Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Quran secara harfiah berarti “ bacaan sempurna” merupakan suatu
nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaanpun sejak
manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi
al-Quran al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.1

Al-Quran yang bersifat universal dan transenden di satu sisi dan disisi
lain dihadapkan pada sejarah peradaban manusia yang berkembang dinamis,
sehingga diperlukan tingkat kreatifitas dan orisinalitas cara pemahaman dan
penafsiran al-Quran.
Kajian tentang al-Quran akhir-akhir ini menemukan momentum
pengkajian dan bahkan mengindikasikan pengkajian Qur’an sebagai sebuah
tren dan lokomotif wacana pengembangan ilmu keislaman. Bagi kebanyakan
umat Islam al-Quran hanya sebatas teks bacaan sehari-hari setidaknya pada
saat shalat tapi juga diyakini sebagai firman Tuhan. konsekuensinya umat
Islam lalu menempatkan al-Quran sebatas hanya pada wilayah teologis,
dengan menggambarkan al-Quran sebagai suatu yang sakral, mutlak,
transeden, tanpa ada hubungan apapun dengan realitas sejarah.2

Al-Quran menempuh berbagai cara guna menawarkan manusia kepada


kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah
faktual atau simbolik. Kitab suci al-Quran tidak segan mengisahkan
“ kelemahan manusiawi” , namun itu digambarkannya dengan kalimat indah
lagi sopan tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi

1
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran ; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung : Mizan, 2003), Cet. XIII, 2003, hlm. 3
2
Dalam posisi semacam ini menurut Muhammad Arkoun, al-Quran menjadi sesuatu
yang tak terpikirkan, Lihat Jurnal Justisia, “Kritik Qur’an ; Strukturalisme, Analisa Historis dan
Kritik Idiologis” , edisi 23, th, XI, 2003, hlm. 2

1
2

negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu, atau


menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi godaan nafsu dan setan.3

Al-Quran telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa dalam segala
seginya termasuk kisah-kisah yang ada didalamnya. Kisah-kisah al-Quran
dikatakan menarik karena didalamnya terdapat ayat-ayat mengenai kisah umat
manusia yang bukan hanya menarik bagi orang dewasa, melainkan juga anak-
anak.4

Selama berpuluh tahun para psikolog telah mengemukakan pengaruh


positif dari membacakan cerita dan bercerita kepada anak-anak. Hal ini
merupakan cara yang baik sekali untuk mengajari anak berpikir realistis,
karena cerita dapat menunjukkan bagaimana orang secara realistis
memecahkan masalah-masalahnya. Banyak orang tidak menyadari betapa
besar pengaruh cerita terhadap perilaku, bahkan sampai membentuk budaya.5

Al-Hasyimi berpendapat bahwa kesan sebuah cerita dalam jiwa anak-


anak tidak terbatas hanya disela-sela mengisahkannya, mendengarkannya, atau
membacanya. Namun secara mayoritas mereka akan meniru ucapan-ucapan
kejadian-kejadian, moral dan perilaku yang mengalir dari sebuah cerita dalam
praktek nyata kehidupan mereka sehari-hari.6

Bagaimana pentingnya kisah dalam al-Quran dapat dilihat dari segi


volume, dimana kisah-kisah tersebut memakan tempat yang tidak sedikit dari
seluruh ayat-ayat al-Quran. Dari keseluruhan surat, terdapat 35 surat memuat
kisah, kebanyakan adalah surat-surat panjang.7

3
M. Quraish Shihab, op.cit. hlm. 9
4
Nunu Achdiat, Seni Berkisah: Memandu Anak Memahami al-Quran, (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 78
5
Lawrence E. Saphiro, Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, (alih bahasa ;
Alex Tri Kantjono), (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 93
6
Abdul Hamid al-Hasyimi, Mendidik Ala Rasulullah, (alih bahasa : Ibn Ibrahim),
(Jakarta : Pustaka Azzam, 2001), hlm. 260
7
A. Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Quran, (Jakarta : Pustaka al-
Husna, 1984), Cet. I, hlm. 20
3

