Anda di halaman 1dari 14

Moh. Ahyar Maarif, Baitul Mal pada Masa Rasulullah Saw ...

(37-50)

BAITUL MAL PADA MASA RASULULLAH SAW DAN


KHULAFAUR AL-RASHIDIN

Moh. Ahyar Maarif*

Abstrak:
Pembahasan utama pada makalah ini adalah keberadaan Baitul
Mal sebagai pelopor utama dalam bidang keuangan yang sesuai
dengan shariat Islam. Baitul Mal tidak hanya sebagai lembaga yang
mengatur pemasukan uang negara, namun juga memiliki tugas
yang begitu penting dalam pendistribusian uang hasil negara yang
tersimpan di Baitul Mal, agar harta-harta tersebut dapat diterima
oleh orang-orang yang berhak menerimanya. Dengan makalah ini,
penulis menjelaskan secara singkat mengenai sumber pendapatan
dan manajemen Baitul Mal yang dimulai sejak zaman Rasulullah
SAW hingga pada masa pemerintahan Khulafau al-Rashidin.
Keberadaan Baitul Mal ini bertujuan untuk mencapai salah satu
tujuan dari negara, untuk menegakkan sistem kenegaraan yang
berkenaan dengan pelaksanaan kewajiban muslim, seperti salat,
zakat dan sebagainya.

Kata Kunci: Baitul Mal, Khulafau al-Rashidin, tujuan pendirian.

* Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Fak. Tarbiyah, Institut Ilmu


keislaman Zainul Hasan Genggong Kraksaan

37
Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 2, Juni 2019

PENDAHULUAN
Islam dalam perjalanan sejarahnya banyak mengukir prestasi yang
gemilang. Pada masa kejayaannya Islam menjadi mercusuar peradaban
dunia, baik dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, politik maupun ilmiah.
Dan hebatnya, semua aspek tersebut mendunia karena berbalut shariat
yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, dan fatwa para ‘alim ulama’.
Bahkan banyak konsep pengelolaan negara ala kaum muslimin tersebut
yang kemudian menjadi inspirasi banyak ilmuwan dan negarawan dari
generasi-generasi sesudahnya.
Negeri-negeri Islam pada zaman pemerintahan Khulafau al-
Rashidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyyah dan Dinasti Utsmani
dikenal sebagai negeri yang makmur. Kesenjangan antara si kaya dan
si miskin tidak terlihat mencolok, karena pemerataan ekonomi yang
cukup baik. Dan salah satu pilar terpenting yang menopang pilar
ekonomi tersebut, tanpa menafikan adanya kebocoran yang merupakan
kesalahan manusiawi adalah system pengelolaan keuangannya yang
dikelola berdasarkan shari’at yang bermuara di lembaga Baitul Mal.
Dalam hal ini, penulis ingin membahas tentang sejarah
perkembangan baitul Mal pada masa Rasulullah SAW dan Khulafau
al-Rashidin, yang mana baitul Mal memiliki peran sangat penting dalam
mewujudkan peradaban manusia yang Islami khususnya dalam bidang
ekonomi berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

PEMBAHASAN

Pengertian Baitul Mal


Baitul Mal berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, yaitu “bata
– yabitu – baytan yang artinya rumah atau tempat tinggal, dan Mala
– yamulu – mawlun/Malun yang artinya harta.1 Jadi secara etimologis,
Baitul Mal berarti rumah untuk meletakkan, mengumpulkan atau
menyimpan harta.
Adapun secara terminologis, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya
Al-Amwaal Fi Daulah Al Khilafah menjelaskan, bahwa Baitul Mal
1
Firdaus Al-Hisyam, Kamus Lengkap 3 Bahasa Arab Indonesia Inggris, (Surabaya:
Gitamedia Press, 2006), 104 dan 580.

38
Moh. Ahyar Maarif, Baitul Mal pada Masa Rasulullah Saw ... (37-50)

adalah suatu lembaga atau pihak (al-jihat) yang mempunyai tugas


khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun
pengeluaran Negara.2 Baitul Mal juga dapat diartikan secara fisik
sebagai tempat untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta
yang menjadi pendapatan negara.

