SD Gizi Lebih
-2 SD sampai +2 SD Gizi Baik
BB / U
<-2 SD sampai -3SD Gizi Kurang
<-3 SD Gizi Buruk
-2 SD sampai +2 SD Normal
TB / U
< -2 SD Pendek
≥ 2 SD Gemuk
-2 SD sampai +2 SD Normal
BB / TB
< -2 SD sampai -3 SD Kurus
< -3 SD Sangat Kurus
2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gizi Buruk

a. Faktor Host

Anak sering tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang terutama


dalam segi protein dan karbohidratnya. Diet yang mengandung cukup energi
tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiokor,
sedangkan diet kurang energi walaupun zat gizi esensialnya seimbang akan
menyebabkan anak menjadi penderita marasmus. Pola makan yang salah
seperti pemberian makanan yang tidak sesuai dengan usia akan menimbulkan

4
masalah gizi pada anak. Contohnya anak usia tertentu sudah diberikan
makanan yang seharusnya belum dianjurkan untuk usianya, sebaliknya anak
telah melewati usia tertentu tetapi tetap diberikan makanan yang seharusnya
sudah tidak diberikan lagi pada usianya. Selain itu mitos atau kepercayaan di
masyarakat atau keluarga dalam pemberian makanan seperti berpantang
makanan tertentu akan memberikan andil terjadinya gizi buruk pada anak.4,5
b. Faktor Agent

Penyakit atau infeksi menjadi penyebab terbesar kedua setelah asupan


makanan yang tidak seimbang. Telah lama diketahui adanya hubungan yang
erat antara malnutrisi dan penyakit infeksi terutama di negara tertinggal
maupun di negara berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan
kebersihan diri (personal hygiene) masih kurang, dan adanya penyakit infeksi
kronik seperti Tuberkulosis dan cacingan pada anak-anak. Kaitan antara
infeksi dan kurang gizi sangat sukar diputuskan, karena keduanya saling
terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan
anak menjadi kurang gizi yang pada akhirnya memberikan dampak buruk
pada sistem pertahanan tubuh sehingga memudahkan terjadinya infeksi baru
pada anak.
c. Faktor Sosial Ekonomi

Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan masalah


sosial ekonomi, dan kemiskinan. Data di indonesia dan negara lain
menunjukan adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dengan
masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat terutama masalah
kemiskinan yang pada akhirnya mempengaruhi ketersedian makanan serta
keragaman makanan yang dikonsumsi. Banyak masyarakat yang masih
menganut sistem bahwa orang tua harus lebih mendapatkan porsi makanan
yang lebih banyak dan lebih bergizi daripada anak-anaknya karena mereka
harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya sedangkan anak-anak

5
hanya bermain dirumah sehingga tidak perlu mendapat asupan yang bergizi.
Selain itu adanya faktor-faktor lain seperti poligami, seorang suami dengan
banyak istri dan anak membuat pendapatan suami tersebut tidak dapat
mencukupi makan istri-istri dan anak-anaknya, serta tingginya tingkat
perceraian, dimana sebelumnya suami dan istri bersama-sama mencari nafkah
untuk menghidupi anak-anaknya, kini hanya tinggal istri yang menghidupi
anaknya sebagai orang tua tunggal (single parrent).4,5

2.4 Klasifikasi
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari
masing-masing tipe yang berbeda-beda.
a. Marasmus

Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup
karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti
mereka yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic
atau malformasi congenital. Gangguan berat setiap system tubuh dapat
mengakibatkan malnutrisi.6
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang
timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot
di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan
kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati
dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun
setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus
adalah : 4
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-
ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung

6
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
b. Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun
dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak
sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan
kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak
cukup bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu,
seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pda proteinuria
(nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein,
seperti pada penyakit hati kronik .6
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat
dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan
yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi
kronik, akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-
tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling
menonjol di dunia saat ini terutama berada di daerah industri belum bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis
atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup,
kurang stamuna, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan
terhadap infeksi, dan udem. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari
manifestasi yang paling serius dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia,
kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati membesar dapat
terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi
awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam
organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal,

7
laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil
pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini
sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi
tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat
terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering
jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam,
dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada warna rambut
(hipokromotrichia).6
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual,
muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi
kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental,
terutama iritabilitas dan apati sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat
menyertai.6
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut,
pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa
kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas
c. Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik


kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung
protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian
disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-

8
tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan
kelainan biokimiawi terlihat pula.4

2.5 Patofisiologi
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai
dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein
dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka
kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi
protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD
(-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut/”decompensated
malnutrition”). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila
stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan terjadilah
marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai
dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik/ compensated
malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan,
atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan
sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.11

Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara


penyakit marasmus dan kwashiorkor.Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita
demikian, di samping menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal,
memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan
kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP terdapat perubahan
nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral,
dan protein, terutama protein otot.12,13

Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam


amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi

9
hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering
menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan
mengalihakan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang semakin
memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran jaringan akan
semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis glukosa
dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori dalam diet
akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Hal ini akan
menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada awalnya,
kelaina ini merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup, jaringan tubuh
memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan, jika hal ini
tidak terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein
digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi. Tubuh akan mengandung lebih
banyak cairan sebagai akibat menghilangnya lemak dan otot sehingga tampak
edema.12,13

10
Bagan 2. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor

2.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai

11
edema yang tidak mencolok. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein
dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal.Pada penderita demikian disamping
menurunnya berat badan <60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor,
seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi
terlihat pula.

