Anda di halaman 1dari 61

LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi kasus dengan judul “SEORANG LAKI-LAKI 60 TAHUN DENGAN


SUSPEK LEPTOSPIROSIS, GASTROENTERITIS AKUT, PNEUMONIA,
DAN IHD” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu syarat Program
Internsip Dokter Indonesia

pada :

Hari / Tanggal : ……………………………….. 2021

Dokter Pendamping Internsip Dokter Pembimbing

dr. Dewi Haryanthi dr. Restu Farida, Sp.PD, M.Kes,


FINASIM

Mengetahui,
Kepala RSAU dr. Siswanto

dr. Randy Zainubun, Sp. EM

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. B
No. RM : 046xxx
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Tanon Lor, Gedongan, Colomadu
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 5 Juni 2021

2. Keluhan Utama
Demam sejak 2 hari SMRS

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS dengan keluhan demam sejak 2 hari SMRS.
Demam dirasakan naik turun. Demam turun dengan pemberian obat
penurun panas tetapi beberapa jam kemudian demam naik kembali. Demam
diikuti keluhan nyeri kepala yang dirasakan di semua bagian kepala. Pasien
juga mengeluhkan pegal dan nyeri di seluruh tubuh. Nyeri dirasakan
terutama di betis. Keluhan dirasakan terus- menerus, tidak berkurang saat
istirahat.

Selain itu, pasien mengeluhkan diare kurang lebih 4x sejak 6 jam


SMRS. Konsistensi tinja cair, warna kekuningan, dengan sedikit ampas
makanan, tanpa disertai lendir dan darah, dan bau seperti tinja biasanya.
Volume tiap BAB kurang lebih setengah gelas belimbing. Keluhan diare
juga disertai muntah 1x dengan volume kurang lebih setengah gelas

2
belimbing berisi air dan makanan. Keluhan muntah darah (-).

Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 1 hari SMRS. Batuk dikatakan


disertai dahak berwarna putih. Pasien merupakan perokok aktif sejak
kurang lebih 30 tahun yang lalu. Dalam sehari pasien dapat menghabiskan
1 bungkus rokok. Keluhan pilek, nyeri tenggorokan, sesak napas, dan
nyeri dada disangkal oleh pasien.

Pasien mengaku saat ini tidak ada keluarga dengan keluhan demam
serupa, dan tidak mengetahui adanya tetangga di kawasan rumah dengan
keluhan serupa. Pasien mengatakan di daerah tempat tinggal pasien sering
hujan dan di sekitar rumah pasien terdapat genangan- genangan air. Pasien
juga mengatakan di rumah pasien terdapat banyak tikus, dan beberapa kali
pasien kerap mengejar tikus di selokan rumahnya untuk ditangkap. Pasien
menyangkal adanya mimisan gusi berdarah, ataupun bercak-bercak
kemerahan di tubuh.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat operasi : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat asma : disangkal

3
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang petani dan berobat menggunakan umum

7. Riwayat Kebiasaan
Merokok : (+) sehari habis 1 bungkus rokok
Minum alkohol : disangkal
Makan : 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk
dan sayur bervariasi.

II. ANAMNESIS SISTEMIK


Kepala : pusing (+), nyeri kepala (+)
Mata : pandangan kabur (-/-), pucat (-/-), pandangan dobel (-/-),
mata kuning (-/-)
Hidung : pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-)
Telinga : pendengaran berkurang (-/-), keluar cairan (-/-),
berdenging
(-/-)
Mulut : mulut kering (+), bibir biru (-), sariawan (-), gusi
berdarah
(-), bibir pecah - pecah (-)
Tenggorokan : sakit telan (-)
Respirasi : sesak (-), batuk (-), dahak (-), batuk darah (-), mengi(-)
Cardiovascular : nyeri dada (-), dada berdebar (-), pingsan (-), kaki
bengkak
(-), keringat dingin(-) , lemas (-)
Gastrointestinal : mual (+), muntah (+), perut terasa panas (-), kembung
(-),
sebah (-), muntah darah (-), BAB warna hitam (-), BAB
lendir darah (-), BAB mringkil (-)

4
Genitourinaria : BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)
Muskuloskeletal : lemas (-), kaku sendi (-)
Ekstremitas :
Atas : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka (-/-) terasa dingin
(-/-
)
Bawah : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka (-/-) terasa dingin
(-/-
), nyeri tekan pada betis (+/+)

