Annisa Suryani
18215249
A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium,
antara lain: Mycobacterium Tuberculosis, Mycobacterium Africanum,
Mycobacterium Bovis, Mycobacterium Leprae, dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium
selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada
saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB (Permenkes No.67 Tahun 2016).
Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB
telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995. Menurut laporan
WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta kasus TB baru
dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5 juta
kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB
tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000
orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat
(TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru,
diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000
kematian/tahun (Permenkes No.67 Tahun 2016).
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)
dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan
63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka
Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan
sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus,
diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi
HIV diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO
diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari
kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang
(Permenkes No.67 Tahun 2016). Provinsi Banten termasuk kedalam lima
provinsi dengan kasus TB paru tertinggi yaitu Jawa Barat (0,7%), Papua
(0,6%), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%) dan Papua
Barat (0,4%) (Riskesdas kemenkes RI Tahun 2016).
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia tercantum dalam peraturan
menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 tahun 2016, pada bab II
pasal 3 nomor 2 disebutkan bahwa target program penanggulangan TB
nasional yaitu eliminasi pada tahun 2035 dan Indonesia bebas TB tahun 2050.
Peran pemerintah dalam menanggulangi TB tercantum pada bab III pasal 4
nomor 1 tentang kegiatan penanggulangan TB yang berbunyi “pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab
menyelenggarakan penanggulangan TB”.
Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulangan TB
salah satunya dengan cara melakukan promosi kesehatan tentang TB pada
keluarga atau masyarakat yang terkena kontak dengan pasien TB,
mengendalikan faktor resiko dengan memberikan suntik BCG pada bayi
untuk mencegah penularan dan meningkatkan kekebalan tubuh, strategi
TOSS yaitu Temukan Obati Tuberkulosis Sampai Sembuh, serta pemberian
OAT secara gratis (TOSS TB 2016).
Kegagalan konversi yang dialami oleh pasien TB tidak hanya akibat
kesalahan dari pihak pasien tetapi kontribusi dari petugas kesehatan juga
memberikan dampak yang sangat besar. Berdasarkan International Standard
for Tuberculosis Care (ISTC) pada standar 7 disebutkan bahwa setiap
petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan
masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga
dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang
tidak patuh terhadap rejimen pengobatan (Pedoman Nasional Pengendalian
TB, 2017).
Pendidikan kesehatan dalam arti pendidikan secara umum adalah segala
upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu,
kelompok, atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan atau promosi kesehatan. Dan batasan
ini tersirat unsur-unsur input (sasaran dan pendidik dari pendidikan),
proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain) dan
output (melakukan apa yang diharapkan). Hasil yang diharapkan dari suatu
promosi atau pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan, atau perilaku
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif oleh sasaran
dari promosi kesehatan (Notoadmojo, 2016).
Hasil penelitian Netty Panjaitan (2016) mengatakan bahwa pengetahuan
responden sebelum pemberian pendidikan kesehatan mayoritas
pengetahuannya kurang baik (57,5%), setelah diberi pendidikan kesehatan
seluruh responden pengetahuannya menjadi baik (100%). Hasil uji t
berpasangan pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05), untuk mengetahui
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan responden tentang
Tuberkulosis Paru dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata
pengetahuan responden sebelum dan setelah pemberian pendidikan
kesehatan yaitu dari 9,32 menjadi 19,10 dengan nilai t = 19,626 dan nilai p =
0,001 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan. Begitu juga sikap
responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan 100% baik. Hasil uji t
berpasangan pada taraf kepercayaan 95% diperoleh nilai rerata sikap
responden sebelum dan setelah pendidikan kesehatan dari 7,68 menjadi
8,02 dengan nilai t = 2,876 dan p = 0,006. Secara uji statistik tidak
terdapat perubahan sikap responden secara signifikan sebelum dan
setelah pemberian pendidikan kesehatan.
Hasil penelitian Yuwana (2016) menunjukan pengaruh pendidikan
kesehatan tentang TB Paru terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap
penderita dalam pencegahan penularan. Berdasarkan hasil uji Wicoxon
pengetahuan dan sikap penderita diperoleh nilai p = value sebesar 0,000.
Karena nilai p = value lebih kecil dibandingkan dengan nilai taraf signifikansi
yaitu 0,050 (0,000 < 0,050). Sehingga dapat ditarik kesimpulan ada pengaruh
pendidikan kesehatan tentang tuberculosis paru terhadap peningkatan
pengetahuan dan sikap penderita dalam pencegahan penularan tuberculosis.
