Anda di halaman 1dari 43

TUGAS MANDIRI ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK 2

BEDAH MINOR PADA ANAK

Kelompok A7

Michelle Margaretha Debby 021811133050

A. M. Arkan Yarus 021811133051

Joceline Margareth 021811133052

Anisa Salsabila A. P 021811133053

Rizki Annisa Ro’ifa 021811133055

Salwa Aulia Rahmawati 021811133057

Rafly Zauko Fahrezy 021811133059

DEPARTEMEN KEDOKTERAN GIGI ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2021
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN........................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................3
2.1 Faktor yang dipertimbangkan untuk pencabutan gigi pada anak..........3
2.2 Indikasi pencabutan gigi sulung..................................................................4
2.3 Kontraindikasi pencabutan gigi sulung......................................................5
2.4 Indikasi Pencabutan Molar Pertama Permanen..............................................6
2.5 Anestesi...........................................................................................................6
2.5.1 Anestesi Umum.......................................................................................6
2.5.2 Anestesi Lokal.........................................................................................9
2.6 Teknik Injeksi...............................................................................................17
2.6.1 Teknik Infiltrasi.....................................................................................17
2.7 Penggunaan Alat...........................................................................................25
2.7.1 Elevator..................................................................................................25
2.7.2 Forsep....................................................................................................27
2.8 Teknik Pencabutan Gigi Sulung...................................................................30
2.8.1 Gigi Sulung Anterior.............................................................................31
2.8.2 Gigi Sulung Molar.................................................................................34
2.9 Komplikasi Post Ekstraksi............................................................................35
2.9.1 Manifestasi Infeksi................................................................................36
2.9.2 Manajemen Infeksi................................................................................37
BAB III DAFTAR PUSTAKA....................................................................................40
BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu tindakan perawatan dalam bidang kedokteran gigi anak yang paling

sering dilakukan adalah ekstraksi atau pencabutan gigi. Pencabutan gigi merupakan

tindakan bedah minor pada bidang kedokteran gigi yang melibatkan jaringan keras

dan jaringan lunak pada rongga mulut. Pembedahan yang dilakukan pada pasien anak

melibatkan sejumlah pertimbangan khusus (Marwah, 2018).

Terdapat perbedaan indikasi, kontraindikasi dan teknik pencabutan gigi pada

anak dan remaja dengan pencabutan pada gigi orang dewasa (Koch et al., 2017).

Umumnya, gigi nekrotik, gigi sulung ankilosis tanpa adanya benih gigi permanen,

gigi dengan karies yang parah, terutama dengan resorpsi akar lanjut, dan gigi seri

sulung yang terkena cedera traumatis parah harus diekstraksi. Kondisi gigi impaksi,

misalnya mesiodens, juga menjadi indikasi pembedahan, jika mengganggu erupsi gigi

di sekitarnya, menyebabkan posisi gigi erupsi abnormal, atau mengembangkan

kondisi patologis di daerah tersebut (Koch et al., 2017). Menurut penelitian  Bansal

et al (2017), dari total 483 gigi yang diekstraksi pada anak usia 5-12 tahun, alasan 

yang paling umum ditemukan yaitu karies gigi pada 64,3%, trauma pada  gigi 17,8%,

keperluan ortodontik 9,42 %, mobilitas  gigi pada 4,3% dan faktor lain sebesar

3,9%.Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam proses pembedahan khususnya

pencabutan gigi pada anak, penting untuk dillakukan evaluasi klinis dan radiografik

gigi secara menyeluruh sebelum operasi dilakukan (Marwah, 2018).


Anak-anak memiliki banyak ketakutan yang tidak diungkapkan terkait dengan

prosedur pembedahan khususnya pencabutan gigi sehingga dokter gigi perlu

mempertimbangkan manajemen psikologis anak ketika melakukan pembedahan.

Dokter gigi juga perlu melakukan behavioral guidance bagi anak pada periode

perioperatif dan operatif sehingga anak bisa lebih kooperatif ketika dilakukan

perawatan ini (Cademartori et al., 2017).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor yang dipertimbangkan untuk pencabutan gigi pada anak

Untuk pasien anak, harus ada pertimbangan kemampuan pasien untuk

kooperatif selama perawatan. Hal ini bergantung pada usia pasien, kesehatan

sistemik, dan operasi yang direncanakan. Praktisi dapat mempertimbangkan

untuk menggunakan sedasi inhalasi nitrous oxide, sedasi oral, sedasi

intramuskular, sedasi intravena, atau kombinasi dari beberapa sedasi ini

(McDonald, Avery and Dean, 2021).

Selain itu, lapang pandang yang memadai juga diperlukan untuk prosedur

bedah minor pada anak-anak. Dibutuhkan akses yang memadai, pencahayaan

yang cukup, dan suction yang baik agar bidang pembedahan bebas dari debris

dan saliva yang berlebih. Dibutuhkan pembukaan mulut yang tepat sehingga

terdapat lapang pandang yang cukup untuk akses bedah. pembukaan mulut

pasien dan mempertahankan mulut pasien untuk tetap terbuka dapat digunakan

bite block. Penggunaan bite block dapat digunakan juga pada pasien yang kurang

kooperatif. Selain bite block, dibutuhkan retraksi yang sesuai dengan

menggunakan retraktor. Retraksi dapat dilakukan baik oleh dokter gigi

menggunakan tangan non dominan atau oleh asisten (McDonald, Avery and

Dean, 2021).

Lapang pandang yang memadai bergantung pada penetapan bidang

pembedahan yang bebas dari debris sehingga dibutuhkan penggunaan high speed
surgical suction. Operator yang melakukan suction harus menempatkan ibu

jarinya di atas lubang pada pegangan ketika suction ditempatkan pada tulang dan

diinginkan daya hisap yang maksimal dari suction. Namun ketika daya hisap

yang diinginkan lebih sedikit (misalnya, saat menyedot jaringan lunak) maka

operator harus membiarkan lubang diatas pegangan agar tetap terbuka sehingga

daya hisap akan menurun. Praktisi juga harus memiliki suction Yankauer atau

tonsil yang bekerja dengan menghilangkan sejumlah besar debris dengan ujung

tumpulnya (McDonald, Avery and Dean, 2021).