Sejarah Berdirinya Baitul Mal


Istilah Baitul Mal muncul pertama kali pada tahun ke-2 hijriah
pemerintahan Islam. Hal ini disebabkan karena adanya percekcokan
antar sahabat dalam hal pembagian harta rampasan dari Perang Badar.3
Maka Allah turunkan ayat ke 41 dalam surat al-Anfal yang menjelaskan
tentang seperlima dari perolehan harta rampasan adalah untuk Allah,
rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu
sabil.
Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah SAW mulai merintis
pembangunan Baitul Mal yang berfungsi sebagai suatu muassasah
(lembaga), yang menangani pengeluaran dan pendapatan negara, serta
berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kaum Muslimin. Sejatinya
Baitul Mal sudah berdiri sejak masa Rasulullah SAW, namun belum
terbentuk dalam suatu lembaga yang mempunyai tempat khusus dan
diwan (administrasi) yang resmi.4
Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai makna
sebagai pihak yang menangani setiap harta benda kaum Muslimin, baik
berupa pendapatan maupun pengeluaran. Dikarenakan belum mempunyai
tempat khusus untuk menanmpung harta kaum Muslimin yang diperoleh
dari ghanimah, maka Rasulullah SAW segera memerintahkan sahabatnya
untuk segera membagikan harta tersebut kepada kaum Muslimin setelah
peperangan, tanpa menunda-nundanya lagi.
Hanzhalah bin Shaifi adalah salah seorang sahabat yang ditunjuk
oleh Rasulullah SAW, untuk menjadi katib (sekretaris) beliau dalam
mencatat serta membagikan ghanimah tersebut setelah usainya
2
Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal Fi Daulati al-Khilafah, (Beirut: Dar al-‘Ilmi li
al-Malayin, 1983), 15.
3
http://bataviase.co.id/node/155545
4
Willy Mardian, “Jejak Rekam Perjalanan Baitul Maal”, dalam http://
telagaalkautsar.multiply.com/contacts (14 Agustus 2008).

39
Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 2, Juni 2019

peperangan, Muaiqib bin Abi Fatimah Ad Dausiy sebagai penulis


harta ghanimah, Az Zubair bin Al Awwam sebagai penulis harta zakat,
Hudzaifah bin Al Yaman sebagai penulis taksiran panen hasil pertanian
Hijaz, Abdullah bin Ruwahah sebagai penulis taksiran panen hasil
pertanian Khaibar, Al Mughirah bin Syu’bah sebagai penulis hutang
piutang dan mua’malat yang dilakukan negara, serta Abdullah bin
Arqam sebagai penulis urusan masyarakat yang berkenaan dengan
kepentingan kabilah-kabilah mereka dan kondisi sumber-sumber air
mereka.5
Jadi, pada umumnya Rasulullah SAW membagi-bagikan ghanimah
tersebut pada hari tersebut. Oleh karena itu, saat itu belum ada banyak
harta tersimpan yang mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu
bagi pengelolaannya.

Perkembangan Baitul Mal


1. Masa Khalifah Abu Bakar As Siddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar dikenal sebagai khalifah yang sangat wara’ (hati-hati)
dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibaiat
sebagai khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil
harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya.
Pada masa kekhalifahannya di tahun pertama ini, Abu Bakar As
Siddiq belum melakukan perubahan yamg drastis dalam pengelolaan
Baitul Mal. Jika datang harta-harta dari wilayah-wilayah kekuasaan
Khilafah Islamiyah, maka Abu Bakar membawanya ke Masjid
Nabawi untuk membagikannya kepada orang-orang yang berhak
menerimanya, dari harta-harta inilah pendapatan Baitul Mal
didapat. Untuk urusan pembagian harta-harta ini, khalifah Abu
Bakar mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini
diketahui pada saat pembaiatan Abu Bakar menjadi khalifah, Abu
Ubaidah berkata kepadanya, “Saya akan membantumu dalam
urusan pengelolaan harta umat.”6
5
M. Shiddiq Al Jawi, “Baitul Maal Tinjauan Historis dan Konsep Ideal” dalam
http://msi-uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=ekonomi&baca=artikel&
id=75, (04 Februari 2011).
6
Busthanul Arifin, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001), 186.

