Anda di halaman 1dari 14

11 Tembang Macapat

Pengertian, Sejarah, Jenis dan Contohnya Lengkap


Sejarah, Pengertian, Jenis dan Contoh Tembang Macapat

Tembang Macapat – Macapat merupakan jenis tembang atau puisi tradisional yang
asalnya dari daerah Jawa. Di setiap bait tembangnya terdapat baris kalimat yang disebut dengan
gatra, dan setiap gatra tersebut mempunyai sejumlah suku kata atau wilangan tertentu serta yang
berbunyi pada sajak akhir disebut dengan sajak lagu.

Macapat dapat ditemukan di dalam seni kebudayaan Bali, Sasak, Sunda dan juga Madura dengan
nama yang berbeda. Macapat juga dapat ditemukan di Banjarmasin dan Palembang. Kemunculan
tembang macapat ini diperkiraan di sekitar akhir kepemimpinan Majapahit dan saat dimulainya
pengaruh dari Walisanga.

Karya kesusastraan klasik dari Jawa di masa Mataram Baru biasanya ditulis dengan
menggunakan metrum macapat. Yaitu sebuah tulisan yang bentuknya prosa atau gancaran, yang
secara umum tidak diakui sebagai karya sastra tetapi hanya sebagai daftar isinya saja.

Puisi tradisional dalam bahasa Jawa misalnya seperti wulangreh, selat kalatidha, serat
wedhatama dan lain sebagainya. Puisi tradisional dalam bahasa Jawa ini dibagi menjadi tiga
macam diantaranya yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhe. Macapat juga
digolongkan ke dalam kategori tembang cilik dan tengahan, sedangkan pada tembang gedhe
berdasarkan pada kakawin atau puisi tradisional Jawa kuno.

Namun dalam penggunaannya di zaman Mataram baru bisa diterapkan perbedaan antara suku
kata yang panjang dan pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk pada kidung,
puisi tradisional dan bahasa Jawa pertengahan. Bila dibandingkan dengan kakawin maka
peraturan tembang macapat jauh berbeda, dan pada penerapannya lebih mudah menggunakan
bahasa Jawa.

Karena lain halnya dengan kakawin yang berdasarkan pada bahasa Sansekerta, di dalam tembang
macapat ini tidak perlu memerhatikan suku kata panjang dan pendek.

Tembang Macapat Secara Bahasa

Tembang macapat ini sering juga diartikan sebagai maca papat-papat atau membaca
empat-empat, yang artinya adalah cara membaca setiap empat suku kata. Walaupun ini bukan
satu-satunya arti, karena ada juga penafsiran lainnya. Yang artinya merajuk pada sejumlah
diakritis atau pandangan di dalam aksara Jawa, yang sesuai dengan penambangan macapat.

Menurut serat mardawalugu yang dibuat oleh Ranggawarsita, macapat adalah kependekan dari
frasa maca-pat-lagu yang artinya yaitu melagukan nada keempat. Selain maca-pat-lagu masih
ada lagi yang lainnya yaitu maca-sa-lagu, maca-tri-lagu dan maca-ro-lagu. Dan menurut
sejarahnya maca-sa termasuk ke dalam kategori tertua yang diciptakan oleh para dewa.
Kemudian diturunkan pada pandita walmiki lalu mulai diperbanyak oleh pujangga istana
yogiswara yang berasal dari Kediri. Faktanya hal ini termasuk pada kategori yang disebut dengan
tembang gedhe. Sedangkan maca ro termasuk tipe tembang gedhe, yang dimana jumlah baitnya
per pupuh bisa kurang dari empat. Dan jumlah suku katanya di setiap bait tidak selalu sama dan
diciptakan oleh yogiswara.

Maca tri atau tembang tiga adalah tembang tengahan yang menurut sejarahnya diciptakan oleh
Resi Wiratmaka, pandita istana janggala dan diselesaikan oleh Pangeran Panji Inokartapai
dengan saudaranya. Pada akhirnya macapat atau yang dikenal dengan tembang cilik diciptakan
oleh Sunan Bonang, lalu diturunkan pada wali lainnya.

