Anda di halaman 1dari 7

Pembebasan Narapidana saat Covid-19

Essay oleh: Karisa Marleman/13/ XII MIPA 4

Masalah Covid-19 sudah menjadi perbincangan sejak maret lalu. Banyak kebijakan-kebijakan
yang telah diambil oleh pemerintahan di dunia demi menyelamatkan masyarakatnya. Indonesia
pun tak kalah, walaupun pada awal-awal pandemik dinyatakan negara asia tenggara tersebut
termasuk yang tidak acuh, pemerintahannya telah ikut serta mengikuti protocol-protokol yang
dianjurkan PBB, salah satunya adalah pembebasan Narapidana.

Narapidana, atau lebih sering disingkat menjadi Napi. Dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena telah
melakukan suatu tindak. Dinyatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) tercantum pada Pasal 1:32, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Terkait paragraf pertama, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly
memutuskan akan mengeluarkan sebagian narapidana dari penjara untuk mencegah
penyebaran Covid-19 di dalam penjara. Ketentuan itu diatur dalam Keputusan Menteri Hukum
dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana
dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan
Penyebaran Covid-19

Dengan dikeluarkannya Permenkumham No. 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian


Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Penyebaran Covid-19, Kepmenkumham No. M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun
2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan
Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, dan Surat
Edaran Ditjenpas No. PAS-497.PK.01.04.04 tentang hal yang sama.

Mentri Yasonna Laoly menyatakan bahwa hal tersebut dilaksanakan akibat anjuran dari PBB.
Ia mengatakan Yasonna menyatakan pembebasan napi yang dilakukan lewat mekanisme
asimilasi dan integrasi itu bukan hanya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun juga
dilakukan sejumlah negara lain.

Ia merinci sejumlah negara yang turut mengambil kebijakan itu antara lain, Amerika Serikat
membebaskan 8.000 napi, Inggris dan Wales 4.000 napi, Iran 85.000 napi dan 10.000 tahanan
politik. Kemudian Bahrain membebaskan 1.500 napi, Israel 500 napi, Yunani 15.000 napi,
Polandia 10.000 napi, Brazil 34.000 napi, Afghanistan 10.000 napi, Tunisia 1.420 napi, Kanada
1.000 napi, dan Prancis 5.000 napi.

"Sekali lagi, ini karena alasan kemanusiaan karena kondisi di dalam lapas dan rutan sudah
sangat kelebihan kapasitas dan kondisi di dalam lapas akan sangat mengerikan jika tidak
melakukan pencegahan penyebaran Covid-19," ujar Yasonna.

Kebijakan tersebut pun menjadi perbincangan yang menuai kontroversial di kalangan


masyarakat dikarenakan beberapa hal. Ada yang setuju ada pula yang tidak, maka dalam essay
ini akan dipaparkan pro dan kontra dari pembebasan para narapidana.

Pertama, akan dibahas tentang kebijakan pembebasan tersebut. Pembebasan Napi sebenarnya
merupakan kebijakan yang lazim dilakukan. Hal ini dikarenakan, menurut Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 Pasal 14, pada hakikatnya narapidana memiliki beberapa hak, dan 2
(dua) diantaranya merupakan hak untuk memperoleh asimilasi dan integrasi yang diatur lebih
lanjut dalam Permenkumham No. M.HH-02.PK.05.06 Tahun 2010 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti
Bersyarat. Oleh karena itu, para narapidana tentu tidak semata-mata dibebaskan, melainkan
harus memenuhi beberapa syarat (substantif dan administratif) serta ketentuan yang tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat.

Kebijakan pembebasan Napi sendiri sudah dilakukan tiap tahun sebagai bentuk pelaksanaan
hak mereka. Skema tahun 2020 terdapat 55.000 narapidana yang memang berhak untuk
memperoleh pembebasan bersyarat. Namun, hal yang membuat masyarakat resah yakni
pembebasan yang seharusnya dilakukan secara berkala tersebut dilakukan dalam bersamaan
akibat pandemic Covid-19. Pemerintah dinilai terlalu tergesa-gesa dalam mengambil
keputusan.

Hal yang perlu di highlight lagi adalah waktu pembebasan napi tersebut berdekatan dengan
idul fitri. Menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, angka kriminalitas Indonesia
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dan pada tahun 2020, peningkatan tersebut
mencapai 7%.

Di samping itu pun, kebijakan ini juga dilatarbelakangi dengan adanya rekomendasi dari World
Health Organization (WHO), United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan
beberapa lembaga lainnya, yang mana rekomendasi tersebut tidak hanya ditujukan kepada
Indonesia saja, melainkan kepada seluruh negara di dunia. WHO telah mengidentifikasi
bahwa overcrowding yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan atau tempat-tempat
penahanan lainnya, justru dapat menjadi salah satu media penyebaran Covid-19. Oleh karena
itu, untuk mencegah terjadinya outbreak di lembaga pemasyarakatan, maka mau tidak mau
pemerintah perlu mempertimbangkan rekomendasi tersebut dan satu-satunya opsi yang dapat
dilaksanakan pada saat ini adalah membebaskan narapidana.

