Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
UNIVERSITAS 45 MATARAM
MATARAM
2016
A. Latar Belakang
Luas lautan Indonesia yang mencapai 5,8 km 2 menyimpan kekayaan
laut yang luar biasa, mulai dari potensi perikanan, industri kelautan, jasa
kelautan, transportasi, hingga wisata bahari. Perairan laut yang luas dan kaya
akan potensi perikanan ini mampu menghasilkan pemasukan yang besar bagi
Negara, dimana potensi perikanan bidang penangkapan mencapai 6,4 juta
ton/tahun, potensi perikanan umum sebesar 305.650 ton/tahun serta potensi
kelautan kurang lebih 4 miliar USD/TAHUN1. Perairan Indonesia yang memiliki
keanekaragaman kekayaan yang terkandung di dalamnya dinilai sangat potensial
bagi pembangunan ekonomi Negara. Oleh karena itu, untuk mengelola, menjaga,
dan mengamankan wilayah perairan yang demikian luas menjadi tanggung jawab
yang sangat besar dan sangat berat.
Permintaan ikan yang meningkat tentunya meliliki makna positif bagi
pengembangan perikanan, terlebih bagi Negara – Negara kepulauan seperti
Indonesia yang memiliki potensi perairan yang cukup luas dan potensial untuk
pengembangan perikanan, baik penangkapan maupun aqua culture namun
demikian, tuntutan pemenuhan kebutuhan akan sumber daya tersebut akan diikuti
oleh tekanan eksploitasi sumber daya ikan yang juga semakin intensif. Jika tidak
dikelola secara bijaksana sangat dihawatirkan pemanfaatan sumber daya secara
intensif akan mendoroang usaha perikanan kearah jurang kehancuran dan
terjadinya konflik sumber daya ikan.
Untuk mengamankan laut yang begitu luas Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan yuridiksi atas wilayah perairan
Indonesia serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang
pemanfaatan sumber daya ikan baik untuk kegiatan pembudidayaan ikan
sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang
sebesar – besarnya bagi kepentingan Bangsa dan Negara dengan tetap
memperhatikan perinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta
kesinambungan pembanguna perikanan nasional maka diperlukan kekuatan dan
kemampuan yang memadai di bidang kelautan baik berupa peralatan dan
teknologi serta sumber daya manusia yang handal maupun berupa ketentuan dan
peraturan yang mengatur tentang kelautan.
Masalah penangkapan ikan secara illegal masih marak terjadi di Perairan
Indonesia. Kemampuan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian dinilai
masih kurang memadai karena keterbatasan sarana dan prasarana yang kita
miliki2. Pemerintah cukup banyak menghadapi masalah dalam hal perusakan dan
1 Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2010,hal 1.
2 Ibid, hal 3
pencemaran lingkungan laut seperti penangkapan ikan menggunakan bahan
peledak, pengambilan terumbu karang secara besar-besaran dan pembuangan zat-
zat yang berbahaya dari kapal. Bahkan praktek IUU Fishing ( Illegal,
Unreported, Unregulated fishing ) di wilayah laut Indonesia ini memimbulkan
kerugian yang sangat besar bagi perekonomian Negara serta membahayakan
ekosistem laut Indonesia3.
Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya kegiatan
penangkapan ikan yang dilakukan secara illegal, misalnya, telah terjadi over
fishing di Negara-negara tetangga yang kemudian mencari daerah tangkapan di
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan produksi dan pemasaran 4. Dimana sistem
penegakan hukum di wilayah laut Indonesia masih sangat lemah dan tidak
sebanding dengan luas laut dan alutsista yang ada untuk mengawasi laut kita
secara intensif.
Sehingga pemerintah Indonesia mengambil langkah kongkrit sebagai
usaha untuk meminimalisir tindak pidana di bidang perikanan yaitu melalukan
perubahan terhadap Undang – Undang perikanan yang lama dengan membuat
peraturan Perundang – Undangan yang baru dibidang perikanan dengan
mengundangkan Undang – Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan yang
memnggantikan Undang – Undang nomor 9 tahun 1985 tentang perikanan yang
lama selain itu pemerintah berharap bahwa keberadaan Undang – Undnang
nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dapat dijadikan acuan peraturan
Perundang – Undangan sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana di
bidang perikanan (illegal fishing) dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan (stakeholder) dalam menyelesaikan permasalahan perikanan di
Indonesia.