Sejarah Tembang Macapat

Seni karawitan adalah salah satu seni di Pulau Jawa yang keberadaannya masih
dibutuhkan sampai sekarang, dan oleh sebagian masyarakat baik untuk kebutuhan spiritual
maupun untuk hiburan. Sebagai sarana spiritual misalnya untuk mengiringi lagu ibadat Ekarisiti
atau misa di beberapa gereja Katolik. Dan digunakan sebagai sarana hiburan untuk acara hajatan,
misalnya upacara pernikahan (mantenan), khinatan (supitan), iringan tari (karawitan tari) dan
iringan wayang (karawitan pakeliran).

Hal itu menunjukkan bahwa karawitan memiliki toleransi yang berpengaruh pada budaya
masyarakat, dan mampu beradaptasi sesuai dengan perkembangan zaman. Sajian seni karawitan
ini bisa berupa gending atau lagu, yaitu susunan nada di dalam karawitan Jawa yang berupa
instrumen dengan menggunakan laras slendro dan pelog.

Gending juga bisa dipertunjukkan dalam bentuk instrumentalia atau gending yang hanya
ditampilkan, dengan menggunakan gamelan. Dan juga ditampilkan dalam bentuk vocal atau
ditampilkan hanya dengan menggunakan tembang.

Vocal di dalam seni karawaitan ini bisa berupa solo vocal ataupun dalam bentuk gerongan atau
koor, sedangkan untuk syairnya dapat berupa wangsalan purwa kanthi atau sekar tengahan dan
sekar macapat. awalnya jenis tembang itu memiliki fungsinya masing-masing. misalnya
Tembang Gedhe (Sekar Ageng), Tembang Tengahan (Sekar Tengahan), berfungsi sebagai bawa
swara (solo vocal sebagai pembuka gending ataupun buka).

Sedangkan untuk tembang macapat atau sekar macapat ditembangkan dengan cara lepas, tanpa
adanya iringan gamelan. Yang biasanya digunakan untuk acara ritual seperti misalnya kidung
rahayu yang ditembangkan untuk meminta keselamatan dan dijauhkan dari bencana.

Berikut contoh syairnya :

Ana kidung rumêksa ing wêngi,

têguh hayu luputa ing lara,

luputa bilahi kabèh,

jim sétan datan purun,

panêluhan tan ana wani,

miwah panggawé ala,

gunané wong luput,

gêni atêmahan tirta,

maling adoh tan ana ngarah mring kami,

tuju duduk pan sirna (Anonim, tanpa tahun: 1).


Tembang macapat ini juga sering dilantunkan di beberapa acara seperti wungon tirakatan oleh
orang Jawa, di waktu kelahiran bayi atau bayenan atau upacara jagong bayi di rumah orang yang
baru melahirkan.

Tujuan dilakukannya tembang macapat ini adalah agar bayi yang dilahirkan diberi keselamatan
dan kesehatan. Acara ini bahkan dilakukan sampai 35 hari (untuk sebagian orang saja). Yang
digunakan untuk menembang biasanya dari serat makukuhan, serat ambiya, serat rama dan lain
sebagainya. Seiring dengan berjalannya waktu tembang macapat digunakan sebagai sarana ritual
yang pada akhirnya muncul kesenian, yang disebut dengan Langen Mandrawanara di keratin
kesultanan Yogyakarta dan Langendriyan di Surakarta.

Dengan menggunakan tembang macapat sebagai pengganti dialog tokoh wayang yang keluar di
setiap adegan. Lagu dan cengkok di nyanyian kedua genre seni ini beda dengan cengkok atau
lagu macapat. Jenis tembang macapat diantaranya yaitu

(1) Mijil;                               (2) Maskumambang;

(3) Sinom;                           (4) Asmarandana;

(5) Kinanthi;                       (6) Gambuh;

(7) Dhandhanggula;         (8) Durma;

(9) Pangkur;                       (10) Mêgatruh;

(11) Pocung.