Pemerintah menegaskan kepada masyarakat bahwa terdapat kriteria tertentu yang diterbitkan
dalam surat edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020
tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi
dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 yang sudah
ditandatangani oleh Plt. Direktur Jenderal pemasyarakatan. Kriteria Narapidana dan Anak yang
dapat dibebaskan melalui asimilasi rumah yakni sebagai berikut:

1. Narapidana yang 2/3 (dua per tiga) masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31
Desember 2020.

2. Anak yang 1/2 (satu per dua) masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31
Desember 2020.

3. Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP No. 99 Tahun 2012 (narapidana
narkotika dan korupsi), yang tidak menjalani subsider dan bukan warga negara asing.

4. Asimilasi dilaksanakan di rumah sampai dengan dimulainya integrasi berupa


Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

5. Surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, Kepala LPKA dan Kepala
Rutan.

Juga terdapat kriteria mengenai pengeluaran narapidana dan anak melalui integrasi
(Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat), dengan kriteria sebagai
berikut:

1. Narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana.

2. Anak yang telah menjalani 1/2 masa pidana.

3. Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP 99 Tahun 2012, yang tidak
menjalani subsidaer dan bukan warga negara asing.
4. Usulan dilakukan melalui sistem database pemasyarakatan.

Jika dilihat dari sisi tersebut maka, tentu pemerintah dinilai sudah tepat dan siap melakukan
pembebasan terhadap narapidana tersebut, namun mengapa masyarakat masih terlihat cemas?

Pertama, dilihat dari sisi masyarakat. Mari kita beri contoh, apabila tiba tiba di tengah-tengah
sibuknya Car free day dilepasnya seekor singa, tentu masyarakat akan panik bukan? Walaupun
singa tersebut mungkin jinak, tentu panik akan tetap menyebar. Hal ini sama seperti yang
dialami masyarakat, walaupun para narapidana tersebut dinyatakan dapat diasimilasi, tentu
kepercayaan masyarakat tidak banyak. Hal ini dikarenakan terbuktinya beberapa narapidana
yang melakukan kejahatan setelah dilepas.

Pemerintah mengatakan bahwa mereka akan memberlakukan sistem straf cell. Sesuai dengan
ketentuan Permen No. 10 Tahun 2020, WBP yang melakukan tindak pidana baru akan
dimasukkan ke dalam Straf Cell atau kamar khusus isolasi untuk menjalani sisa pidananya
sampai selesai batas putusan, dengan tidak diberikan haknya. Jelas sekali bahwa sanksinya
lebih memberatkan dan hal ini yang membuat para napi dalam masa asimilasi akan berpikir
dua kali untuk “kembali ke dalam sel”.

Namun, kita lihat ke judul besar essay ini mengenai hak asasi manusia. Straf cell atau sel tikus
ini merupakan sel yang berbeda dengan sel tahanan umum lainnya. Sel tikus ini hanya
berukuran kecil dan tidak bisa dibuka seperti sel napi lainnya. Ditambahkan, straf cell ini
sebagai sanksi untuk memberikan shock therapy dan control terhadap napi atau tahanan yang
melakukan pelanggaran berat. Selain straf cell, mereka juga tidak akan diberikan remisi lagi.

Secara objektif, mungkin pemberlakukan Straf Cell dapat dilakukan. Napi jadi berpikir dua
kali untuk mengulang. Namun mari kita lihat dari sisi subjektif. Melakukan sebuah kejahatan
setelah dibebaskan memang salah, namun, memberlakukan seorang tahanan bagaikan binatang
tentu melanggar hak asasi mereka. Secara subjektif pula dapat dijabarkan. Apabila seorang
napi melakukan kejahatan yang keji, atau memiliki beberapa masalah yang dapat
membahayakan Kesehatan dan kenyamanan narapidana lain tentu memberikan mereka sel
khusus adalah pilihan terbaik. Namun memberikan sel khusu yang dapat dikatakan kecil
terhadap pelanggar yang tidak menganggu Narapidana lain dapat dinilai over board.

Sementara itu, Menkumham, Yasona Laoly mengatakan sampai saat ini sudah ada 38.822
orang narapidana yang dilepaskan. Yang terdiri dari 36.641 orang narapidana pembebasan
dengan asimilasi dan 2.181 orang dengan integrasi.
Dari 38.822 narapidana yang telah dibebaskan, hanya 33 orang atau 0,009% yang melanggar
atau yang melakukan tindak pidana pengulangan, “Jadi pemberitaan dan opini masyarakat yang
menyatakan bahwa program Assimilasi dan Integrasi untuk mencegah penyebaran Covid-19
menyebabkan gangguan keamanan nasional tidaklah benar atau tidak signifikan. Karena hanya
0.009 % dari 38.822 orang Narapidana yang melakukan pelanggaran,” tegas Yasona dalam
video conference pada Senin siang.

