Hakikat Manusia Dalam Pendidikan Islam

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

HAKIKAT MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Azizah Hanum OK


A. Pengertian manusia
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa Arab, berasal dari
kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak.
Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan
jinak. Manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru di sekitarnya.
Kemampuan berpikir tersebut yang menentukan hakekat manusia. Manusia juga memiliki
karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Dari karya yang
dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah.
Manusia adalah hewan rasional (animal rational) dan pendapat ini dinyakini oleh
para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah
pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-
simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang
manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan
pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh
dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan
alam untuk hidup. Di pihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia
harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut
sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang
lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia
tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain
manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia
dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini
merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga
digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang
menganggap permainan sebagai ritus suci.1
Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang
memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki
sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis

1
K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta : Gramedia, 1987), h. 7
dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan
dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi
intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk
berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia.
Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan
dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang
berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan
sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. 2

B. Fungsi dan kedudukan Manusia


Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi.
Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan
hidup manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan
akhirat. Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh
Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai
kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah
manusia melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa
mencapai kesenangan dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang
menjelaskan mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan
pada Surah Al-Baqarah ayat 30:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“. (Q.S. Al-Baqarah:
30)

2
Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar &
Komunitas APIRU, 2002), h. 5
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas
yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki
tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama
manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu
manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”.
Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari
jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan
keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka
tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada
satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia
menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi,
misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia,
adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah.
Sebagai khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada
semua makhluknya.
Pada hakikatnya, kita menjadi khalifatullah secara resmi adalah dimulai pada usia
akil baligh sampai kita dipanggil kembali oleh Allah. Manusia diciptakan oleh Allah di
atas dunia ini adalah untuk beribadah. Lantas, apakah manusia ketika berada di dalam
rahim ibunya tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba? Apakah janin yang
berada di dalam rahim itu tidak beribadah?
Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah menurut
kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah. Disebutkan
dalam AlquranSurah Al-Baqarah:
‫يسبح له ما في السماوات و ما في األرض‬
Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada
Allah dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu
beribadah sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan
meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah
mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu
pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau
mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui
Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya
akan ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya
sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih
kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya.
Manusia mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah
yaitu pada saat ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi
kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan.
Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik
dari kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan
oleh Allah di dalam firman-Nya:

“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”
Kalau begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada
Allah. Dalam pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah
mahdhah) dan ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah
ibadah yang langsung, sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung.
Seseorang yang meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah.
Sedangkan bagi yang melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh
Allah. Ibadah mahdhah antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah
ghairu mahdhah adalah semua aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah
tersebut, antara lain: bekerja, masak, makan, dan menuntut ilmu.
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang paling banyak dilakukan dalam
keseharian kita. Dalam kondisi tertentu, ibadah ghairu mahdhah harus didahulukan
daripada ibadah mahdhah. Nabi mengatakan, jika kita akan shalat, sedangkan di depan
kita sudah tersedia makanan, maka dahulukanlah untuk makan, kemudian barulah
melakukan shalat. Hal ini dapat kita pahami, bahwa jika makanan sudah tersedia, lalu kita
mendahulukan shalat, maka dikhawatirkan shalat yang kita lakukan tersebut menjadi
tidak khusyu’, karena ketika shalat tersebut kita selalu mengingat makanan yang sudah
tersedia tersebut, apalagi perut kita memang sedang lapar.