Sesuai dengan sifat dan tradisinya, tembang tersebut memiliki aturan yang sifatnya mengikat
seperti guru wilangan, atau jumlah suku kata pada setiap barisnya dan guru lagu atau persajakan.

Jenis Tembang Macapat

Tembang macapat ini memiliki beberapa jenis, yang dimana masing-masing tembang
memiliki aturan berupa guru lagu dan guru wilangannya. Yang satu dengan yang lainnya
berbeda-beda. Jenis macapat yang paling dikenal ada 11 jenis, diantaranya yaitu :

Tembang Mijil

Adalah jenis tembang yang menceritakan tentang kisah hidup seseorang, yang
digambarkan seperti sebuah biji atau benih yang baru lahir ke dunia. Tembang macapat mijil ini
dimulai dengan kisah perjalanan hidup manusia yang masih suci, dan masih membutuhkan
perlindungan.

Contohnya :

Deda lanne guna lawan sekti

Kudu andhap asor

Wani ngalah dhuwur wekasane

Tumungkulla yen dipundukanni

Ruruh sarwa wasis

Samubarangipun

Poma kaki dipun eling (10i)


Ing pitutur ingong (6o)

Sira uga satriya arane (10e)

Kudu anteng jatmika ing budi (10i)

Ruruh sarta wasis (6i)

Samubarangipun (6o)

Kedua lirik tersebut memiliki makna sebuah nasehat yang baik agar bisa selalu diingat. Misalnya
seseorang yang memiliki budi pekerti yang luhur, ramah, dan juga beretika yang disebut dengan
kesatria.

Tembang Mijil ini memiliki watak yang menggambarkan keterbukaan dalam menyajikan suatu
nasehat, atau kisah tentang asmara.

Tembang Maskumambang

Adalah sebuah bagian dari tembang macapat yang mengisahkan awal mula perjalanan hidup
manusia, yang masih berupa embrio dan masih di dalam kandungan ibu. Serta belum diketahui
secara pasti apa jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan. Maskumambang adalah kata
yang berasal dari kata mas dan kumambang. Arti kata mas adalah belum diketahui jenis
kelaminny, baik laki-laki maupun perempuan.

Sedangkan kumambang adalah arti hidup yang mengambang, atau masih bergantung di dalam
kandungan ibu atau alam rahim seorang wanita.

Contohnya :

Kelek-kelek biyung sira aneng ngendi (12i)

Enggal tulungana (6a)

Awakku kecemplung warih (8i)

Gulagepan wus meh pejah (8o)

Maknanya adalah seseorang yang sedang benar-benar membutuhkan pertolongan, karena hanyut
di sungai dan akan tenggelam.

Tembang Kinanthi

Adalah jenis tembang yang isinya berupa kisah yang menggambarkan kehidupan seorang anak,
yang masih membutuhkan tuntunan untuk menjalani kehidupan yang baik di dunia. Tuntunan
yang dibutuhkan anak tersebut tidak sekadar untuk berjalan saja, tetapi juga tuntunan untuk dapat
mengetahui dan memahami beragam norma dan adat yang berlaku di masyarakat.

Sehingga ia dapat mematuhi dan melaksanakan apa yang telah ia pelajari di dalam kehidupan ini.
Dari segi wataknya karakter tembang ini cenderung mengungkapkan nuansa yang
menyenangkan, kasih sayang, dan kecintaan juga teladan hidup.

