Anda di halaman 1dari 27

TUGAS PENYAKIT TROPIK DAN INFEKSI ANAK

PERTUSIS

Oleh :

Deyona Annisa Putri G99151031 E 09 16


Nisa’u Luthfi Nur Azizah G99151032 E 10 16
Muhammad Hafizh I. D. G99151033 D 32 16

Pembimbing :
Dr. H. Rustam Siregar, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FK UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertusis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertussis. Bordetella pertussis adalah penyebab manifestasi klinis pertusis
yang paling berat, bakteri gram negative pleomorfik yang membutuhkan
lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pertusis sering juga disebut batuk rejan,
batuk seratus hari, tussis quinta, atau violent cough. Penularan pertusis
melalui droplet (Marcdante etal., 2011).
Kejadian pertusis per tahunnya mencapai 100-200 per 100.000
populasi pada era sebelum vaksinasi dilakukan, dan saat ini angka
kejadiannya cukup tinggi di Negara Berkembang. Di Amerika Serikat
ditemukan sebanyak 15.000 kasus ditemukan pada tahun 2006 dengan usia
tertinggi bayi dibawah 4 bulan. Di Inggris angka kejadian pertusis
mengalami penurunan sejak cakupan vaksinasi tinggi pada tahun 1970.
Namun, angka kejadian kembali meninggi saat cakupan vaksinansi
menurun. Hal ini membuktikan efikasi vaksinasi (Marcdante et al., 2011).
Komplikasi utamaa yang sering terjadi pada anak kecil adalah
hipoksia, apnea, pneumonia, kejang, enselopati, dan malnutrisi. Batuk
paroksismal dengan tekanan yang kuat dapat mengakibatkan terjadinya
pneumomediastinum, pneumotoraks, emfisema subkutan, epistaksis, dan
hernia (Marcdante et al., 2011).

B. Tujuan
Untuk mengetahui definisi, prevalensi, etiologi, patogenesis,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi
dan prognosis dari pertusis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang
pertama kali ditemukan pada tahun 1.500 an dan menjadi penyakit
endemis di Eropa pada tahun 1.600 an (Altunaiji, 2012).
Menurut Bayhan et al. (2012), pertussis atau disebut juga dengan
batuk rejan, “whooping cough”, adalah batuk yang ditandai dengan adanya
suara tarikan nafas yang keras atau inspiratory whoop yang mengikuti
serangan batuk yang hebat sebelumnya. Penyakit ini merupakan penyakit
yang sangat menular, disebabkan oleh Bordatella pertussis. Pertussis-like
syndrome disebabkan oleh spesies Bordetella lain seperti B. parapertussis,
B. bronchiseptica dan B. holmesii, dengan gejala umum yang mirip dengan
penyakit pertusis namun lebih ringan (Zouhari et al., 2012).
Batuk pada pertussis dapat berlangsung beberapa hari, minggu,
hingga berbulan-bulan. Gejala ini mengganggu kegiatan sehari-hari dan
dapat menyebabkan gangguan tidur yang signifikan (Heininger, 2012).

B. Epidemiologi
Batuk rejan merupakan epidemi pada era sebelum adanya vaksin,
yaitu sebelum pertengahan 1940 an). Pertussis bisa dicegah dengan
vaksinasi dan sejak adanya imunisasi rutin, morbiditas dan mortalitas
batuk rejan telah menurun tajam. Meskipun sudah ada vaksinasi, penyakit
tersebut belum diberantas dan dilaporkan terdapat peningkatan kejadian
selama dua dekade terakhir pada tahun 1990 an. Hal tersebut masih
berlangsung hingga saat ini (Muloiwa et al., 2015). Menurut WHO (1999)
terdapat 20 hingga 40 juta kasus batuk rejan setiap tahunnya. Sembilan
puluh persen kasus terjadi di negara berpendapatan rendah dan
mengakibatkan sekitar 200.000- 300.000 kematian tiap tahunnya.
Sementara menurut Espinoza et al (2015) dan Gabutti dan Rota (2012), di
seluruh dunia, setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95%
diantaranya terjadi di negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000
anak meninggal setiap tahunnya. Kejadian pertusis selalu meningkat dari
tahun ke tahun dengan angka peningkatan yang bermakna, bahkan di
negara-negara yang cakupan vaksinasinya tinggi sekalipun (Cherry, 2012;
Espinoza et al., 2015; Kayina et al., 2015). Puncak insidensi pertusis
terjadi setiap 2 – 5 tahun sekali (Crespo et al., 2011). Berdasar data CDC,
di Amerika Serikat saat ini terdapat kejadian pertusis terbanyak dalam 50
tahun terakhir. Jumlah kejadiannya mencapai 800.000 sampai 1 juta kasus
setiap tahunnya (Cherry, 2012).