Karena pentingnya kedudukan kisah dalam kehidupan manusia itulah,


maka banyak orang yang mempergunakannya untuk menelaah sejarah dan
mempelajarinya lebih lanjut seperti dalam kisah sekitar tokoh-tokoh sejarah
yakni para Nabi dan Rasul (al-Qissatu al-Tarikhiyah). Untuk mengetahui
bahwa para Nabi dan Rasul memiliki hikmah ilmu pengetahuan yang tinggi,
tetapi apakah itu hanya karena kehendak Allah semata. Kalau itu hanya
karena wahyu semata maka bukan hak manusia untuk menyelidikinya, tetapi
kalau itu melalui ikhtiyar, maka sangat perlu mengetahui proses pencapaian
keberhasilannya itu, karena pendidikan merupakan keterpautan antara aspek
dasar teoritis dengan operasional praktis. Dengan pemikiran demikian, maka
pemahaman serta pelaksanaan pendidikan, tidak dapat dilaksanakan secara
sembarangan melainkan harus dikaji prinsip-prinsip yang mendasari
pandangan pendidikan maupun metode yang digunakannya.8

Berdasarkan penelitian A. Hanafi, cerita tentang para nabi


mendapatkan porsi yang cukup besar dalam al-Quran yaitu dari jumlah
keseluruhan ayat dalam al-Quran yang terdiri dari 6.300 ayat lebih, sekitar
1600 ayat diantaranya membicarakan para rasul, dimana kisah Nabi Musa AS
merupakan kisah yang paling banyak diulang yaitu 30 kali.9

Kisah perjalanan Nabi Musa dalam rangka berguru kepada Nabi Khidir
untuk menuntut ilmu, memiliki proses yang sangat unik dipandang dari dunia
pendidikan. Keunikan tersebut dapat dilihat dari metode yang digunakan oleh
sang guru dalam menyampaikan materi. Disamping itu pendekatan yang
dilakukan dalam memberikan ilmunya yang lebih berpandangan pada filsafat
futurologis.10

8
Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah wa Asalibuna, terj. Hery Noer Ali,
(Bandung : Diponegoro, 1989), Cet. I, hlm. 17
9
A. Hanafi, op.cit., hlm. 22
10
Filsafat Futurologis menjadikan kurikulum pendidikan sebagai alat yang efektif dalam
menyiapkan bentuk pendidikan yang aplikatif dan apresiatif terhadap perkembangan kebudayaan,
ilmu dan pengetahuan, sehingga pola pendidikan akan lebih mengarah pada usaha preventif
(menjawab persoalan dan dinamika yang telah dan sedang terjadi) sebagaimana yang terjadi saat
ini. Akibatnya, pendidikan senantiasa berada pada posisi tertinggal terhadap akselerasi zaman
yang jauh lebih dinamis. Institusi pendidikan seakan tak mampu memprediksi dinamika yang
4

Ibnu Katsir mengisahkan tentang keberadaan Nabi Musa ketika ia


berdiri berpidato dihadapan kaumnya, Bani Israil. Nabi Musa ditanya oleh
mereka “ siapakah orang yang terpandai di dunia? Musa menjawab, “ akulah
orangnya” . Kenyataan ini diterima oleh kaum Bani Israil, mereka diam tidak
ada yang membantah. Atas peristiwa ini Allah berfirman kepada Nabi Musa.
“ Sesungguhnya aku mempunyai hamba yang bisa mengumpulkan dua lautan,
dialah orang yang lebih pandai dari kamu. Musa bertanya, bisakah saya
bertemu dengannya? Kemudian Allah mempertemukan dua manusia ini
(Musa dan Khidir) untuk saling menunjukkan keberadaan ilmu yang dimiliki
keduanya. Nabi Musa dilambangkan memiliki ilmu dhahir, sedang Nabi
Khidir mempunyai ilmu bathin11