Meskipun peran laut bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia
begitu penting dan menentukan namun pengetahuan masyarakat tentang laut
masih sangat minim, sehingga wajar bila kita belum optimal memanfaatkan
kekayaan laut dan cara-cara yang digunakan untuk mendaya gunakan sumber
daya kelautan belumlah efisien sehingga terkadang bersifat merusak
kelestariannya, dimana cara-cara tersebut dapat mengancam kapasitas
berkelanjutan ekosistem laut untuk kehidupan manusia.
Sebagai mana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
2004, Pasal 8 ayat (1) tentang perikanan yang berbunyi
“ setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan /
atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya diwilayah pengelolaan perikanan republik
Indonesia”.
3 Widodo Johanes, Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Laut, Yogyakatya, PT Gajah Mada University Press, 2008, hal 1-2
4 Aji Sularso, Refleksi 2008 dan outlook 2009 Direktorat Jendral P2SDKP, Departemen kelautan dan Perikanan, 2008, hal 1
Dan telah ditentukan pula ketentuan pidananya yang tercantum pada
Undang-undang nomor 31 tahun 2004, Pasal 84 ayat (1) tentang perikanan yang
berbunyi
“ setiap orang yang dengan sengaja diwilayah pengelolaan
perikanan republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya diwilayah pengelolaan perikanan republik
Indonesia sebagaimana yang dimaksud pada pasal 8 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp.
1.200.000.000,00 ( Satu Milyar Dua Ratus Juta Rupiah).
Berdasarkan uraian di atas, jika keadaan ini tidak secara cepat ditanggapi
oleh pemerintah maka serangkaian tindak pidana dibidang perikanan ini akan
merusak ekosistem laut Indonesia terutama dibidang perikanan, dan bahkan akan
menimbulkan kerugian keuangan yang besar bagi Negara. Oleh karena itu usaha
yang efektif untuk mencegah upaya – upaya penangkapan ikan secara illegal dan
tindak pidana lain di bidang perikanan. Untuk itu, diperlukan adanya suatu
peraturan yang terpadu dan peran serta dari masyarakat. Melalui kajian pidana
terhadap tindak pidana dibidang perikanan, kita akan melihat peranan pengadilan
perikanan serta kebijakan dan Undang – Undang sebagai wujud pengaturan
hukum terhadap pencegahan tindak pidana di bidang perikanan.
Hal inilah melatar belakangi penulisan skripsi ini dan menuangkannya
dalam sebuah skripsi yang berjudul “ Penerapan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan Terhadap Kasus Tindak Pidana Illegal Fishing
(studi kasus di Direktorat Kepolisian Perairan Polda NTB).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan
masalah, yaitu:
1. Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan dalam upaya Penanggulangan Tindak Pidana Illegal Fishing?
2. Apa saja hambatan dan kendala dalam penerapan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam upaya Penanggulangan Tindak
Pidana Illegal Fishing?
C. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk mengkaji pokok permasalahaan penelitian ini, peneliti
menggunakan metode penelitian hukum empiris dimana dalam
pengertiannya penelitian hukum empiris adalah penelitian yang dilakukan
dengan cara mengumpulkan data primer melalui wawancara dan melakukan
berbagai diskusi dengan pihak-pihak yang peneliti anggap memiliki
kopetensi dan pengetahuan yang mendalam terkait dengan masalah yang
akan diteliti dalam hal ini peneliti melakukan penelitian di Kantor Direktorat
Kepolisian Perairan Polda NTB.
2. Metode Pendekatan
Untuk memudahkan pembahasan dan analisis permasalahan metode
pendekatan yang digunakan adalah :
a. Pendekatan Undang-Undang adalah pendekatan yang dilakukan
dengan menelusuri peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach) Menurut Johny Ibrahim
(2012), pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah
kasus-kasus terkait dengan isu yang sedang dihadapi, dan telah
menjadi putusan yang mempunyai putusan hukum tetap, kasus
ini dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di
Negara lain. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan
kasus adalah rasio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan
pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan5.
3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum/Data
Sumber data dan jenis bahan hukum yang diperoleh untuk peneltian
ini adalah sebagai berikut :
a. Kepustakaan ( data sekunder) adalah data yang meliputi :
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat, seperti Peraturan Perundang-undangan antara lain
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah yang berkaitan degan Tinjauan Yuridis
tentang Perikanan.