Gambar 1. Insidensi pertusis per 100.000 populasi di Amerika Serikat,


antara tahun 1980 – 2011 (Cherry, 2012).
Meskipun orang dewasa dan anak-anak memiliki gejala ringan
hingga sedang, bayi kurang dari 6 bulan, yang belum menerima 3 dosis
vaksin DTP (Difteri-Pertussis-Tetanus) dan anak pra-sekolah yang belum
diimunisasi lengkap memiliki resiko tinggi terjadinya pertussis berat dan
berujung pada komplikasi yaitu kematian. Batuk rejan sangat menular. 70-
100% anggota rumah tangga yang rentan dan 50-80% kontak sekolah yang
retan menjadi terinfeksi setelah terpapar kasus pertussis akut (Altunaiji,
2012).
Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur, terutama pada
anak-anak, dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak berusia
kurang dari 1 tahun (Gabutti dan Rota, 2012). CDC pada tahun 1997-2000
menunjukkan bahwa 29.048 orang dengan batuk rejan, 8.390 orang (29%)
berusia < 1 tahun, 3.359 orang (12%) berusia 1-4 tahun, 2.835 orang
(10%) berusia 5-9 tahun, 8.529 orang (29%) berusia 10-19 tahun, dan
5.935 orang (20%) berusia > 20 tahun (Altunaiji, 2012).
Tingkat kejadian rata- rata tahunan yang tertinggi terjadi pada bayi
berusia < 1 tahun (55,5 kasus per 100.000 penduduk). Anak usia 1-4 tahun
lebih rendah, yaitu 5,5 kasus per 100.000 penduduk. Anak usia 5-9 tahun
3,6 kasus per 100.000 penduduk. Anak usia 10-19 tahun 5,5 kasus per
100.000 penduduk, dan individu berusia > 20 tahun sebanyak 0,8 kasus per
100.000 penduduk (Altunaiji, 2012).
Angka kematian di negara berkembang diperkirakan sekitar 3% hal
ini dikarenakan negara terbatas dalam hal sumber daya karena sejumlah
faktor, termasuk misdiagnosis, kurangnya pengetahuan, dan pelaporan
kasus (Hartzel dan Joshua, 2014).
Sebelum adanya antibiotik dan imunisasi, insidensi dan case fatality
rate dari penyakit ini sangat tinggi. Adanya terapi antibiotik dan imunisasi
sangat jauh menurunkan angka kejadian dan kematian dari penyakit ini.
Vaksinasi juga menggeser insidensi penyakit dari yang pada awalnya
umum menyerang anak-anak dengan usia dini, menjadi lebih sering pada
dewasa. Hal tersebut karena munculnya imunitas tubuh pasca vaksinasi
dan menghilangnya kekebalan setelah 4 – 12 tahun (Gabutti dan Rota,
2012). Sementara apabila seseorang terinfeksi pertusis secara alami, maka
kekebalan alaminya akan menghilang setelah 4 – 20 tahun (Zepp, et al.,
2011).

Gambar 2. Epidemiologi pertusis pre dan post imunisasi (Gabutti dan Rota,
2012)
Gambar 3. Insidensi pertusis per 100.000 populasi di Eropa tahun 2009,
dikelompokkan berdasar usia (Gabutti dan Rota, 2012)

Penelitian di Belanda pada tahun 2007, menyatakan bahwa saudara


yang lebih tua (usia 9 – 13 tahun) dan ibu memiliki peran yang sangat
penting dalam penularan penyakit kepada bayi yang baru lahir (Gabutti
dan Rota, 2012).
Di Asia Pasifik, persebaran penyakit pertusis digambarkan seperti
dalam gambar di bawah ini pada rentang usia anak-anak. Di Indonesia
penderita penyakit pertusis terbanyak adalah usia di bawah satu tahun
(Hartzel dan Joshua, 2014).
Gambar 4. Epidemiologi Pertusis di Asia Pasifik

Gambar 5. Sumber penularan Pertussis pada anak (Skoff et al., 2015)

Menurut Skoff et al. (2015), sumber penularan pertussis paling


umum pada bayi adalah dari saudara kandungnya. Strategi pencegahan
pertussis melalui vaksinasi tetap harus dioptimalkan.

C. Etiologi
Bordetella pertussis (B. pertussis) adalah penyebab pertussis dan
biasanya menyebabkan pertussis sporadic (Altunaiji, 2012). B.pertussis
adalah bakteri coccobacillus, menginfeksi saluran nafas, dan sangat mudah
menular melalui droplet (Espinoza, 2015; Gabutti dan Rota, 2012). McGirr
dan Fisman (2015) menyebutkan bahwa B.pertussis adalah bakteri gram
negatif yang menjadi patogen bagi manusia, dengan tidak diketahui adanya
reservoir hewan maupun lingkungan. Bordetella pertusis pertama kali
ditemukan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906 (Malvin dan Jeffrey,
2014). Menurut Bolanos et al. (2011), B.pertussis pertama kali disebutkan
oleh Guillaume de Baillou (1538-1616) sebagai epidemi di Perancis.
Catatan Nils Rosen von Reosenstein menyebutkan bahwa penyakit dimulai
di Perancis pada tahun 1414.
Spesies lain Bordetella, terutama Bordetella parapertussis dan
Bordetella bronchiseptica, dapat menyebabkan gejala seperti pertusis
namun lebih ringan. Variasi dalam ekspresi faktor pertusis mempengaruhi
virulensi (Malvin dan Jeffrey, 2014).