Contohnya :

Kagyat risang kapirangu

Rinangkul kinempi-kempit
Duh sang retnaning bawana

Ya ki tukang walang ati

Ya ki tukang ngenes ing tyas

Ya ki tukang kudu gering

Anoman malumpat sampun (8u)

Prapteng witing nagasari (8i)

Mulat mangandhap katingal (8a)

Wanodya yu kuru aking (8i)

Gelung rusak wor lan kisma (8a)

Kang iga-iga kaeksi (8i)

Tembang Gambuh

Merupakan tembang yang isinya menceritakan tentang perjalanan hidup seseorang yang sudah
menemukan kekasihnya. Kata gambuh ini mempunyai makna menyambungkan. Sehingga
keduanya dapat dipertemukan untuk menjalin ikatan, yang lebih sakral yaitu pernikahan. Maka
keduanya dapat dapat menjalani kehidupan bersama dan mendapatkan kehidupan yang langgeng.

Karakter tembang ini adalah mengenai keramahan dan juga persahabatan. Tembang gambuh juga
dapat digunakan untuk menyampaikan suatu kisah kehidupan.

Contohnya :

Lan sembah sungkem ipun

Mring Hyang Sukma elinga sireku

Apan titah sadaya amung sadermi

Tan welangsira andhaku

Kabeh kagungan Hyang Manon

Tembang Dhandanggula

Tembang macapat dhandanggula memiliki makna yang sangat indah. Katan dhandanggula itu
sendiri berasal kata gegadhangan yang artinya yaitu cita-cita, harapan dan juga angan.
Sedangkan kata dari gula adalah manis, indah dan menyenangkan.

Selain memiliki arti harapan yang indah, ada beberapa kalangan yang juga mengartikan
dhandanggula yang berasal dari kata dhandang yang maknanya pucung gagak yang
melambangkan duka, dan gula yang bermakna manis, yang melambangkan suka.

Maksudnya kebahagiaan bisa diperoleh setelah sepasang kekasih sudah melalui duka dan suka
dalam berumah tangga. Sehingga kemudian terciptalah cita-citanya. Watak dari tembang
dhandanggula adalah gembira, indah dan luwes. Yang cocok dijadikan pembuka untuk mengajak
suatu kebaikan, ungkapan rasa cinta dan juga kebahagiaan.
Ciri Dhandanggula :

Mempunyai Guru Gatra : 10 baris setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7 (artinya baris pertama terdiri dari 10
suku kata, baris kedua berisi 10 suku kata, dan seterusnya…)

Mempunyai Guru Lagu : i, a, e, u, i, a , u, a, i, a (artinya baris pertama berakhir dengan vokal i,


baris kedua berakhir vokal a)

Contoh tembang macapat Dandanggula :

amun sira ameguru kaki (apabila engkau meminta nasehat dariku)

Amiliha manungsa sanyata (Pilihlah manusia sejati)

Ingkang becik martabate (Yang baik martabatnya)

Sarta weruh ing ukum (Serta mengetahui hukum)

Kang ibadah lan kang wirangi (Yang taat beribadah dan menjalankan ajaran agama)

Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul (sukur jika mendapat orang suka perihatin yang
telah mumpuni)

Tan gumantung liyan (Yang tidak menggantungkan kepada orang lain)

Iku wajib guronana kaki (Kepadanyalah engkau harus berguru)

Sartane kawruhanana (Serta belajar padanya)

Tembang Durma

Adalah jenis tembang yang mengisahkan tentang seseorang yang memperoleh segala kenikmatan
dari Tuhan Yang Maha Esa. Biasanya pada saat manusia sedang dalam kondisi kesulitan ia akan
mengingat penciptanya, dan saat ia berada di titi kesenangan maka ia akan lupa pada Tuhan.

Baca Juga :   Pengertian Verba Pewarta Dan Contohnya Lengkap

Seharusnya manusia berada dalam kondisi yang serba berkecukupan, dan ia akan bersyukur.
Tetapi pada kenyataannya malah sebaliknya. Ia akan bersikap sombong, serangkah, angkuh dan
suka mengumbar hawa nafsu. Serta berbuat semena-mena pada orang lain.

Sifat yang kurang baik inilah yang digambarkan di dalam tembang durma. Bagi beberapa
kalangan durma ini dimaknai sebagai munduring tatak rama atau mundurnya tata karma.
Tembang macapat durma biasanya akan menggambarkan beberapa sifat semangat perang,
berontak dan juga amarah. Ia akan menggambarkan keadaan diri manusia yang cenderung
memiliki perilaku yang buruk dan egois, dan hanya semaunya sendiri.