2. Bahan Hukum Sekunder yaitu Bahan Hukum yang
memberikan penjelasan dari bahan Hukum Primer seperti
pendapat dari Para Sarjana, Dokumen-dokumen resmi, dan
Bahan-bahan Hukum lainnya.
b. Data Lapangan (data primer) adalah data yang diperoleh dari :
1. Data yang di peroleh melalui penelitian lapangan yang
mana bersumber dari informan yang berkaitan dengan
penulisan skripsi ini, seperti Kantor Direktorat Kepolisian
Perairan Polda NTB dan instansi lain yang berkaitan
dengan judul di dalam penulisan skripsi ini.
2. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
masyarakat pesisir atau nelayan dan para tersangka Tindak
Pidana Illegal Fishing yang di tahan di Kantor Direktorat
Kepolisian Perairan Polda NTB yang berada di Lembar
Kabupaten Lombok Barat.
5 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ke-6, Malang, Bayumedia Publishing, 2012
Jenis data
a. Data Primer yaitu data yang dapat di peroleh dari keterangan-
keterangan, informasi dari para informan di lapangan.
b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui Studi
Kepustakaan yang berupa Buku-buku Peraturan Perundang-
undangan, pendapat Para Sarjana, Keputusn Hakim serta
beberapa Literatur yang Relevan dengan masalah penelitian.
4. Teknik dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum/Data
Teknik yang digunakan penyusun dalam melakukan penelitian,
adalah:
a. Untuk pengumpulan data primer/ lapangan dilakukan dengan
cara teknik wawancara secara langsung dengan responden atau
informan yang berhubungan dengan judul Skripsi ini.
b. Untuk pengumpulan data sekunder/ kepustakaan dilakukan
dengan cara melakukan studi dokumen yakni menelaah dan
mengkaji buku-buku literatur, majalah-majalah, tulisan ilmiah,
Peraturan Perundang-Undangan maupun buku-buku karangan
para sarjana atau para ahli hukum yang berkaitan dengan
Tindak Pidana illegal fishing dalam bidang Perikanan.
5. Analisis Data
Setelah melakukan tiga tahapan dalam melakukan metode
penelitian, maka tahap selanjutnya adalah analisis data. Data yang telah
peneliti peroleh pada tahap sebelumnya, akan peneliti olah dan analisis
pada tahap ini. Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan analisis
kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian. Adapun maksud dari analisis
kualitatif ini yaitu berupa pengumpulan data yang diperoleh, disusun dan
disajikan dalam bentuk rangkaian kalimat-kalimat yang menggambarkan
hasil peneitian yang didasarkan pada masalah yang akan diteliti, kemudian
dideskripsikan dengan kata-kata sehingga akan lebih mudah untuk
menjelaskan maksud dari penelitian ini atau suatu analisa hukum yang
didasarkan pada bahan-bahan kepustakaan dari hasil wawancara dengan
informan yaitu Kantor Direktorat Kepolisian Perairan Polda NTB dan
instansi-instansi lain yang berkaitan dengan judul skripsi ini seperti Dinas
Perikanan dan Kelautan serta Sat Brimob Polda NTB yang menangani
masalah bahan peledak (Geganan / Handak), serta para responden yaitu
masyarakat pesisir / para nelayan dan pelaku / tersangka Tindak Pidana
illegal fishing yang berada di Kantor Direktorat Kepolisian Perairan Polda
NTB.
D. Pembahasan
1. Penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
dalam upaya menaggulangi Tindak Pidana Illegal Fishing
Illegal Un Reported and Unregulated (IUU Fishing) sudah
waktunya untuk di tindak lanjuti karena IUU ini telah menyebabkan stok
sumber daya ikan serta hilangnya kesempatan di bidang sosial dan ekonomi.