D. Patogenesis
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit pertusis, yaitu: fase
kataral, paroksismal, dan konvalesen. Fase paling infeksius adalah fase
kataral dan awal fase paroksismal (Espinoza, 2015). Transmisi penyakit ini
terjadi melalui droplet respiratorik (Bolanos et al., 2011). Masa
inkubasinya berkisar antara 7 – 10 hari, gejala klinis yang terjadi
bergantung pada usia ketika terinfeksi, imunitas tubuh, vaksinasi, dan
terapi antibiotik yang diterima (Gabutti dan Rota, 2012), sementara
menurut Altuniaji (2012), masa inkubasi sekitar 7 hingga 10 hari (range 4-
21 hari) dan bisa terjadi namun jarang, selama 42 hari.

E. Manifestasi klinis
Manifestasi dari infeksi B. pertussis bermacam-macam mulai dari
asimptomatis, batuk-batuk ringan sampai batuk yang tak menentu sampai
muntah pasca batuk. Manifestasi bergantung dari beberapa faktor seperti
riwayat infeksi sebelumnya, riwayat imunisasi, jenis bakteri, dan jenis
kelamin. Pasien dengan riwayat infeksi atau imunisasi tidak terjadi
limfositosis dan berbeda dengan pasien yang baru pertama kali terinfeksi.
Pada pasien pertusis demam bukan manifestasi klinis utama kecuali
terdapat infeksi sekunder seperti pneumonia (Cherry dan Paddock, 2012).
Manifestasi klinis pada pertusis dibagi berdasarkan stadiumnya,
antara lain stadium kataral, stadium paroksismal, dan stadium konvalesen,
sebagai berikut (Marcdante et al., 2011).
1. Stadium kataral
Stadium ini ditandai oleh gejala klinis yang tidak spesifik (mata
merah, peningkatan sekresi nasal, dan demam ringan) yang
berlangsung selama 1-2 minggu
2. Stadium Paroksismal
Stadium paroksismal merupakan gejala paling khas pada pertusis
yang berlangsung selama 2-4 minggu. Batuk terjadi saat ekspirasi,
sehingga pada anak kecil tidak sempat bernapas dan menjadi sesak.
Hal ini terjadi karena epitel pada saluran napas mengalami nekrotik
selain itu terdapat cairan mukus yang kental yang menambah
keparahan dari batuk. Bunyi “whoop” terjadi akibat tekanan inhalasi
pada glottis yang mengalami penyempitan setelah batuk paroksismal
terjadi. Seringkali pasien akan muntah pasca batuk.
3. Stadium Konvalesen
Pada stadium ini ditandai dengan perbaikan gejala klinis secara
bertahap sekitar 1-2 minggu dan batuk sudah mulai mereda, suara
“whoop” juga sudah mulai menghilang. Walaupun umumnya
penyakit ini berlangsung selama 6-8 minggu akan tetapi batuk masih
dapat terjadi sampai berbulan-bulan apabila terjadi stress fisik
ataupun iritasi pada saluran pernapasan.