Ciri tembang macapat Durma adalah :

Mempunyai Guru Gatra : 7 baris setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 12, 8, 6, 7, 8, 5, 7 (artinya baris pertama terdiri dari 12 suku kata,
baris kedua berisi 8 suku kata, dan seterusnya…)

Mempunyai Guru Lagu : a, i, a, a, i, a, i (artinya baris pertama berakhir dengan vokal a, baris
kedua berakhir vokal i).
Tembang Pangkur

Biasanya tembang macapat pangkur banyak digunakan pada tembang yang memiliki nuansa
pitutur atau nasihat, cinta dan juga pertemanan. Baik perasaan terhadap anak, pasangan, Tuhan
dan semesta alam. Banyak orang yang memaknai tembang macapat pangkur sebagai sebuah
tembang yang menceritakan tentang orang yang sudah masuk ke usia tua. Yang dimana orang
tersebut mulai mungkur atau sudah meninggalkan hal-hal duniawi.

Oleh sebab itu banyak tembang macapat pangkur yang isinya berupa nasehat yang ditujukan
untuk generasi muda. Contoh tembang macapat pangkur yang populer di kalangan masyarakat
yaitu sebuah karya dari KGPAA mangkunegoro IV yang ditulis dalam serat Wedatama, Pupuh I
yaitu :

Mingkar-mingkuring ukara

(Membolak-balikkan kata)

Akarana karenan mardi siwi

(Karena akan mendidik seorang anak)

Sinawung resmining kidung

(Tersirat di dalam indahnya tembang)

Sinuba sinukarta

(Dihias penuh warna )

Mrih kretarta pakartining ilmu luhung

(Supaya menjiwai hakekat ilmu luhur)

Kang tumrap ing tanah Jawa

(Yang berada di tanah Jawa/nusantara)

Agama ageming aji.

(Agama “pakaian” diri)

Jinejer ing Wedhatama

(Tersaji dalam serat Wedhatama)

Mrih tan kemba kembenganing pambudi

(Supaya jangan miskin budi pekerti)

Mangka nadyan tuwa pikun

(Padahal meskipun tua dan pikun)

Yen tan mikani rasa

(bila tak memahami rasa)

Yekti sepi sepa lir sepah asamun


(Tentu sangat kosong dan hambar sebagaimana ampas buangan)

Samasane pakumpulan

(Ketika dalam pergaulan)

Gonyak-ganyuk nglelingsemi.

(Terlihat bodoh memalukan)

Nggugu karsane priyangga,

(Menuruti keinginan sendiri)

Nora nganggo peparah lamun angling,

(Tanpa tujuan apabila berbicara)

Lumuh ingaran balilu

(Tidak mau dibilang bodoh)

Uger guru aleman,

(Seolah pintar supaya dipuji)

Nanging janma ingkang wus waspadeng semu,

(Tapi manusia yang telah mengetahui akan gelagatnya)

Sinamun samudana,

(Malah merendahkan diri)

Sesadoning adu manis.

(Menanggapi semuanya dengan baik)

Si pengung nora nglegewa,

(Si bodoh tidak menyadari)

Sangsayarda denira cacariwis,

(Semakin menjadi dalam membual)

Ngandhar-andhar angendukur,

(bicaranya ngelantur kesana-kemari)

Kandhane nora kaprah,

(Ucapannya salah kaprah)

Saya elok alangka longkangipun,

(Semakin sombong bicaranya tanpa jeda)

Si wasis waskitha ngalah,


(Si bijak memilih mengalah)

Ngalingi marang sipingging.