2.2 Indikasi pencabutan gigi sulung

Terdapat banyak sebab mengapa gigi sulung maupun gigi permanen harus

dilakukan pencabutan. Dari sekian banyak kasus, hal yang mempengaruhi gigi

harus dicabut seperti adanya penyakit atau gigi tersebut dapat menyebabkan sakit

karena penyebaran infeksi. Berikut adalah indikasi utama pencabutan (Marwah,

2018): 

a. Gigi yang terkena karies lanjutan dan sekuelnya.

b. Gigi yang terkena penyakit periodontal.

c. Pencabutan gigi yang sehat untuk mengoreksi maloklusi.

d. Retensi gigi yang berlebihan.

e. Trauma pada gigi atau rahang dapat menyebabkan dislokasi gigi dari

soketnya (avulsi).

f. Pencabutan gigi untuk alasan estetika.

g. Pencabutan gigi untuk alasan prostodontik.

h. Gigi impaksi dan gigi supernumerary.


i. Pencabutan gigi M1 atau M2 untuk mencegah impaksi gigi M3.

j. Gigi yang terletak dalam garis fraktur.

k. Gigi yang terletak pada tumor atau kista.

l. Gigi sebagai fokus infeksi.

m. Gigi yang terkena dampak crown, abrasi, atrisi atau hypoplasia.

n. Gigi yang terdapat lesi pulpa misalnya pulpitis, pink spot atau pulpa polip.

o. Gigi di area iradiasi terapeutik langsung.

2.3 Kontraindikasi pencabutan gigi sulung

Sebelum dilakukan pencabutan pada gigi sulung, perlu diperhatikan

kesehatan lokal atau sistemik dari pasien. Jika terdapat suatu kondisi yang dapat

membahayakan nyawa pasien, maka pencabutan gigi harus ditunda sampai

kondisi tersebut sembuh, atau setidaknya dalam kondisi terkendali. Terdapat

beberapa kontraindikasi pencabutan; (Marwah, 2018)

1. Infeksi oral akut seperti necrotizing ulcerative gingivitis atau herpetic

gingival stomatitis.

2. Pericoronitis.

3. Pencabutan pada gigi yang sebelumnya dilakukan terapi radiasi pada area

tersebut. (Minimal pencabutan dilakukan 1 tahun setelah radiasi).

4. Kondisi sistemik

a. Diabetes yang tidak terkontrol.

b. Diskrasia darah akut.

c. Kelainan koagulasi yang tidak tertangani.

d. Ketidakcukupan adrenal.
e. Kelemahan tubuh secara umum yang diakibatkan apapun.

f. Infark miokardial.

2.4 Indikasi Pencabutan Molar Pertama Permanen

Indikasi utama pencabutan adalah gigi yang terkena karies parah,

penyakit periodontal, over-retained teeth, gigi impaksi dan supernumerary teeth,

gigi yang terkena tumor atau kista, gigi yang terkena lesi pulpa (pulpitis, pink

spot, atau polip pulpa) dan gigi di area iradiasi terapeutik langsung. Pencabutan

gigi molar pertama atau kedua yang mengalami karies parah diindikasikan untuk

mencegah impaksi gigi molar ketiga (Marwah, 2014). Gigi permanen yang

impaksi diindikasikan pencabutan apabila mengganggu erupsi gigi,

menyebabkan posisi erupsi gigi abnormal, atau mempengaruhi kondisi patologis

di daerah sekitarnya (Koch et al, 2017).

2.5 Anestesi

2.5.1 Anestesi Umum

Anestesi umum didefinisikan sebagai keadaan tidak sadar yang terkontrol

disertai dengan hilangnya refleks protektif. Penggunaan anestesi umum

terkadang diperlukan untuk memberikan perawatan gigi yang berkualitas bagi

anak. Pengaplikasian anastesi umum dapat dilakukan di rumah sakit atau

tempat rawat jalan, termasuk klinik gigi (Marwah,2014).

2.5.1.1 Penggunaan Anestesi Umum

Kasus paling umum untuk merujuk anak ke perawatan gigi dengan

menggunakan anestesi umum adalah karies gigi, hipomineralisasi gigi

seri (MIH) dan operasi gigi, dengan karies gigi sebagai penyebab paling
sering. Kelompok usia utama yang dirujuk untuk perawatan di bawah

anestesi umum adalah anak-anak prasekolah (Koch et al, 2017).

2.5.1.2 Indikasi Penggunaan Anestesi Umum

Indikasi pada penggunaan anestesi umum adalah sebagai berikut

(McDonald, Avery and Dean, 2021):

1. Pasien yang tidak kooperatif karena kurangnya kematangan psikologis

atau emosional atau pasien yang memiliki kecacatan fisik, mental, atau

medis sehingga membahayakan atau menghalangi sedasi.

2. Pasien dengan kebutuhan restorasi atau pembedahan gigi yang anestesi

lokalnya tidak efektif karena infeksi akut, variasi anatomi, atau alergi.

3. Anak-anak atau remaja yang sangat tidak kooperatif, takut, cemas,

resisten secara fisik, atau tidak komunikatif dengan kebutuhan

perawatan gigi yang cukup rumit sehingga tidak ada harapan

perilakunya akan segera membaik.

4. Pasien yang mengalami trauma orofasial atau gigi yang rumit dan/atau

memerlukan prosedur bedah yang signifikan.

5. Pasien yang membutuhkan kebutuhan oral atau gigi komprehensif

yang rumit secepatnya.

6. Pasien yang membutuhkan perawatan gigi yang dengan penggunaan

anestesi umum dapat melindungi perkembangan jiwa dan/atau

mengurangi risiko medis.


2.5.1.3 Kontraindikasi Anestesi Umum

Kontraindikasi pada penggunaan anestesi umum adalah sebagai

berikut (Marwah, 2014):

1. Pasien yang sehat dan kooperatif dengan kebutuhan gigi minimal.

2. Kondisi predisposisi medis seperti hipersensitivitas membuat anestesi

umum tidak disarankan.

2.5.1.4 Obat-Obatan Anestesi Umum

Terdapat 2 jenis obat-obatan anastesi umum berdasarkan cara

pemberiannya yaitu inhalasi dan intravena. Obat anastesi umum jenis

inhalasi yang umum digunakan yaitu dinitrogen oksida dan cairan volatil

seperti eter, halothane, isoflurane, desflurane, sevoflurane. Sedangkan

obat anastesi umum jenis intravena yang umum digunakan yaitu

thiopentone sodium, methohexitone sodium, propofol, etomidate,

diazepam, lorazepam, midazolam, ketamine, dan fentanyl (Marwah,

2014).