40
Moh. Ahyar Maarif, Baitul Mal pada Masa Rasulullah Saw ... (37-50)

Perkembangan administrasi pada zaman khalifah Abu Bakar


mulai terlihat pada tahun kedua dari kekhalifahannya. Abu Bakar
mulai merintis embrio baru Baitul Mal dalam arti yang lebih luas.
Beliau membangun Baitul Mal di kota Sanah, sebuah kota yang
berada di pinggiran kota Madinah dan tempat ini tidak dijaga oleh
satu orangpun. Namun hal ini tidak berlangsung begitu lama, karena
Abu Bakar pindah ke Madinah dan Baitul Mal yang berada di kota
Sanah dipindahkan ke rumahnya. Abu Bakar menyiapkan tempat
khusus di rumahnya yang berupa karung,dan hal ini berlangsung
hingga akhir masa kekhalifahannya pada tahun 13 H (634 M).7
2. Masa Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/ 634-644 M)
Setelah wafatnya Abu Bakar, Umar bin Khattab menjadi khalifah
pengganti Abu Bakar. Philip K. Hitti menggambarkan sosok
Umar bin Khattab sebagai seorang yang sangat sederhana dalam
kehidupannya, meskipun dia telah menjabat sebagai seorang
Khalifah. Hitti menceritakan, bahwa Umar hanya memiliki satu
helai baju dan satu jubah, yang keduanya penuh tambalan.8 Dari
sedikit gambaran ini, dapat kita bayangkan sosok seorang khalifah
yang begitu sederhana namun penuh tanggungjawab.
Pada masa kekhalifahan Umar inilah banyak terjadi penaklukan-
penaklukan (futuhat) terhadap negara lain, seperti: Kisra (Persia) dan
Romawi. Dengan adanya penaklukan-penaklukan ini, maka pundi-
pundi harta kaum musliminpun semakin bertambah. Oleh karena
itu, Umar berinisiatif untuk membangun sebuah rumah khusus untuk
menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya, mengangkat para
penulis, menetapkan gaji-gaji pegawai dan membentuk angkatan
perang.
Umar bin Khattab juga melakukan sedikit perubahan dalam
mengatur administrasi pemasukan negara. Terkait dengan masalah
pajak, Umar membagi warga negara menjadi dua bagian. Bagian
pertama warga negara muslim dan bagian kedua warga negara non
muslim yang damai (zimmi). Bagi warga negara muslim, mereka
diwajibkan membayar zakat. Sedangkan bagi yang zimmi diwajibkan

Al-Hafidz Jalaluddin Al-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), 74.
7

Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
8

2006), 219.

41
Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 2, Juni 2019

membayar kharaj dan jizyah. Bagi yang muslim diperlakukan hukum


Islam dan bagi dhimmi diperlakukan menurut adat dan kebiasaan
yang berlaku. Untuk menjaga situasi agar tetap terkendali, Umar
menetapkan wilayah Jazirah Arab untuk muslim dan wilayah luar
Jazirah Arab untuk non muslim.9
Selama memerintah, Umar bin Khattab tetap memelihara
dan mengoperasikan Baitul Mal secara hati-hati. Beliau menerima
pemasukan dari sesuatu yang halal dan sesuai dengan aturan syariat,
lalu menditribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam
salah satu pidatonya Umar berkata: “Tidak dihalalkan bagiku
dari harta milik Allah ini, melainkan dua potong pakaian panas
dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk
kehidupan sehari-hari sebagaiman orang Quraisy biasa, dan aku
adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum Muslimin”.10
3. Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa kekhalifahan Utsman
bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dari keluarganya,
Utsman tidak terlalu memperhatikan tindakan bawahannya yang
kerap mengeluarkan harta dari Baitul Mal tidak sesuai dengan
ketentuan yang sebenarnya. Utsman meneruskan metode yang
dibuat oleh Umar bin Khattab dalam mengatur administrasi Baitul
Mal, namun sedikit perubahan yang dilakukannya adalah mengganti
para pegawai yang dilantik oleh Umar dengan orang-orang dari
keluarganya. Utsman juga memberikan khumus (seperlima) dari
Baitul Mal kepada keluarganya dan Utsman menganggap bahwa hal
ini wujud daripada silaturahmi yang diperintahkan Allah SWT.11
Sisi lain yang dapat diambil dari sosok Utsman bin Affan adalah
sikapnya yang pemalu dan dermawan telah memperkenalkan tradisi
mendistribusikan makanan ke masjid untuk para fakir miskin.12
4. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, kondisi Baitul Mal

9
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil, (Yogyakarta: UII
Press, 2004), 60.
10
Busthanul Arifin, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, 186.
11
Busthanul Arifin, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, 186.
12
Busthanul Arifin, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, 186.

