Pertusis
Pertusis
PERTUSIS
Oleh :
Pembimbing :
Dr. H. Rustam Siregar, Sp.A
A. Latar Belakang
Pertusis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
pertussis. Bordetella pertussis adalah penyebab manifestasi klinis pertusis
yang paling berat, bakteri gram negative pleomorfik yang membutuhkan
lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pertusis sering juga disebut batuk rejan,
batuk seratus hari, tussis quinta, atau violent cough. Penularan pertusis
melalui droplet (Marcdante etal., 2011).
Kejadian pertusis per tahunnya mencapai 100-200 per 100.000
populasi pada era sebelum vaksinasi dilakukan, dan saat ini angka
kejadiannya cukup tinggi di Negara Berkembang. Di Amerika Serikat
ditemukan sebanyak 15.000 kasus ditemukan pada tahun 2006 dengan usia
tertinggi bayi dibawah 4 bulan. Di Inggris angka kejadian pertusis
mengalami penurunan sejak cakupan vaksinasi tinggi pada tahun 1970.
Namun, angka kejadian kembali meninggi saat cakupan vaksinansi
menurun. Hal ini membuktikan efikasi vaksinasi (Marcdante et al., 2011).
Komplikasi utamaa yang sering terjadi pada anak kecil adalah
hipoksia, apnea, pneumonia, kejang, enselopati, dan malnutrisi. Batuk
paroksismal dengan tekanan yang kuat dapat mengakibatkan terjadinya
pneumomediastinum, pneumotoraks, emfisema subkutan, epistaksis, dan
hernia (Marcdante et al., 2011).
B. Tujuan
Untuk mengetahui definisi, prevalensi, etiologi, patogenesis,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi
dan prognosis dari pertusis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang
pertama kali ditemukan pada tahun 1.500 an dan menjadi penyakit
endemis di Eropa pada tahun 1.600 an (Altunaiji, 2012).
Menurut Bayhan et al. (2012), pertussis atau disebut juga dengan
batuk rejan, “whooping cough”, adalah batuk yang ditandai dengan adanya
suara tarikan nafas yang keras atau inspiratory whoop yang mengikuti
serangan batuk yang hebat sebelumnya. Penyakit ini merupakan penyakit
yang sangat menular, disebabkan oleh Bordatella pertussis. Pertussis-like
syndrome disebabkan oleh spesies Bordetella lain seperti B. parapertussis,
B. bronchiseptica dan B. holmesii, dengan gejala umum yang mirip dengan
penyakit pertusis namun lebih ringan (Zouhari et al., 2012).
Batuk pada pertussis dapat berlangsung beberapa hari, minggu,
hingga berbulan-bulan. Gejala ini mengganggu kegiatan sehari-hari dan
dapat menyebabkan gangguan tidur yang signifikan (Heininger, 2012).
B. Epidemiologi
Batuk rejan merupakan epidemi pada era sebelum adanya vaksin,
yaitu sebelum pertengahan 1940 an). Pertussis bisa dicegah dengan
vaksinasi dan sejak adanya imunisasi rutin, morbiditas dan mortalitas
batuk rejan telah menurun tajam. Meskipun sudah ada vaksinasi, penyakit
tersebut belum diberantas dan dilaporkan terdapat peningkatan kejadian
selama dua dekade terakhir pada tahun 1990 an. Hal tersebut masih
berlangsung hingga saat ini (Muloiwa et al., 2015). Menurut WHO (1999)
terdapat 20 hingga 40 juta kasus batuk rejan setiap tahunnya. Sembilan
puluh persen kasus terjadi di negara berpendapatan rendah dan
mengakibatkan sekitar 200.000- 300.000 kematian tiap tahunnya.
Sementara menurut Espinoza et al (2015) dan Gabutti dan Rota (2012), di
seluruh dunia, setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95%
diantaranya terjadi di negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000
anak meninggal setiap tahunnya. Kejadian pertusis selalu meningkat dari
tahun ke tahun dengan angka peningkatan yang bermakna, bahkan di
negara-negara yang cakupan vaksinasinya tinggi sekalipun (Cherry, 2012;
Espinoza et al., 2015; Kayina et al., 2015). Puncak insidensi pertusis
terjadi setiap 2 – 5 tahun sekali (Crespo et al., 2011). Berdasar data CDC,
di Amerika Serikat saat ini terdapat kejadian pertusis terbanyak dalam 50
tahun terakhir. Jumlah kejadiannya mencapai 800.000 sampai 1 juta kasus
setiap tahunnya (Cherry, 2012).