Sumber penularan penyakit TB adalah penderita TB itu sendiri. Dengan
perilaku yang tidak sehat yang meliputi: tidak menutup mulut saat batuk
walaupun hanya dengan sapu tangan, membuang dahak di sembarang tempat
dan tidak di tempat khusus yang tertutup, tidak membuka jendela
sehingga rumah kurang sinar matahari, ventilasi udara kurang baik,
lingkungan lembab, ketidakteraturan minum obat maupun kontrol dapat
menyebabkan penularan kepada orang lain (Misnadiarly dalam penelitian Ni
Putu Widari Tahun 2017).
Selama ini, sosialisasi pencegahan penularan TB dilakukan dengan metode
penyuluhan kesehatan kepada penderita dan keluarga dengan harapan
penderita akan dapat merubah perilaku yang negatif menjadi perilaku yang
positif dengan dukungan dari keluarga sehingga penularan penyakit tidak
terjadi pada anggota keluarga yang lain. Dalam praktek keperawatan keluarga
konseling merupakan sebuah pelayanan yang bertujuan membantu penderita
atau keluarga dalam memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi.
Konseling telah terbukti efektif dalam memperbaiki perilaku pencegahan
penularan TB. Melalui pendekatan konseling diharapkan proses edukasi lebih
intens, sehingga hasil yang didapatkan tidak sebatas transfer informasi,
tetapi juga dapat merubah perilaku penderita. Dengan perubahan perilaku
tersebut, diharapkan pencegahan penularan TBC lebih berhasil dan
bertahan lama. Namun belum diketahui apakah konseling lebih
berpengaruh dari pada penyuluhan kesehatan dalam memperbaiki
perilaku pencegahan penularan TBC (Ni Putu Widari Tahun 2017).
Hasil penelitian Ni Putu Widari (2017) menunjukkan bahwa nilai rata-rata
variabel perilaku dari hasil penghitungan pengurangan antara data sebelum
dan data sesudah perlakuan maka didapat variabel perilaku mempunyai rata-
rata 3,4 yang mendapat penyuluhan kesehatan sedangkan yang mendapatkan
konseling nilai rata-rata sebesar 2,8. Sedangkan nilai t sebesar 0,67 dengan p
= 0,505 > α = 0,05. Maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang
bermakna antara sikap subjek tentang pencegahan penularan TB yang
mendapat penyuluhan kesehatan dan konseling.
Hasil penelitian Rina Loriana (2015) bahwa efek konseling terhadap
pengetahuan, sikap, dan kepatuhan berobat penderita TB paru, sebelum dan
setelah intervensi konseling pada kelompok perlakuan dari hasil uji statistic
Wilcoxon didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05), yang artinya intervensi
konseling berpengaruh secara bermakna terhadap pengetahuan, sikap, dan
kepatuhan berobat penderita TB paru.
Pendidikan kesehatan yang dilakukan di RSUD Malingping Kabupaten
Lebak dengan metode penyuluhan kesehatan dianggap belum berhasil
merubah perilaku penderita TB, dari data yang diperoleh masih banyak
penderita TB berulang. Pada tahun 2018 terdapat 46 penderita TB
diantaranya 30 penderita TB kasus baru dan 16 penderita lainya merupakan
TB berulang dan tahun 2019 yang lalu didapatkan 41 pasien TB diantaranya
20 penderita TB kasus baru dan 21 penderita lainya merupakan TB berulang
berulang. Berdasarkan hasil wawancara dengan 5 orang pasien TB paru yang
sedang melakukan kontrol ulang di poli paru ada 3 dari 5 pasien mengatakan
tidak tahu tentang apa penyakit TB paru. Sedangkan 2 dari 5 pasien TB paru
menjawab tahu pengertian penyakit TB paru tetapi tidak mengetahui tanda
dan gejala serta pencegahnya, mereka masih enggan menggunakan masker
dan tidak menutup mulut ketika sedang batuk.
Berdasarkan latar belakang tersebut, pendidikan kesehatan yang dilakukan
di RSUD Malingping Kabupaten Lebak dengan metode penyuluhan secara
kelompok dianggap belum berhasil untuk merubah perilaku penderita TB,
dan juga belum pernah dilakukakan penelitian tentang efektifitas pendidikan
kesehatan pada pasien TB paru, sehingga penulis tertarik untuk meneliti
mengenai efekktifitas pendidikan kesehatan dengan metode konseling
terhadap perubahan perilaku pasien TB paru di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2021.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, pendidikan kesehatan yang dilakukan
di RSUD Malingping Kabupaten Lebak dengan metode penyuluhan secara
kelompok dianggap belum berhasil untuk merubah perilaku penderita TB.