Penampilan muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seperti


orang tua. Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian besar
lemak dan otot-ototnya, iga gambang, bokong baggy pant, perut cekung, wajah bulat
sembab. Perubahan mental adalah anak mudah menangis, walapun setelah mendapat
makan karena anak masih merasa lapar.Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada
penderita marasmus yang berat.Kelainan pada kulit tubuh yaitu kulit biasanya kering,
dingin, dan mengendor disebabkankehilangan banyak lemak di bawah kulit serta otot-
ototnya. Kelainan pada rambut kepala walaupun tidak sering seperti pada penderita
kwashiorkor, adakalanya tampak rambut yang kering, tipis dan mudah rontok. Lemak
subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang.Otot-otot atrofis, hingga tulang-
tulang terlihat lebih jelas.Pada saluran pencernaan, penderita marasmus lebih sering
menderita diare atau konstipasi.Tidak jarang terdapat bradikardi, dan pada umumnya
tekanan darah penderita lebih rendah dibandingkan dengan anak sehat seumur.
Terdapat pula frekuensi pernafasan yang mengurang dan ditemukan kadar
hemoglobin yang agak rendah. Selain itu anak mudah terjangkit infeksi yang
umumnya kronis berulang akibat defisiensi imunologik.7

Gejala klinis kwashiorkor yaitu penampilannya seperti anak yang gemuk


(sugar baby) bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan
protein, walaupun dibagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat adanya atrofi.
Pertumbuhan terganggu, berat badan dibawah 80% dari baku Harvard persentil 50
walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya terutama jika KEP sudah
berlangsung lama.Perubahan mental sangat mencolok.Pada umumnya mereka banyak
menangis, dan pada stadium lanjut bahkan sangat apatis.Perbaikan kelainan mental

12
tersebut menandakan suksesnya pengobatan.Edema baik yang ringan maupun berat
ditemukan pada sebagian besar penderita kwashiorkor.Walaupun jarang, asites dapat
mengiringi edema.Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah dan berbaring
terus-menerus, walaupun sebelum menderita penyakit demikian sudah dapat berjalan-
jalan.Gejala saluran pencernaan merupakan gejala penting.Pada anoreksia yang berat
penderita menolak segala macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat
diberikan melalui sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar penderita,
dengan feses yang cair dan mengandung banyak asam laktat karena mengurangnya
produksi laktase dan enzim disacharidase lain. Adakalanya diare demikian disebabkan
pula oleh cacing dan parasit lain.Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai
bangunnya (texture) maupun warnanya.Sangat khas bagi penderita kwashiorkor ialah
rambut yang mudah dicabut.Misalnya tarikan ringan di daerah temporal menghasilkan
tercabutnya seberkas rambut tanpa reaksi si penderita.Pada penyakit kwashiorkor
yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang kusam, kering, halus, jarang, dan
berubah warnanya.Warna rambut yang hitam menjadi merah, coklat kelabu, maupun
putih. Rambut aslipun menunjukkan perubahan demikian, akan tetapi tidak demikian
dengan rambut matanya yang justru memanjang. Perubahan kulit yang oleh Williams,
dokter wanita pertama yang melaporkan adanya penyakit kwashiorkor, diberi
namacrazy pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi penyakit
kwashiorkor.Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah menyerupai
petechie, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menghitam.Setelah bercak hitam
mengelupas, maka terdapat bagianbagian yang merah dikelilingi oleh batas-batas
yang masih hitam.Bagian tubuh yang sering membasah dikarenakan keringat atau air
kencing, dan yang terus-menerus mendapat tekanan merupakan predeleksi crazy
pavement dermatosis, seperti di punggung, pantat, sekitar vulva, dan
sebagainya.Perubahan kulit lainpun dapat ditemui, seperti kulit yang kering dengan
garis kulit yang mendalam, luka yang mendalam tanpa tanda-tanda inflamasi.
Kadang-kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui petechie tanpa trombositopenia
dengan prognosis yang buruk bagi si penderita.7

13
Gambar 2.1 Crazy Pavement Dermatosis

Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadang-


kadangbatas hati terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar denganmudah dapat
dirabah dan terasa kenyal pada rabaan dengan permukaanyang licin dan pinggir yang
tajam. Sediaan hati demikian jika dilihat dibawah mikroskop menunjukkan, bahwa
banyak sel hati terisi dengan lemak. Pada kwashiorkor yang relatif ringan infiltrasi
lemak itu terdapat terutama di segi tiga Kirnan, lebih berat penyakitnya lebih banyak
sel hatiyang terisi dengan lemak, sedangkan pada yang sangat berat
perlemakanterdapat pada hampir semua sel hati. Adakalanya terlihat juga
adanyafibrinosis dan nekrosis hati. Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita
demikian. Bilamana kwashiorkor disertai oleh penyakit lain, terutama
ankylostomiasis, maka dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis anemia pada
kwashiorkor bermacam-macam, seperti normositik normokrom, mikrositik hipokrom,
makrositik hiperkrom, dan sebagainya. Perbedaan macam anemia pada kwashiorkor
dapat dijelaskan oleh kekurangan berbagai faktor yang mengiringi kekurangan
protein, seperti zat besi, asam folik, vitamin B12, vitamin C, tembaga, insufisiensi
hormon, dan sebagainya. Macam anemiayang terjadi menunjukkan faktor mana yang
lebih dominan. Pada pemeriksaan sumsum tulang sering-sering ditemukan
mengurangnya sel sistem eripoitik. Hipoplasia atau aplasia sumsum tulang demikian
disebabkan terutama oleh kekurangan protein dan infeksi menahun.7