IUU juga telah berdampak pada rusaknya hubungan antara Negara-negara
yang bertetangga, berkurangnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP),
berkurangnya peluang kerja nelayan Indonesia (local) dimana kapal-kapal
illegal tersebut adalah kapal-kapal asing yang menggunakan ABK asing
juga. IUU biasanya di lakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu
perairan yang menjadi yurisdiksi suatu Negara tanpa ijin dari Negara
tersebut. IUU juga bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku,
karena dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu Negara yang
menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional akan tetapi
kapal-kapal tersebut beroprasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan
pengelolaan yang telah di terapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan
hukum internasional yang berlaku. Karena kompleksnya masalah ini telah
melibatkan Negara-negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan
perikanan regional maka oleh karena itu isu strategis IUU Fishing juga akan
dibawa pada ifen world ocean convrence (WOC).6
Pemerintah Indonesia telah menabuh genderang perang terhadap
suatu yang illegal termasuk memerangi praktek-praktek pencurain ikan dan
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan prosedur sebagai mana yang
tercantum dalam undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan
pasal 8 ayat satu (1), dimana illegal fishing di Indonesia sudah sangat
menghawatirkan disamping telah menimbulkan kerugian Negara mencapai
triliunan rupiah. Praktek illegal fishing juga menyebabkan jatuhnya harga diri
dan kedaulatan bangsa yang di anggap tidak mampu mengurus negaranya.
Hal ini dikarenakan oleh permasalah di wilayah laut yang terkait
dengan illegal fishing, seperti adanya tumpang tindih peraturan perundang-
undangan dan disertai dengan konflik kewenangan atau ego sektoral antar
institusi Negara dalam memainkan peranannya. Selain itu ada hal lain yang
lebih menghawatirkan dan memalukan yaitu dipermaiknannya hukum oleh
beberapa oknum dari masing-masing institusi Negara yang rela “ menjual”
bangsa ini, karena dari dulu ceritanya selalu sama, yaitu adanya permintaan
para pelaku “pencuri ikan” untuk melakukan aktifitas illegal (pencurian
ikan). Ironisnya permintaan tersebut diterima secara diam-diam bahkan
terbuka asalkan sesuai dengan tariff (uang pelican) yang disyartkan oleh para
petugas dan para penegak hukum.
Disamping itu penerapan Undnag-Undang Nomor 31 tahun 2004
tentang Perikanan dalam upaya penanggulangan illegeal fishing tidak
berjalan sesuai dengan yang direncanakan karena kasus tindak pidana
penangkapan ikan secara illegal menggunakan bahan peledak atau bahan
6
Stvien/Wilson dok, Isu Strategis menyambut pelaksanaan WOC/CTI
kimia serta dengan alat yang tidak dijinkan telah merugikan Negara mencapai
tiga ratus triliun pertahun. Sesuai dengan data Badan Pemeriksa Keuangan
(2013) menunjukkan, potensi pendapatan sector perikanan laut kita jika tanpa
illegal fishing mencapat Rp. 365 triliun pertahun, namun akibat illegal fishing
menurut hitungan Kementrian Kelautan dan Perikanan (2011) pendapatan
tersebut hanya berkisar Rp. 65 teriliun pertahun.7
Oleh karena itu, Kasus Tindak Pidana Illegal Fishing ini harus cepat
disikapi dengan membuat atau merancang suatu aturan khusus untuk
mengatasi kasus pencurian ikan (illegal fishing) karena aturan Perundang-
undangan yang sudah ada yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004
tentang perikanan yang menggantikan Undang-Undnag Nomor 9 tahun 1985
sama sekali tidak dapat menuntaskan sengketa atau perseteruan yang muncul
baik antara TNI AL, POLRI, dan PPNS dimana telah disebutkan pada pasal
73 undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan sebagai pihak
yang berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana
illegal fishing.
Kondisi seperti ini dinilai sangat disayangkan karena sebelumnya
banyak pihak yang berharap pada undnag-undnag tersebut untuk dapat
menuntaskan persoalan saling rebut kewenangan untuk penanganan tindak
pidana criminal di laut seperti kasus tindak pidana illegal fishing yang terus
terjadi sampai saat ini. Dimana untuk penanganan tindak pidana illegal
fishing pemerintah mempunyai dua (2) pilihan untuk menuntaskan persoalan
yang muncul akibat keberadaan aturan yang sifatnya tidak lebih dari sekedar
mengakomodasi kepentinganbanyak pihak seperti yang tercantum pada pasal
73 undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan.
Masalah ini harus segera dituntaskan apabila tidak akan selalu
muncul kecurigaan setiap pihak baik TNI AL, POLRI maupun DKP yang
sama-sama ngotot karena memiliki kepentingan masing-masing terutama
kepentingan pihak tertentu. Dan pemerintah harus segera memberi kejelasan
tentang perbedaan persepsi yang terjadi seputar fungsi penyidik dilaur
terutama TNI AL dan POLRI. Sehingga pemerintah perlu menerbitkan aturan
yang menegaskan fungsi penyelidikan berdasarkan ketentuan perundang-
undangnan yang berlaku dimana ketentuan tersebut berfungsi untuk
mengetahui kejelasan dan kepastian hukum bagi pelaksanaan tugas kedua
belah pihak.