Menurut Altuniaji (2012), pertussis ditandai dengan adanya batuk


berat spasme (paroksism). Paroksism berlanjut tanpa inspirasi hingga akhir
dan sering ditandai dengan adanya whoop saat inspirasi, muntah post-
tussive, atau keduanya. Onset penyakit tersebut perlahan namun
mengejutkan, dengan gejala yang mirip dengan infeksi saluran nafas atas
minor. Selama 1 hingga 2 minggu pertama, umumnya terjadi coryza (a
head cold) dengan batuk non produktif yang intermitten. Fase ini diikuti
oleh episode batuk paroksismal yang berlangsung selama beberapa
minggu. Puncak keparahan penyakit terjadi setelah 1 atau beberapa
minggu dari batuk paroksismal dan menurun perlahan dengan periode
konvalesen selama 2-6 minggu; periode konvalesen bisa berlangsung
hingga 3 bulan dalam beberapa kasus. Sementara menurut Espinoza
(2012), gejala klinis pasien pertusis dapat berupa:
- Demam
- Batuk yang berat
- Rinorrhea
- Distress pernafasan
- Wheezing
- Kongesti faring
- Berdahak
- Vomitus
- Diare
- Asthenia
- Kongesti abdominal
- Nyeri abdomen
- Nyeri kepala
- Otalgia
- Myalgia
Gejala klinis pada anak usia lebih dari 16 tahun biasanya tidak khas dan
sulit dibedakan dengan penyakit infeksi pernafasan lain (Miyasitha et al.,
2013).
F. Pemeriksaan Penunjang
Gold standard penegakan diagnosis untuk pertusis adalah dengan
kultur dan uji molekuler salah satunya adalah PCR (Espinoza et al., 2015).
Isolasi B. pertussis pada spesimen klinis memiliki tingkat spesifisitas yang
tinggi sehingga banyak digunakan untuk penegakan diagnosis, meskipun
tingkat sensitifitasnya bergantung dari berbagai macam faktor, seperti
transportasi dan metode pemeriksaan laboratorium yang digunakan, fase
penyakit, usia pasien, status vaksinasi, dan terapi antibiotik yang telah
diterima sebelumnya. Untuk mengatasi kekurangan dari teknik kultur
tersebut, telah dikembangkan teknik amplifikasi DNA (seperti PCR) untuk
mendeteksi DNA pertusis dengan mentarget regio promoter dari gen yang
mengkode ptxA, elemen insersi IS481 and IS 1001, gen adenylate cyclase,
dan gen porin (Bayhan et al., 2015). Teknik amplifikasi DNA dapat lebih
cepat dan lebih sensitif dalam mendeteksi B. pertussis. Namun dalam
praktek klinis, diagnosis biasanya ditegakkan tanpa melakukan
pemeriksaan mikrobiologi untuk mempercepat pemberian terapi dan
mencegah komplikasi (Espinoza et al., 2015).
B. pertusis banyak hidup di epitel bersilia pada saluran pernafasan,
oleh karena itu, pengambilan spesmen klinis dilakukan pada permukaan sel
epitel bersilia yang terdapat di tenggorokan, swab nasofaring, dan aspirasi
nasofaring. Pengambilan sputum atau epitel rongga hidung bagian anterior
tidak disarankan karena tidak mengandung epitel bersilia yang adekuat.
Aspirasi melalui pipa endotrakheal dan bronkoalveoler juga bisa dilakukan
untuk mengambil specimen (Zouhari e al., 2012).
Untuk swab nasofaring, digunakan swab dakron atau kalsium alginat
yang fleksibel. Swab kalsium alginat sebaiknya tidak digunakan untuk
PCR. Swab dakron direkomendasikan untuk PCR terutama apabila kedua
prosedur kultur dan PCR dilakukan. Swab dengan ujung kapas tidak
direkomendasikan karena mengandung asam lemak yang bersifat toksik
terhadap Bordatella dan menginhibisi PCR. Gagang swab diinsersi secara
perlahan melalui lubang hidung dan diputar perlahan selama beberapa
detik. Idealnya, swab ditempelkan selama 10 detik pada dinding faring
posterior sebelum ditarik keluar.
Untuk mengumpulkan sampel dengan cara aspirasi, feeding tube
ukuran balita disambungkan dengan hand-operated vacuum pump with
tubing melalui mucus trap. Ujung kateter dimasukkan ke dalam lubang
hidung menuju faring posterior, sepanjang dasar nasofaring. Setelah
aspirasi, kateter dibilas dengan 1 ml normal saline untuk mengangkat
spesimen. Teknik aspirasi lebih disukai untuk dilakukan apabila
memungkinkan karena memiliki tingkat isolasi B. pertussis yang lebih
tinggi. Namun prosedur ini lebih sulit dan harus dikerjakan oleh tenaga
medis yang professional (Zouhari et al., 2012).
Transport sampel adalah proses yang penting dalam keberhasilan
pemeriksaan. Untuk keberhasilan transport, medium transport yang
digunakan harus dapat mencegah hilangnya B. pertussis dan mencegah
pertumbuhan flora normal nasofaring. Medium yang banyak dipilih adalah
Regan – Lowe medium. Preinkubasi medium dilakukan pada suhu 36°C
selama semalam sebelum digunakan memungkinkan pertumbuhan
Bordatella maksimal dan meningkatkan multiplikasinya media transport
non-nutritif seperti asam Casamino yang terbuat dari asam
hydrolyzedcasein 1% juga bisa digunakan. Waktu transport harus
diusahakan secepat mungkin, jarak antara pengambilan sampel hingga
dilakukan kultur tidak boleh melebihi 24 jam (ZOuhari et al., 2015).
Medium klasik yang digunakan untuk mengisolasi Bordatella adalah
agar Bordet–Gengou (BG). Medium ini terbuat dari kentang sehingga
mengandung banyak serat. Serat berfungsi untuk menetralkan material
toksik yang terkandung dalam agar maupun dalam spesimennya sendiri.
Medium ini juga mengandung gliserol sebagai agen penstabil dan sumber
karbon.
Intuk mengisolasi Bordatella, agar plates diinkubasi pada suhu 36°C
± 1°C dengan tekanan udara sama dengan lingkungan dan kelembaban
tinggi. Inkubasi pada udaran dengan kadar karbondioksida tinggi harus
dihindari. Plates diinkubasi selama 7 – 10 hari (Zouhari et al., 2015).
Literatur menunjukkan bahwa isolasi B. pertussis kebanyakan
berhasil jika spesimen diambil antara fase kataral hingga awal fase
paroksismal (Zouhari et al., 2015).
Pertusis dapat sulit didiagnosis pada anak berusia kurang dari 1
tahun pada musim dingin, karena patogen lain seperti influenza juga
umum menginfeksi. Pada kasus ini, gejala akut pertusis dapat bertumpang
tindih dengan bronkiolitis atau infeksi pernafasan lain yang tidak spesifik
(Espinoza et al., 2015).