C. Hakikat Manusia
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang banyak dipelajari para ahli dari
berbagai disiplin ilmu. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengaji manusia,
karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidup.
Demikian juga para ahli telah mengaji manusia menurut bidangnya masing-masing.
Namun anenya walaupun telah banyak kajian tentang manusia, namun hakikatnya
belum juga terjawab oleh ilmu pengetahuan yang merupakan hasil ciptaan manusia itu
sendiri
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecendrungan tertentu dalam
memahami manusia. Kata ”hakikat” mengandung makna sesuatu yang tidak berubah-
ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan
3
membedakannya dari yang lainnya. Berkenaan dengan identitas esensial ini muncul
berbagai konsep dan pandangan dalam menentukan sesuatu yang menjadi ciri khas atau
identitas esensial dari wujud yang dinamakan manusia. 4 Dalam pandangan ini
kelihatannya esensi lebih penting daripada eksistensi.
Di sisi lain, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa manusia tidak
mempunyai identitas tertentu yang disebut esensi. Manusia menurut golongan ini
3
Hakikat berasal dari bahasa Arab yaitu: al-haqiqah, yang berarti esensi dan kebenaran. Dalam hal
ini kata hakikat yang dimaksud oleh penulis adalah arti esensi bukan dalam arti kebenaran. Dalam arti Ibnu
Sina mendefenisikannya dengan ”kekhususan eksistensi sesuatu yang menyebabkannya ada karenanya.”
Al-Jurjani mengemukakan defenisi yang maknanya tidak jauh berbeda dengan defenisi yang dikemukakn
Ibnu Sina yaitu ”yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya.” Kata lain dalam bahasa Arab yang juga
sering digunakan untuk menunjukkan makna esensi (hakikat) adalah al-mahiyah. Al-mahiyah, biasanya
digunakan untuk sesuatu yang abstrak (al-amr al-muta’aqqal) dari sesuatu dengan menyampingkan
perhatian dari wujud lahirnya. Sesuatu yang abstrak tersebut dari segi apa dinnya disebut al-mahiyah, dan
dari segi adnaya dinamakan al-haqiqah. Lihat Murad Wahbah, dkk., al-Mu’jam al-Falsafi, (Kairo: al-
Saqafat al-Jadidat, 1971), h. 84, 99 202.
4
Hal ini terbukti dari banyaknya aliran yang muncul dalam membahas masalah yang berhubungan
dengan manusia. Ditinjau dari aspek unsur pokok yang membentuk manusia terdapat dua aliran yaitu
aliran monism (serba esa) dan dualism (serba dua). Aliran pertama terbagi kepada dua paham yaitu
paham materialism (serba benda) dan idealism (serba ruh). Sedangkan aliran kedua juga terbagi kepada
dua aliran yaitu aliran idealism yang berpendapat bahwa jiwa merupakan hakikat manusia, dan aliran
materialism yang beranggapan bahwa jasadlah yang menjadi inti. Lihat Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat
(terjemah Soejono Soemargono dari Elements of Philosophy), (Yokyakarta: Bayu Indra Grafika, 1989), cet.
Ke-6, h. 53 dan 304
dipandang sebagai makhluk historis, karena manusia mempunyai sejarah yang
membedakannya dengan makhluk lain. Manusia dapat dimengerti dengan mengamati
5
perjalanan sejarahnya. Adapun yang diperoleh dari pengamatan atas pengalaman
sejarahnya adalah suatu rangkaian antropological constants, yaitu dorongan-dorongan
dan orientasi yang tetap ada pada manusia. 6
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa manusia secara bahasa disebut juga
insan yang dalam bahasa Arab berasal dari kata nasiya (‫ )نسي‬yang berarti lupa dan jika
dilihat dari kata dasar al-uns (‫)األنس‬yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut
manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru di sekitarnya.
Ada beberapa pendapat tentang hakikat manusia. Di antaranya seperti yang
diajukan oleh Syaibany yang menyatakan bahwa manusia memiliki tiga dimensi persis
seperti ”segi tiga” yang sama panjang sisi-sisinya; yaitu badan (jasmani), akal dan ruh
(jiwa).7 Menurut Syaibany pendidikan harus dapat mengembangkan jasmani, akal dan
ruhani manusia secara seimbang.
Pendapat Syaibany di atas, menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki
tiga kategori, yaitu; pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar), yang pada
hakikatnya sama dengan makhluk-makhluk yang lain, walau struktur organnya berbeda,
(Q.S.15: 28) karena manusia merupakan makkhluk yang paling sempurna (Q.S. 95:4).
Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) yang memiliki potensi rohani seperti
fitrah (Q.S. 30:30), qalb (Q.S. 22: 46) akal ( Q.S. 3: 190-191) potensi-potensi tersebut
mengangkat martabat manusia ke tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan
makhluk-makhluk yang lain. Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial yang bertugas
melestarikan alam semesta. Hal ini disebabkan kerena manusia tidak hanya befungsi
sebagai abd tetapi juga sebagai khalifah.
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam pikiran adalah berbagai
macam persfektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal
rational) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai
manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia
5
Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 6
6
M. sastrapratedja, (Ed.), Manusia Multi Dimensional, (Jakarta: Gramedia, 1983), h. ix.
7
Omar al-Toumy al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah,(Ttp: al-Syirkah al-‘Amah li an-
Nasyr wa al-Tauzi’ wa al-‘A’lam, 1975), h. 130.
mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-
simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber
dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.
Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan
“mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Di pihak lain ia
berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai
dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia
arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusia juga dikatakan
sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat
dan menciptakannya.
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat,
bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat
pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan
eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian
esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada
dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang
menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara
bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi
dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak
bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula
manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya
ada tetapi tidak dapat mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis
terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh
socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut
menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia
yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses
pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan
yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri,
agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau
manusia sempurna.

Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia


No Eksistensi Esensi Kesadaran Basic Human Kebutuhan
manusia Fitrah (Basic Human Values (Basic Dasar
Drives) Islamic (Basic
Values) Human
Needs)
1 Al Insan Rasa ingin tahu Intelektual Intelektual
2 Al Basyar Rasa lapar, haus, Biologis Biologis
dingin
3 ‘Abdullah Rasa ingin berteri- Spiritual Spiritual
makasih dan ber-
syukur kepada tuhan
4 An-Nas Rasa tahan sendiri Sosial Sosial
dan menderita dalam
kesepian
5 Khalifah fil Butuh keamanan, Estetika Estetika
ardli ketertiban,
kedamaian,
kemakmuran,
keadilan & kein-
dahan lingkungan
 
Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang
berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada
eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya
sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi
tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis,
spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas
berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu
menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan
karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan
manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi
dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain.
Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk
pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik memiliki potensi-potensi rohani.
Allah SWT. menciptakan manusia lengkap dengan potensi rohani yang memiliki
kecendrungan-kecendrungan tertentu. Oleh karena itu tugas pendidikan mengembangkan
dan melestarikan, serta menyempurnakan kecendrungan-kecendrungan yang baik dan
mengendalikan kecendrungan-kecendrungan yang tidak baik. Potensi-potensi rohani
tersebut adalah:
a. Ruh. Roh sebagai substansi kehidupan manusia. Dalam Alquran roh
selalu diulang-ulang, tetapi mempunyai makna yang berbeda-beda. Adakalanya
sebagai pemberian hidup dari Allah kepada manusia (Q.S. 15:29, 32:9) adakalanya
roh menunjukkan Alquran (Q.S. 42:52), roh juga menunjukkan kepada wahyu dan
malaikat yang membawanya (Q.S. 16:2). Semua pengertian roh tersebut tidak
satupunh menunjukkan makna badan atau badan roh, hingga roh dipahami sebagai
sesuatu yang berbeda dengan nafs.8
b. Akal. Akal dalam bahasa Arab berasal dari kata ’aqala yang berarti
mengerti, memahami dan berpikir. Lalu apakah pemahaman dan pemikiran
dilakukan melalui akal yang selalu disebut sebagai daya rasional yang berpusat di
kepala? Alquran selalu menyebutkan bahwa pemahaman dan pemikiran dilakukan
dengan menggunakan media hati (qalb).9 Ada juga yang menyatakan bahwa akal
adalah potensi yang dapat menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan yang
bermanfaat bagi kesejahteraan manusia, dan menentukan dalam usaha manusia
mencari jalan yang benar, memberikan kepuasan dalam memecahkan persoalan
10
hidup. Namun yang jelas bahwa dalam Alquran kata akal tidak sekalipun disebut
dalam bentuk isim (kata benda) tetapi Alquran hanya menyebutkan kata akal dalam
bentuk fiil (kata kerja) yaitu:’aqaluh (‫ )عقلوه‬dalam 1 ayat, ta’qilun (‫ )تعقلون‬dalam 24
ayat, na’qil (‫ )نعقل‬1 ayat, ya’qiluha (‫ )يعقلها‬1 ayat dan ya’qilun (‫ون‬e‫ )يعقل‬22 ayat. 11 Hal
ini menunjukkan bahwa esensi akal terletak pada aktifitas akal atau kerja akal yaitu
berpikir, bukan pada wujudnya.
c. Qalb (hati). Qalb merupakan karunia Allah kepada manusia. Satu di antara
keistimewaan manusia adalah qalb, karena qalb merupakan sentral kebaikan dan
kejahatan pada manusia. Pusat aktivitas manusia tidak terletak pada tubuh jasmani,

8
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (akarta: Pustaka Al-Husna, 1998) h. 272
9
Lihat Q.S. al-A’raf: 179, al-Hajj: 46, Muhammad: 24, al-Taubah: 93.
10
Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 42
11
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), 1986),
h. 5.
tetapi pada qalbnya. Al-qalb memiliki nama-nama lain yang disesuaikan dengan
aktifitasnya, ia disebut fu’ad karena sebagai tumpuan tanggung jawab manusia,
disebut luthfu karena sumber perasaan halus, qalb karena suka berbolak-balik
(berubah-ubah) sirr karena berada pada tempat yang rahasia.12 Alquran
menyatakan bahwa qalb merupakan daya penalaran, pemikiran, dan pemahaman
yang berpusat di dada. 13
d. Nafsu. Pengertian nafsu sulit untuk dirumuskan karena memiliki
pembagian yang beragam, dan memiliki ciri-ciri, serta kecendrungan-kecendrungan
yang berbeda-beda. Al-Ghazali misalnya menyebutkan nafsu sebagai dorongan
dua kekuatan yang mempunyai ciri berlawanan, pertama sebagai dorongan
ghodlob (menjauh) dan dorongan syahwat (mendekat).14
Uraian di atas menunjukkan bahwa Allah memberikan potensi-potensi rohani kepada
manusia. Potensi-potensi tersebut bila dipergunakan sebagaimana seharusnya, maka
manusia akan dapat mencapai kedudukan tertinggi sebagai khalifatullah fil ardh

12
Barmawy Umary, Materia Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1989), h. 21
13
Lihat Q.S. al-A’raf: 179, al-Hajj: 46, Muhammad: 24, al-Taubah: 93.
14
Untuk pembagian-pembagian nafsu ini lihat Muhaimin, Abdul Mujib, ..., h. 48

Anda mungkin juga menyukai