42
Moh. Ahyar Maarif, Baitul Mal pada Masa Rasulullah Saw ... (37-50)

ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya yaitu berfungsi


sebagai rumah tempat penyimpanan harta kaum muslimin dan
pengalokasian dana serta dibelanjakan secara keseluruhannya
untuk kemaslahatan kaum muslimin. Ali juga mendapatkan gaji
dari Baitul Mal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Kasir,
bahwa Ali mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi
tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan
tambalan.13
Sejarah mencatat akan kewaraan sang khalifah yang telah
berislam pada usia 8 tahun ini. Ketika berkobar peperangan antara
Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, orang-orang
yang disekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari
Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya.
Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum
muslimin. Mendengar ucapan itu Ali sangat marah dan berkata,
“Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan
dengan kelaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya
selama matahari masih terbit dan selama bintang masih di langit.”14

Tujuan Dan Sumber Dana Baitul Mal


a. Tujuan Pendirian Baitul Mal
Dibentuknya Baitul Mal dalam negara adalah karena Baitul Mal
mempunyai peranan yang cukup besar sebagai sarana tercapainya
tujuan negara serta pemerataan hak dan kesejahteraan kaum
muslimin. Al-Maududi menyebutkan dua sasaran dan tujuan negara
dalam Islam, yaitu: 1) Menegakkan keadilan dalam kehidupan
manusia dan menghentikan kelaliman serta menghancurkan
kesewenang-wenangan. 2) Menegakkan sistem berkenaan
dengan melaksanakan kewajiban muslim, seperti salat, zakat, dan
sebagainya.15
Islam sebagai agama yang memelihara hak-hak asasi manusia,
13
Farid Ma’ruf, “Baitul Maal Dalam Tinjauan Sejarah”, dalam http://faridmaruf.
wordpress.com/2007/01/12/baitul-mal-tinjauan-historis-dan-konsep-idealnya/, (12
Maret 2009).
14
Busthanul Arifin, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, 187.
15
Busthanul, dkk, … 187.

43
Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 2, Juni 2019

menggariskan bahwa salah satu hak yang penting bagi setiap orang
ialah bahwa orang yang tidak memiliki apa-apa harus dipenuhi
keperluan hidupnya. Diantaranya fakir miskin dan orang yang
meminta-minta, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an
surat adz-Dzariat ayat 19, yang berbunyi:

Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

Untuk dapat memberikan hak kepada fakir miskin secara teratur


diperlukan Baitul Mal yang dapat bekerja secara baik dalam
menanggulangi ketidakmerataan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab
itu, tugas Baitul Mal adalah mengelola harta kaum muslimin
yang tidak jelas pemilik dan penerimanya. Tugas itu menyangkut
pemasukan harta, pemeliharaan apa yang terkumpul, dan
pendistribusiannya kepada yang berhak menerimanya.
b. Sumber Dana Baitul Mal
Berbeda dengan kas negara zaman sekarang yang memiliki sumber
dana dari berbagai sektor usaha. Menurut Imam al-Mawardi, Baitul
Mal memiliki dua sumber yang pasti, yaitu: fai’ dan zakat.16 Selain
itu masih ada sumber-sumber lain, seperti: 1) Harta warisan orang
yang tidak memiliki ahli waris, 2) Harta berupa benda-benda alam
yang memiliki manfaat, seperti barang tambang, sumber air, sumber
mineral, dan lain-lain, 3) Harta shuf’ah17, 4) Waqaf18, dan 5) Harta
yang diwasiatkan lebih dari sepertiga.19
Fai’ adalah harta yang diperoleh dari musuh non muslim bukan
melalui peperangan, tetapi melalui perdamaian. Termasuk dalam
fai’ adalah jizyah dan kharaj. Jizyah adalah pajak perlindungan bagi
orang kafir z}immi, yaitu yang berlindung di bawah pemerintahan
16
Penjelasan dapat dilihat di Imam al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyyah terj.
Fadli Bahri (Jakarta: Darul Falah, 2007).210-248
17
Harta Shuf’ah adalah harta priorotas yang diberikan serikat kepada salah
satuanggotanya untuk menjualbelikan harta serikat, dengan syarat harta tersebut
bukan harta yang bergerak, seperti tanah, tumbuhan, rumah,dll.
18
al-Qur’an, 3: 92.
19
Busthanul Arifin, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, 188.