Dalam perjalan ini, Allah menyuruh kepada Nabi Musa supaya


membawa seekor ikan dalam sebuah keranjang. Lalu begitu saja dia
kehilangan ikan, disitulah Khidir berada.12

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir itu antara lain terekam dalam al-
Quran surat al-Kahfi ayat 60 – 82. Dalam kaitan ini, Nabi Musa AS dengan
proses pendidikan yang dialaminya mempunyai berbagai macam bentuk yang
unik dan terkadang sulit diteladani. Ilmu yang didapatkan beliau melalui
metode yang tergolong sulit untuk seorang utusan yang diberi mukjizat
keilmuan. Karena menurut Sardiman, kalau sudah terjadi suatu poses saling
berinteraksi, antara yang mengajar dan yang belajar sebenarnya berada pada
kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak masing-masing pihak
berada dalam suasana belajar.13

akan terjadi, bahkan terpengaruh dengan akselerasi zaman yang demikian mengglobal karena
terkesan pasif. Lihat Pemikiran, Samsul Nizal, Filsafat Pendidikan Islam ; Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hlm. 60-61
11
Ibnu Katsir Dimisqiy, Tafsir al-Quran al-Adhim, Juz 3, (Beiru Libanon : Dar al-fikr,
1997), Cet. III, hlm. 98
12
Musthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghi, Juz XI, (Semarang : Toha Putra, 1988), Cet.
I, hlm. 335
13
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1996), Cet. VI, 1996, hlm. 21
5

Dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengetahui dan


mengambil nilai-nilai pendidikan dari peristiwa-peristiwa dan keanehan-
keanehan yang dialami Nabi Musa AS ketika berguru pada Nabi Khidir dan
merumuskannya dalam sebuah tulisan yang terencanan dalam sebuah skripsi
yang berjudul : NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM KISAH NABI
MUSA – NABI KHIDIR (Analisis Surat al-Kahfi ayat 60 – 82).

B. Penegasan Istilah
Sebelum penulis menguraikan isi skripsi, maka akan diawali dahulu
dengan memberi penjelasan pengertian berbagai istilah yang ada dari judul
skripsi. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahpamahan interpretasi isi
keseluruhan skripsi.
Adapun penegasan istilahnya seperti tercantum sebagai berikut :
1. Nilai-nilai
Dalam encyclopedia of religion and Ethics, nilai dijelaskan sebagai
berikut : "That values are something supperoded upon the other qualities
of object by the mind, in order to express their relation to its purpose and
acts, and do not in here in objects"14

(Bahwa nilai adalah sesuatu yang ditambahkan pada kualitas suatu obyek
oleh pikiran, dalam rangka untuk mengekspresikan hubungannya dengan
tujuan dan tindakan, tetapi tidak merupakan bagian dari obyek tersebut).
Sedangkan menurut Chabib Thoha, nilai adalah esensi yang
melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia.15

Sementara Daryanto, mendefinisikan nilai-nilai adalah bentuk jamak dari

14
James Hastings, Encyclopedia of Religion and Ethic, Vol. XII, (New York : Charles
Scribner's Sons, tt) hlm. 584
15
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 62
6

nilai yang berarti sesuatu atau sifat-sifat penting yang berguna bagi
manusia dalam menjalani hidupnya.16

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai-nilai adalah banyak


sedikitnya isi, kadar, mutu.17 Yang dimaksud dalam tulisan ini adalah isi

atau kandungan dalam kisah tentang Nabi Musa – Nabi Khidir yang
terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 60-82.

