Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita masih menjadi masalah gizi
utama yang perlu mendapat perhatian. Masalah gizi secara langsung disebabkan oleh
asupan yang kurang dan tingginya penyakit infeksi. Hal ini berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, gangguan akses makanan,
perawatan ibu yang tidak adekuat serta kurangnya pengetahuan ibu tentang cara
pemberian makanan yang baik untuk anak usia penyapihan (World Health Organization ,
1998.
Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Usia 0-24 bulan
merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, yang sering diistilahkan
sebagai periode emas. Tahapan periode emas dimulai sejak di dalam kandungan ketika
kehamilan memasuki trimester ke-3 hingga usia 2 tahun. Pada usia 6 bulan,
perkembangan otak anak mencapai 50% melonjak hingga 80% saat berumur 2 tahun.
Pada umur 5 tahun perkembangan otak mencapai 90% dan ketika umur 10 tahun
mencapai 100%. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak
memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Tumbuh kembang
optimal dapat dicapai dengan melakukan beberapa hal, di dalam Global Strategy for
Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan 4 hal penting yang
harus dilakukan yaitu; memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30
menit setelah 2 bayi lahir, memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI
secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, memberikan makanan
pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan
meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih (Depkes, 2006).
MP-ASI atau makanan pendamping ASI merupakan makanan tambahan yang diberikan
pada bayi mulai usia 6-24 bulan yang diperlukan untuk menunjang tumbuh kembangnya.
Pada usia ini, ASI hanya akan memenuhi sekitar 60%-70% kebutuhan bayi sehingga bayi
memerlukan makanan tambahan atau makanan pendamping ASI yang memadai dan
pemberian ASI yang diteruskan hingga anak berusia 24 bulan atau 2 tahun lebih (Indiarti,
2008). Masalah gizi di Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau yang
mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang
tidak mencukupi kebutuhan badan. Selama kurun waktu 1989 sampai 2004 terdapat
sekitar 40 juta balita mengalami kurang gizi dari keseluruhan 211 juta balita yang ada di
Indonesia. Meningkatnya jumlah anak balita yang mengalami kurang gizi tersebut karena
tidak terpenuhinya makanan seimbang (Depkes RI, 2006). Prevalensi kurang gizi di Jawa
Tengah, terutama pada bayi dibawah 5 tahun dinilai masih tinggi. Tahun 2002, tercatat
sebanyak 4.378 balita atau 1,51% balita di Jawa Tengah bergizi buruk. Sebanyak 40.255
balita atau 13,88% balita bergizi kurang (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2005). Keadaan
kurang gizi pada bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang
tidak tepat dan ketidaktahuan ibu 3 tentang manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang
benar sehingga berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI (Depkes RI,
2006). Hal ini diperkuat dengan penelitian Sulistyowati (2007) yang menyatakan bahwa
ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang makanan pendamping ASI dengan status
gizi balita umur 4-24 bulan. Notoadmodjo (2003) menyatakan bahwa pengetahuan juga
memegang peranan penting dalam menentukan perilaku karena pengetahuan akan
membentuk kepercayaan yang selanjutnya akan memberikan perspektif, memberikan
dasar bagi pengambilan keputusan dan menentukan perilaku terhadap obyek tertentu. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian Pratiwi (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara pengetahuan ibu tentang makanan pendamping ASI dengan perilaku ibu tentang
MP-ASI pada anak usia 6-24 bulan di Posyandu Dusun Tlangu Desa Bulan Kecamatan
Wonosari Klaten. Hal serupa diungkapkan oleh Chaudhry (2007) dalam penelitiannya
yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu tentang MPASI berhubungan signifikan
dengan perilaku pemberian MP-ASI. Semakin rendah pengetahuan seorang ibu maka
semakin negatif pula perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI. Niger (2010) menyatakan
bahwa pengetahuan ibu tentang MP-ASI mempengaruhi perilaku pemberian MP-ASI,
yang apabila ibu memberikan MP-ASI tidak sesuai dengan kebutuhan balita maka akan
mempengaruhi status gizi balita tersebut atau akan mengakibatkan malnutrisi.
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Juli 2012 di Dinas
Kesehatan Kota Surakarta, didapatkan data laporan hasil pemantauan status gizi Kota
Surakarta pada tahun 2009 menunjukkan 4 bahwa Kelurahan Kestalan Kecamatan
Banjarsari yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Gilingan memiliki permasalahan
rawan gizi tertinggi di Kota Surakarta yaitu 15,45% balita berstatus gizi kurang dan
1,63% balita berstatus gizi buruk. Berdasarkan data pada tahun 2010 permasalahan rawan
gizi di Kelurahan Kestalan menurun yaitu status gizi kurang 8,94% dan status gizi buruk
0,81%. Data laporan hasil pemantauan status gizi Kota Surakarta pada tahun 2011
berdasarkan pengukuran BB/PB Kelurahan Kestalan masih memiliki persentase balita
kurus tertinggi yaitu 7,69%.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
“Apakah ada hubungan pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan perilaku pemberian
MP-ASI dan status gizi pada baduta usia 6-24 bulan di Desa Suak Ribe kabupaten Aceh
Barat?”