G. Diagnosis
Berdasarkan WHO (2003), pertussis didefinisikan sebagai (Gabutti
dan Rota, 2012) :
a. Penyakit yang didiagnosis oleh dokter sebagai pertusis,
b. Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung selama lebih dari 2
minggu, dengan minimal 1 dari gejala:
1. Serangan batuk yang hebat
2. Tarikan nafas yang keras/berat
3. Muntah pasca batuk tanpa penyebab lain yang jelas
Kriteria laboratorum:
1. Isolasi Bordatella pertussis
2. Terdeteksinya sekuens genom yang bermakna pada pemeriksaan
PCR
3. Pemeriksaan serologi positif
Berdasarkan CDC (2011), dinyatakan pertusis bila terjadi batuk ≥14 hari
dengan minimal 1 dari gejala (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Serangan batuk yang hebat
2. Suara nafas keras/berat
3. Muntah pasca batuk
Kriteria laboratorium:
1. Isolasi Bordatella pertussis dari spesimen klinis
2. Pemeriksaan PCR positif untuk B. pertussis

Tabel 1. Metode laboratorium untuk mendiagnosis pertussis


Total Sensitifitas Spesifisitas Waktu Keuntungan Kerugian
(%) (%) optimal
Kultur 12 – 60 100 < 2 minggu Sangat spesifik Kurang sensitif,
setelah onset terdapat jangka
waktu antara
pengambilan
spesimen dan
diagnosis

PCR 97 – 99 86 – 100 < 4 minggu Rapid test, lebih Tidak


setelah onset sensitif terstandarisasi
dibanding FDA, potensial
kultur, positif palsu,
organisme tidak dapat terjadi
harus viable, kontaminasi DNA
hasil tetap silang
positif meskipun
paska terapi
antibiotik

Serologi 90 – 92 72 – 100 Awal gejala Efektif untuk Diagnosis


berpasanga s/d 4 – 6 menentukan terlambat, tidak
n minggu antibiotik yang ada standarisasi
setelahnya efektif FDA

Serologi 36 – 76 99 Minimal 2 Berguna untuk Tidak ada


tungal minggu diagnosis yang standarisasi FDA,
setelah onset, terlambat atau bisa bias akibat
sebaiknya 4 – paska terapi vaksinasi
8 minggu antibiotik
setelah onset

Uji laboratorium yang dapat menentukan jenis bakteri dan spesifik


pada penyakit pertusis adalah biakan sekret nasofaring pada saat stadium
kataralis dan stadium paroksismal. Waktu yang paling tepat untuk
melakukan biakan adalah kurang dari 2 minggu pasca batuk terjadi
(Snyder dan Fisher, 2012).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis
pertusis antara lain (Gabutti dan Rota, 2012) :
a. Anamnesis
1. Waktu muncul gejala
2. Karakteristik batuk: serangan batuk hebat, muntah setelah
batuk, suara tarikan nafas berat, memburuk ketika malam hari
3. Riwayat kontak dengan pasien pertussis pada masa inkubasi (7
– 21 hari)
4. Status vaksinasi: vaksinasi pertusis terdahulu
b. Konfirmasi biologis
1. Bayi baru lahir dan balita di rumah sakit: kultur dan real-time
PCR pada aspirasi nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus
dilkukan untuk menganalisis evolusi populasi bakteri
2. Anak-anak, remaja, dan dewasa:
a. Durasi batuk ≤ 21 hari: real-time PCR, kultur
b. Durasi batuk > 21 hari:
 PCR dan kultur tidak lagi bermakna
 Apabila terdapat pasien kedua yang terinfeksi setelah pasien
pertama, maka PCR harus dilakukan pada pasien kedua
 Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologis harus
dilakukan untuk memberi antibodi toxin anti-pertussis jika
pasien belum pernah mendapatkan vaksinasi pertussis
sebelumnya, atau dalam 2 tahun terakhir.
3. Kultur
a. Aspirasi nasofaring dan transport ke laboratorium secepatnya
b. Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang berat,
pasien yang belum mendapat vaksinasi, dan pada balita
c. Hasil kultur bergantung pada antibiotik yang dikonsumsi
sebelumnya
4. PCR
a. Kemungkinan diagnosis meningkat apabila dikombinasi dengan
kultur
b. PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase
paroksismal
c. Akurasi diagnostik mungkin bervariasi pada berbagai
laboratorium
5. Serologi
a. Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir penyakit
(3 – 4 minggu setelah onset), pemeriksaan serologi berpasangan
dengan pengambilan spesimen klinis kedua pada fase selanjutnya
dapat membantu penegakan diagnosis
b. Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin pertussis atau
filamentous haemagglutinin dapat ditemukan di serum
c. Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertussis yang tinggi (>100 –
125 U/ml pada pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis
d. Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang baru
saja mendapat imunisasi.