44
Moh. Ahyar Maarif, Baitul Mal pada Masa Rasulullah Saw ... (37-50)

Islam dan memiliki ikatan perjanjian damai dengan Islam. Adapun


orang yang dikenakan jizyah adalah seorang laki-laki yang merdeka,
baligh, berakal, hidup dan mampu bekerja. Pembayaran jizyah ini
sebanyak 12 sampai 48 dirham setiap tahunnya, disesuaikan dengan
pendapatan masing-masing.20
Kharaj adalah pajak tanah yang dikenakan kepada seluruh
penduduk yang memiliki tanah, pada wilayah-wilayah yang sudah
ditaklukkan oleh Islam sebesar 10%. Pada zaman khalifah Umar
bin Khattab, pajak ini disebut Kharaj al-Muqasamah yang mana
pengurusannya diurus oleh kerajaan-kerajaan. Sedangkan pada
masa khalifah Utsman disebut Kharaj bi al-iltiza>m, yang mana
pengurusan pajaknya diurus oleh masing-masing pemilik tanah.
Usyur adalah pajak perniagaan yang dikenakan kepada seluruh
pedagang. Untuk pedagan yang kafir harbi dikenakan 10%, bagi
kafir z{immi 5% dan bagi muslim 2,5% apabila sudah mencapai
nisab sebesar 200 dirham. Ghanimah adalah harta rampasan dan
fai’ yang didapat dari atau tanpa peperangan.21
Tidak semua sumber uang negara itu menjadi milik Baitul Mal.
Kekayaan Baitul Mal ini sebagian besar ini berasal dari pajak tanah
yang dimiliki oleh seluruh masyarakat dengan penggunaan yang
sangat tergantung pada petunjuk imam atau para wakilnya. Yang
masuk ke kas Baitul Mal adalah khumus (seperlima) dari ghanimah
dan pajak hasil-hasil tambang serta harta temuan. Bagian inilah
yang dapat dipergunakan untuk kepentingan masyarakat Islam
seluruhnya. Sedangkan empat perlimanya dipergunakan untuk
golongan-golongan yang telah ditentukan, seperti keluarga Nabi
Muhammad SAW, anak-anak yatim, fakir miskin dan para musafir.
Dengan demikian, bagian uang terakhir tersebut tidak berada di
bawah pengawasan khalifah atau imam.22
Selain itu, masih terdapat tiga sumber lagi harta yang masuk
ke Baitul Mal, yaitu: 1) harta yang tidak ada pemiliknya, seperti

20
Busthanul Arifin, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, 188.
21
Yahaya dan Ahmas Jelani Halimi, Sejarah Islam, (Shah Alam: Fajar Bakti SDN.
BHD, 1995), 173-174.
22
Hasan Muarif Ambary, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1999), 223.

45
Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 2, Juni 2019

harta seorang budak yang lari dan harta yang ditemukan dari
perampok yang tertangkap. 2) harta dari orang murtad. 3) tanah
atau perkebunan yang pemiliknya telah meninggal dan tidak ada
orang yang akan mewarisinya.23

