Anda di halaman 1dari 1

Percakapan Pohon dan Angin

Suatu malam menjelang sepi terdengar angin tengah bercakap dengan pohon, tentang kesalahan-
kesalahan. Berkali-kali angin meminta maaf pada pohon, akan daun-daun gugur yang tertiup
angin. Pohon hanya terbahak bahak mendengarnya.

Pohon berkata bahwa angin membantu meringankan beban pohon, seharusnya pohon berterima
kasih pada angin, katanya. Tanpa angin, pohon harus menunggu kapan daun akhirnya jatuh.
Sedang pohon pun kadang benci menunggu.

Angin kebingungan, karena bagaimana bisa ulahnya, yang dianggapnya salah malah menjadi
kebaikan. Namun, pohon dengan bijak berkata bahwa angin didatangkan dari langit sebagai
pertolongan, meski melalui kejadian yang terlihat salah.

Angin berikeras meminta maaf, karena selain menghempaskan beberapa daun hingga gugur, dia
juga pernah menumbangkan pohon hingga mati.

Pohon menarik napas panjang, berharap penjelasannya kini dapat membuat angin merasa lebih
baik. Kata pohon, kalaupun suatu saat aku tumbang gara-gara ulah angin, di surga kelak pohon
tidak akan menuntut angin. Karena, meski dirinya harus mati, pohon cukup bijak dan menerima
bahwa memang waktunya mati.

Pohon tumbuh, menjadi sebuah contoh pemahaman bijak akan penerimaan. Tumbuh tanpa
memiliki ego, tumbuh dengan hanya memiliki hati. Karena, meski ditebang, tidak disiram,
tersengat terik, tidak dirawat, pohon tetap tumbuh semampunya tanpa mengeluh. Bahkan, tetap
mengayomi sekitar dengan memberi udara.

Lantas, dalam malam yang semakin sepi dada ini terasa lapang, tak lagi sempat menerima
pemahaman tentang kekecewaan atau luka. Semua hal yang datang, kini tampak seperti
pertolongan yang sedang menyamar.

Darinya aku dibuat paham bahwa penerimaan adalah ujian sebenar-benarnya. Saat aku terlahir
dengan akal yang dapat menghidupkan ego dalam hati. Kebijakan adalah saat akal dan hati
seirama dalam damai.

Anda mungkin juga menyukai