14
Tabel 8. Manifestasi klinis pada Marasmus-kwashiorkor

Marasmus Kwshiorkor
 Pertumbuhan berkurang  Perubahan mental sampai
atau berhenti apatis
 Terlihat sangat kurus  Anemia
 Penampilan wajah seperti  Perubahan warna dan
orangtua tekstur rambut, mudah dicabut / rontok
 Perubahan mental  Gangguan sistem
 Cengeng gastrointestinal
 Kulit kering, dingin,  Pembesaran hati
mengendor, keriput  Perubahan kulit
 Lemak subkutan  Atrofi otot
menghilang hingga turgor kulit  Edema simetris pada kedua
berkurang punggung kaki, dapat sampai seluruh
 Otot atrofi sehingga kontur tubuh.
tulang terlihat jelas
 Vena superfisialis tampak
jelas
 Ubun – ubun besar cekung
 tulang pipi dan dagu
kelihatan menonjol
 mata tampak besar dan
dalam
 Kadang terdapat bradikardi
 Tekanan darah lebih rendah
dibandingkan anak sebaya
*Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran gejala
marasmus dan kwashiorkor

Marasmic-kwashiorkor

15
Penyebab marasmic – kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua penyebab
yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah
keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun energi
yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi
karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorbsi dan/atau
peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh.7

Gambar 2. Perbedaan marasmus dan kwarshiorkor

2.7 Diagnosis
Pada anamnesis sering didapatkan keluhan pertumbuhan dan
perkembangan terganggu, tubuh kurus, berat badan yang kurang atau sukar
bertambah, serta anak sering rewel. Pada anamnesis juga diperoleh informasi
bahwa sering terjadi infeksi berulang atau penyakit lain seperti diare atau konstipasi
(WHO, 2009).
Pada pemeriksaan fisik, penting untuk melakukan penilaian status
antropometri yang meliputi pengukuran berat badan (BB), tinggi atau panjang badan
(TB/PB), lingkar lengan atas (LLA). LLA dapat digunakan untuk menentukan status
gizi yang dapat memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body mass
atau massa tubuh tidak berlemak). Perlu dilakukan juga pengukuran ketebalan
lipatan kulit di lengan atas bagian posterior (lipatan trisep) yang ditarik menjauhi
lengan, sehingga lapisan lemak subkutan dapat diukur menggunakan jangka

16
lengkung (kaliper). Lemak di bawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh.
Lipatan kulit normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan 2,5 cm pada perempuan
(WHO, 2009).
Berikut Kriteria Anak Gizi Buruk menurut KEMENKES, 2011
1. Gizi Buruk Tanpa Komplikasi
a. BB/TB : < -3SD dan atau;
b. Terlihat sangat Kurus dan atau;
c. Adanya edema dan atau;
d. LILA <11,5 cm untuk anak 6 – 59 bulan
2. Gizi Buruk dengan komplikasi
Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah satu atau lebih
dari tanda komplikasi medis berikut :
a. Anoreksia
b. Pneumonia berat
c. Anemia berat
d. Dehidrasi berat
e. Demam sangat tinggi
f. Penurunan kesadaran
(KEMENKES, 2011)

17
Alur pemeriksaan anak gizi buruk, KEMENKES, 2011 (Direktorat jenderal
gizi)

2.8 Tatalaksana
Penanganan umum gizi buruk meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 3 fase
yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi seperti pada tabel berikut :

18
Tabel 3. Alur Tatalaksana Gizi Buruk (Direktorat Bina Gizi – Direktorat Jenderal
Bina Gizi KIA, 2011)

Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes mata
kloramfenikol/tetrasiklin dan atropin, tutup mata dengan kassa yang telah dibasahi
dengan larutan garam normal, dan balutlah (WHO, 2009).
Perhitungan kebutuhan gizi menurut fase PMT
Energi Protein Cairan

100 – 130
Stabilisasi 80 – 100 kkal/kg/hari 1 – 1,5 g/kg/hari
ml/kg/hari

100 – 150
Transisi 2 – 3 g/kg/hari 150 ml/kg/hari
kkal/kg/hari

150 – 200 150 – 200


Rehabilitasi 4 – 6 g/kg/hari
kkal/kg/hari ml/kg/hari

Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah < 3
mmol/L atau < 54 mg/dl) yang sering kali menyebabkan kematian pada 2 hari
pertama perawatan (WHO, 2009). Tanda-tanda hipoglikemi pada anak tidak selalu
diikuti dengan berkeringat dan pucat. Anak dengan letargis, nadi lemah, dan
kehilangan kesadaran merupakan tanda-tanda yang harus diwaspadai terjadinya
hipoglikemi, bahkan terkadang tanda-tanda hipoglikemi pada anak hanya ditandai
dengan mengantuk.
Tanda hipoglikemia pada anak menurut usia :
 Neonatus : Tremor, sianosis, hipotermia, kejang, apneu atau pernapasan tidak
teratur, letargi atau apatis, berkeringat, takipneau atau takikardia, tidak mau
minum.

19
 Balita : Kejang, letargi, pucat, berkeringat dingin, hipotermia, takikardia, lemah,
gangguan bicara, dan koma
Diagnosis hipoglikemia pada anak :
1) Adanya gejala klinis hipoglikemia
2) Kadar gula plasma darah <50mg/dL
3) Respon klinis baik terhadap pemberian gula
Berikut tatalaksana anak gizi buruk dengan hipoglikemia:
Bila anak sadar dan dapat minum Bila anak tidak sadar
 Bolus 50 ml larutan glukosa 10%  Glukosa 10% intra vena (5mg/ml)
atau sukrosa 10% peroral atau diikuti 50 ml Glukosa 10% atau
dengan pipa NGT kemudian mulai sukrosa lewat pipa NGT. Kemudian
pemberian F75 setiap 2 jam. mulai pemberian F75 setiap 2 jam
 Antibiotik spektrum luas  Antibiotik spektrum luas
 Pemberian makan per 2 jam  Pemberian makanan per 2 jam
Tabel 3. Penanganan hipoglikemia pada anak dengan gizi buruk (WHO, 2009).
Pemantauan yang perlu dilakukan adalah setelah 2 jam ulangi pemeriksaan
kadar gula darah. Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi
pemberian 50 ml bolusglukosa 10% atau larutan sukrosa, lanjutkan pemberian makan
F75 setiap 2 jam hingga anak stabil. Jika suhu rektal < 35.5° C atau bila kesadaran
memburuk, mungkin hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran
kadar gula darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia).
Sebagai pencegahan, beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera
mungkin atau jika perlu lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur
setiap 2-3 jam siang malam.