H. Penatalaksanaan
Tabel 2. Regimen Antibiotik untuk Terapi dan Profilaksis Pertussis
(Snyder dan Fisher, 2012)
Obat Dosis dan sediaan
Azitromisin - < 6 bulan: 10 mg/kg selama 5 hari
- ≥6 bulan: 10 mg/kg (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5 mg/kg selama
1 hari, kemudian 250 mg/ hari selama 2 – 5 hari
- Dewasa: 500 mg selama 1 hari, dilanjutkan 250 mg/hari selama 2 – 5
hari
Claritromisin - < 1 bulan: tidak direkomendasikan
- > 1 bulan: 15 mg/kg/hari (max 1g/hari) dibagi dalam 2 dosis selama 7
hari
- Dewasa: 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari
Eritromisin - < 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis. Monitoring ketat
karena beresiko stenosis pylorica
- > 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4 dosis
selama 14 hari
- Dewasa: 2 g/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari
TMP – SMX - < 2 bulan: kontraindikasi
- >2 bulan: TMP 8 mg/kg/hari, SMX 40 mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari
- Dewasa: TMP 320 mg/hari, SMX 1600 mg/hari, dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari

B. pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dari


nasofaring dalam waktu 2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di
awal perjalanan penyakit, selama tahap katarhal, antibiotik dapat
mempersingkat gejala dan mengurangi keparahan pertusis. Setelah tahap
paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah perjalanan penyakit.
Dengan ini tahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan oleh toksin
Bordetella pertussis, dan dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapi
antimikroba. Meskipun perjalanan klinis pertusis tidak mudah dipengaruhi
oleh pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat mengurangi masa
penularan (Snyder dan Fisher, 2012).
Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk
anak berusia lebih dari 1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin,
claritromisin, dan azitromisin. Sedangkan untuk anak berusia kurang dari 1
tahun lebih direkomendasikan menggunakan azitromisin atau claritromisin
intravena (Bayhan et al., 2012).
Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkan
azitromisin adalah obat yang memiliki efek samping gastrointestinal yang
lebih sedikit, karena tidak menghambat sistem sitokrom P450. Selain itu,
eritromisin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stenosis pilorus bila
diberikan untuk bayi di pertama 2 minggu setelah kelahiran. Sementara
menurut Bayhan et al. (2012), claritromisin sangat efektif dan aman untuk
terapi pada pasien dengan apnea, hipoksia dan kesulitan makan.
Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk
pengobatan pertussis efektif dalam mengeliminasi B.pertussis agar tidak
menular tetapi tidak mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen
antibiotik yang efektif antara lain:
 Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari
 Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB
sekali sehari pada hari kedua hinga hari ke-15 terapi).
 Clarithrimycin (7,5mg/kgBB/dosis 2x/hari) selama 7 hari
 Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari
 Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari
 Oxytetracyclin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
 Kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
Regimen terbaik untuk microbiological clearance dengan sedikit efek
samping adalah sebagai berikut :
 Azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari
 Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5mg/kgBB
sekali sehari pada hari kedua hingga hari ke-15 terapi), atau
 Claritromycin (7,5mg/kgBB/dosis) dua kali sehari selama 7 hari