Sulitnya memecahkan permasalahan illegal fishing itu disebabkan
sedikitnya oleh dua hal yaitu pertama tumpang tindihnya peraturang
perundang-undangan yang berujung pada ketidak jelasan institusi mana yang
berwenang dalam mengurus permasalahan illegal fishing. Kedua adanya
konflik kepentingan antar institusi dalam mengurus kavingya masing-masing
7
www.bakosurtanal.go.id/berita-surat/show/mewujudkan-indonesia-sebagai-poros-maritim-dunia-yang-maju-dan-mandiri
menyebabkan ketidak jelasan dan menciptakan celah hukum bagi para pihak
yang nakal untuk mempermainkan hukum. Adapun institusi Negara yang
terkait dalam pemberantasan tindak pidana illegal fishing diantaranya
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Perhubungan Laut (DIS
HUB LA), Syahbandar, Direktorat Migrasi, Departemen tenaga Kerja dan
Transmigrasi, TNI AL, Beacukai dan Kepolisian Perairan.
Berdasarkan hasil penelitian dilapangan mengenai permasalahan
illegal fishing dapat dijelaskan berdasarkan tindakan dan permainan hukum,
terdapat tiga kelompok institusi Negara yaitu antara lain :8
a. Kelompok pertama yang oknum aparatnya mempermainkan proses
perizinan kapal dan alat tangkap, termasuk di dalamnya Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Perhubungan Laut, dan
Syahbandar. Modus yang biasanya dilakukan oleh pihak asing yang
bekerja sama dengan pengusaha local untuk mengibuli petugas,
biasanya dilakukan perubahan penampilan kapal yang menyerupai
kapal local, setelah itu dilakukan pengecetan ulang dan modifikasi
serta pemberian nama local. Ironinya, kesepakatan antara pengusaha
asing dang pengusaha local tersebut mendapat restu dari aparat yang
terkait dengan peroses perizinan.
b. Kelompok kedua yang oknum aparatnya yang mempermainkan
proses perizinan ketenagakerjaan, termasuk didalamnya Direktorat
Migrasi dan Departemen Tenaga Kerja. Selain banyak prosedur,
pengurusan izin tenaga asing juga menuntut banyak biaya sebagai
uang pelican. Misalnya, untuk mengurus izin kerja tenaga asing
(IKTA) di Depnaker, pengusaha harus menyetor uang perbulannya
sebesar 100 dolar AS.
c. Kelompok ketiga yang oknum aparatnya mempermainkan proses
penegakan hukum, termasuk didalamnya adalah TNI AL, Polisi Air,
Bea Cukai dan Direktorat Jendral Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP) kapal asing sengaja
dibiarkan masuk untuk menambah kekayaan oknum aparatur. Hal ini
dikarenakan setiap kapal yang tertangkap diharuskan membayar
minimal puluhan juta rupiah terkadang sampai ratusan juta rupiah
sesuai dengan harga izin resmi.
Maka pemerintah melakukan upaya revitalisasi Badan Koordinasi
Keamanaan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk diatur kembali melalui
instrument peraturan Presiden. Sehingga ada perubahan tata pemerintahan
dan perkembangan lingkungan yang strategis, perlu penataan kembali
Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antara institusi/instant
pemerintah di bidang kemanaan laut. Dimana dibentuk Kelompok Kerja
Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di laut
8
http://akhmad_solihim.staff.ipb.ac.id/2011/02/16/menyangsikan-pemberantasan-illegal-fisging/
sehingga ditetapkanlah peraturan presiden nomor 81 tahun 2005 tentang
badan Koordinasi Keamaan Laut (BAKORKAMLA) yang menjadi dasar
hukum organisasi.
Saat ini penyidik TNI AL, Polri, PPNS Perikanan secara konsisten
telah menerapkan Undang – Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang
perikanan dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas
serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dimana prosedur
dan tata cara pemeriksaan tindak pidana dilaut sebagai bagian dari
penegakan hukum dilaut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan
mengandung beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana didarat.
Hal ini disebabkan karena dilaut terdapat bukan saja kepentingan nasional
akan tetapi terdapat pula kepentingan-kepentingan internasional yang harus
dihormati seperti hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas
transit, pemasangan kabel laut serta perikanan tradisional Negara tetangga.9
2. Hambatan dan Kendala dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan dalam Upaya Penanggulangan Tindak
Pidana Illegal Fishing.