Koreksi Defisiensi Mikronutrien


Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.
Meskipunsering ditemukan anemia, tidak boleh diberikan preparat besi pada periode
awal (stabilisasi, transisi), tetapi tunggusampai anak mempunyai nafsu makan yang

20
baik dan mulai bertambah beratbadannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase
rehabilitasi). Pemberian preparatbesi dapat memperburuk keadaan infeksi serta
terjadinya reaksi oksidatif oleh besi bebas yang akan merusak membran sel dan
berakibat fatal (IDAI, 2011).
Tatalaksana
Pemberian pada hari 1:
- Asam folat 5 mg, oral
- Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan
sebelum dirujuk) (IDAI, 2011), dengan dosis seperti di bawah ini :

Tabel 6. Dosis vitamin A sesuai dengan usia anak (IDAI, 2011)

Umur Dosis (IU)


< 6 bulan 50 000 (1/2 kapsul Biru)
6–12 bulan 100 000 (1 kapsul Biru)
1-5 tahun 200 000 (1 kapsul Merah)

Pemberian harian selama 2 minggu:


- Asam folat 1 mg/hari
- Suplemen multivitamin
- Zinc (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
- Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
- Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (pada fase rehabilitasi)
Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir,
beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15 (IDAI, 2011).

21
Pemberian Makan Awal
Pada fase stabilisasi, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-
hati sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh dan kapasitas homeostasisnya
berkurang. Pemberian makan sebaiknya dimulai sesegera mungkin setelah pasien
masuk dan harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein
secukupnya untuk mempertahankan proses fisiologi dasar (IDAI, 2011).
Tatalaksana
Gambaran hal-hal penting dalam pemberian makan pada fase stabilisasi adalah
sebagai berikut:
- Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dengan osmolaritasrendahdan rendah
laktosa (F-75)
- Pemberian makan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
- Energi: 80 –100 kkal/kgBB/hari
- Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
- Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlahF-75yang
ditentukan harus dipenuhi (IDAI, 2011).
Tabel 7. Jadwal pemberian F-75 (WHO, 2009)
HAR FREKUENS VOLUME/KGBB/PEMBERIA VOLUME/KGBB/HAR
I KE I N I
1-2 setiap 2 jam 11 ml 130 ml
3-5 setiap 3 jam 16 ml 130 ml
6 dst setiap 4 jam 22 ml 130 ml

Formula awal F-75 sesuai resep (Tabel 8) dan jadwal makan (Tabel 7) dibuat
untuk mencukupi kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi. Pada F-75 yang berbahan
serealia, sebagian gula diganti dengan tepungberas atau maizena sehingga lebih
menguntungkan karena mempunyaiosmolaritas yang lebih rendah, tetapi perlu

22
dimasak dulu. Formula ini baikbagi anak gizi buruk dengan diare persisten (WHO,
2009).
Formula F-75 mengandung 75 kkal/100 ml dan 0,9 gram protein / 100 ml cukup
memenuhi kebutuhan bagi sebagian besar anak. Berikan dengan menggunakan
cangkir atau sendok. Anak yang sangat lemah, mungkin perlu diberikan dengan
sendok atau secara drop atau dengan spuit (IDAI, 2011).

Cara Membuat Formula WHO (F-75, F-100)


- Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan masukkan susu bubuk
sedikit demi sedikit, aduk sampai kalis dan berbentuk gel.Tambahkan air hangat
dan larutan mineral-mix sedikit demi sedikitsambil diaduk sampai homogen dan
volumenya menjadi 1000 ml.Larutan ini bisa langsung diminum atau dimasak
selama 4 menit.
- Untuk F-75 yang menggunakan campuran tepung beras atau maizena,larutan
harus dididihkan (5-7 menit) dan mineral-mix ditambahkansetelah larutan
mendingin.
- Apabila tersedia blender, semua bahan dapat dicampur sekaligusdengan air
hangat secukupnya. Setelah tercampur homogen baruditambahkan air hingga
volume menjadi 1000 ml. Apabila tidaktersedia blender, gula dan minyak sayur
(dianjurkan minyak kelapa)harus diaduk dahulu sampai rata, baru tambahkan
bahan lain dan air hangat (WHO, 2009).
Jika jumlah petugas terbatas, beri prioritas untuk pemberian makan setiap2 jam
hanya pada kasus yang keadaan klinisnya paling berat, dan bilaterpaksa upayakan
paling tidak tiap 3 jam pada fase permulaan. Libatkan danajari orang tua atau
penunggu pasien.Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak
tidakterlalu lama tanpa pemberian makan (puasa dapat meningkatkan risiko
kematian) (WHO, 2009).

23
Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal tidak mencapaikebutuhan
minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan sisanya melalui NGT. Janganmelebihi 100
kkal/kgBB/hari pada fase awal ini. Pada cuaca yang sangat panas dan anak
berkeringat banyak maka anakperlu mendapat ekstra air/cairan.
Pemantauan
- Pantau dan catat setiap hari:
- Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
- Muntah
- Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
- Berat badan (WHO, 2009).