Adapun dalam mengeluarkan sebuah peraturan harus disesuaikan dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat, apabila dikatakan tujuan dibentuknya kebijakan tersebut
ialah untuk menjamin narapidana terhindar dari paparan Covid-19 akibat kondisi lapas yang
overcrowded, justru jika hal itu diterapkan akan berakibat sebaliknya, karena dapat dikatakan
kecil kemungkinannya terjadi penyebaran Covid-19 jika narapidana tetap berada di lapas,
sebab mereka tidak mendapati kontak langsung dengan orang luar.

Lalu apakah ini alibi negara untuk menghemat pengeluaran? Banyak masyarakat yang
menspekulasi bahwa pembebasan Narapidana massal ini memiliki objektif tersembunyi, yakni
penghematan pengeluaran. Spekulasi ini dapat diperkokoh lagi, Karena selama narapidana
masih menjadi warga binaan negara, maka sudah semestinya menjadi kewajiban negara untuk
memenuhi hak narapidana yang diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.
Yang mana dalam ayat pertama terkandung beberapa kewajiban negara untuk memenuhi
pelayanan kesehatan dan perawatan jasmani dan rohani untuk warga binaan; terdapat dalam
poin (b) dan (d). Hal yang tidak dapat dijamin pemenuhannya oleh negara jika para warga
binaan diasimilasikan di tengah pandemi ini.

Selain dalam ranah kesehatan, narapidana yang diasimilasi pun tidak memiliki mekanisme
yang jelas selain pembinaan dari lapas terkait bagaimana ia memulai usahanya, padahal ia
dihadapkan pada situasi yang sulit untuk mencari pekerjaan di tengah pandemi ini. Di lihat dari
segi ekonomi masyarakat, saat ini ekonomi negara sedang lemah akibat pandemi. Hal tersebut
menjadi mengkhawatirkan ketika dalam keadaan seperti saat ini di mana saat narapidana
dibebaskan tidak serta merta menjamin terhindar dari kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Masyarakat biasa saja sudah mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya akibat pandemi, beberapa kesulitan untuk mencari pekerjaan dan securing sebuah
pekerjaan. Hal tersebut akan menjadi lebih sulit bagi para mantan Narapidana yang telah
dibebaskan akibat criminal record mereka.
Serta, didalam skema paket kebijakan bantuan pra kerja yang telah digulirkan oleh pemerintah,
tidak menyebutkan mengenai bantuan pra kerja bagi para eks-narapidana yang telah
dibebaskan. Kondisi ini bukan tidak mungkin justru menjadi bumerang tersendiri bagi
pemerintah, hal ini ditunjukan dengan telah terjadinya kasus tindak pidana yang kembali
dilakukan oleh para narapidana asimilasi karena tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup.

Lalu pembebasan Narapidana ini tidak akan menyelesaikan masalah overcrowding Lapas di
Indonesia. Pada Juni 2020 Polri Sebut Angka Kriminalitas Naik 38,45%. Tentu hal tersebut
menyatakan bahwa dengan adanaya Napi yang keluar lebih banyak lagi yang masuk.

Lalu, apa yang seharusnya Tindakan yang diambil pemerintah. Sebuah solusi untuk kasus-
kasus yang tergolong ringan, sistem restorative justice dapat menjadi pertimbangan sebagai
suatu upaya untuk penyelesaian permasalahan kelebihan kapasitas ini. Konsep restorative
justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan padakondisi terciptanya
keadilandan keseimbangan bagi para pelaku tindak pidana serta korban. Mekanisme tata cara
dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan
mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang bagi korban dan pelaku. Alternatif pemidanaan non pemenjaraan yang dapat
dilakukan seperti pengawasan dan pengabdian masyarakat dipandang lebih efisien daripada
hukuman penjara karena dapat mencapai tujuan membina atau merehabilitasi narapidana
sebelum akhirnya bisa bebas dan kembali hidup di lingkungan masyarakat. Sehingga hal ini
dapat menyelesaikan masalah dikitnya sel tahanan serta dapat membantu para pelaku serta
korban.

Dapat disimpulkan bahwa pembebasan narapidana terdapat pro dan kontra serta terdapat
banyak pertimbangan dari sisi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan tersebut. Walaupun
dari segi hukum dan peraturan pelaksanaan pembebasan ini terkesan telah terpikir secara
matang, berdasarkan paragraph-paragraph yang sudah dijabarkan, keputusan ini dapat dinilai
kurang efektif diberlakukan di Indonesia. Serta salah satu solusi yang dapat dilakukan oleh
pemerintah untuk masalah Overcrowding di Lapas yakni adalah memberlakukan sistem
restorative justice.

Anda mungkin juga menyukai