I. Pencegahan
Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan bahwa terapi
profilaksis pertussis memberikan keuntungan. Profilaksis dengan
antibiotik berhubungan dengan efek samping dan tidak secara signifikan
memperbaiki gejala klinis, whoop, batuk paroksismal, jumlah kasus yang
berkembang menjadi kultur positif B. pertussis atau batuk paroksismal
lebih dari 2 minggu. Karena resiko tinggi terjadinya morbiditas dan
kematian pada bayi < 6 bulan yang belum diimunisasi lengkap, profilaksis
kontak direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan antibiotik dan dosisnya
sama dengan regimen terapi (Altuniaji, 2012).
Menurut Zepp et al. (2011), penyebaran infeksi hanya dapat dicegah
dengan meningkatkan cakupan imunisasi di atas 92%. Menurut Witt et al.,
(2013), pertusis merupakan salah satu penyakit terbanyak di dunia yang
kejadiannya dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksin pertusis ada 2 jenis
yaitu whole pertussis (wP) dan acellular pertussis (aP). Vaksin wP
terbukti lebih baik dibandingkan vaksin aP karena memiliki efektifitas
yang lebih tinggi dan waktu perlindungan yang lebih lama dibandingkan
aP.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian oleh Glansz et al. (2013)
menunjukkan bahwa pencegahan pertussis dapat dilakukan dengan
vaksinasi DTaP tepat waktu. Dalam penelitian Glansz et al. (2013)
disebutkan bahwa status undervaccination terhadap vaksin DTaP
menempatkan bayi dan anak-anak pada peningkatan resiko terjadinya
pertussis. Hal tersebut juga mengancam populasi sekitarnya yang beresiko
tinggi untuk terjadinya komplikasi serius dari pertussis.
Vaksinasi memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan
pertusis. Pada tahun 2008, WHO menyatakan terjadi sekitar 16 juta kasus
pertusis di seluruh dunia, 95% diantaranya terdapat di negara berkembang,
dan terjadi sekitar 195.000 kematian. Pada tahun tersebut, imunisasi telah
berhasil mencegah sekitar 680.000 kematian (Gabutti dan Rota, 2012).
Menurut Tiwari et al. (2015), selama wabah pertussis, perlu
dilakukan vaksinasi pertussis dosis pertama tepat waktu pada usia 6
minggu dan segera diberikan terapi antibiotik yang sudah
direkomendasikan secara dini Rekomendasi tersebut berlaku secara global,
khususnya di negara-negara dimana vaksinasi DTP/DaTP rutin dimulai
pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak memenuhi syarat usia untuk vaksinasi
akan mendapatkan keuntungan dan tercegah dari paparan B. pertussis.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang diperoleh secara alami maupun
didapat dengan imunisasi tidak bertahan seumur hidup, imunitas yang
didapat dari vaksin hanya melindungi selama 4 – 12 tahun saja (Gabutti
dan Rota, 2012). Sedangkan imunitas yang diperoleh secara alami
bertahan 4 – 20 tahun (Zepp et al., 2011). Di Amerika Serikat, setiap anak
mendapatkan 5 dosis vaksin difteri, tetanus dan pertusis aseluler (DTaP)
sebelum usia 7 tahun dan kekebalannya mulai menghilang setelah 5 tahun
(Klein et al., 2012). Menurut penelitian oleh McGirr dan Fisman (2015),
vaksinasi pertussis perlu diulang saat dewasa, hal tersebut juga termasuk
untuk menjaga agar cakupan populasi yang tercover dengan vaksin tetap
tinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa durasi imunitas
protektif terhadap pertussis setelah dosis kelima DaTP adalah 3-4 tahun,
dengan rata-rata perlindungan selama 3 tahun dengan sumsi efikasi vaksin
85%. Dengan hilangnya perlindungan oleh vaksin, diperkirakan bahwa
hanya 10% anak yang divaksinasi DaTP akan terlindung 8,5 tahun setelah
vaksin terakhir. Dengan diberikannya booster untuk anak prasekolah usia
4-6 tahun diperkirakan akan sangat sedikit anak > 10 tahun yang
terlindung dari pertussis, sehingga diperlukan booster Tdap untuk remaja
awal.

J. Komplikasi
Menurut Altunaiji (2012) pertussis bisa menyebabkan sakit berat dan
mengarah pada komplikasi seperti apneu, sianosis, kesulitan intake,
pneumonia, dan ensefalopati. Menurut Bayhan et al. (2012), komplikasi
dari pertusis yang paling penting adalah infeksi sekunder (seperti
pneumonia dan otitis media), gagal napas (apnea dan hipertensi pulmonal),
gangguan fisik karena serangan batuk yang hebat (fracture costae,
berdarahan konjunctiva, hernia inguinal), kejang, ensefalopati, dan
kematian. Pneumonia akibat pertusis adalah keadaan serius dan
membutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif untuk memasang alat
bentu pernafasan. Menurut Jackson dan Rohani (2013), kematian akibat
pertussis banyak dihubungkan dengan pneumonia.

K. Prognosis
Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel
pada saluran respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Pada
anak dengan usia lebih muda akan cenderung membutuhkan rawat inap,
hal ini disebabkan memiliki angka kematian lebih besar. Pada anak yang
terkena pertusis dapat mengalami gangguan disabilitas akibat enselopati
(Marcdante et al., 2011).
Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan kedua
kehidupan dimana angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi
(Case Fatality Rate 0,2% dan 4% pada negara maju dan negara
berkembang). Pada anak yang sudah mendapat imunisasi, gejala biasanya
ringan dan tidak spesifik, sehingga jarang terdiagnosis (Gabutti dan Rota,
2012).
BAB III
PENUTUP

Pertussis atau disebut juga dengan batuk rejan, “whooping cough”,


adalah batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan nafas yang keras atau
inspiratory whoop yang mengikuti serangan batuk yang hebat sebelumnya.
Penyakit ini merupakan penyakit yang sangat menular, disebabkan oleh
Bordatella pertussis.
Di seluruh dunia, setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95%
diantaranya terjadi di negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak
meninggal setiap tahunnya. Kejadian pertusis selalu meningkat dari tahun ke
tahun dengan angka peningkatan yang bermakna, bahkan di negara-negara
yang cakupan vaksinasinya tinggi sekalipun.
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertussis, suatu cocobasilus gram
negatif aerobik minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan
yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bordetella pertusis setelah ditularkan
melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran
pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi
melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan
perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala
timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan
tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin
banyak. Perkembangan penyakit melalui 3 tahapan yaitu kataral, paroksismal,
dan konvalesen.
DAFTAR PUSTAKA

Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for
whooping cough (pertussis) (Review). Evid.-Based Child Health 7:3:
893–956