Kriteria sembuh
Bila BB/TB atau BB/PB >-2 SD dan tidak ada gejala klinis dan memenuhi
kriteria pulang sebagai berikut (KEMENKES RI, 2011) Direktorat Bina Gizi 2011
a) Edema sdah berkurang atau hilang, anak sadar, dan aktif
b) BB/PB atau BB/TB >-3 SD
c) Komplikasi sudah teratasi
d) ibu telah mendapat konseling gizi
e) ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut
f) selera makan sudah membak, makanan yang diberikan dapat dhabiskan

24
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : An. R
Umur : 12 bulan
Tanggal Lahir : 04 Februari 2017
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun Medain Barat, Desa Badrain

Identitas Orang Tua Pasien

Identitas Ibu Ayah

Nama Ny. MI Tn. MD

Umur 43 tahun 47 tahun

Agama Islam Islam

Pendidikan SD kelas IV Tamat SMP

Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Buruh

25
Dusun Medain Barat, Desa Dusun Medain Barat,
Alamat
Badrain Desa Badrain

3.2 Heteroanamnesis (27-02-2017)


Keluhan utama: Batuk
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke posyandu Dusun Medain Barat, Desa Badrain dengan
keluhan Batuk. Keluhan ini dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Batuk dirasakan
kambuh-kambuhan. Pasien dikeluhkan mengalami pilek yang timbulnya bersamaan
dengan keluhan batuk. Nafsu makan dan menyusu pasien juga menurun sejak 1 bulan
ini. Menurut pengakuan ibu pasien, pasien tidak pernah sesak (-), demam (-), keringat
malam hari (-), mual-muntah (-).
Riwayat BAB (+) normal dengan frekuensi 1-2 kali per hari dengan
konsistensi lunak dan berwarna kuning, darah (-), lendir(-). BAK (+) normal dengan
frekuensi 4-5 kali per hari berwarna kuning jernih, darah (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:
Awalnya pasien datang ke Posyandu untuk imunisasi dan pemantaun
pertumbuhan. Pada saat dilakukan pemeriksaan BB dan dimasukka dalam KMS,
pasien berada di bawah garis merah (BGM). Selanjutnya ibu pasien diminta untuk
membawa pasien melakakukan pemeriksaan ke Puskesmas Narmada, akhirnya pasien
dirawat. Setelah itu pasien dirujuk ke RSUD Gerung, disana pasien dinyatakan
menderita TB Paru. Akhirnya pasien kembali dirujuk ke Puskesmas Narmada untuk
pengobatan TB Paru. Riwayat alergi makanan maupun obat disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Ibu pasien sering mengalami batuk dan pilek. Riwayat sesak napas pada
keluarga yang tinggal serumah, keluarga lain, tetangga sekitar dan teman-teman
pasien disangkal. Riwayat asma didalam keluarga pasien (+). Riwayat TB (+) yaitu
pada ayah pasien tetapi sudah minum obat selama 6 bulan dan dinyatakn sembuh.

26
Genogram Keluarga Pasien

Genogram Keluarga Pasien

32 thn 28 thn 25 thn 20 thn 28 thn 25 thn 22 thn

22 th 20 th 17 th 12 bln

Keterangan:

: Laki-Laki meninggal

: Perempuan meninggal

: Laki-laki

: Perempuan

: Perempuan Gizi Buruk

: Perkawinan

: Persaudaraan 27
Riwayat pengobatan
Ibu pasien mengaku sebelumnya pernah berobat ke puskesmas Narmada dan
diberikan obat batuk, pilek, tetapi pasien masih tetap batuk, pilek. Pasien juga pernah
dirawat di puskesmas Narmada dan RSUD Gerung tetapi ibu pasien lupa obat yang
diberikan.

Riwayat kehamilan dan persalinan


Ibu pasien hamil selama9bulan dan ini merupakan kehamilan ke lima. Ibu
pasien pernah mengalami abortus ketika hamil pertama. Ibu pasien tidak rutin
memeriksakan kandungannya di Poskesdes dan Puskesmas. Riwayat sakit berat
selama hamil disangkal. Riwayat minum obat obatan selama hamil disangkal, ibu
hanya mengonsumsi obat penambah darah dari Puskesmas (+) sejak bulan pertama
kehamilan sampai menjelang persalinan. Ibu pasien ANC sebanyak lebih 3 kali di
Posyandu. Selama ANC, tidak ditemukan kelainan pada janin atau ibu (riwayat
perdarahan, muntah berlebihan, demam selama kehamilan disangkal; bidan juga
mengatakan letak dan perkembangan janin normal). Pasien lahir spontan di
Puskesmas, ditolong Bidan, Lahir cukup bulan dengan berat lahir 2.400 gram. Lahir
langsung menangis, riwayat biru setelah lahir (-), kuning setelah lahir (-).
Riwayat Imunisasi:

Ibu pasien mengatakan sampai saat ini pasien sudah mendapatkan imunisasi
lengkap, tetapi berdasarkan buku posyandu pasien belum mendapat imunisasi
campak. Saat ini ibu pasien rajin ikut serta dalam kegiatan posyandu.

Riwayat Nutrisi:

28
Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan. Pada saat usia 5
bulan pasien mulai diberikan makan makanan tambahan berupa bubur, namun saat ini
pasien sudah mulai diberikan nasi yang lembek. Pasien mendapatkan makanan
keluarga. Ibu pasien mengatakan nafsu makan dan minum pasien berkurang semenjak
sakit 1 bulan ini. Makan 3 kali sehari dengan menu menu seadanya, terkadang dengan
sayur dan tahu tempe, namun sering kali hanya menggunakan bubur nasi. Pasien
minum susu formula sebanyak 3x dalam sehari semenjak umur 8 bulan, yaitu sejak
pasien berada di bawah garis merah (BGM).
Riwayat Tumbuh Kembang:

Saat ini pasien berusia 12 bulan 23 hari dan sudah mampu duduk. Pasien
dapat mengenali benda dan orang-orang disekitarnya. Hingga saat ini pasien sudah
mampu mengatakan, misalnya “emm”, “mak”.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Frek. Nadi : 108 x/menit
Frek. Nafas : 20 x/menit
Suhu aksila : 36,7 º C
BB : 5,4 kg
PB : 63 cm
Status gizi : BB/U < -3 SD (gizi buruk), BB/PB <-3 SD (sangat kurus),
PB/U < -3 SD (sangat pendek)
Status Lokalis
Kepala : Kesan normal, bentuk dan ukuran normal, deformitas (-)
Rambut : Pirang, merata
Mata : Bentuk: normal, Alis: normal, Bola mata: exopthalmus (-/-),
anopthalmus (-/-), nystagmus (-/-), strabismus (-/-), Palpebra:

29
edema (-/-), ptosis (-/-), Konjungtiva : anemia (-/-), Sklera:
ikterus (-/-), perdarahan (-), hiperemia (-/-), pterigium (+/-),
Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya (+/+), Lensa: tampak
jernih, katarak (-/-).
Telinga : Kesan normal, bentuk dan fungsi normal, serumen (-)
Hidung : Kesan normal, bentuk dan fungsi normal,sekret (+/+) bening
Bibir : Bentuk: simetris, Bibir: sianosis (-), edema (-), stomatitis (-),
Gigi: dbn, Gusi: hiperemia (-), edema (-), perdarahan (-), Mukosa: normal,
Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), Faring: hiperemia (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks-Cardiovasculer
Paru:
Inspeksi : Bentuk simetris
Pergerakan simetris
Iga dan sela iga : retraksi subcostae(-/-), penggunaan otot bantu
intercostal (-), Pelebaran sela iga (–)
Pernafasan : frekuensi 28x/menit,teratur
Palpasi : Pergerakan simetris
Fremitus raba dan vokal simetris
Provokasi nyeri (–)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Nyeri ketok (–)
Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler +/+
Suara tambahan rhonki -/-
Suara tambahan wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tampak pada ICS 5 midclavicula line sinistra
Palpasi : iktus cordis teraba pada ICS 5 midclavicula line sinistra

30
Perkusi : Batas atas pada ICS 2, batas kanan pada linea parasternal
dextra, batas kiri pada ICS 5 midclavicula sinistra
Auskultasi : S1, S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen-Pelvic-Inguinal
Inspeksi : distensi (-), kulit hiperemis (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi :Supel (+), defans muscular (-) turgor : normal, tonus : normal
Nyeri tekan (-), Hepar, Lien, Ginjal : tidak teraba
Perkusi : suara timpani
Ekstremitas superior dan inferior:
Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, kulit kering, edema (-/-), sianosis (-/-)
Pemeriksaan skoring TB

Dari skoring TB ini, skoring untuk pasien 8


3.4 Pemeriksaan penunjang : -
3.5 Diagnosis
Gizi buruk dengan TB Paru
3.6 Penatalaksanaan

31
Farmakologi :
- Terapi OAT
- Ambroxol 3x1 tab di puyer
 Konseling
- Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa penyakit yang diderita pasien
adalah gizi buruk dengan TB paru.
- Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai faktor risiko yang
mungkin dapat menyebabkan status gizi pasien.
- Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa anaknya harus minum obat
TB selama 6 bulan, tidak boleh putus berobat sampai dinyatakn sembuh
setelah evaluasi perkembangan penyakit TB di Puskesmas Narmada, dan
obatnya harus diminum setiap hari.
- Menjelaskan kepada keluarga pasien gejala-gejala dan cara penularan
penyakit TB.
- Menganjurkan ibu untuk memberi makan anak dan memberikan ASI
sesering yang anak inginkan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
- Menganjurkan keluarga pasien yang tinggal serumah untuk memeriksakan
dahaknya di Laboratorium untuk mengetahui adanya penyakit TB pada
anggota keluarga yang lain.
- Mengedukasi keluarga pasien untuk menerapkan pola hidup sehat
danbersih (PHBS) serta menjaga pencahayaan di dalam rumahnya dengan
membuka jendela setiap pagi dan siang hari.
- Membawa kembali anaknya setelah 7 hari, atau lebih cepat bila keadaan
anak memburuk atau tidak bisa minum atau menyusu.
3.7 Prognosis pasien
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam

32
BAB IV

PENELUSURAN (HOME VISIT)

4.1. Tujuan

Mengetahui faktor penyebab terjadinya gizi buruk dengan TB Paru pada pasien,
baik faktor internal maupun eksternal.
4.2. Metodologi

Metodologi yang dipakai meliputi wawancara dan pengamatan langsung


terhadap lingkungan tempat tinggal pasien. Variabel yang dipakai adalah faktor
risiko, tanda dan gejala gizi buruk dan TB Paru.
4.3 Dasar Pemilihan Kasus
Jumlah anak 0-23 bulan (Baduta) yang ditimbang mencapai 92,6% pada tahun
2016. Dari jumlah tersebut didapatkan 14 (0,9%) anak ada di Bawah Garis Merah
(BGM). Jumlah kasus BGM terbanyak ditemukan di Desa Badrain dan Desa
Kramajaya dengan masing-masing 3 kasus atau 1,9%.7

JUMLAH KASUS BGM ANAK 0-23 BULAN MENURUT DESA UPT BLUD
PUSKESMAS NARMADA TAHUN 2016
3 3
3
3 2 2 2
2
2 1 1
1
1 0 0 0 0
0
ng a k
ut
a k a 33 in ng ri ng h
ba ad bua K Bea ajay
dr a
b u r sa re n da
r m m u k a a e I
lem Na Le Ba
t na ra
m B Se
m ek n
T ax
yur Ta Ke M
asa r im
N D Ge
Grafik 4.3 Jumlah Kasus BGM Anak 0-23 Bulan Meurut Desa UPT BLUD Puskesmas Narmada
Tahun 2016
Pada tahun 2017 jumlah anak 0-23 bulan (Baduta) yang ditimbang mencapai
96,2%. Dari jumlah tersebut didapatkan 18 (1,1%) anak ada di Bawah Garis Merah
(BGM). Jumlah kasus BGM terbanyak ditemukan di  Desa Kramajaya dengan 7
kasus atau 3,9%.8 Dari data ini dapat disimpulkan bahwa masih banyak kasus anak
BGM di wilayah kerja Puskesmas Narmada yang memerlukan perhatian khusus.