Hasil wawancara dengan 5 orang pasien TB paru yang sedang melakukan
kontrol ulang di poli penyakit dalam ada 3 dari 5 pasien mengatakan tidak
tahu tentang apa penyakit TB paru. Sedangkan 2 dari 5 pasien TB paru
menjawab tahu pengertian penyakit TB paru tetapi tidak mengetahui tanda
dan gejala serta pencegahnya, mereka masih enggan menggunakan masker
dan tidak menutup mulut ketika sedang batuk. Dari data tersebut, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah efekktifitas pendidikan
kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB
paru di RSUD Malingping Kabupaten Lebak tahun 2021.
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana efektifitas
pendidikan kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan
perilaku pasien TB Paru di RSUD Malingping Tahun 2021
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2021 sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
dengan metode konseling
b. Diketahuinya perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2021 sesudah dilakukan pendidikan kesehatan
dengan metode konseling
c. Diketahuinya efektifitas sebelum dan sesudah pemberian pendidikan
kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan perilaku
pasien TB Paru di RSUD Malingping Tahun 2021
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil peneltian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam penggunaan
pendidikan kesehatan dengan metode konseling dapat merubah perilaku
pasien TB paru. Sehingga perawat dapat mengembangkan penggunaan
metode konseling dalam merubah perilaku pasien TB paru.
2. Bagi peneliti
Peneliti mendapatkan pengalaman dalam melakukan penelitian dan hasil
dari penelitian dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi pendidikan
Memberi masukan pada institusi pendidikan mengenai efektifitas
pendidikan kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan
perilaku pasien TB Paru. Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan
bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
E. RUANG LINGKUP
1. Ruang Lingkup Materi
Berdasarkan latar belakang bahwa sebagian pasien TB Paru RSUD
Malingping datang kembali karena karena putus obat atau karena muncul
kembali penyakitnya. Karena hal tersebut maka perlu dilakukan
pendidikan kesehatan dengan metode konseling karena metode ini
dirasakan dapat memberikan memberikan perubahan perilaku pada
pasien TB Paru.
2. Ruang Lingkup Responden
Untuk Mengetahui efektifitas pendidikan kesehatan dengan metode
konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2021, maka dilakukan penelitian pada pasien TB Paru
di RSUD Malingping yang datang keruang rawat inap dan Poliklinik
penyakit dalam dengan cara mengisi lembar kuesioner.
3. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini tentang “Efektifitas Pendidikan Kesehatan
Metode Konseling Terhadap Perubahan Sikap Pasien TB Paru Di RSUD
Malingping Kabupaten Lebak Tahun 2021”. Objek dalam penelitian ini
adalah pasien TB yang berkunjung ke RSUD Malingping. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui efektifitas dari pendidikan kesehatan dengan
metode konseling di RSUD Malingping Kabupaten Lebak. Tehnik yang
digunakan dengan cara membandingkan penilaian pre test dan post test
pendidikan kesehatan dengan metode konseling pada pasien TB.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TUBERKULOSIS
1. Pengertian TB
3. Penularan TB
a. Sumber Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien yang
mengandung kuman TB dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet / percik renik). Infeksi akan terjadi apabila
seseorang menghirup udara yang mengandung percikan dahak
yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500
Mycobacterium Tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat
mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000 Mycobacterium
Tuberculosis. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia. Terdapat 4
tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi
tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia,
sebagai berikut:
1) Paparan
a) Jumlah kasus menular di masyarakat.
b) Peluang kontak dengan kasus menular.
c) Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
d) Intensitas batuk sumber penularan.
e) Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
f) Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.
2) Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu
setelah infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja
kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat
dapat aktif kembali tergantung dari daya tahun tubuh manusia.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi
sebelum penyembuhan lesi
3) Faktor Risiko
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:
a) Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup
b) Lamanya waktu sejak terinfeksi
c) Usia seseorang yang terinfeksi
d) Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan
daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV
AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan
berkembangnya TB Aktif (sakit TB).
e) Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10%
diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun pada seorang
dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB. Orang
dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk sakit TB
dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV,
dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula.
4) Meninggal dunia
a) Akibat dari keterlambatan diagnosis
b) Pengobatan tidak adekuat.
c) Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta.