Glanz JM, Narwaney KJ, Newcomer SR, Daley MF, Hambidge SJ, Rowhani-
Rahbar A, Lee GM, Nelson JC, Naleway AL, Nordin JD, Lugg MM,
Weintraub ES (2013). Association Between Undervaccination With
Diphtheria, Tetanus Toxoids, and Acellular Pertussis (DTaP) Vaccine
and Risk of Pertussis Infection in Children 3 to 36 Months of Age. JAMA
Pediatr. 167(11):1060-1064

McGirr A, Fisman DN (2015). Duration of Pertussis Immunity After DTaP


Immunization: A Meta-analysis. Pediatrics. 135 (2): 1-15

Pérez-Bolaños C, Proenza-Alfonzo LL, Fando-Calzada R (2011).


Epidemiology, reemergence of pertussis and vaccine development in
Latin America: an overview. Revista CENIC Ciencias Biológicas, 42
(3) : 153-158

Tiwari TSP, Baughman AL, Clark TA (2015). First Pertussis Vaccine Dose
and Prevention of Infant Mortality. Pediatrics, 135 (6) : 1-12

Jackson DW, Rohani P (2013). Review Article: Perplexities of pertussis: recent


global epidemiological trends and their potential causes. Epidemiol.
Infect. 1-13.

Kayina V, Kyobe S, Katabazi FA, Kigozi E, Odongkara B, Babikako HM,


Whalen CC, Okee M, Joloba ML, Musoke PM, Mupere E (2015).
Pertussis Prevalence and Its Determinants among Children with
Persistent Cough in Urban Uganda, PLOS ONE, 2015: 1-12

Heininger U (2012). Pertussis: What the Pediatric Infectious Disease Specialist


Should Know. The Pediatric Infectious Disease Journal. 31 (1) : 78-79

Skof Th, Kenyon C, Cocoros N, Liko J, Miller L, Kudish K, Baumbach J,


Zansky S, Faulkner A, Martin SW (2015). Sources of Infant Pertussis
Infection in the United States. Pediatrics, 136 (4) :1-9

Muloiwa R, Kagina BM, Engel ME, Hussey GD (2015). The burden of


pertussis in low- and middle-income countries since the inception of the
Expanded Programme on Immunization (EPI) in 1974: a systematic
review protocol. . Systematic Reviews (2015) 4:62

Cherry JD (2012). Epidemic Pertussis in 2012: The Resurgence of a Vaccine-


Preventable Disease. The New England Journal of Medicine, 2012
(367) : 9

Crespo I, Cardenosa N, Godoy P, Carmona G, Sala MR, Barrabeig I, et al


(2011). Epidemiology of pertussis in a country with high vaccination
coverage. Vaccine, 2011 (29) : 4244 – 4248

Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al
(2015). BioMed Central Infectious Disease, 15: 554

Gabutti G, Rota MC (2012). Pertussis: A Review of Disease Epidemiology


Worldwide and in Italy. International Journal of Environmental Research
anf Public Health, 9: 4626-4638
Bayhan GI, Tanir G, Otgun SN, Teke TA, Timur OM, Oz FN (2012). The
clinical characteristics and treatment of pertussis patients in a tertiary
center over a four-year period. The Turkish Journal of Pediatrics, 54 :
596-60

Zouhari A, Smaoi H, Kechrid A (2012). The diagnosis of pertussis: which


method to choose? Informa Healthcare, 38(2): 111–121

Zeep F, Heininger U, Mertsola J, Bernatowska E, Guiso N, Roord J, Tozzi AE,


et al (2011). Rationale for pertussis booster vaccination throughout life in
Europe. The Lancet, 2011 (11) : 557 – 570

Witt MA, Arias L, Katz PH, Truong ET, Witt DJ (2013). Reduced Risk of
Pertussis Among Persons Ever Vaccinated with Whole Cell Pertussis
Vaccine Compared to Recipients of Acellular Pertussis Vaccines in a
Large US Cohort. Clinical Infectious Disease, 56: 1248 – 1254

Klein NP, Bartlett J, Rahbar AR, Fireman B, Baxter R (2012). Waning


Protection after Fifth Dose of Acellular Pertussis Vaccine in Children.
The New England Journal of Medicine, 367: 11

Miyashita N, Akaike H, Teranishi H, Kawai K, Ouchi K, Kato T, et al (2013).


BioMed Central Infectious Disease, 13: 129

Marcdante, Karen J et al. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi
6. Elsevier : Singapura, pp: 523-525

Cherry JD, Paddock CD (2014). Pathogenesis and histopathology of pertussis :


implications for immunization Expert Rev. Vaccines, 13 (9) : 1115–112
Snyder J, Fisher D (2012). Pertussis in Childhood. Pediatrics in Review, 33 :
412

Hartzell, Joshua D et al (2014). Whooping Cough in 2014 and Beyond An


Update and Review. CHEST, 146 (1) : 205-214

Melvin, Jeffrey A (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and future


challenges.

Anda mungkin juga menyukai