16
Daryanto, S.S., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Apollo, 1998), hlm. 156
17
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 281
7

2. Pendidikan
Dalam istilah bahasa Inggris, pendidikan berasal dari kata
“ education” 18 artinya penggalian ilmu pengetahuan, ide, pendapat,

kepercayaan atau kemahiran yang diterima oleh masyarakat.19

Pendidikan dapat diartikan proses, perbuatan cara mendidik, yaitu


proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
latihan.20

Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan itu adalah usaha secara


sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si
anak kekedewasaan yang selalu diartikan mampu memikul tanggung
jawab moril dari segala perbuatannya.21

3. Kisah Nabi Musa – Nabi Khidir


Kata “ kisah” berasal dari akar kata-kata “ al-qash” yang berarti
mencari atau mengikuti jejak.22 Bentuk masdarnya adalah “ al-Qashash”

yang berarti periwayatan berita, peristiwa yang dikisahkan dan berita yang
berurutan.23

Maksud dari kisah Nabi Musa AS adalah kisah-kisah sejarah dalam


al-Quran surat al-Kahfi ayat 60 sampai dengan 82 yang mengisahkan
tentang proses belajar mengajar Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS,

18
Hadi Podo dan Joseph, J; Sulivan, Pandai Berbahasa Inggris : Kamus Ungkapan
Indonesia- Inggris, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 351
19
G. Kartasaputra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, op.cit., hlm. 121
20
Depdikbud, op.cit., hlm. 204
21
R. Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1982),
cet. III, hlm. 257
22
Manna al-Qathan, Mabahits fi Ulumul Qur’an, Muassasah ar-Risalah, (Beirut : 1996),
hlm. 305
23
Muhammad Abdurrahman, Mu’jizatun wa ‘Ajaibu Min al-Quranil Karim, (Beirut :
Darul Fikr), hlm. 159
8

yang memuat asas-asas pendidikan, tidak hanya pendidikan psikologis


tetapi aspek rasio juga24

Nabi Musa yang dimaksud dalam kisah ini adalah Musa bin Imran,
Nabi bagi bani Israil yang mempunyai mu’jizat yang nyata dan syari’at
yang terang.25

Setelah diuraikan satu demi satu kata di atas dapat disimpulkan


bahwa menurut penulis yang dimaksud dari skripsi ini yang berjudul
“ Nilai-nilai Pendidikan dalam Kisah Nabi Musa – Nabi Khidir” adalah
Esensi atau kandungan pendidikan dalam kisah Nabi Musa – Nabi Khidir
yang terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 60-82.

C. Pokok Permasalahan
Dari latar belakang masalah di atas ada beberapa permasalahan yang
akan dikaji dalam skripsi ini, permasalahan-permasalahan tersebut adalah :
1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan dalam pandangan pendidikan Islam?
2. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Kahfi
ayat 60 – 82?

D. Tujuan Penulisan Skripsi


Sesuai dengan permasalahan di atas maka tujuan penelitian yang
diharapkan dapat tercapai adalah :
1. Mengetahui nilai-nilai pendidikan dalam pandangan pendidikan Islam.
2. Mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Kahfi
ayat 60 – 82.

E. Telaah Pustaka
Kajian yang dibahas dalam skripsi ini dilakukan pada nilai-nilai
pendidikan yang terkandung dalam Q.S. al-Kahfi ayat 60-82. Dari sini
dibutuhkan kajian kepustakaan di mana sepengetahuan penulis belum ada

24
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Kasyfa Nata’amala Ma’al Qur’an, terj. Masykur
Hakim, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 68
25
Ahmad Musthafa al-Maraghiy, Juz. 13
9