Manajemen Baitul Mal Dalam Sejarah


Pada masa Rasulullah SAW, Baitul Mal belum memiliki Diwan-
Diwan tertentu, walaupun beliau telah mengangkat para penulis (katib)
yang bertugas mencatat harta. Pejabat atau para penulis Baitul Mal
dipilih apabila memenuhi syarat-syarat berikut, yaitu: a) Merdeka,
b) Muslim, c) Berakhlak baik, d) Jujur, e) mampu bekerja. Seorang
pejabat Baitul Mal juga harus mampu berijtihad, karena mereka yang
akan menangani pajak yang meliputi kebebasan menentukan taksiran
atau pengeluaran uang. Selain itu, agen-agen kecil yang kerjanya
mengumpulkan atau menyampaikan pajak dapat saja seorang budak
atau zimmi dari golongan yang seagama dengan mereka.24
Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab inilah mulai dibentuk
Diwan-Diwan Baitul Mal, baik berupa arsip ataupun tempat untuk
menulis dan menyimpan arsip-arsip tersebut. Hal ini dikarenakan,pada
masa kekhalifahannya Islam sedang gencar-gencarnya menaklukkan
negara-negara di Jazirah Arab, yang secara otomatis menghasilkan
banyak harta.
Umar bin Khattaab lalu bermusyawarah dengan kaum muslimin
mengenai pembentukan Diwan-Diwan Baitul Mal tersebut.
Diantaranya hadir Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Al Warid
bin Hisyam bin Al Mughirah. Pada saat itu, Ali ra. berkata kepada
Umar, “Bagikanlah harta yang terkumpul kepadamu setiap tahun dan
janganlah engkau tahan dari harta itu sedikitpun, Utsman berkata, Aku
melihat harta yang banyak yang mendatangi manusia. Jika mereka tidak
diatur sampai diketahui mana orang yang sudah mengambil bagiannya
dan mana yang belum, maka aku khawatir hal ini akan mengacaukan
keadaan”. Al Warid bin Hisyam bin Al Mughirah berkata, “Ketika
aku di Syam aku melihat raja-rajanya membuat Diwan-Diwan dan
23
Hasan, dkk, Ensiklopedi Islam, 224.
24
Hasan, dkk, Ensiklopedi Islam, 223.

46
Moh. Ahyar Maarif, Baitul Mal pada Masa Rasulullah Saw ... (37-50)

membangun angkatan perangnya”. Mendengar keterangan tersebut,


maka khalifah Umar menyetujuinya. Kemudian ia memanggil beberapa
orang keturunan Quraisy, yaitu Uqail bin Abi Thalib, Mukharamah
bin Naufal, dan Jabir bin Muth’im. Umar lalu berkata kepada mereka,
“Tulislah oleh kalian nama-nama semua rakyat berdasarkan kabilah-
kabilahnya”. Mereka melaksanakan perintah tersebut dengan memulai
penulisan dari Bani Hasyim, kemudian Abu Bakar dan kaumnya, Umar
dan kaumnya, serta diikuti dengan kabilah-kabilah lainnya. Kemudian
mereka menyerahkannya kepada Umar dan ketika Umar melihat hal
tersebut beliau berkata: Tidak, bukan seperti ini yang aku maksud,
tapi mulailah dari kerabat Rasulullah SAW, yaitu yang paling dekat
kepada beliau, maka tulislah kedudukannya itu sehingga kalian dapat
menempatkan Umar sebagaimana Allah SWT telah menetapkannya.25
Adapun penggunaan uang Baitul Mal dibagi menjadi dua, yaitu: 1)
untuk membiayai tugas-tugas negara, seperti gaji tentara, para pejabat
negara, dan memelihara penjara. 2) untuk membuat jalan-jalan umum,
persediaan air minum dan memperbaiki kerusakan tanah kharaj.26
Dalam pendistribusian harta yang tersimpan di Baitul Mal, Umar
juga mendirikan: departemen pelayanan militer, departemen kehakiman
dan eksekutif, departemen pelayanan dan pengembangan Islam, dan
departemen jaminan sosial. Umar juga mendirikan diwan islam yang
bertugas memberikan tunjangan-tunjangan angkatan perang dan
pensiun. Tunjangan yang diberikan adalah sebagai berikut: 1) Aisyah
dan Abbas bin Abdul Muthalib, masing-masing 12000 dirham. 2) . Para
istri nabi selain Aisyah, masing-masing 10000 dirham. 3) Ali, Hasan,
Husain dan para pejuang Badar, masing-masing 5000 dirham. 4) Para
pejuang Uhud dan para migran abisinya, masing-masing 4000 dirham.
5) Kaum Muhajirin sebelum peristiwa Fathul Makkah, masing-masing
3000 dirham. 6) Putra para pejuang Badar, orang yang memeluk Islam
ketika Fathul Makkah, anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar, para
pejuang perang Qadisiyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri
perjanjian Hudaibiyah, masing-masing 2000 dirham. 7) Orang-orang

25
M. Shiddiq Al Jawi, “Baitul Maal Tinjauan Historis dan Konsep Ideal” dalam
http://msi-uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=ekonomi&baca=artikel&
id=75, (04 Februari 2011).
26
Hasan, dkk, Ensiklopedi Islam, 224.