(Menutupi tingkah laku si bodoh)

Mangkono ilmu kang nyata,

(Seperti itulah ilmu yang benar)

Sanyatane mung we reseping ati,

(Sejatinya hanya digunakan untuk menentramkan hati)

Bungah ingaran cubluk,

(Senang apabila dianggap bodoh)

Sukeng tyas yen den ina,

(Senang dihati jika dihina)

Nora kaya si punggung anggung gumunggung,

(Tidak seperti Si bodoh yang haus pujian)

Ugungan sadina dina,

(Ingin dipuji tiap hari)

Aja mangkono wong urip.

(Jangan seperti itu manusia hidup)

Uripe sapisan rusak,

(Hidup sekali rusak)

Nora mulur nalare ting saluwir,

(Tak berkembang pikiranya berantakan)

Kadi ta guwa kang sirung,

(Seperti gua gelap yang angker)

Sinerang ing maruta,

(Diterjang angin)

Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung

(Bergemuruh bergema tanpa makna)

Pindha padhane si mudha,

(Seperti itulah anak muda kurang ilmu)

Prandene paksa kumaki.


(Tapi sangat angkuh)
Tembang Megatruh

Tembang macapat megatruh merupakan salah satu tembang yang menceritakan manusia pada
saat dalam kondisi sakaratulmaut. Kata megatruh sendiri berasal dari kata megat atau pegat yang
maknanya yaitu berpisah, dan ruh yang artinya nyawa. Jadi megatruh ini adalah berpisahnya jiwa
dengan raga.

Kematian menjadi hal yang paling ditonjolkan di dalam tembang ini. Yaitu sebuah kondisi
dimana semua yang bernyawa di dunia, akan mengalaminya. Proses yang menyakitkan sekaligus
menjadi proses yang menegangkan bagi banyak orang, dan proses terbukanya gerbang yang
menuju kehidupan yang kekal yang tidak ada akhirnya.

Menurut para pemuka agama ruh akan lepas dengan mudah dan juga ringan, bagi mereka yang
mempunyai iman serta ketaatan. Bagi orang yang beriman tersebut, malaikat akan datang dan
mencabut nyawa dengan kesan yang baik dan menggembirakan. Tak ada yang tahu kapan ajal
akan menjemput, tetapi kepastian itu akan terjadi.

Yang kita butuhkan hanya selalu mempersiapkan bekal untuk menyambut ajal. Karakter di
dalam tembang macapat megatruh ini adalah sedih, menyesal, prihatin dan lain sebagainya.

Ciri tembang macapat megatruh :

Mempunyai Guru Gatra : 5 baris setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 12, 8, 8, 8 (artinya baris pertama terdiri dari 12 suku kata, baris
kedua berisi 8 suku kata, dan seterusnya…)

Mempunyai Guru Lagu : u, i, u, i, o (artinya baris pertama berakhir dengan vokal u, baris kedua
berakhir vokal i,)

Contoh tembang macapat megatruh :

sigra milir kang gèthèk sinangga baju

lkawan dasa kang njagèni

ing ngarsa miwah ing pungku

rtanapi ing kanan kéri

ngkang gèthèk lampahnya alon

Tembang Pocung

Tembang pucung atau yang biasa disebut dengan pocung, artinya adalah pocong atau orang yang
sudah meninggal. Bagi orang Jawa ruh yang keluar dari badannya, akan dirawat dan juga
disucikan sebelum dikembalikan ke tempat asalnya yaitu tanah.
+Sebelum dikuburkan jasad akan dimandikan lalu dibungkus dengan kain kafan berwarna putih,
yang melambangkan sebuah kesucian, dan lalu dishalatkan. Tembang pucung merupakan
tembang yang biasa digunakan untuk mengingatkan bahwa makhluk yang bernyawa, pasti akan
menemui ajalnya.

Kita sebagai manusia hanya hidup sementara di dunia, suatu saat nanti pasti berpisah dengan
segala hal yang dicintai semasa hidupnya. Dari mulai harta, benda, anak, istri, keluarga, jabatan
dan lain sebagainya, tidak akan bisa dibawa sebagai bekal untuk menuju ke akhirat yang kekal.
Kecuali hanya dengan satu hal yaitu iman.
Tembang macapat pucung memiliki sifat yang jenaka, berisi tebakan yang lucu, dan juga
mengandung nasehat, serta berisi beragam ajaran manusia agar mampu membawa diri dalam
mengarungi kehidupan dengan harmonis lahir dan batin.