Gambar 2. Epidemiologi pertusis pre dan post imunisasi (Gabutti dan Rota,
2012)
Gambar 3. Insidensi pertusis per 100.000 populasi di Eropa tahun 2009,
dikelompokkan berdasar usia (Gabutti dan Rota, 2012)
C. Etiologi
Bordetella pertussis (B. pertussis) adalah penyebab pertussis dan
biasanya menyebabkan pertussis sporadic (Altunaiji, 2012). B.pertussis
adalah bakteri coccobacillus, menginfeksi saluran nafas, dan sangat mudah
menular melalui droplet (Espinoza, 2015; Gabutti dan Rota, 2012). McGirr
dan Fisman (2015) menyebutkan bahwa B.pertussis adalah bakteri gram
negatif yang menjadi patogen bagi manusia, dengan tidak diketahui adanya
reservoir hewan maupun lingkungan. Bordetella pertusis pertama kali
ditemukan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906 (Malvin dan Jeffrey,
2014). Menurut Bolanos et al. (2011), B.pertussis pertama kali disebutkan
oleh Guillaume de Baillou (1538-1616) sebagai epidemi di Perancis.
Catatan Nils Rosen von Reosenstein menyebutkan bahwa penyakit dimulai
di Perancis pada tahun 1414.
Spesies lain Bordetella, terutama Bordetella parapertussis dan
Bordetella bronchiseptica, dapat menyebabkan gejala seperti pertusis
namun lebih ringan. Variasi dalam ekspresi faktor pertusis mempengaruhi
virulensi (Malvin dan Jeffrey, 2014).
D. Patogenesis
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit pertusis, yaitu: fase
kataral, paroksismal, dan konvalesen. Fase paling infeksius adalah fase
kataral dan awal fase paroksismal (Espinoza, 2015). Transmisi penyakit ini
terjadi melalui droplet respiratorik (Bolanos et al., 2011). Masa
inkubasinya berkisar antara 7 – 10 hari, gejala klinis yang terjadi
bergantung pada usia ketika terinfeksi, imunitas tubuh, vaksinasi, dan
terapi antibiotik yang diterima (Gabutti dan Rota, 2012), sementara
menurut Altuniaji (2012), masa inkubasi sekitar 7 hingga 10 hari (range 4-
21 hari) dan bisa terjadi namun jarang, selama 42 hari.
E. Manifestasi klinis
Manifestasi dari infeksi B. pertussis bermacam-macam mulai dari
asimptomatis, batuk-batuk ringan sampai batuk yang tak menentu sampai
muntah pasca batuk. Manifestasi bergantung dari beberapa faktor seperti
riwayat infeksi sebelumnya, riwayat imunisasi, jenis bakteri, dan jenis
kelamin. Pasien dengan riwayat infeksi atau imunisasi tidak terjadi
limfositosis dan berbeda dengan pasien yang baru pertama kali terinfeksi.
Pada pasien pertusis demam bukan manifestasi klinis utama kecuali
terdapat infeksi sekunder seperti pneumonia (Cherry dan Paddock, 2012).
Manifestasi klinis pada pertusis dibagi berdasarkan stadiumnya,
antara lain stadium kataral, stadium paroksismal, dan stadium konvalesen,
sebagai berikut (Marcdante et al., 2011).
1. Stadium kataral
Stadium ini ditandai oleh gejala klinis yang tidak spesifik (mata
merah, peningkatan sekresi nasal, dan demam ringan) yang
berlangsung selama 1-2 minggu
2. Stadium Paroksismal
Stadium paroksismal merupakan gejala paling khas pada pertusis
yang berlangsung selama 2-4 minggu. Batuk terjadi saat ekspirasi,
sehingga pada anak kecil tidak sempat bernapas dan menjadi sesak.
Hal ini terjadi karena epitel pada saluran napas mengalami nekrotik
selain itu terdapat cairan mukus yang kental yang menambah
keparahan dari batuk. Bunyi “whoop” terjadi akibat tekanan inhalasi
pada glottis yang mengalami penyempitan setelah batuk paroksismal
terjadi. Seringkali pasien akan muntah pasca batuk.
3. Stadium Konvalesen
Pada stadium ini ditandai dengan perbaikan gejala klinis secara
bertahap sekitar 1-2 minggu dan batuk sudah mulai mereda, suara
“whoop” juga sudah mulai menghilang. Walaupun umumnya
penyakit ini berlangsung selama 6-8 minggu akan tetapi batuk masih
dapat terjadi sampai berbulan-bulan apabila terjadi stress fisik
ataupun iritasi pada saluran pernapasan.