2.5.1.5 Komplikasi Anestesi Umum

Komplikasi saat tindakan anastesi umum yaitu depresi pernafasan

dan hipercarbia, sekresi air liur dan pernafasan, Cardiac arrhythmias,

asystole, tekanan darah turun, acid pneumonia Laryngospasm, asphyxia,

delirium dan konvulsi (Marwah, 2014).

Komplikasi pasca tindakan anastesi umum yang dapat terjadi yaitu

mual, muntah, gangguan fungsi psikomotor, pneumonia, atelectasis,


keracunan yang mengakibatkan rusaknya hati dan ginjal, emergance

delirium, dan defek kognitif pada pasien yang telah diberi anastesi umum

dengan durasi panjang (Marwah, 2014).

2.5.2 Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah obat yang diaplikasi secara topikal atau lokal injeksi

yang menyebabkan hilangnya persepsi sensorik terutama nyeri di area yang

diberi anestesi, oleh karena adanya penghambatan proses konduksi di saraf

perifer. Selain impuls sensorik, impulse motorik juga dapat terganggu yang

mengakibatkan kelumpuhan pada otot untuk beberapa saat (Marwah, 2014).

Anastesi lokal merupakan metode yang cukup efisien dan aman untuk

mengontrol nyeri pada perawatan gigi anak. Tingkat keberhasilan anastesi

lokal dipengaruhi oleh teknik, sikap, dan kepercayaan diri operator dalam

pemberian anestesi lokal (Koch et al, 2017).

2.5.2.1 Syarat Anestesi Lokal

Syarat dari anestesi lokal adalah sebagai berikut (Marwah, 2014):

1. Memiliki kemampuan untuk memberikan anestesi.

2. Tidak menyebabkan reaksi alergi.

3. Stabil dan siap mengalami biotransformasi dalam tubuh.

4. Steril atau mampu disterilkan dengan panas tanpa mengalami

kerusakan.

5. Memiliki tingkat toksisitas lokal yang rendah

 Tidak mengiritasi jaringan.


 Tidak menyebabkan perubahan permanen pada struktur syaraf.

6. Memiliki tingkat toksisitas sistemik yang rendah.

7. Efektif digunakan dimana saja terlepas dari apakah itu disuntikkan ke

dalam jaringan atau diterapkan secara lokal pada membrane mucus.

8. Memiliki onset yang cepat dan durasi yang cukup.

2.5.2.2 Anestesi Lokal Cair/Larutan

Komposisi Larutan Anestesi Lokal

Komposisi dari larutan anestesi lokal adalah sebagai berikut (Marwah,

2014):

1. Agen anestesi lokal: Lignocaine

2. Vasokonstriktor

- Menurunkan aliran darah ke tempat injeksi.

- Absorpsi anestesi lokal ke dalam sistem kardiovaskular

diperlambat.

- Menurunkan risiko toksisitas anestesi lokal.

- Agen anestesi lokal tetap berada di dalam dan di sekitar saraf untuk

waktu yang lebih lama, sehingga meningkatkan durasi kerja dan

efisiensi obat.

- Mengurangi perdarahan di tempat yang diberi anestesi.

3. Agen pereduksi: Vasokonstriktor tidak stabil dalam larutan dan dapat

teroksidasi, terutama ketika terpapar sinar matahari yang lama.


Natrium metabisulfit untuk menyediakan oksigen ditambahkan dalam

konsentrasi antara 0,05 dan 0,1 %.

4. Pengawet: Stabilitas larutan anestesi dipertahankan dengan

menambahkan Caprylhydrocuprienotoksin dan Methyl paraben.

5. Fungisida: Timol.

6. Bahan pembawa: Semua bahan larutan dan agen anestesi lokal

dilarutkan dalam larutan Ringer’s yang dimodifikasi. Larutan Ringer’s

merupakan bahan isotonik yang dapat meminimalisir ketidaknyamanan

selama injeksi.

Anastesi lokal yang paling umum digunakan dalam perawatan gigi

anak adalah lidokain (20 mg/mL) dengan adrenalin (12,5μg/mL) dan

articaine (40 mg/mL) mL) dengan adrenalin (5μg/mL). Keduanya

memiliki durasi sekitar 60 menit. Penggunaan anastesi lokal dengan

durasi lama diindikasikan untuk prosedur bedah yang lama pula. Anastesi

yang biasa digunakan dalam hal ini yaitu bupivakain dengan adrenalin

(Koch et al, 2017).

Gambar 1. Lidocaine 2%, Epinephrine 1:100.000 (Bassett et al, 2015).


Gambar 2. Articaine 4%, Epinephrine 1:100.000 (Bassett et al, 2015).

Gambar 3. Bupivacaine 0.5%, Epinephrine 1:200.000 (Bassett et al,


2015).

2.5.2.3 Anestesi Topikal Intraoral

Anestesi topical biasanya diaplikasikan untuk mengurangi sedikit

ketidaknyamanan yang disebabkan karena injeksi anestesi local. Topikal

anestesi tersedia dalam bentuk gel, cair, salep, dan sprey. Anestesi topical

yang biasa digunakan yaitu etil aminobenzoat atau benzokain, butacain

sulfat, kokain, diklonin, lidokain, dan tetrakain (McDonald, Avery and

Dean, 2021).
Etil aminobenzoat (benzokaine) paling cocok untuk anestesi topikal

karena memiliki onset yang cepat dan durasi anestesi yang lebih lama

daripada agen topikal lainnya. Bahan ini diketahui tidak menghasilkan

toksisitas sistemik, tetapi beberapa reaksi alergi terjadi karena

penggunaan jangka panjang atau berulang (McDonald, Avery and Dean,

2021).

Gambar 4. Benzokain (Bassett et al, 2015).

Gambar 4. Dyclonine Hydrochloride (Bassett et al, 2015).


Gambar 5. Lidocaine topical cream (Bassett et al, 2015).

2.5.2.4 Kontraindikasi

Kontraindikasi dari penggunaan anestesi lokal yaitu sebagai berikut

(Koch et al, 2017):

1. Penolakan atau ketidakmampuan anak untuk bekerja sama.

2. Alergi terhadap bahan anestesi lokal (meskipun sangat jarang).

3. Tidak disarankan untuk menginjeksikan ke jaringan yang dalam pada

pasien dengan gangguan perdarahan dan koagulasi karena berisiko

terjadi hematoma yang tidak terkendali.