4. Penatalaksanaan TB
a. Pencegahan Tuberkulosis
5. Pengobatan TB
Secara umum efek samping yang terjadi pada pasien berupa efek
samping ringan dan efek samping berat. Efek samping ini
disebabkan oleh konsumsi obat anti tuberculosis. Pada pasien
dengan efek samping ringan tetap dilanjutkan pengobatan dan
diberikan petunjuk cara mengatasi efek samping tersebut atau
pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
B. PENDIDIKAN KESEHATAN
1. Pengertian Pendidikan Kesehatan
5. Media Pendidikan
Media sebagai alat bantu menyampaikan pesan-pesan kesehatan. Alat-
alat bantu tersebut mempunyai fungsi sebagai berikut (Notoadmojo,
2012) :
a. Menimbulkan minat sasaran pendidikan
b. Mencapai sasaran yang lebih banyak
c. Membantu dalam mengatasi banyak hambatan dalam pemahaman
d. Menstimulasi sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan –pesan
yang diterima oran lain
e. Mempermudah penyampaian bahan atau informasi kesehatan
f. Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran/ masyarakat
g. Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih
mendalami, dan akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih baik
b) Booklet
c) Flyer (selembaran)
d) Flip chart (lembar balik)
2) Media Elektronik
a) Video dan film strip
Keunggulan penyuluhan dengan media ini adalah dapat
memberikan realita yang mungkin sulit direkam kembali
oleh mata dan pikiran sasaran, dapat memicu diskusi
mengenai sikap dan perilaku, efektif untuk sasaran yang
jumlahnya relatif penting dapat diulang kembali, mudah
digunakan dan tidak memerlukan ruangan yang gelap.
Sementara kelemahan media ini yaitu memerlukan
sambungan listrik, peralatannya beresiko untuk rusak, perlu
adanya kesesuaian antara kaset dengan alat pemutar,
membutuhkan ahli profesional agar gambar mempunyai
makna dalam sisi artistik maupun materi, serta
membutuhkan banyak biaya. (Lucie, 2010)
b) Slide
Keunggulan media ini yaitu dapat memberikan berbagai
realita walaupun terbatas, cocok untuk sasaran yang
jumlahnya relatif besar, dan pembuatannya relatif murah,
serta peralatannya cukup ringkas dan mudah digunakan.
Sedangkan kelemahannya memerlukan sambungan listrik,
peralatannya beresiko mudah rusak dan memerlukan
ruangan sedikit lebih gelap. (Lucie, 2010)
C. KONSEP KONSELING
1. Pengertian Konseling
Berikut ini pengertian konseling menurut beberapa ahli:
a) proses interaksi anatara dua orang individu (konselor dan klien),
dalam suasana profesional, yang berfungsi dan bertujuan untuk
memudahkan perubahan tingkah laku klien (Prayitno dan Amti, cit
Pepinsky. 2008).
b) Bentuk hubungan antara dua orang, yaitu klien yang dibantuk untuk
lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya
sendiri dan lingkungannya (Yusuf dan Nurihsan,2010).
2. Tujuan Konseling
4. Proses Konseling
Pada fase ini, konselor masuk lebih jauh kedalam dunia klien. Untuk
melakukan ini, konselor harus berusaha untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih baik tentang klien. Hal ini dicapai dengan menerapkan
ketrampilan menyelidik, pemberian informasi, klarifikasi untuk
meyakinkan arti dari pesan pesan dan perasaan yang disampaikan klien.
Tujuan dari fase ini membuat klien mampu mendapatkan pemahaman
yang lebih baik tentang dirinya, keadaannya dan masalah yang dihadapi.
Konselor juga harus membantu klien dan memotifasi untuk terlibat
dalam diskusi rasional untuk memecahkan masalahnya.
D. PERILAKU
1. Definisi Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara,
menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku
manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar
(Notoatmodjo, 2003). Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh
Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.
2. Bentuk Perilaku
Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut.
Secara garis besar bentuk perilaku ada dua macam, yaitu :
a) Perilaku Pasif (respons internal)
Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu
dan tidak dapat diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap
belum ada tindakan yang nyata.
b) Perilaku Aktif (respons eksternal)
3. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan dan lingkungan. Respon atau reaksi organisme dapat
berbentuk pasif (respons yang masih tertutup) dan aktif (respons
terbuka, tindakan yang nyata atau practice/psychomotor).
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Konsep merupakan abstrak yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal
khusus, oleh karena konsep merupakan abstrak, maka konsep tidak dapat
langsung di amati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati dan diukur
melalui kontruk atau yang lebih dikenal dengan nama variabel. Variabel
adalah symbol atau lambang yang menunjukkan nilai atau bilangan dari
konsep dan variabel merupakan suatu yang bervariasi (Notoatmodjo, 2010).