Penegakan hukum terkait kasus tindak pidana illegal fishing di
Indonesia yang dilakukan oleh suatu system peradilan pidana. Secara umum
peradilan di Indonesia terbagi atas beberapa subsistem yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, serta lembaga pemasyarakatan. Yang mana dari system peradilan
yang ada adalah merupakan tahapan-tahapan yang harus ada di dalam suatu
penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Dilihat dari
pembagian subsistem peradilan pidana tersebut Kepolisian Negara Repubilk
Indonseia atau Polri pada perinsipnya adalah merupakan ujung tombak dari
penegakan hukum di indonseia, dapat diumpamakan apabila suatu tombak
mata ujungnya tumpul maka tindak dapat berfungsi secara maksimal, begitu
juga dalam hal ini Polri.
Penegakan hukum di Indonesia dapat di ibaratkan bagai menegakkan
benang basah. Law Enforcement (penegakan hukum) hanya selogan dan
retorika tak bermutu. Kenyataan dilapangan menunjukkan, hukum bukan
bagi keadilan melainkan indentik dengan uang. Hukum dan keadilan dapat
dibeli, pengadilan tak ubahnya seperti balai lelang. Siapa yang menjadi
pemenang, bergantung pada jumlah penawaran. Pemenangnya tentu yang
mampu memberikan penawaran tertingi. Kalau lelang dilakukan dalam
amplop tertutup, di pengadilan tawar-menawar dilakukan dalam siding
terbuka. Akibatnya, hukum menjadi barang mahal di negeri ini.
Setidaknya ada 5 (lima) factor yang mempengaruhi penegakan
hukum, antara lain :
a. Substansi hukum, yakini peraturan perundang – undangan;
9
amrmulsin.co.id/2014/05/makalah illegal fishing
b. Factor struktur hukum, yaitu penegak hukum ( yang menerapkan
hukum );
c. Factor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Factor masyarakat, yakini lingkungan tempat hukum tersebut
berlaku atau diterapkan;
e. Factor budaya, yakini hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Dari faktor – faktor tersebut, bagi sosiolog hukum yang diutamakan
adalah integritas penegak hukum ketimbang substansi hukumnya. Soetandyo
Wignyosubroto mengutip pendapat Taverne menyatakan, berikanlah aku
hakim yang baik, Jaksa yang baik, dan Polisi yang baik, meski dengan
undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang dicapai pasti akan
lebih baik.
Akan tetapi pemerintah menuai hambatan dalam penegakan terhadap
Illegal fishing antara lain:
a. Obyek penegakan hukum sulit ditembus hukum.
Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam
kejahatan illegal fishing yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan
tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum pejabat penyelenggara
Negara, oknum aparat penegak hukum atau oknum pegawai negri sipil
yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang tentang
perikanan tersebut. Penerapan pasal 51 ayat 1 KUHP yang
mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang
melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta
melakukan perbuatan pidana dapat juga diterangkan dalam kejahatan
illegal fishing yang melibatkan banyak pihak.
Namun demikian beban pidana yang harus ditanggung secara
bersama dalam terjadinya tindak pidana illegal fishing juga dapat
mengurangi rasa keadilan masyarakat krena dengan kualitas dan akibat
perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat
dipidanakan maksimum sama dengan sipembuat menurut ketentuan
pasal 56 ayat 1 KUHP, sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya
sulit ditemukan.
b. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum
Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum dapat
menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-
masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik kepentingan.
Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah satu
kendala dalam penanggulangan kejahatan illegal fishing. Dimana
proses peradilan mulai dari penyidikan hingga kepersidangan
membutuhkan biaya yang sangat besar, peroses hukum yang sangat
panjang dan sarana/prasarana yang sangat memadai membutuhkan
keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu instansi
tentu tidak memiliki semua komponen, data/informasi ataupun sarana
dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka oenegakan hukum. Oleh
karena itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang sinergis antar
instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap illegal
fishing tersebut.