JUMLAH KASUS BGM ANAK 0-23 BULAN MENURUT DESA UPT BLUD
PUSKESMAS NARMADA TAHUN 2017
18
18
16
14
12
10
7
8 6
6
4 2
1 1 1
2 0 0 0 0 0
0
i
ng da uak uta eak jaya rain ung sar ng ah AS
ba rma b u
K
k B a ad b ar ere Ind SM
lem Na m at m m k T x E
Le na era B Se Me san ima SK
yur B Ta K a r PU
N D Ge

Grafik 4.4 Jumlah Kasus BGM Anak 0-23 Bulan Menurut Desa UPT BLUD Puskesmas Narmada
Tahun 2017
4.4 Hasil Penelusuran

Pasien sehari-hari tinggal di rumah milik pribadi bersama orang tua dan dua
saudaranya (anak kedua dan ketiga), sedangkan anak pertama sudah menikah dan
mempunyai rumah sendiri di depan rumah pasien. Pasien merupakan anak terakhir.
Status ekonomi pasien termasuk dalam golongan menengah ke bawah. Sumber
penghasilan keluarga didapatkan dari ayah pasien yang bekerja sebagai buruh
(mengangkut pasir). Penghasilan sebagai buruh Rp 50.000/hari dan dikatakan sangat
kurang untuk memenuhi keperluan sehari-hari.

34
Rumah pasien terdiri atas 1 kamar tidur yaitu kamar tidur anak ketiga dan 1
ruang digunakan bersama sebagai tempat tidur, ruang tamu, dan dapur. Rumah
tersebut berukuran ± 7x4 meter. Tidak ada ruang MCK. Rumah pasien terletak
berdekatan dengan rumah keluarga lainnya dengan jarak ± 3 meter dari samping dan
± 1 meter dari depan. Kondisi pencahayaan di rumah pasien kurang, sumber
penerangan berupa sinar matahari dan bola lampu di kamar tidur dan ruang bersama,
Lantai rumah pasien terbuat dari semen yang dihaluskan. Dinding rumah terbuat dari
tembok, atap rumah terbuat dari genteng dan langit-langit rumah dari bambu. Dalam
rumah pasien pada kamar tidur terdapat pintu utama dan tidak ada jendela, tetapi ada
2 ventilasi ukuran 30 cm x 10 cm. Ruang bersama memuliki tiga jendela yang tidak
pernah dibuka dan tidak mempunyai ventilasi.

Terkait keperluan MCK, keluarga pasien mengaku melakukan aktivitas mandi


masih menumpang di kamar mandi milik anak pertamanya (dalam kamar mandi
tersebut tidak ada jamban). Buang air dan mencuci pakaian di kali yang letaknya
sekitar 20-30 meter dari rumah. Untuk keperluan minum dan memasak, keluarga
pasien meggunakan air sumur terlindung dengan pompa mesin. Air minum kadang
dimasak dan tidak sebelum diminum. Untuk keperluan memasak, ibu pasien kadang
menggunakan kompor gas dan kadang menggunakan kayu bakar. Sampah rumah
tangga keluarga dikumpulkan dalam plastik atau ember dan dibuang di tempat
pembuagan sampah di belakang rumahnya.

35
Denah Rumah

Rumah anak I

Rumah
r. bersama tetangga
: Pintu Jalan

: Ventilasi

: Jendela
Kamar tidur
utama

Gambaran Keadaan Rumah Pasien

Rumah tampak dari depan Ruang bersama

36
Kamar tidur

37
KERANGKA KONSEP MASALAH PASIEN

BIOLOGIS

Usia bayi dan balita merupakan golden period


pertumbuhan dan perkembangan sehingga asupan
makanan bergizi dan seimbang sangat diperlukan,
selain itu juga usia tersebuat sangat mudah terjadi
infeksi karena sistem imun yang belum terbentuk
secara sempurna.

PERILAKU LINGKUNGAN

Tidak ASI eksklusif Lingkungan fisik rumah


Perilaku orang tua dalam yang tidak ideal.
pemberian MPASI sebelum Keadaan sosial dan ekonomi
berusia 6 bulan Gizi Buruk dengan TB Paru yang rendah
Kurangnya pengetahuan ibu Pengetahuan dan pendidikan
mengenai cara merawat dan
orang tua rendah
mengasuh bayi
Perilaku Hidup Bersih dan
Sumber air bersih (-)
Sehat orang tua yang kurang, Kepadatan hunian
Pengetahuan dan pendidikan
orang tua tergolong rendah

PELAYANAN
KESEHATAN

Kurangnya informasi tentang status gizi dan cara


penularan dan pencegahan penyakit TB

38
39
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Aspek Klinis


Seorang balita dibawa ibunya datang ke posyandu Dusun Medain
Barat, Desa Badrain dengan keluhan Batuk. Keluhan ini dirasakan sejak 1
bulan yang lalu. Batuk dirasakan kambuh-kambuhan. Pasien dikeluhkan
mengalami pilek yang timbulnya bersamaan dengan keluhan batuk. Nafsu
makan dan menyusu pasien juga menurun sejak 1 bulan ini. Menurut
pengakuan ibu pasien, pasien tidak pernah sesak (-), demam (-), keringat
malam hari (-), mual-muntah (-).
Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sedang,
frekuensi nadi 108 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu aksila 36,7ºC, BB
5,4 kg, PB 63 cm, status gizi < - 3 SD (gizi buruk). Pada pemeriksaan status
lokalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan thoraks, abdomen, dan
ekstremitas dalam batas normal.
Pasien didiagnosis gizi buruk oleh karena dari hasil pemeriksaan
antropometri ditemukan BB/U <-3 SD serta tampakan yang sangat kurus dan
diagnosis TB Paru berdasarkan hasil skoring TB. Terapi pada pasien
digunakan prosedur terapi gizi buruk dan TB. Pada kasus ini, keluarga pasien
juga diberi edukasi tentang status gizi pasien dan TB paru.