G. Diagnosis
Berdasarkan WHO (2003), pertussis didefinisikan sebagai (Gabutti
dan Rota, 2012) :
a. Penyakit yang didiagnosis oleh dokter sebagai pertusis,
b. Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung selama lebih dari 2
minggu, dengan minimal 1 dari gejala:
1. Serangan batuk yang hebat
2. Tarikan nafas yang keras/berat
3. Muntah pasca batuk tanpa penyebab lain yang jelas
Kriteria laboratorum:
1. Isolasi Bordatella pertussis
2. Terdeteksinya sekuens genom yang bermakna pada pemeriksaan
PCR
3. Pemeriksaan serologi positif
Berdasarkan CDC (2011), dinyatakan pertusis bila terjadi batuk ≥14 hari
dengan minimal 1 dari gejala (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Serangan batuk yang hebat
2. Suara nafas keras/berat
3. Muntah pasca batuk
Kriteria laboratorium:
1. Isolasi Bordatella pertussis dari spesimen klinis
2. Pemeriksaan PCR positif untuk B. pertussis
H. Penatalaksanaan
Tabel 2. Regimen Antibiotik untuk Terapi dan Profilaksis Pertussis
(Snyder dan Fisher, 2012)
Obat Dosis dan sediaan
Azitromisin - < 6 bulan: 10 mg/kg selama 5 hari
- ≥6 bulan: 10 mg/kg (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5 mg/kg selama
1 hari, kemudian 250 mg/ hari selama 2 – 5 hari
- Dewasa: 500 mg selama 1 hari, dilanjutkan 250 mg/hari selama 2 – 5
hari
Claritromisin - < 1 bulan: tidak direkomendasikan
- > 1 bulan: 15 mg/kg/hari (max 1g/hari) dibagi dalam 2 dosis selama 7
hari
- Dewasa: 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari
Eritromisin - < 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis. Monitoring ketat
karena beresiko stenosis pylorica
- > 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4 dosis
selama 14 hari
- Dewasa: 2 g/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari
TMP – SMX - < 2 bulan: kontraindikasi
- >2 bulan: TMP 8 mg/kg/hari, SMX 40 mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari
- Dewasa: TMP 320 mg/hari, SMX 1600 mg/hari, dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari
I. Pencegahan
Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan bahwa terapi
profilaksis pertussis memberikan keuntungan. Profilaksis dengan
antibiotik berhubungan dengan efek samping dan tidak secara signifikan
memperbaiki gejala klinis, whoop, batuk paroksismal, jumlah kasus yang
berkembang menjadi kultur positif B. pertussis atau batuk paroksismal
lebih dari 2 minggu. Karena resiko tinggi terjadinya morbiditas dan
kematian pada bayi < 6 bulan yang belum diimunisasi lengkap, profilaksis
kontak direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan antibiotik dan dosisnya
sama dengan regimen terapi (Altuniaji, 2012).
Menurut Zepp et al. (2011), penyebaran infeksi hanya dapat dicegah
dengan meningkatkan cakupan imunisasi di atas 92%. Menurut Witt et al.,
(2013), pertusis merupakan salah satu penyakit terbanyak di dunia yang
kejadiannya dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksin pertusis ada 2 jenis
yaitu whole pertussis (wP) dan acellular pertussis (aP). Vaksin wP
terbukti lebih baik dibandingkan vaksin aP karena memiliki efektifitas
yang lebih tinggi dan waktu perlindungan yang lebih lama dibandingkan
aP.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian oleh Glansz et al. (2013)
menunjukkan bahwa pencegahan pertussis dapat dilakukan dengan
vaksinasi DTaP tepat waktu. Dalam penelitian Glansz et al. (2013)
disebutkan bahwa status undervaccination terhadap vaksin DTaP
menempatkan bayi dan anak-anak pada peningkatan resiko terjadinya
pertussis. Hal tersebut juga mengancam populasi sekitarnya yang beresiko
tinggi untuk terjadinya komplikasi serius dari pertussis.
Vaksinasi memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan
pertusis. Pada tahun 2008, WHO menyatakan terjadi sekitar 16 juta kasus
pertusis di seluruh dunia, 95% diantaranya terdapat di negara berkembang,
dan terjadi sekitar 195.000 kematian. Pada tahun tersebut, imunisasi telah
berhasil mencegah sekitar 680.000 kematian (Gabutti dan Rota, 2012).
