Anda di halaman 1dari 3

Cacat

Logika
Mengevaluasi nalar pemikiran dalam sebuah
argumen merupakan bagian dari proses berpikir
secara kritis. Hal ini bertujuan untuk memeriksa
apakah sebuah pemikiran dapat diterima dan
bebas dari cacat logika. Menurut Browne dan
Keely (2007), cacat logika adalah kesalahan
berlogika atau logika yang berasal dari asumsi-
asumsi yang keliru. Ini merupakan cara
mengelabui dengan menggunakan nalar yang
menyesatkan dimana informasi-informasi yang
diberikan terlihat mendukung sebuah
kesimpulan secara logis.

a guide in
cacat logika

1. AD HOMINEM FALLACY
Ad hominem berasal dari bahasa latin yang berarti “menyerang orang.” Cacat logika ini terjadi ketika alasan-
alasan yang dipakai dalam argumen tidak bertujuan untuk membantah ide seseorang tetapi untuk menyerang
atau menghina pribadi orangnya. Ad hominem bisa dilihat dalam kasus di bawah ini:
Kartu Identitas Penduduk bukanlah ancaman terhadap kebebasan HAM. Kartu tersebut berguna
untuk keamanan karena dengan ini, polisi akan lebih mudah mendeteksi dan menangkap para
pelaku kejahatan. Mereka yang anti terhadap Kartu Identitas ini hanyalah sekumpulan orang
liberal labil yang tinggal di daerah yang nyaman dan tidak tahu apa apa tentang bagaimana
rasanya tinggal di pemukiman yang marak dengan kriminalitas.

Kalimat di atas menyerang setiap orang yang menentang pemberlakuan Kartu Tanda Penduduk. Pendapat
tersebut membuat asumsi mendasar terhadap latar beakang pribadi dan ekonomi, dengan tujuan
merendahkan kredibilitas lawannya. Karena pendapat ini bertumpu pada cara berpikir yang keliru, bukan pada
alasan logis dan bukti-bukti, maka pendapat ini memiliki cacat penalaran (Cotrell, 2005).
2. APPEALS TO EMOTIONS
Kemampuan berpikir kritis melatih diri untuk waspada terhadap generalisasi yang bersifat emosional. Cotrell
(2005) menyebutkan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan anak-anak, orang tua, nasionalisme, agama,
kejahatan kriminal, dan keamanan sangat mudah memancing reaksi emosional. Penting untuk memeriksa
sebuah pemikiran yang ada kaitannya dengan perasaan. Perhatikan contoh berikut:
Kesimpulan: Program pengembangan karakter anak oleh pemerintah adalah sebuah sebuah
kesalahan
Alasan 1: Anak-anak kita harus dilindungi dari orang-orang seperti para pemikir sosial dan para
idolog yang merasa benar sendiri, yang nantinya akan merubah apa yang sudah biasa
dilakukan terhadap anak-anak kita dan melepaskan mereka dari keluarganya.
Alasan 2: Orang tua, dan bukan negara, yang berhak mendidik karakter anak-anak.

Diatas adalah sebuah contoh dari appeal to emotion. Alasan yang dipakai adalah program tersebut “akan
memutus hubungan anak dengan keluarga dan ibunya” dan anak-anak akan menjadi “pion-pion dalam sebuah
skema universal”. Tentu saja, tidak ada yang menginginkan hal buruk ini terjadi kepada anak-anaknya.
Generalisasi yang bersifat emosional mengabaikan penalaran secara logis demi meyakinkan mengapa program
ini keliru.
3. FALSE DILEMMA
Alasan yang kedua pada contoh diatas menyatakan bahwa baik orang tua atau negara, salah satu dari mereka
bertanggung jawab atas pendidikan karakter anak-anak. Alasan tersebut telah membatasi hanya ada dua solusi
yang tersedia. Pertanyaannya adalah apakah benar cuma ada dua solusi? Mengasumsikan hanya ada dua
alternatif dari kemungkinan terdapat lebih dari dua alternatif yang tersedia disebut false dilemma. Menyajikan
dua pilihan sebagai jalan keluar dari sebuah kontroversi sebenarnya terlalu menyederhanakan masalah. Untuk
mencegah terjadinya cacat logika seperti ini, kita perlu memikirkan kemungkinan lain seperti: mungkinkah
pemerintah melaksanakan program pengembangan anak dengan melibatkan para orang tua?

a guide in
cacat logika

4. TAUTOLOGICAL FALLACY
Struktur argumen terdiri atas alasan-alasan dan kesimpulan. Semakin baik alasan-alasan yang dikemukakan
untuk mendukung kesimpulan, semakin kuat pula argumennya. Akan tetapi, terjadi cacat logika ketika sebuah
kesimpulan dipakai untuk mendukung kesimpulan itu sendiri. Dengan kata lain, alasan dan kesimpulan yang
dipakai sama: tidak ada pengembangan argumen. Cotrell (2005) menyebut cacat logika ini tautological fallacy
yang berarti “menggunakan diksi yang berbeda untuk mengulangi konsep yang sama.” Istilah lainnya adalah
begging the question yang merujuk pada pemakaian “sebuah argumen dimana kesimpulannya sudah menjadi
bagian dari alasan-alasan yang dikemukakan” ”(Browne & Keely, 2007). Perhatikan contoh berikut ini:

Banyak orang harus diberi informasi tentang kelebihan dari belajar


matematika sampai ke tingkat pendidikan tinggi di universitas. Pendidikan
Matemetika sangat bermanfaat. Makanya, pendidikan yang diberikan kepada
generasi muda harus menekankan betapa pentingnya memilih Matematika.

Struktur argumen terdiri atas alasan-alasan dan kesimpulan. Semakin baik alasan-alasan yang dikemukakan
untuk mendukung kesimpulan, semakin kuat pula argumennya. Akan tetapi, terjadi cacat logika ketika sebuah
kesimpulan dipakai untuk mendukung kesimpulan itu sendiri. Dengan kata lain, alasan dan kesimpulan yang
dipakai sama: tidak ada pengembangan argumen. Cotrell (2005) menyebut cacat logika ini tautological fallacy
yang berarti “menggunakan diksi yang berbeda untuk mengulangi konsep yang sama.” Istilah lainnya adalah
begging the question yang merujuk pada pemakaian “sebuah argumen dimana kesimpulannya sudah menjadi
bagian dari alasan-alasan yang dikemukakan” ”(Browne & Keely, 2007). Perhatikan contoh berikut ini:

Source:

Browne. M.N.,& Keely, S.M. (2007). Asking the right questions: A guide to critical thinking. 8th Edition.
New Jersey: Pearson.

Cottrell, S. (2005). Critical thinking skills: Developing efffective analysis and argument. New York:
Pargrave Macmillan

a guide in

Anda mungkin juga menyukai