4. Kondisi medis seperti penyakit liver yang parah atau suplai darah ke

jaringan yang buruk.

5. Analgesia lokal dengan adrenalin tidak dikontraindikasikan untuk

pasien yang diberi antidepresan trisiklik jika diinjeksikan perlahan, dan

jika aspirasi dilakukan sebelum injeksi.


6. Analgesia lokal dengan adrenalin juga tidak dikontraindikasikan untuk

pasien dengan hipertensi atau aritmia jantung, jika tindakan

pencegahan yang sama dilakukan. Pada pasien ini, yang menjadi

masalah sebenarnya jumlah adrenalin yang diproduksi secara endogen,

karena stres dan rasa sakit.

2.5.2.5 Komplikasi Anestesi Lokal

Penggunaan anestesi lokal memiliki beberapa komplikasi yaitu

(Marwah, 2014; Koch et al, 2017; Avery & McDonald, 2021):

1. Efek samping sistemik seperti pingsan karena penurunan suplai darah

ke otak, jarang terjadi. Jika pasien pingsan harus ditempatkan dalam

posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dan mengamankan jalan

napas.

2. Reaksi alergi seperti reaksi pada kulit, penyempitan bronkus, dan

penurunan tekanan darah jarang terjadi.

3. Komplikasi lokal sering terjadi, seperti trauma akibat mengigit bibir,

lidah, atau permukaan dalam pipi secara tidak sengaja setelah

pengaplikasian anestesi mandibular block, sehingga menyebabkan

traumatic ulcer.

4. Reaksi simpatis berupa memucatnya pipi setelah injeksi hingga 10

menit.

5. Hematoma terkadang muncul selama injeksi. Efusi darah ke dalam

ruang ekstravaskular dapat terjadi akibat terpotongnya pembuluh darah


secara tidak sengaja selama penginjeksian. Sehingga muncul

pembengkakan dan perubahan warna.

6. Komplikasi akibat insersi dari jarum adalah syncope, trismus otot,

nyeri/ hyperalgesia, edema, infeksi, jarum patah, hematoma dan

kerusakan jaringan, facial nerve paralysis dan rasa terbakar.

Gambar 6. Efek samping dari anestesi mandibular blok pada anak


yang menggigit bibir bawahnya (McDonald, Avery and Dean, 2021).

Gambar 7. Memucatnya pipi (Reaksi simpatis) setelah injeksi


anastesi lokal (Koch et al, 2017).

2.5.2.6 Toksisitas Anestesi Lokal

Reaksi toksisitas dari penggunaan anestesi lokal yaitu sebagai

berikut (Koch et al, 2017):


1. Reaksi toksisitas dari anastesi lokal dapat disebabkan oleh kesalahan

ketika injeksi intravaskular, injeksi yang terlalu cepat, atau overdosis

obat.

2. Pasien dapat mengeluh pusing ringan dan gangguan penglihatan atau

pendengaran.

3. Menjadi gelisah, bingung, dan mengalami kesulitan bernapas.

4. Terdapat reaksi sistem kardiovaskular dengan peningkatan denyut

jantung dan tekanan darah, serta pada fase kedua toksisitas analgesik

lokal penurunan tekanan darah terjadi.

2.6 Teknik Injeksi

2.6.1 Teknik Infiltrasi

2.5.3.1.1 Macam dan Lokasi Injeksi

a. Teknik Injeksi Supplemental

 Infraorbital Nerve Block dan Mental Nerve Block

Blok saraf infraorbital dan blok saraf mental adalah teknik

anestesi lokal tambahan yang banyak digunakan oleh dokter gigi.

Blokade Saraf infraorbital membius cabang saraf alveolar superior

medial dan anterior. Blokade ini juga mempengaruhi persarafan

jaringan lunak di bawah mata, setengah hidung, dan otot-otot mulut

bibir atas pada sisi wajah yang diinjeksi. Hal ini membuat anak

merasa mati rasa di atas mulut yang serupa dengan yang di bawah

mulut ketika saraf alveolar inferior di blockade (McDonald, Avery

and Dean, 2021).


Teknik blok infraorbital lebih digunakan pada kasus gigi

impaksi (terutama gigi kaninus dan premolar pertama) atau kista

besar yang akan diangkat, ketika peradangan atau infeksi dengan

keparahan yang sedang merupakan kontraindikasi tempat injeksi

supraperiosteal, atau ketika durasi yang lebih lama atau area anestesi

yang lebih besar diperlukan (McDonald, Avery and Dean, 2021).

Gambar 8. Anestesi saraf infraorbital (Countryman & Hanke, 2012).

Blokade saraf mental memberikan pasien perasaan mati rasa

yang pada dasarnya sama dengan blok saraf alveolar inferior.

Memblokade saraf mental membius semua gigi mandibula di kuadran

kecuali geraham permanen. Dengan demikian blok saraf mental

memungkinkan prosedur operasi rutin dilakukan pada semua gigi

sulung tanpa menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien

(McDonald, Avery and Dean, 2021).


Gambar 9. Anestesi saraf mental (Lassemi et al, 2013).

 Injeksi Intraosseus, Injeksi Intraseptal, dan Injeksi Intrapulpa

Injeksi intrapulpa adalah teknik anestesi tambahan yang

dilakukan untuk mendapatkan anestesi pulpa yang dalam untuk terapi

pulpa saat upaya anestesi lokal lainnya gagal. Teknik ini memiliki

kelemahan karena awalnya menyakitkan, meskipun cara kerja

anestesi biasanya cepat. Teknik injeksi Intraosseous (salah satu

jenisnya adalah injeksi interseptal) memerlukan pengendapan larutan

anestesi lokal di tulang alveolar yang memiliki sifat berpori. Hal ini

dilakukan dengan mendorong jarum melalui plat kortikal dan ke

dalam tulang alveolar cancellous, atau dapat menggunakan bur bulat

kecil untuk membuat akses di tulang agar dapat ditembus oleh jarum.

Jarum Intraosseous kecil yang diperkuat juga dapat digunakan untuk

menembus plat kortikal dengan lebih mudah. Teknik ini lebih mudah

dilakukan pada anak-anak karena memiliki tulang kortikal yang

kurang padat dibandingkan orang dewasa. Teknik Intraosseous dapat


dianjurkan untuk anestesi primer dan anestesi tambahan ketika

suntikan lokal lainnya gagal menghasilkan anestesi yang memadai

(McDonald, Avery and Dean, 2021).