5.2. Aspek Ilmu Kesehatan Masyarakat


Timbulnya suatu penyakit pada seorang individu dipengaruhi oleh
ketidakseimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. H.L. Bloom memperkenalkan paradigma hidup sehat yang terdiri
atas faktor genetik (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau
masyarakat, faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor
pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya). Faktor-faktor tersebut

40
memiliki pengaruh yang besar terhadap munculnya suatu penyakit dan
kesehatan. Analisa munculnya penyakit gizi buruk dengan TB Paru pada
pasien berdasarkan empat faktor tersebut meliputi:
i. Faktor Genetik dan Biologis
- Usia
Usia bayi dan balita merupakan golden period pertumbuhan dan
perkembangan sehingga asupan makanan bergizi dan seimbang sangat
diperlukan, selain itu juga usia tersebuat sangat mudah terjadi infeksi karena
sistem imun yang belum terbentuk secara sempurna.
ii. Faktor Perilaku
- Tingkat pendidikan orang tua
Faktor pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kesadaran dan perilaku masyarakat terkait kesehatan. Dalam kasus ini,
pasien tidak diberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan dan sudah diberikan
makanan selain ASI berupa nasi lembek pada usia 5 bulan. Pendidikan
terakhir ayah pasien adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan ibu
pasien Sekolah Dasar (SD) sehingga kurang memahami pentingnya ASI
Eksklusif bagi seorang bayi serta kurangnya pengetahuan tentang gizi bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Tingkat pendidikan ibu juga akan
berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang
menderita gizi buruk dengan TB Paru

iii. Faktor Lingkungan


- Keadaan sosial dan ekonomi yang rendah
Keluarga pasien tergolong dalam menengah ke bawah. Dalam sehari sang ayah
hanya mendapat Rp 50.000/hari. Uang ini digunakan untuk keperluan sekolah
dan keperluan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Jika
dilihat dari jumlah, sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan makan
seimbang dan beraneka ragam.

41
iv. Pelayanan Kesehatan
- Kurangnya informasi mengenai gizi dan pencegahan dan penularan TB Paru
Keluarga pasien kurang dalam mendapatkan informasi yang cukup mengenai
gizi dan penularan dan pencegahan TB Paru. Petugas kesehatan terutama dari
bagian pengendalian penyakit menular dapat meningkatkan penyuluhan
mengenai TB Paru dan memfokuskan kepada upaya pencegahan dan cara
penularan TB Paru pada saat turun ke lapangan untuk pelayanan masyarakat
seperti posyandu serta petugas gizi bisa memberikan penyuluhan tentang gizi
saat posyandu. Dengan dilakukan upaya penyuluhan dan penjaringan,
diharapkan dapat menurunkan angka kejadian gizi buruk dan TB Paru serta
jika ditemukan pasien gizi buruk dan TB Paru dapat ditemukan pada fase awal
dan diberikan penanganan secepat mungkin.

42
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Penyakit Gizi buruk dengan TB Paru terutama pada balita merupakan salah
satu masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian lebih karena seringkali sulit
untuk dideteksi pada fase awal. Kasus gizi buruk dengan TB Paru pada pasien ini
tidak terlepas dari adanya ketidakseimbangan dari empat determinan kesehatan yang
meliputi faktor biologis, faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor pelayanan
kesehatan. semua faktor-faktor ini saling berhubungan satu sama lain yang
mempengaruhi gizi buruk dengan TB Paru pada pasien ini.

6.2 Saran
Dalam menangani dan mengatasi kasus gizi buruk dengan TB Paru pada balita
diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak kesehatan seperti gizi, pengendalian
penyakit menular, promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan. Dalam hal ini,
penulis memberikan saran untuk beberapa pihak agar dapat bermanfaat bagi
kemajuan bersama.

1. Meningkatkan upaya promotif dan preventif dengan meningkatkan kegiatan


penyuluhan di kalangan masyarakat agar semakin banyak masyarakat yang
mengetahui tentang masalah gizi, penyakit TB Paru dan cara pencegahannya.
Upaya promotif dapat dilakukan oleh pihak Puskesmas yang bekerja sama dengan
tokoh di lingkungan sekitar dan kader tentang gizi dan TB Paru untuk masyarakat.
Selain itu, diperlukan juga peningkatan penjaringan pasien TB Paru terutama pada
anggota keluarga lain yang tinggal satu atap dengan penderita TB Paru agar dapat
diberikan penanganan awal sebelum penyakit berlanjut menimbulkan komplikasi
lainnya.

43
2. Bagi pasien, upaya preventif yang sebaiknya dilakukan adalah upaya preventif
sekunder berupa terapi terhadap gizi buruk agar tidak terjadi komplikasi lebih
lanjut.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang


Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak.
2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4,
Nomor 1
3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta :
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
4. KEMENKES RI 2016. Profil kesehatan Indonesia Tahun 2016. Available at:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-Indonesia-2016.pdf
5. Profil kesehatan NTB 2016
6. Profil Kesehatan NTB 2015
7. Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok barat. 2016.Profil Kesehatan Puskesmas
Narmada Tahun 2016, Puskesmas Narmada, Narmada.
8. Profil kesehatan Puskesmas Narmada tahun 2017

45

Anda mungkin juga menyukai