Ciri tembang pocung :

Mempunyai Guru Gatra : 4 baris pada setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 12, 6, 8, 12 (maknanya baris pertama terdiri dari 12 suku kata,


baris kedua berisi 6 suku kata, dan seterusnya…)

Mempunyai Guru Lagu : u, a, i, a (maknanya baris ke satu berakhir dengan vokal u, baris kedua


berakhir vokal a,)

Contoh tembang macapat pocung yang diambil dari erat Wulangreh karya Sri Susuhunan
Pakubuwana IV, Raja Surakarta :

Ngelmu iku kalakone kanthi laku

(Ilmu itu hanya bisa diraih dengan cara dilakukan dalam perbuatan)

Lekase lawan kas

(Dimulai dengan keinginan)

Tegese kas nyantosani

(Maknanya keinginan yang menguatkan)

Setya budaya pangekese dur angkara

(Keikhlasan budi serta usaha ialah penakluk kejahatan)

Angkara gung neng angga anggung gumulung

(Kejahatan besar dalam tubuh kuat menggelora)

Gegolonganira

(Menyatu dengan diri sendiri)

Triloka lekeri kongsi

(Menjangkau sampai 3 dunia)

Yen den umbar ambabar dadi rubeda.

(Apabila dibiarkan akan berkembang menjadi bencana)

Beda lamun kang wus sengsem reh ngasamun

(Namun berbeda dengan yang sudah menyukai menyepi)

Semune ngaksama

(Terlihat sifat pemaaf)

Sasamane bangsa sisip


(Sesama manusia yang penuh salah)

Sarwa sareh saking mardi martatama

(Selalu bersikap sabar dengan jalan memprioritaskan sikap rendah hati)

Taman limut durgameng tyas kang weh limput

(Dalam kabut kegelapan, angkara dihati yang selalu menghalangi)

Karem ing karamat

(Larut dalam kesakralan hidup)

Karana karoban ing sih

(Karena temggelam dalam kasih sayang)

Sihing sukma ngrebda saardi pengira

(Kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung)

Yeku patut tinulat tulat tinurut

(Sebenarnya itulah yang pantas untuk dilihat, dicontoh dan patut ditiru)

Sapituduhira

(Sebagai nasehatku)

Aja kaya jaman mangkin

(Jangan seperti zaman kelak)

Keh pra mudha mundhi diri Rapal makna

(Banyak anak muda menyombongkan diri dengan hafalan arti)

Durung becus kesusu selak besus

(Belum pantas tergesa-gesa untuk berceramah)

Amaknani rapal

(Memaknai hafalan)

Kaya sayid weton mesir

(Seperti sayid dari Mesir)

Pendhak pendhak angendhak Gunaning jalma

(Setiap saat meremehkan kemampuan orang lain)

Tembang Asmaradana

Tembang macapat asmaradana adalah tembang yang mengisahkan tentang gejolak asmara yang
dialami oleh manusia. Sama dengan maknanya, asmaradana berasal dari kata asmara yang
artinya asmara dan dahana artinya api asmara.
Sebagai dalam kehidupan manusia, ia akan digerakkan oleh cinta, asmara dan juga welas asih.
Banyak orang yang percaya dengan kekuatan cinta segalanya bisa dilakukan. Bukan hanya cinta
kepada sesama manusia saja, tetapi juga cinta pada Sang Pencipta, cinta pada Rasulullah, dan
juga alam semesta.

Macapat asmaradana biasanya disebut dengan asmarandana, yaitu sebuah lagu kasmaran yang
digunakan seseorang saat mengungkapkan perasaan cintanya. Atau bisa juga untuk lagu sedih
karena patah hati, kecewa, pasangan yang bahagia, cinta yang ditolak dan sebuah penghargaan
untuk pasangan.