Gambar 10. Teknik injeksi intraosseous (Beneito-Brotons, R et al.,


2012).

Gambar 11. Teknik injeksi intraseptal (Gazal, G et al., 2016).


Gambar 12. Teknik injeksi intrapulpa (Burić, N.N et al., 2020).

 Periodontal ligament injection (Intraligamentary injecion)

Injeksi ligamen periodontal telah digunakan bertahun-tahun

sebagai metode tambahan untuk mendapatkan complete anesthesia

ketika teknik supraperiosteal atau blok gagal atau tidak dapat

memberikan anestesi yang memadai. Teknik ini juga telah

mendapatkan kredibilitas sebagai metode yang baik untuk

mendapatkan anestesi primer untuk satu atau dua gigi. Teknik ini

sederhana, hanya membutuhkan sedikit larutan anestesi dapat

memiliki efek yang cukup instan. Jarum ditempatkan di sulkus

gingiva, biasanya pada permukaan mesial, dan dimajukan sepanjang

permukaan akar sampai resistensi terpenuhi. Sekitar 0,2 ml anestesi

kemudian diinjeksikan ke dalam ligamen periodontal. Untuk gigi

berakar banyak, injeksi dilakukan baik secara mesial maupun distal.

Tekanan yang cukup besar diperlukan untuk mengekspresikan larutan

anestesi. Jarum suntik gigi konvensional dapat digunakan untuk


teknik ini. Namun, tekanan besar yang diperlukan untuk

mengekspresikan anestesi, lebih baik untuk menggunakan jarum

suntik dengan closed barrel sehingga terdapat perlindungan jika

catridge anestesi pecah. Beberapa jarum suntik dilengkapi dengan

logam atau teflon sleeve yang membungkus catridge dan

memberikan perlindungan yang diperlukan jika terjadi kerusakan

(McDonald, Avery and Dean, 2021). Jika pasien terus mengalami

nyeri yang samar-samar, menyebar, dan kuat dan pengujian

sebelumnya tidak meyakinkan, injeksi intraligamenter dapat

digunakan untuk mengidentifikasi sumber nyeri (Marwah, 2014).

Jarum suntik yang dirancang khusus untuk teknik injeksi

ligamen periodontal telah dikembangkan. Satu jarum suntik, Peri-

Press (Universal Dental Implements, Fanwood, NJ, USA), dirancang

dengan "trigger" tuas yang memungkinkan dokter gigi memberikan

tekanan injeksi yang diperlukan dengan nyaman. Jarum suntik Peri-

Press memiliki barrel logam padat dan dikalibrasi untuk memberikan

0,14 mL larutan anestesi setiap kali trigger diaktifkan sepenuhnya.

Ada beberapa kemungkinan kerugian psikologis penggunaan teknik

injeksi ligamen periodontal, terutama untuk pasien anak yang tidak

berpengalaman. Teknik ini memberikan pasien kesempatan untuk

melihat jarum suntik dan untuk melihat pemberian anestesi. Hal ini

mungkin bukan masalah yang signifikan bagi pasien anak yang

berpengalaman dan dapat menyesuaikan diri dengan baik, tetapi


pasien baru atau pasien yang rentan cemas akan lebih memberikan

reaksi. Selain itu, desain Peri-Press (handgun like) mungkin memiliki

beberapa efek psikologis yang merugikan (McDonald, Avery and

Dean, 2021). Pada pasien dengan kondisi profilaksis endocarditis,

injeksi intraligamen dianjurkan untuk dilakukan (Marwah, 2014).

Ada dua jenis jarum suntik yang dirancang khusus untuk

injeksi intraligamentary: handgun-like dan pen-like. Keduanya

memiliki kelemahan tambahan karena cukup mahal dibandingkan

dengan jarum suntik konvensional yang bagus. Jarum suntik pen-like

akan lebih disukai dalam kedokteran gigi anak, tetapi lebih mahal

daripada instrumen handgun like. Malamed telah melaporkan sebuah

studi klinis di mana hasil yang mengesankan diperoleh untuk

prosedur tertentu ketika teknik injeksi ligamen periodontal

digunakan. Tujuh prosedur periodontal (kuretase dan root planing)

dilakukan dengan anestesi efektif 100%, dan dua gigi diekstraksi

dengan anestesi efektif 100% (suntikan diberikan ke area mesial,

distal, bukal, dan lingual untuk prosedur ini). Secara total, 71

prosedur restoratif rutin dilakukan di bawah anestesi ligamen

periodontal, dengan efektivitas 91,5%. Karena ruang terbatas dan

sirkulasi darah terbatas di tempat injeksi untuk teknik ligamen

periodontal, penggunaan vasokonstriktor sebagai aditif untuk larutan

anestesi mungkin tidak diperlukan. Faktanya, vasokonstriktor

mungkin berkontribusi terhadap iskemia ligamen periodontal, yang


setidaknya dapat menambah ketidaknyamanan lokal pasca operasi

atau mungkin menyebabkan kerusakan yang lebih serius pada

ligamen periodontal. Walton dan Abbott/ juga telah melaporkan

evaluasi klinis dari teknik yang menunjukkan tingkat keberhasilan

92% (McDonald, Avery and Dean, 2021).

Injeksi ligamen periodontal memiliki keuntungan untuk

anestesi primer atau tambahan (McDonald, Avery and Dean, 2021):

1. Memberikan kontrol rasa sakit yang andal dengan cepat dan

mudah.

2. Memberikan anestesi pulpa selama 30-45 menit, waktu cukup

lama untuk banyak prosedur gigi tunggal tanpa periode anestesi

pasca operasi yang diperpanjang.

3. Kenyamanan sama seperti teknik anestesi lokal lainnya.

4. Tidak menimbulkan rasa sakit jika digunakan sebagai tambahan.

5. Membutuhkan jumlah yang sangat kecil dari larutan anestesi.

6. Tidak memerlukan aspirasi sebelum injeksi.

7. Dapat dilakukan tanpa melepas rubber dam.

8. Berguna pada pasien dengan gangguan perdarahan yang

kontraindikasi penggunaan injeksi lain.

9. Berguna pada pasien muda atau cacat di antaranya kemungkinan

trauma pasca operasi pada bibir atau lidah.


Gambar 13. Teknik injeksi intraligamen (Yussif & Nermin, 2019).