Dalam pemberantasan kejahatan illegal fishing yang terjadi di
Indonesia sering ditemui bahwa yang merupakan salah satu kendala
dalam pemberantasan illegal fishing iyalah disebabkan oleh kurangnya
koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai instansi yang
terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan Menteri Pelautan dan
perikanan Nomor Per/11/MEN/2006 tentang perubahan Peraturan
Menteri Nomor Per/13/MEN/2005 tentang forum Koordinasi
Penanganan Tindak pidana di bidang perikanan yaitu dalam hal ini
terdapat 10 (sepuluh) instansi yang terkait yang berada dalam satu
mata rantai pemberantasan illegal fishing yang sangat menentukan
proses penegakan hukum kejahatan perikanan yaitu:
1. Kementrian Kelautan dan Perikanan;
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. TNI AL;
4. Kejaksaan Agung;
5. Kementrian Hukum dan Ham Ditjen Keimigrasian;
6. Kementrian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut;
7. Kementerian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai;
8. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan
pengawasan ketenagakerjaan;
9. Mahkamah Agung;
10. Pemerintah Daerah Provinsi/Kab/Kota.
Koordinasi antar berbagai instansi tersebut sangat menentukan
keberhasilan dalam penegakan hukum pidana terhadap kejahatan
illegal fishing yang merupakan kejahatan terorganisir yang mimiliki
jaringan yang sangat luas mulai dari penagkapan ikan secara illegal,
tanship ment ikan ditengah laut hingga ekspor ikan secara illegal.
c. Masalah Pembuktian
Berbicara mengenai masalah pembuktian yang dianut oleh
hukum pidana Indonesia adalah sistem negatif (negatif wettelijke
stelsel) yang merupakan gabungan dari sistem bebas dengan sistem
positif (Syahrani, 1983:129). Lebih lanjut menurut Syahrini bahwa
dalam sistem negatif Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa apabila berdasarkan bukti – bukti yang sah menurut hukum
sehingga Hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwalah yang telah
bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal
183 UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP, yang menyatakan bahwa : “
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Alat bukti utama yang dapat dijadikan dasar tuntutan dalam
tindak pidana Illegal Fishing adalah keterangan saksi ahli untuk
menjelaskan keadaan laut ataupun akibat dari penangkapan ikan secara
ilegal yang disebabkan oleh kajahatan oleh para pelaku Illegal Fishing,
proses ini juga sangat memerlukan waktu yang cukup lama dari tindak
pidana umum serta sangat dibutuhkan ketelitian dalam proses
penanganannya. Pembuktian terhadap tindak pidana Illegal Fishing
yang masih mengacu pada KUHAP seperti tersebut diatas, adalah
merupakan kewajiban penyidik dan penuntut umum untuk
membuktikan sangkaannya terhadap tersangka, kemudian alat – alat
bukti yang juga mengacu pada KUHAP seperti halnya tindak pidana
biasa, sangat sulit untuk menjerat pelaku – pelaku yang berada di
belakang kasus tersebut. Belum diaturnya mekanisme proses untuk
mengakses alat – alat bukti seperti akses informasi pada bank atau
ketentuan yang memerintahkan kepada bank untuk meblokir rekening
tersangka yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
d. Ruang Lingkup Tindak Pidana yang Masih Sempit
Ruang lingkup tindak pidana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan belum meliputi
tindak pidana korporasi dalam hal ini yang dimaksud dalam tindak
pidana korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum
yang dapat dikenakan sanksi, tindak pidana penyertaan dan tindak
pidana pembiaran (ommission). Tindak pidana Pembiaraan atau
(ommission) adalah terutama yang dilakukan oleh pejabat yang
memiliki kewenangan dalam masalah penanggulangan Illegal Fishing
e. Rumusan Sanksi Pidana
Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang - Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang memiliki sanksi pidana denda
yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain,
ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal
Fishing. Ancaman hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun
bagi pelaku yang melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau
membawa SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7
(tujuh) tahun bagi yang melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu
berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda yang paling banyak Rp.
20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam
Undang -Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi paling rendah
atau minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak
memberi efek jera kepada pelaku. Demikian juga belum diatur tentang
sanksi pidana bagi Korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama
kepada tindak pidana pembiaran.
f. Subyek dan Pelaku Tindak Pidana
Subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana
Perikanan secara tersurat hanya dapat diterapkan kepada pelaku yang
secara langsung melakukan penangkapan ikan secara ilegal maupun
kepada kapal ikan yang yang melakukan transhipment secara ilegal.