C. Tujuan Penelitian
1) Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan perilaku
pemberian MP-ASI dan status gizi pada baduta usia 6–24 bulan di Kelurahan
Kestalan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

2) Tujuan Khusus

a. Mendiskripsikan pengetahuan ibu tentang MP-ASI.


b. Mendiskripsikan perilaku pemberian MP-ASI.
c. Mendiskripsikan status gizi pada baduta usia 6-24 bulan.
d. Menganalisis hubungan pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan perilaku
pemberian MP-ASI.
e. Menganalisis hubungan pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan status gizi pada
baduta usia 6-24 bulan.

D. Manfaat Penelitian

1) Bagi Puskesmas Sebagai informasi bagi petugas Puskesmas untuk bahan pertimbangan
dalam melaksanakan penyuluhan kepada ibu baduta agar ibu lebih memperhatikan
pemberian MP-ASI pada baduta usia 6-24 bulan sehingga dapat memenuhi
kebutuhan balitanya dan menambah pengetahuan ibu tentang pemberian makanan
pendamping ASI secara tepat.

2. Bagi Peneliti Lain Sebagai gambaran atau informasi atau data untuk melakukan
penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan MP-ASI.

E. Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup materi pada penelitian ini dibatasi pada pembahasan mengenai
hubungan pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan perilaku pemberian MP-ASI
dan status gizi pada baduta usia 6-24 bulan di Kelurahan Kestalan Kecamatan
Banjarsari Kota Surakarta.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi Anak Balita

1. Pengertian Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi
dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik
akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasa, 2002). Status gizi adalah
keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan.
Makanan yang memenuhi gizi tubuh, umumnya membawa ke status gizi memuaskan.
Sebaiknya jika kekurangan atau kelebihan zat gizi esensial dalam makanan untuk jangka
waktu yang lama disebut gizi salah. Manifestasi gizi salah dapat berupa gizi kurang dan
gizi lebih (Supariasa, 2002). Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan
nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi
juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara
kebutuhan dan masukan nutrient (Beck dalamcreasoft, 2008). Zat gizi diartikan sebagai
zat kimia yang terdapat dalam makanan yang diperlukan manusia untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan. Sampai saat ini dikenal kurang lebih 45 jenis zat gizi dan sejak
akhir tahun 1980an dikelompokkan keadaan zat gizi makro yaitu zat gizi sumber energi
berupa karbohidrat, lemak, dan protein dan zat gizi mikro yaitu vitamin dan mineral
(Supariasa, 2002). Keadaan tubuh dikatakan pada tingkat gizi optimal, jika jaringan
tubuh jenuh oleh semua zat gizi maka disebut status gizi optimal. Kondisi ini
memungkinkan tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya tahan yang tinggi.
Apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh
maka akan terjadi kesalahan gizi yang mencakup kelebihan dan kekurangan zat gizi
(Supariasa, 2002). 7 Kelompok bayi dan anak balita adalah salah satu kelompok umur
yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi, oleh sebab itu indikator yang
paling baik untuk mengukur status gizi masyarakat adalah dengan melalui pengukuran
status gizi balita (Supariasa, 2002). Kurang gizi pada anak balita tidak mudah dikenali
oleh pemerintah atau masyarakat bahkan keluarga. Artinya andaikata disuatu desa
terdapat sejumlah anak yang menderita gizi kurang dan tidak segera menjadi perhatian
karena anak tampak tidak sakit. Faktor timbulnya gizi kurang pada anak balita lebih
kompleks, maka upaya penanggulangannya memerlukan pendekatan dari berbagai segi
kehidupan anak secara terintegrasi. Artinya tidak hanya memperbaik aspek makanan saja
tetapi juga lingkungan hidup anak seperti pada pegasuhan, pendidikan ibu, air bersih dan
kesehatan lingkungan, mutu layanan kesehatan dan sebagainya (Supariasa, 2002).