yang mengkaji tentang nilai-nilai pendidikan dalam al-Quran terutama pada


kisah Nabi Musa - Nabi Khidir.
Maka dari itu, untuk mengetahui secara luas tentang tema tersebut
penulis terlebih dahulu akan menyebutkan dan menguraikan tentang buku-
buku atau karangan seseorang yang berkaitan dengan pokok bahasan yang
peneliti susun saat ini.
Buku karangan DR. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy yang berjudul
“Ma’a Qashashi as Sabiqin fi al-Quran” yang sudah diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia. Kisah-kisah al-Quran ; Pelajaran dari Orang-orang
Terdahulu” oleh Setiawan Budi Utomo, LC, MBA, M.Sc, buku ini berisi
tentang hikmah dan pelajaran yang terkandung dalam kisah-kisah al-Quran.
Terutama pada halaman 147 – 209 merupakan bab yang berkaitan
dengan pokok bahasan yang peneliti susun. Di sana dijelaskan secara
gamblang dan lengkap tentang siapa, kapan, serta dimana peristiwa yang
dialami oleh Nabi Musa dalam rangka berguru pada Nabi Khidir.
Sebagai bahan penunjang adalah buku-buku yang berkaitan dengan
pendidikan Islam, nilai-nilai pendidikan Islam serta tafsir-tafsir al-Qur'an
seperti al-Misbah, al-Maraghi, al-Azhar, al-Munir, Jalalain, dan Fidzila al-
Qur'an.
Bahasan utama yang disajikan dalam penelitian ini adalah tentang
nilai-nilai pendidikan dalam kisah Nabi Musa – Nabi Khidir yang didasarkan
pada karya-karya di atas dan didukung pula oleh literatur-literatur yang lain.

F. Metode Penulisan Skripsi


Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu sebuah penelitian
yang menggunakan prosedur untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.26

26
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 36
27
Muh. Nur Ikhwan, Menjelajah Dunia al-Quran, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 247
10

Sebagai pegangan dalam penulisan skripsi dan pengolahan data untuk


memperoleh hasil yang valid, penulis menggunakan beberapa metode dalam
penulisan skripsi ini, yaitu:
11

1. Sumber Data
a. Sumber data primer
Sumber data primer yang penulis gunakan adalah al-Qur'an terutama
ayat-ayat tentang nilai-nilai pendidikan dan tafsirnya. Sehingga
sejumlah kitab tafsir dipergunakan dalam kajian ini adalah bahan data
primer yang digunakan di dalamnya.
b. Sumber data sekunder
Sedangkan sumber data sekunder yang penulis gunakan adalah kitab-
kitab tafsir dan buku-buku yang berbicara tentang topik yang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan judul dan pokok
bahasan kajian ini.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode telaah kepustakaan. Yaitu meneliti buku
yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Adapun metode ini
sering disebut library research, yaitu suatu riset kepustakaan.
3. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah diperoleh berupa data
kepustakaan dan buku-buku yang berhubungan dengan tema yang dibahas
peneliti menggunakan metode tahlili (analitik).
Metode tahlili adalah suatu metode penafsiran yang berusaha
menjelaskan al-Quran dengan menguraikan berbagai seginya dan
menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al-Quran.27

Dalam metode tahlili ini seorang mufassir harus menafsiri ayat-


ayat al-Quran, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan
dalam mushaf. Mufassir menguraikan kosa kata lafadz surat sesuai dengan
urutan dalam mushaf serta menjelaskan arti yang dikehendaki sasaran
yang dituju dalam kandungan ayat dan mengemukakan kaitan antara ayat-

27
Muh. Nur Ikhwan, Menjelajah Dunia al-Quran, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 247
12

ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya yang merujuk
pada asbab al-nuzul.28

G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini dikemukakan; latar belakang masalah, penegasan
istilah, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan
skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi, dan sistematika
pembahasan.
BAB II : KAJIAN TEORITIK TENTANG SISTEM NILAI DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
Bab ini mengemukakan tentang; pendidikan Islam baik
pengertian maupun tujuan dan materi pendidikan.
Membicarakan tentang sistem nilai yang meliputi pengertian
nilai dan transformasi nilai.
BAB III : PANDANGAN MUFASSIR TENTANG NILAI-NILAI
PENDIDIKAN DALAM SURAT AL-KAHFI : 60 - 82
Bab ini terdiri dari ; lafadz dan terjemahnya asbab al-nuzul,
munasabah. Tafsir surat al-Kahfi : 60 – 82, isi kandungan ayat
60 – 82.
BAB IV : ANALISIS TENTANG NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM
NABI MUSA – NABI KHIDIR.
Bab ini berisi; analisis terhadap proses pendidikan yang
terkandung pada surat al-Kahfi ayat 60 – 82.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi; kesimpulan, saran-saran dan kata penutup

28
Ibid., hlm. 248

Anda mungkin juga menyukai