Menurut Tiwari et al. (2015), selama wabah pertussis, perlu
dilakukan vaksinasi pertussis dosis pertama tepat waktu pada usia 6
minggu dan segera diberikan terapi antibiotik yang sudah
direkomendasikan secara dini Rekomendasi tersebut berlaku secara global,
khususnya di negara-negara dimana vaksinasi DTP/DaTP rutin dimulai
pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak memenuhi syarat usia untuk vaksinasi
akan mendapatkan keuntungan dan tercegah dari paparan B. pertussis.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang diperoleh secara alami maupun
didapat dengan imunisasi tidak bertahan seumur hidup, imunitas yang
didapat dari vaksin hanya melindungi selama 4 – 12 tahun saja (Gabutti
dan Rota, 2012). Sedangkan imunitas yang diperoleh secara alami
bertahan 4 – 20 tahun (Zepp et al., 2011). Di Amerika Serikat, setiap anak
mendapatkan 5 dosis vaksin difteri, tetanus dan pertusis aseluler (DTaP)
sebelum usia 7 tahun dan kekebalannya mulai menghilang setelah 5 tahun
(Klein et al., 2012). Menurut penelitian oleh McGirr dan Fisman (2015),
vaksinasi pertussis perlu diulang saat dewasa, hal tersebut juga termasuk
untuk menjaga agar cakupan populasi yang tercover dengan vaksin tetap
tinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa durasi imunitas
protektif terhadap pertussis setelah dosis kelima DaTP adalah 3-4 tahun,
dengan rata-rata perlindungan selama 3 tahun dengan sumsi efikasi vaksin
85%. Dengan hilangnya perlindungan oleh vaksin, diperkirakan bahwa
hanya 10% anak yang divaksinasi DaTP akan terlindung 8,5 tahun setelah
vaksin terakhir. Dengan diberikannya booster untuk anak prasekolah usia
4-6 tahun diperkirakan akan sangat sedikit anak > 10 tahun yang
terlindung dari pertussis, sehingga diperlukan booster Tdap untuk remaja
awal.
J. Komplikasi
Menurut Altunaiji (2012) pertussis bisa menyebabkan sakit berat dan
mengarah pada komplikasi seperti apneu, sianosis, kesulitan intake,
pneumonia, dan ensefalopati. Menurut Bayhan et al. (2012), komplikasi
dari pertusis yang paling penting adalah infeksi sekunder (seperti
pneumonia dan otitis media), gagal napas (apnea dan hipertensi pulmonal),
gangguan fisik karena serangan batuk yang hebat (fracture costae,
berdarahan konjunctiva, hernia inguinal), kejang, ensefalopati, dan
kematian. Pneumonia akibat pertusis adalah keadaan serius dan
membutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif untuk memasang alat
bentu pernafasan. Menurut Jackson dan Rohani (2013), kematian akibat
pertussis banyak dihubungkan dengan pneumonia.
K. Prognosis
Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel
pada saluran respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Pada
anak dengan usia lebih muda akan cenderung membutuhkan rawat inap,
hal ini disebabkan memiliki angka kematian lebih besar. Pada anak yang
terkena pertusis dapat mengalami gangguan disabilitas akibat enselopati
(Marcdante et al., 2011).
Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan kedua
kehidupan dimana angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi
(Case Fatality Rate 0,2% dan 4% pada negara maju dan negara
berkembang). Pada anak yang sudah mendapat imunisasi, gejala biasanya
ringan dan tidak spesifik, sehingga jarang terdiagnosis (Gabutti dan Rota,
2012).
BAB III
PENUTUP
Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for
whooping cough (pertussis) (Review). Evid.-Based Child Health 7:3:
893–956
Glanz JM, Narwaney KJ, Newcomer SR, Daley MF, Hambidge SJ, Rowhani-
Rahbar A, Lee GM, Nelson JC, Naleway AL, Nordin JD, Lugg MM,
Weintraub ES (2013). Association Between Undervaccination With
Diphtheria, Tetanus Toxoids, and Acellular Pertussis (DTaP) Vaccine
and Risk of Pertussis Infection in Children 3 to 36 Months of Age. JAMA
Pediatr. 167(11):1060-1064
Tiwari TSP, Baughman AL, Clark TA (2015). First Pertussis Vaccine Dose
and Prevention of Infant Mortality. Pediatrics, 135 (6) : 1-12
Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al
(2015). BioMed Central Infectious Disease, 15: 554
Witt MA, Arias L, Katz PH, Truong ET, Witt DJ (2013). Reduced Risk of
Pertussis Among Persons Ever Vaccinated with Whole Cell Pertussis
Vaccine Compared to Recipients of Acellular Pertussis Vaccines in a
Large US Cohort. Clinical Infectious Disease, 56: 1248 – 1254
Marcdante, Karen J et al. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi
6. Elsevier : Singapura, pp: 523-525