47
Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 2, Juni 2019

Makkah yang bukan termasuk kaum Muhajirin, masing-masing 800


dirham. 8) Warga Madinah 25 dinar. 9) Kaum Muslimin di Yaman,
Syria, Irak, masing-masing 200-300 dirham. 10) Anak-anak yang baru
lahir yang tidak diakui, masing-masing 100 dirham.27
Disamping itu, harta Baitul Mal disalurkan pula untuk membenahi
kepentingan umum yang dapat menunjang berjalannya pemerintahan
secara baik, seperti membeli perlengkapan peralatan negara, membangun
jalan, jembatan, irigasi dan sebagainya.28

KESIMPULAN
1. Baitul Mal sesungguhnya bukanlah lembaga privat atau swasta
yang hanya menangani sebagian aspek kegiatan ekonomi umat,
melainkan sebuah lembaga yang mengurusi segala pemasukan dan
pengeluaran dari negara Islam (Khilafah).
2. Tujuan pendirian Baitul Mal adalah untuk membantu pemerintah
dalam menegakkan keadilan, menghancurkan kesewenang-
wenangan dan menegakkan sistem yang berkenaan dengan
pelaksanaan kewajiban. Selain itu, untuk mengorganisir pendapatan
dan pengeluaran keuangan negara serta pendistribusiannya kepada
orang-orang yang berhak menerimanya.
3. Gagasan konsep Baitul Mal yang ideal haruslah merujuk kepada
ketentuan syariah, seperti dalam hal sumber pendapatannya. Sumber
pendapatan Baitul Maal diantaranya adalah zakat, fai’, jizyah, kharaj,
usyur, ghanimah, harta warisan orang yang tidak memiliki ahli waris,
barang tambang, harta shuf’ah, waqaf, harta yang ditinggal lari oleh
pemiliknya, dan harta orang murtad.
4. Manajemen Baitul Mal pada masa Rasulullah Saw hanya berupa
suatu lembaga yang menampung dan membagikan harta-harta
kaum muslimin, dan belum memiliki tempat khusus. Baitul Mal
dikelola secara intensif pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab,
dengan dibangunnya Diwan-Diwan yang digunakan untuk tempat
menyimpan harta-harta kaum muslimin. Umar juga memberikan

27
Mumbasithoh, “Ekonomi Islam”, dalam http://mumbasitoh.4t.com/ custom4_2.
html.
28
Busthanul Arifin, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, 189.

48
Moh. Ahyar Maarif, Baitul Mal pada Masa Rasulullah Saw ... (37-50)

gaji terhadap para pegawai Baitul Maal, pejabat negara dan pasukan
perang Muslimin.
5. Dampak positif dari keberdaan Baitul Mal yang masih dapat
dirasakan hingga saat ini adalah keberadaan Bank Shari>’ah sebagai
lembaga penyeimbang keuangan masyarakat diantara bank-bank
konvensional lainnya. Selain itu, Baitul Mal saat ini berkembang
menjadi Baitul Mal wa al-Tamwil.

49
Asy-Syari’ah, Volume 5, Nomor 2, Juni 2019

DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, cet VI, 1999.
Dahlan, Abdul Aziz dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, cet V, 2001.
Firdaus Al-Hisyam, Kamus Lengkap 3 Bahasa Arab Indonesia Inggris,
Surabaya: Gitamedia Press, 2006.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, Terjemahan oleh R. Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi, cet. II, 2010.
http://faridmaruf.wordpress.com/2007/01/12/baitul-mal-tinjauan-
historis-dan-konsep-idealnya/
http://msi-uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=ekonomi&baca=
artikel&id=75
http://mumbasitoh.4t.com/custom4_2.html
http://telagaalkautsar.multiply.com/contacts
Mawardi (al), Imam, Al-Ahkam Al-Sult}aniyyah terj. Fadli Bahri,
Jakarta: Darul Falah, 2007.
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT),
Yogyakarta: UII Press, 2004.
Suyuthi (al), Al-Hafidz Jalaluddin, Tarikh Khulafa’, Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.
Yahaya, Sejarah Islam, Shah Alam: Fajar Bakti SDN BHD, 1995.
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal Fi Daulati al-Khilafah, Beirut: Dar al-
‘Ilmi li al-Malayin, 1983.

50

Anda mungkin juga menyukai