Ketentuan tentang pidana perikanan itu belum menyentuh pelaku lain
termasuk pelaku intelektual yang terkait dengan Illegal Fishing secara
keseluruhan seperti Korporasi, Pejabat Penyelenggara Negara,
Pegawai Negeri Sipil, TNI/POLRI, dan Pemilik Kapal.
g. Proses Penyitaan
Barang bukti berupa kapal perikanan, ikan dan dokumen –
dokumen kapal dalam tindak pidana perikanan khususnya ikan dalam
proses penyitaan sebagai barang bukti sangat perlu diperhatikan
dimana barang bukti tersebut memiliki sifat yang cepat membusuk
sehingga dalam proses penyitaan sebagai barang bukti harus dilakukan
secara baik yaitu setelah barang bukti tersebut disita selanjutnya segera
di lelang dengan persetujuan Ketua Pengadilan kemudian uang hasil
lelang tersebut digunakan sebagai barang bukti di Pengadilan.
h. Ganti Kerugian Ekologis
Tindak pidana Illegal Fishing adalah tindak pidana yang
mempunyai dampak terhadap kerugian lingkungan (ekologis) sehingga
sangat perlu dirumuskan pasal tentang perhitungan kerugian secara
ekologis. Hal ini juga belum diatur dalam Undang – Undang
Perikanan.
i. Kurangnya Wawasan dan Integritas Para Penegak Hukum
Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana Illegal Fishing adalah adanya wawasan
dan integritas para penegak hukum terutama menyangkut penguasaan
hukum materil dan formil, hal ini dikarenakan begitu cepatnya
perkembangan masyarakat yang semakin moderen, telekomunikasi dan
teknologi sehingga banyak kejahatan baru yang bermunculan dengan
jenis dan modus operandi yang baru dan beraneka jenis, termasuk
kejahatan tindak pidana Illegal Fishing.
E. Penutup
1. Simpulan
Permasalahan tindak Pidana Illegal Fishing adalah permasalahan yang
sangat komplek, dimana permasalahan yang terjadi diwilayah laut sebagian
besar karena adanya tumpang tindih peraturan Perundang-undangan dan di
sertai konflik kewenangan atau ego sektoral antara institusi Negara. Selain
itu, ada hal yang sangat menghawatirkan serta memalukan dimana para
institusi Negara yang berperan dalam menyelesaikan kasus-kasus di wilayah
laut telah mempermainkan hukum Negara yang sudah ada seperti yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan Undang-undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan.
Dapat dilihat pula lemahnya peraturan yang ada dan lemahnya
penegakan hukum yang di lakukan oleh aparat. Pemerintah juga harus
mempercepat terbentuknya peradilan perikanan yang berwenang
menentukan, menyelidiki dan memtuskan tindak pidana dengan tidak
melakukan tebang pilih dan bertindak tegas terhadap pelaku tindak pidana
Illegal Fishing dengan cara penenggelaman kapal pelaku tindak pidana
Illegal Fishing yang terbukti bersalah.
Akan tetapi pemerintah menemui hambatan dalam penegakan terhadap
kasus Illegal Fishing antara lain:
a. Obyek penegakan hukum sulit di tembus hukum.
b. Lemahnya koordinasi antar penegak hukum.
c. Masalah pembuktian.
d. Ruang lingkup Tindak Pidana yang masih sempit.
e. Rumusan sanksi pidana.
f. Subyek dan pelaku tindak pidana.
g. Ganti kerugian ekologis.
h. Kurangnya wewenang dan integritas para penegak hukum.
2. Saran
a. Diharapkan kepada Pemerintah dan para Aparat Penegek Hukum untuk:
Membenahi tumpang tindih peraturan Perundang-undangan di
wilayah laut.
Melengkapi sarana dan prasarana dalam melakukan pengawasan
dan penegakan hukum.
Membenahi sekaligus membersihkan oknum-oknum petugas dan
aparat penegak hukum yang kerap mempermaikna hukum.
b. Diharapkan kepada Pemerintah agar segera membentuk Pengadilan
Khusus Perikanan di seluruh NKRI, dimana dasar Pembentukan yaitu:
Supaya perkara perikanan mendapat perhatian serius disbanding
perkara lain.
Dapat mewujudkan suatu tatanan system peradilan penanganan
perikanan yang efektif.
Dapat menstimulasi kinerja pengadilan negeri dalam menangani
tindak pidana perikanan.
Dapat mengubah paradigma di kalangan aparat penegak hukum
dalam menangani perkara-perkara perikanan.
Daftar Pustaka