2. Indikator Status Gizi

Balita Masa balita merupakan masa yang menentukan dalam tumbuh kembangnya, yang
akan menjadikan dasar terbentuknya manusia seutuhnya. Karena itu pemerintah
memandang perlu untuk memberikan suatu bentuk pelayanan yang menunjang tumbuh
kembang balita secara menyeluruh terutama dalam aspek mental dan sosial.
Pertumbuhan dan perkembangan saling mendukung satu sama lain perkembangan
seorang anak tidak dapat maksimal tanpa dukungan atau optimalnya pertumbuhan.
Misalnya seorang anak yang kekurangan gizi akan mempengaruhi perkembangan mental
maupun sosialnya, oleh karena itu keduanya harus mendapat perhatian baik dari
pemerintah, masyarakat maupun orang tua. Salah satu indikator untuk melihat
pertumbuhan fisik anak adalah dengan melihat status gizi anak dalam hal ini balita.
Sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat perkembangan seorang anak dengan
menggunakan kartu menuju sehat (KMS) (Soetjiningsih, 2002). Semua kejadian yang
berhubungan dengan kesehatan anak sejak lahir sampai berumur lima tahun, perlu dicatat
dalam KMS, misalnya 8 identitas anak, tanggal lahir dan tanggal pendaftaran, serta
penyakit yang pernah dideritanya. KMS berisi pesan-pesan penyuluhan tentang
penanggulangan diare, makanan anak. Sehingga ibu senantiasa membawa KMS pada
semua kegiatan kesehatan dan cenderung ingin kontak dengan petugas kesehatan untuk
merujuk anaknya. Hal ini dapat digunakan sebagai pengamatan status gizi anak,
disamping mempunyai kelebihan maupun kekurangannya (Soetjiningsih, 2002).
Indikator status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut umur ada kelebihan dan
kekurangannya. Kelebihan tersebut diantaranya dapat lebih mudah dan lebih cepat
dimengerti oleh masyarakat umum, dapat mendeteksi kelebihan maupun kekurangan
gizi, sensitivitas untuk melihat perubahan status gizi, sedangkan kekurangannya adalah
dapat mengakibatkan interprestasi status gizi yang keliru bila terdapat oedem,
memerlukan data umur yang akurat, sering terjadi dikesalahan dalam pengukuran, misal
karena pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan. 3. Pengukuran
Status Gizi Balita Beberapa cara mengukur status gizi balita yaitu dengan pengukuran
antropometri, klinik dan laboratorik. Diantara ketiga cara pengukuran satatus gizi balita,
pengukuran antropometri adalah yang relatif sering dan banyak digunakan (Soegiyanto
dan Wiyono, 2007). Pengukuran antropometri dapat digunakan untuk mengenali status
gizi seseorang. Antropometri dapat dilakukan beberapa macam pengukuran yaitu
pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan sebagaimya. Berdasarkan
beberapa pengukuran tersebut, berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan panjang badan
(PB) adalah yang paling dikenal. Ilmu status gizi tidak hanya diketahui dengan
mengukur BB / TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi dalam bentuk
indikator yang dapat merupakan kombinasi diantara ketiganya. Masing-masing indikator
mempunyai makna sendiri, misalnya kombinasi antara BB (berat badan) dan U (umur)
membentuk indikator BB menurut U yang 9 disimbolkan dengan BB / U. Indikator BB /
U Dapat normal lebih rendah atau lebih tinggi setelah dibandingkan dengan standar
WHO. Apabila BB / U normal maka digolongkan pada status gizi baik, dan BB / U
rendah dapat berarti berstatus gizi kurang / buruk, serta bila BB / U tinggi dapat
digolongkan berstatus gizi lebih. Baik satus gizi kurang ataupun status gizi lebih, kedua-
duanya mengandung resiko yang tidak baik bagi kesehatan balita. Sedangkan pegukuran
klinik biasanya dilakukan oleh dokter di klinik untuk melihat adanya kelainan-kelainan
organ tubuh akibat KEP, misalnya adanya pembegkakan (oedem), perubahan warna, dan
sifat rambut, kelainan kulit dan sebagainya.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan


prosedur penelitian (Hidayat, 2012). Desain penelitian ini peneliti menggunakan
penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menerangkan atau menggambarkan masalah
penelitian yang terjadi berdasarkan karakteristik tempat, waktu, umur, jenis kelamin,
sosial, ekonomi, pekerjaan, status perkawinan, cara hidup (pola hidup), dan lain-lain.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini telah dilakukan pada 1 Balita di Desa Suak Ribe Kecamatan Johan
Pahlawan Kabupaten Aceh Barat waktu asuhan gizi dilakukan pada tanggal 23-febuari-
2021

C. Sasaran
Sasaran pada balita gizi kurang

D. Teknik pengumpulan data


Data primer
Data primer yang di kumpulkan meliputi :
a. data antropometri yaitu tinggi badan menggunakan alat mitotoise dengan ketelitian 0,1
cm dan berat badan menggunakan alat timbangan injak dengan ketelitian 0,25 kg
b. data asupan yaitu untuk mengetahui asupan anak selama 24 jam yang lalu dengan cara
melakukan wawancara dan recall menggunaklan form recall 24 jam
c. Data-Data subjektif keluhan orang tua tentang pola makan.

E. Teknik pelaksanaan intervensi


F. Teknik monitoring dan evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses untuk mengidentifikasi masalah, mengumpulkan data dan
menganalisis data, membandingkan dengan kriteria, menyimpulkan hasil yang telah
dicapai, menginterpretasikan hasil menjadi rumusan kebijakan dan menyajikan informasi
(rekomendasi) untuk pembuatan keputusan. Evaluasi juga dapat diartikan sebagai suatu
proses membandingkan antara hasil yang telah dicapai oleh suatu program dengan tujuan
yang direncanakan. Menurut kamus istilah manajemen evaluasi ialah suatu proses
bersistem dan objektif menganalisis sifat dan ciri pekerjaan di dalam suatu organisasi
atau pekerjaan (Notoatmodjo, 2003).39 Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan
memberi nilai secara obyektif atas pencapaian hasil-hasil pelaksanaan (program) yang
telah direncanakan sebelumnya dan dilakukan secara sistematis dan obyektif dengan
menggunakan metode yang relevan (Nurcholis, 2009). Dari beberapa definisi tersebut,
evaluasi program merupakan evaluasi program merupakan satu metode untuk mengetahui
dan menilai efektivitas suatu program dengan membandingkan kriteria yang telah
ditentukan atau tujuan yang ingin dicapai dengan hasil yang dicapai. Hasil yang dicapai
dalam bentuk informasi digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan
keputusan dan penentuan kebijakan. Jenis evaluasi yang akan digunakan sangat
tergantung dari tujuan yang ingin dicapai lembaga, tahapan program yang akan dievaluasi
dan jenis keputusan yang akan diambil

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Anda mungkin juga menyukai