Ciri tembang asmaradana adalah :

Mempunyai Guru Gatra : 7 baris setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 8, 8, 8, 8, 7, 8, 8 (artinya baris pertama terdiri dari 8 suku kata,
baris kedua berisi 8 suku kata)

Mempunyai Guru Lagu : a, i, e , a, a, u, a (artinya baris pertama berakhir dengan vokal a, baris
kedua berakhir dengan vokal i).

Tembang Sinom

Tembang macapat sinom adalah jenis tembang yang banyak menceritakan tentang seorang anak
muda, yang sedang dalam masa proses pertumbuhan. Pada usia ini biasanya ia sedang berada
dalam masa pencarian diri, masih bertanya tentang siapa aku, sehingga ia pun akan mencari
sosok yang dapat menjadi panutan atau teladan bagi dirinya.

Ciri tembang sinom diantaranya yaitu :

Mempunyai Guru gatra: 9 baris setiap bait (Maknanya tembang Sinom ini memiliki 9 larik atau
baris kalimat).

Mempunyai Guru Wilangan: 8, 8, 8, 8, 7, 8, 7, 8, 12 (Maknanya baris pertama terdiri dari 8 suku


kata, baris kedua berisi 8 suku kata, dan seterusnya).

Mempunyai Guru Lagu: a, i, a, i, i, u, a, i, a (Maknanya baris pertama berakhir dengan vokal a,


baris kedua berakhir vokal i, dan seterusnya).

Contoh tembang macapat sinom yang paling terkenal adalah karya KGPAA Mangkunegoro ke
IV (1811-1882 M) yang tertulis di dalam Serat Wedatama, Pupuh Sinom, podo 15. Tembang ini
dikenal juga dengan nama Sinom Gadhung Melati.

Nulada laku utama

(Contohlah tingkah laku yang utama)

Tumrape wong tanah Jawi

(Bagi orang di tanah Jawa)

Wong agung ing Ngeksiganda

(Orang besar dari Ngeksiganda/Mataram)

Panembahan Senopati

(Panembahan Senopati)

Kepati amarsudi
(Sangat tekun dalam berusaha)

Sudane hawa lan nepsu

(Mengurangi hawa nafsu)

Pinepsu tapa brata

(Dengan cara berlaku prihatin/bertapa)

Tanapi ing siyang ratri

(yang dilakukan siang dan malam)

Amamangun karyenak tyasing sesami

(Berkarya untuk membangun ketenteraman hati sesama)

Penafsiran pada tembang ini adalah mengajak generasi muda untuk meneladani sifat dan juga
perilaku Raja Mataram, yang bernama Panembahan Sinopati. Di masa hidupnya Panembahan
Sinopati ini merupakan orang yang memiliki kebiasaan dalam menata diri dengan memiliki
perilaku yang prihatin, bermedetasi dan bertapa.

Bagi orang Jawa yang memiliki perilaku prihatin maksudnya adalah salah satu ikhtiar diri dalam
mengendalikan hawa nafsu. Baik hawa nafsu amarah, mala, nafsu pada lawan jenis, atau
keserakahan dalam makan dan tidur.

Hawa nafsu adalah anugrah yang diberikan oleh Allah agar digunakan oleh manusia
sebagaimana mestinya. Di dalam pupuh sinom ini, terdapat pesan yang isinya berusaha untuk
prihatin baik di waktu siang maupun malam. Maka hal itu akan membuat diri menjadi tentram,
dan juga bagi orang lain.

Orang yang sudah bisa mengontrol dirinya sendiri dan juga hawa nafsunya, maka akan bersikap
lebih bijaksana dalam berperilaku. Perilaku bijaksana inilah yang menentramkan hati.

Demikian penjelasan dan pembahasan lengkap mengenai tembang macapat, jenis dan contohnya.
Semoga dapat dipahami dan menambah wawasan.

Anda mungkin juga menyukai