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara
konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur dengan penelitian yang akan
dilakukan (Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan teori yang telah di jelaskan pada tinjauan pustaka dan uraian
latar belakang maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas
pendidikan kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan perilaku
pasien TB Paru di RSUD Malingping Tahun 2021. Dari uraian tersebut,
skematik kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :
Pendidikan Kesehatan
Perilaku Pasien TB Paru
dengan Metode Konseling
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
Definisi
No Variabel Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Pendidikan Kegiatan - - -
Kesehatan menyampaikan
dengan informasi
Metode dengan metode
Konseling konseling yang
berisi tentang
penyakit TB
Paru
2. Perilaku Suatu hal yang Kuesioner Nilai minimal Numerik
Pasien TB sering dilakukan 17 dan nilai
Paru atau sudah maksimal 68
menjadi
kebiasaan pasien
TB Paru
terhadap TB
Paru yang
dideritanya dan
lingkungan
sekitar
rumahnya
C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah alternatif dugaan jawaban sementara yang dibuat oleh
peneliti bagi problematika yang diajukan dalan sebuah penelitian (Arikunto,
2010).
Adapun hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Adakah pengaruh efektifitas pendidikan kesehatan dengan metode
konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2021
2. Tidak ada pengaruh efektifitas pendidikan kesehatan dengan metode
konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB Paru di RSUD
Malingping Tahun 2021
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Desain penelitian ini digunakan untuk menguji efektifitas pendidikan
kesehatan dengan metode konseling terhadap perubahan perilaku pasien TB
Paru di RSUD Malingping Tahun 2021. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif, dengan menggunakan metode quasi experimen design dengan
rancangan pre and post test without control. Pada metode ini peneliti hanya
melakukan intervensi pada satu kelompok tanpa kelompok pembanding.
Efektifitas perlakuan dinilai dengan cara membandingkan nilai pre test
dengan post test (Dharma, 2011). Bentuk rancangan metode ini adalah
sebagai berikut:
Keterangan :
1 = Perilaku pasien TB Paru di RSUD Malingping sebelum dilakukan
intervensi pendidikan kesehatan dengan metode konseling
X = Intervensi pendidikan kesehatan dengan metode konseling
2 = Perilaku pasien TB Paru di RSUD Malingping sesudah dilakukan
intervensi pendidikan kesehatan dengan metode konseling
2. Sampel
Sampel adalah bagian atau jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin
mempelajari semua yang ada pada populasi, misal karena keterbatasan
dana, tenaga dan waktu, maka peneliti akan mengambil sampel dari
populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan
diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari
populasi harus betul-betul representative ( Sugiyono, 2014).
D. Instrumen Penelitian
Keterangan :
R : Koefisien Koreklasi
N : Jumlah responden
∑X : Jumlah jawaban responden untuk instrumen ke X
∑Y : Jumlah jawaban responden untuk keseluruhan instrumen
∑X² : Jumlah jawaban responden untuk keseluruhan instrumen yang
dikuadratkan
∑Y² : Jumlah jawaban responden untuk instrumen ke X yang
dikuadratkan
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada tanggal 19-20 Januari 2018
di RSUD Adjidarmo Lebak, pada pasien Tb Paru di Poliklinik Paru
sebanyak 10 orang. Karena menurut Notoatmodjo (2010), bahwa
responden yang digunakan untuk uji coba sebaiknya harus memiliki ciri-
ciri responden dari tempat dimana penelitian itu dilaksanakan.
Hasil uji validitas untuk instrumen penelitian tentang perilaku yaitu dari
20 item pertanyaan terdapat 3 item pertanyaan (nomor 13,16,20) yang
kurang dari r tabel (0,632) artinya 3 item pertanyaan tersebut tidak valid
dan sisanya (17 pertanyaan) lebih besar dari r tabel (0,632). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa 17 pertanyaan valid, adapun nilai r hitung
terendah pada instrumen tentang perilaku yaitu (0,408) dan r hitung
tertingginya (0,967).
2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoadmodjo, 2010).
Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan one shot atau sekali ukur perhitungan dilakukan dengan
system komputer. Suatu instrumen dikatakan reliabel bila r α ≥ r tabel,
dan dikatakan tidak reliabel bila r α < r tabel. Langkah-langkah yang
digunakan antara lain menggunakan kuesioner kepada sejumlah
responden, kemudian dihitung validitas masing-masing pertanyaannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang valid dihitung, sedangkan yang tidak valid
dibuang. Pertanyaan yang sudah valid dilakukan uji reliabilitas dengan
cara membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil, nilai r hasil adalah
nilai alpha yang terletak di akhir output (Hastono, 2002).
Hasil uji reliabilitas untuk pertanyaan perilaku didapatkan nilai
Cronbach’s Alpha sebesar 0,967. Kemudian nilai tersebut dibandingkan
dengan nilai r tabel (0,632). Dari perbandingan nilai tersebut didapatkan
nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari r tabel maka dapat disimpulkan
instrument tersebut reliable. Nilai Cronbach’s Alpha tersebut juga bisa
dibandingkan dengan ketentuan menurut Nunnaly (1967) dalam Santoso,
S (2014). Nunnally (1967) mengatakan batas minimal reliabilitas
menggunakan Cronbach Alpha adalah 0,6. Perbandingan nilai
Cronbach’s Alpha pada pertanyaan perilaku lebih besar dari 0,6 maka
dapat disimpulkan instrument tersebut reliable. Selanjutnya instrumen
tersebut dapat digunakan untuk instrumen penelitian.
1. Pengelolaan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap
yaitu editing, coding, entering, tabulating, cleaning dan analyzing
dengan penjelasan berikut:
a) Editing dilakukan dengan memeriksa kembali data yang telah
diperoleh, melakukan pemeriksaan kelengkapan data, jika masih ada
yang kurang maka data akan dilengkapi dan jika ada kekeliruan akan
diperbaiki. Pada tahap ini peneliti memastikan bahwa instrumen
sudah lengkap dan diisi dengan benar.
b) Coding, Peneliti memberi kode pada data menjadi bentuk angka
untuk memudahkan proses analisis data.
c) Entering dilakukan dengan memasukkan data ke dalam komputer
untuk dilakukan analisa data.
d) Tabulating yaitu mengelompokan data kedalam kategori yang telah
ditentukan dan dilakukan tabulasi. Proses tabulasi data meliputi
mempersiapkan tabel dan kolom dan baris yang telah disusun cermat
sesuai kebutuhan, menghitung banyaknya frekuensi untuk tiap
kategori jawaban, menyusun distribusi dan tabel frekuensi dengan
tujuan agar data dapat tersusun rapih, mudah untuk dibaca dan
dianalisis.
e) Cleaning merupakan proses pembersihan data. Data yang telah
dimasukkan kedalam program komputer diperiksa kembali
kebenarannya dengan cara melihat missing, variasi dan
konsistensinya data.
f) Anayizing dilakukan dengan menganalisis data yang didapat dan
melakukan interprestasi data.
2. Analisis Data
a) Analisis univariat
Peneliti menggunakan analisis deskriptif (frekuensi dan presentase)
untuk mendeskripsikan variabel yang diteliti dengan menggunakan
uji analisis deskriptif. Analisis univariat penelitian ini yaitu
mengenai perilaku. Tujuan analisa univariate ini untuk melihat
kelayakan data dan mengetahui gambaran atau deskripsi dari
variabel penelitian Dalam analisis ini data disajikan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik dari
tiap variabel.
b) Analisis Bivariat
Tahap analisis berikutnya adalah analisis bivariat untuk mengetahui
interaksi dua variabel yaitu perubahan perilaku pasien Tb Paru di
RSUD Malingping sebelum dan sesudah pemberian pendidikan
kesehatan dengan metode konseling serta membuktikan hipotesis
penelitian. Sebelum melakukan analisis bivariat, peneliti melakukan
uji normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov
untuk sampel besar dan uji shapiro-wilk untuk sampel kecil. Dengan
nilai kemaknaan p > 0,005 maka disimpulkan data berdistribusi
normal. Berdasarkan distribusi normal dengan Central Limit Theory,
sample penelitian disebut besar jika subjek yang diteliti lebih dari
atau sama dengan 30 responden dan disebut sampel kecil jika subjek
dibawah 30 responden (Saryono dan Anggraeni, 2013).
Analisa data yang digunakan untuk menentukan uji statistik yang
dipakai adalah nilai pretest dan posttest, dilakukan uji t test
berpasangan untuk data berdistribusi normal, apabila data tidak
berdistribusi normal dapat dilakukan transformasi data, jika variabel
hasil transformasi tidak berdistribusi normal maka dipilih uji
Wilcoxon.
H. Alur Penelitian