2.7 Penggunaan Alat

2.7.1 Elevator

Elevator dapat berfungsi sebagai pengungkit di mana puncak alveolar

berperan sebagai titik tumpu atau titik fulkrum. Area tulang yang terkompresi

harus dihilangkan dengan file atau rongeur untuk mengurangi rasa sakit dan

infeksi pasca operasi. Elevator juga dapat berfungsi sebagai wedge dan prinsip

ini digunakan untuk menghilangkan ujung akar kecil dengan cara perpindahan

atau displacement (Marwah, 2014).

a. Molt elevator

Alat ini digunakan untuk memisahkan perlekatan jaringan lunak dari

aspek servikal gigi. Molt elevator adalah instrumen berujung ganda di

mana salah satu ujungnya runcing dan digunakan untuk memulai

pemisahan perlekatan jaringan lunak dari gigi. Ujung runcing yang tajam

dari instrumen ini ditempatkan secara interproksimal pada aspek mesial

papila. Aspek cekung dari instrumen menghadap gigi (McDonald, Avery

and Dean, 2021).


Gambar 15. Molt elevator (McDonald, Avery and Dean, 2021).

b. Straight elevator

Alat ini digunakan setelah langkah pemisahan perlekatan jaringan

lunak dengan molt elevator. Elevator lurus ini digunakan untuk

melakukan luksasi pada gigi. Elevator lurus ini memiliki permukaan pisau

cekung yang ditempatkan ke arah gigi yang di luksasi. Permukaan pisau

tersedia dalam berbagai ukuran. Tepi pisau mungkin bergerigi untuk

memegang gigi dengan lebih baik (McDonald, Avery and Dean, 2021).

Gambar 16. Straight elevator (McDonald, Avery and Dean, 2021).


Gambar 17. Cara penggunaan straight elevator di mana elevator dapat
ditempatkan pada 45 derajat ke bidang oklusal (gambar kiri) atau sejajar
dengan bidang oklusal (gambar kanan) (McDonald, Avery and Dean,
2021)
2.7.2 Forsep

Langkah terakhir dalam mencabut gigi adalah mencabut gigi dengan

forsep dan tipe forsep harus dipilih dengan tepat. Pemilihan jenis forsep harus

seperti berikut (McDonald, Avery and Dean, 2021):

a. Beak atau ujung pada forsep harus beradaptasi dengan permukaan akar

gigi.

b. Ujung forsep ketika diposisikan dan mengikat gigi harus sejajar dengan

sumbu panjang gigi (Marwah, 2014; Dean, 2021).

c. Ukuran ujung forsep harus cukup kecil untuk tidak mengenai gigi yang

berdekatan selama luksasi dan pencabutan gigi. Ujung forsep harus

ditempatkan di bawah jaringan lunak yang terpisah dan terpantul dan gigi

terpegang kuat (McDonald, Avery and Dean, 2021). Oleh itu, ujung forsep

yang dipilih harus didekatkan sejauh mungkin ke apikal tanpa kompresi

jaringan lunak. Penggunaan tenaga yang berlebihan harus dihindari agar

tidak terjadi fraktur prosesus alveolaris atau gigi (Marwah, 2014).


Gambar 18. Armamentarium untuk prosedur eksodonsi pada pasien
pediatrik yang hampir sama seperti pada orang dewasa meskipun semua
struktur anatomi lebih kecil. Beberapa forsep untuk gigi sulung
menawarkan beberapa kemudahan, namun, mereka tidak perlu melakukan
ekstraksi apa pun. Forsep orang dewasa seperti "cowhorn"
dikontraindikasikan pada pasien anak

A. Jenis Forsep

1. Rahang atas

a. Insisif sentral rahang atas disarankan straight wide beaked forceps karena

akar giginya biasanya tidak membengkok dan mengalami deformitas

(Marwah, 2014).

b. Insisif lateral rahang atas dengan fine bladed forceps karena akar insisif

lateral memiliki akar ramping yang rata pada permukaan mesial dan distal

(Marwah, 2014).
c. Premolar 1 rahang atas dengan upper universal forceps atau bayonet

forceps untuk menemukan lokasi gigi dan gigi harus dicabut ke arah yang

tidak tertahan atau dengan resisten rendah (Marwah, 2014).

d. Molar 1 rahang atas dengan upper universal atau bayonet forceps karena

mempunyai tiga akar yang divergen, terkuat dan terpanjang (Marwah,

2014).

2. Rahang bawah

a. Insisif dengan fine bladed foceps seperti lower universal karena

mempunyai akar halus dan sisi yang rata (Marwah, 2014).

b. Caninus dengan heavier bladed forceps karena gigi panjang, besar dan

apex gigi tertanam kuat (Marwah, 2014).

c. Molar dapat difasilitasi oleh aplikasi mesial elevator pada sebelumnya

penggunaan forsep jika giginya tidak malposisi/imokrasi (Marwah, 2014).

3. Pencabutan akar

Ujung akar dari gigi sulung biasanya terjadi patah selama prosedur.

Dokter gigi harus berusaha membuang ujung akar gigi tersebut. Penggunaan

elevator yang tepat akan melonggarkan akar gigi dengan ideal karena dapat

memfasilitasi pengangkatan ujung akar (Marwah, 2014).

a. Bayonet atau universal forceps untuk akar gigi rahang atas. Penggunaan

alat forsep dapat digantikan dengan elevator jika berkendala dalam

pencabutan akar.

b. Akar gigi mandibula rahang bawah dengan straight elevator atau cryer

elevator.
2.8 Teknik Pencabutan Gigi Sulung

Sebelum pencabutan gigi sulung, pasien harus diposisikan dengan tepat

untuk prosedur bedah. Untuk pencabutan gigi rahang atas, pasien diposisikan di

kursi gigi sedemikian rupa sehingga bidang oklusal rahang atas berada pada

sudut antara 60 dan 90 derajat ke lantai. Untuk pencabutan gigi rahang bawah,

pasien diposisikan di kursi gigi sedemikian rupa sehingga bidang oklusal

mandibula sejajar dengan lantai. Ketinggian kursi harus sedemikian rupa

sehingga mulut pasien berada pada atau sedikit di bawah tingkat siku dokter gigi.

Siku dokter gigi dari lengan dominan mereka harus berhadapan dengan tubuh

mereka. Saat melakukan pembedahan pada dental chair, pasien biasanya dalam

posisi semi-supine (McDonald, Avery and Dean, 2021).

Gambar 19. Posisi dokter gigi pada saat pencabutan gigi anterior rahang
atas (Marwah, 2014).
Gambar 20. Posisi dokter gigi pada saat pencabutan gigi anterior rahang
bawah (Marwah, 2014).

2.8.1 Gigi Sulung Anterior

Teknik pencabutan untuk gigi sulung anterior sama dengan teknik

pencabutan gigi permanen anterior. Tetapi penting untuk memastikan

sebelum aplikasi forsep bahwa bilah cukup halus untuk melewati membran

periodontal dan diterapkan ke akar. Pergerakan lingual yang kuat biasanya

menyebabkan gigi naik pada soketnya dan dapat dikeluarkan dengan

bergerak ke bukal dan diputar ke depan. Akar gigi sulung yang diekstraksi

harus diperiksa untuk memastikan bahwa akarnya utuh. Permukaan akar

fraktur rata dan mengkilat dengan tepi tajam, akar resorpsi memiliki margin

tidak teratur (Marwah, 2014). Secara umum, gigi sulung anterior harus di

luksasi ke aspek labial selama prosedur ekstraksi karena posisi lingual dari

gigi permanen (McDonald, Avery and Dean, 2021).

Untuk pencabutan gigi sulung anterior, dapat digunakan teknik


tersebut (Marwah, 2014):
1. Gigi Sulung Rahang Atas

a. Gigi Insisif Sentral

Gigi insisif sentral sering memiliki akar kerucut dan jarang

memiliki deformitas bentuk atau melengkung. Gigi ini dipegang

dengan straight wide beak forcep dan dapat diputar dengan aman

pertama-tama ke satu arah dan kemudian ke arah lain sampai

perlekatan ligamen periodontal putus dan gigi dapat dikeluarkan

dengan sedikit traksi.

b. Gigi Insisif Lateral

Gigi insisif lateral memiliki akar ramping yang sering rata pada

permukaan mesial dan distal. Fine bladed forcep dapat digunakan

untuk ekstraksi gigi insisif lateral.

c. Gigi Kaninus

Gigi kaninus merupakan gigi rahang atas yang paling sulit

dicabut karena panjang dan seringnya kelengkungan apikal akarnya.

Karena diperlukan kekuatan yang besar untuk mencabut gigi-gigi ini,

sering terjadi fraktur parsial atau total dari dinding labial alveolus.

Forsep ditempatkan setinggi mungkin di bawah margin gingiva, dan

gigi kemudian diputar maju mundur sementara tekanan ke atas

dipertahankan dan traksi diterapkan untuk pencabutannya.


Gambar 21. Posisi forcep pada saat pencabutan gigi anterior rahang
atas (Marwah, 2014).

2. Gigi Sulung Rahang Bawah

a. Gigi Insisif

Gigi insisif memiliki akar halus dengan sisi rata. Prosesus

alveolar pendukung sangat tipis, dan mudah untuk meluksasi gigi

saat digoyang ke arah labial. Fine bladed forceps harus digunakan

untuk menggenggamnya, misalnya tang universal rahang bawah.

b. Gigi Kaninus

Gigi kaninus biasanya panjang dan besar, tertanam kuat dan

sulit untuk diekstraksi, apeksnya sering memiliki inklinasi ke distal.

Heavier bladed forceps harus digunakan dan gerakan ke arah

bukolingual diterapkan untuk ekstraksi gigi ini.


Gambar 22. Posisi forcep pada saat pencabutan gigi anterior rahang
bawah (Marwah, 2014).

2.8.2 Gigi Sulung Molar

Risiko fraktur akar selama prosedur ekstraksi gigi molar sulung lebih

tinggi daripada gigi permanen karena akar gigi molar sulung yang lebih

ramping dan melengkung. Oleh karena itu, dianjurkan untuk melepaskan

gigi secara hati-hati dengan elevator lurus sebelum forsep dipasang. Forceps

yang digunakan untuk pencabutan gigi sulung dirancang khusus untuk

bentuk dan ukuran anatomis gigi. Penting untuk memiliki pegangan yang

kuat pada rahang untuk mengontrol pergerakan forsep menjadi lebih mudah

dan untuk mengaplikasikan kerja dari forsep secara stabil di sekitar mahkota

dan leher gigi pada gingival pocket. Molar sulung diekstraksi dengan cara

sedikit menekan gigi ke bawah di dalam soket dan perlahan-lahan


menggerakkan gigi ke arah bucco-lingual untuk memperbesar soket sebelum

gigi dicabut.

Dalam beberapa kasus, akar gigi molar sulung mengelilingi tunas

gigi permanen. Sehingga, sebelum ekstraksi disarankan untuk memotong

gigi menjadi dua bagian dengan diamond atau fissure bur untuk menghindari

copot atau avulsi pengganti permanen. Jika ujung akar kecil patah,

pengobatan terbaik adalah membiarkannya jika tidak terjadi infeksi dan tidak

mengganggu erupsi gigi berikutnya. Namun, jika fragmen terinfeksi atau

tidak vital, fragmen tersebut harus dikeluarkan dengan menggunakan

elevator tajam atau alat pembesar akar yang disekrup ke saluran akar

fragmen (Koch et al., 2017).

Gambar 23. Pencabutan gigi sulung: (a, b) molar di rahang atas dan (c,d)
rahang bawah – lepaskan gigi secara hati-hati dengan elevator, letakkan
tang di sekitar gigi dan berikan tekanan apikal dan gerakan bukal-lingual
sebelum gigi dicabut (Goran & Al. 2017).

2.9 Komplikasi Post Ekstraksi

2.9.1 Manifestasi Infeksi

Infeksi dapat berkembang dengan cepat dan baik pada pasien anak

maupun pasien dewasa. Meskipun begitu, pasien anak-anak sangat rentan

untuk mengalami dehidrasi dengan cepat. Infeksi pada ruang sublingual,

submandibular, submentale, dan mastikator dapat mengganggu integritas

jalan nafas (McDonald, Avery and Dean, 2021).

Komplikasi operasi yang paling sering ditemui selama pencabutan gigi

adalah (Marwah, 2014):

a. Fraktur gigi.

b. Cedera pada gigi yang berdekatan.

c. Fraktur tulang alveolar.

d. Fraktur tuberositas.

e. Pencabutan gigi yang salah.

f. Akar tergeser kedalam sinus.

g. Perforasi sinus maksilaris.

h. Akar tergeser ke ruang submandibular.

i. Laserasi gingiva dan mukosa.

j. Cedera pada hematoma saraf alveolar.


k. Perdarahan dan inferior.

l. Trauma TMJ.

2.9.2 Manajemen Infeksi

Manajemen infeksi dan pemilihan antibiotik penting untuk dilakukan

sesuai dengan etiologi infeksi karena infeksi dapat presisten dan bertambah

buruk jika penyebabnya tidak dihilangkan. Berikut adalah beberapa tahap

untuk mengatasi infeksi kepala dan leher pada saat melakukan bedah minor

pada anak (McDonald, Avery and Dean, 2021):

1. Riwayat Penyakit Pasien

Tahap pertama manajemen infeksi bedah minor pada pasien anak

adalah dengan mengetahui riwayat penyakit pasien yang sedang dan

atau pernah dialami. Catatan riwayat penyakit pasien terdiri dari: (1)

onset; (2) progresifitas penyakit; (3) riwayat nyeri odontogenik, infeksi

saluran pernapasan atas, nyeri sinus, otitis media; (4) gangguan

pernapasan (dysphagia, dyspnea, perubahan suara); (5) trismus; dan (6)

gangguan penglihatan (photophobia, perubahan aktivitas visual).

Riwayat penyakit pasien perlu diidentifikasi karena kemampuan pasien

untuk merespons infeksi tergantung pada kondisi sistemik pasien.

2. Pemeriksaan Klinis

Tahap kedua manajemen infeksi bedah minor pada pasien anak

adalah dengan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan klinis yang perlu


diidentifikasi antara lain: (1) gangguan pernapasan pada pasien, distress,

atau tidak adanya distres; (2) ada atau tidaknya pembengkakan dan

tingkat keparahannya; (3) palpasi jaringan untuk mengetahui

konsistensinya (selulitis atau fluktuasi); (4) penilaian dalam membuka

mulut maksimal; (5) pemeriksaan gigi geligi.

3. Rencana Intervensi

Langkah pertama dalam rencana intervensi adalah dengan

memeriksa jalan pernapasan pasien. Setelah pemeriksaan dan kontrol

jalan napas, dokter gigi harus melanjutkan rencana intervensi.

Komponen intervensi meliputi: (1) menentukan apakah infeksi pasien

harus dilakukan rawat jalan atau rawat inap; (2) pemilihan antibiotik; (3)

melakukan pembedahan (insisi, drainase, dan menghilangkan penyebab

infeksi). Selain itu, pada pasien anak yang merasa ketakutan dan kurang

kooperatif, diperlukan sedasi yang berpotensi memiliki risiko pada

manajemen jalan napas. Indikasi untuk merawat pasien anak di rumah

sakit yaitu demam (suhu < 101,5F), limfadenopati, peningkatan jumlah

sel darah putih, dehidrasi, dan disfagia (McDonald, Avery and Dean,

2021).

4. Medikamen

Infeksi odontogen bersifat polimikrobial. Oleh karena itu,

beberapa infeksi memerlukan medikamen berupa antibiotik pada

penatalaksanaannya. Pada kasus infeksi odontogen yang tidak terlalu

parah, antibiotik yang umum diberikan adalah golongan penisilin VK


(25-50 mg/kgBB tiap 6-8 jam sekali per hari) atau klindamisin (10-20

mg/kgBB tiap 6 jam sekali per hari). Meskipun begitu, dalam beberapa

dekade terakhir, bakteri penghasil beta laktamase mengalami

peningkatan resistensi yang signifikan terhadap antibiotik. Sejalan

dengan itu, organisme penghasil beta laktamase mengalami

peningkatan. Oleh karena itu, kasus infeksi dengan antibiotik ampisilin-

sulbaktam intravena (Unasyn) atau klindamisin intravena cenderung

memerlukan perawatan inap. Rawat inap memfasilitasi perawatan

suportif seperti memberikan hidrasi, dukungan nutrisi, dan manajemen

demam.
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

Avery, D. R., & McDonald, R. E. (2021). McDonald and avery dentistry for the child
and adolescent-E-book; 11th edition. Elsevier Health Sciences.

Bassett, K. B., DiMarco, A. C., & Naughton, D. K. (2015). Local anesthesia for


dental professionals. Boston.

Beneito-Brotons, R., Peñarrocha-Oltra, D., Ata-Ali, J., & Peñarrocha, M. (2012).


Intraosseous anesthesia with solution injection controlled by a computerized
system versus conventional oral anesthesia: a preliminary study. Medicina
oral, patologia oral y cirugia bucal, 17(3),pp. e426.

Burić, N.N., Stojanović, S.M. and Burić, K.N. (2020). The clinical significance of
intrapulpal anesthesia for painless dental procedure. Acta stomatologica
Naissi, 36(82), pp.2117-2123.

Cademartori, M. G. et al. (2017) ‘Behavior of children submitted to tooth extraction:


Influence of maternal and child psychosocial characteristics’, Pesquisa
Brasileira em Odontopediatria e Clinica Integrada, 17(1), pp. 1–10. doi:
10.4034/PBOCI.2017.171.35.

Countryman, N. B., & Hanke, C. W. (2012). Practical Review of Peripheral Nerve


Blocks in Dermatologic Surgery of the Face. Current Dermatology Reports,
1(2), 49–54.

Gazal, G., Fareed, W. M., & Zafar, M. S. (2016). Role of intraseptal anesthesia for
pain-free dental treatment. Saudi journal of anaesthesia, 10(1),pp.81.

Koch, G., Poulsen, S., Espelid, I., & Haubek, D. (2017). Pediatric dentistry: a
clinical approach. John Wiley & Sons.
Lassemi, E., Kalantar Motamedi, M.H. and Alemi, Z. (2013). Anesthetic Efficacy
Assessment of Two Mental Nerve Block Techniques for Tooth Extraction.
Anaplastology S6, 3, pp.2161-1173.

Marwah, N. (2014). Textbook of Pediatric Dentistry. 3rd Ed. Jaypee.

Marwah, N. (2018) Introduction to Pediatric Dentistry. JP Medical Ltd

Yussif, Nermin. (2019). Oral Mesotherapy: Might Be Considered as An Adjunctive


Technique for the Different Surgical Procedures. 10.5772/intechopen.88355.

Anda mungkin juga menyukai