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis,
GCS E4V5M6, kesan gizi baik
2. Tanda vital
 Tensi : 137/80 mmHg
 Nadi : 107 kali /menit
 Frekuensi nafas : 22 kali /menit
 SpO2 : 97%
 Suhu : 37.60C
3. Kulit : Warna coklat, turgor (+) kembali normal,
hiperpigmentasi (-), kering (-), teleangiektasis (-), ikterik
(-)
4. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut beruban, mudah rontok (-),
luka (-), atrofi m. temporalis(-)
5. Mata : Konjungtiva pucat (-/-), injeksi konjungtiva (+/+),
sklera ikterik (-/-), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3
mm), shadow test (-/-), edema palpebra (-/-), strabismus
(-/-)
6. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)

5
7. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-),
krepitasi (-), deviasi septum nasi (-)
8. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), gusi
berdarah (-), oral thrush (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-)
9. Leher : JVP R+2 cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
leher (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)

10. Thorax :
Jantung
- Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
- Palpasi : Ictus kordis tak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
Pulmo
- Inspeksi : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar. Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar,
- Palpasi : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
- Perkusi : sonor/sonor
- Auskultasi :Suara dasar vesikuler normal (+/+), suara
tambahan: wheezing (-/-), ronkhi basah kasar (-/-), krepitasi (-/-)
11. Abdomen
- Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding thorak,
ascites (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-),
caput medusae (-), ikterik (-),
- Auskultasi : Bising usus (+) meningkat, bruit hepar (-)
- Perkusi : timpani (+), pekak alih (-)

6
- Palpasi : supel, distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-),
hepar dan lien tidak teraba, undulasi (-)
12. Ekstremitas
_ _
_ _ __
_ _ Akral dingin Oedem
CRT < 2 detik, nyeri tekan M. Gastrocnemius (+/+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium Darah (5 Juni 2021)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
DARAH RUTIN
Hemoglobin 12.5 g/dl 12-15
Hematokrit 42 % 40 - 54
Leukosit 14.300↑ ribu/ul 4.0 – 10.0
Eritrosit 4.27 juta/ul 4.2 – 56.2
Trombosit 95.000↓ ribu/ul 150 – 450
MCV 93.7 /um 80.0 - 100.0
MCH 32.2 Pg 27 - 334
MCHC 34.5 g/dl 32 - 35
LIM 6.6↓ % 25 - 40
MID 15.8↑ % 1.0 – 15.0
Grand 77.6↑ % 50.0-70.0
IMUNOSEROLOGI
S. Tiphy O Pos Negatif
1/80
S. Tiphy H Pos Negatif
1/160
S. Tiphy A-O Pos Negatif
1/80
S. Tiphy B-O Pos Negatif
1/160
Covid-19 Antigen Negatif

7
KIMIA DARAH
Gula sewaktu 86↓ mg/dL <150
Creatinin 1.4↑ mg/dL 0.7-1.3
Ureum 38 mg/dL 17-43

2. EKG (5 Juni 2021)

Kesimpulan: Sinus takikardi, HR 110x/menit, normoaksis, zona transisi


di V3, T inverted di lead II, III, aVF (iskemik inferior)

8
3. Rontgen Thorax (5 Juni 2021)

Kesan :
-Bercak-bercak infiltrat paracardial dan perihiler kanan dan kiri
-Cor: bentuk dan ukuran dalam batas normal
-Sistema tulang baik
-Kedua sinus dan diafragma baik

Kriteria Faine yang dimodifikasi


A: Data Klinis Skor Skor Pasien
 Sakit kepala 2 2
 Demam 2 2
 Jika demam, suhu > 390C 2 -

 Injeksi konjungtiva (bilateral) 4 4

 Meningismus 4 -

 Mialgia (terutama otot betis) 4 4

9
10 -
 Injeksi konjungtiva +
meningismus + mialgia
 Ikterus 1 -
2 -
 Albuminuria atau retensi
nitrogen
2 -
 Hemoptisis atau dyspneu
B: Faktor Epidemiologis Skor Skor Pasien
 Curah hujan 5 5
 Kontak dengan lingkungan 4 4
terkontaminasi
 Kontak dengan binatang 1 1
C: Temuan Bakteriologis dan Skor Skor Pasien
Laboratorium
 Isolasi Leptospira pada kultur Diagnosa pasti
 PCR 25
 Serologi positif:
o ELISA IgM positif; SAT* 15
positif; rapid test lain***,
satu kali titer tinggi pada
MAT** (masing-masing
dari ketiga pemeriksaan
ini harus diberikan nilai)
Peningkatan titer MAT** 25
atau serokonversi (serum
yang berpasangan)

22
Total
Suspek
Leptospirosis

10
V. DIAGNOSIS
1. Suspek leptospirosis
2. Gastroenteritis akut
3. Pneumonia
4. IHD
VI. TATALAKSANA
1. Inf RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxone 2 gram/24 jam
3. Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
4. Inj. Dexamethasone 5 mg/8 jam
5. Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
6. Loperamid 3x2 mg
7. Sanmol 3x500 mg k/p
8. ISDN 1x5 mg
9. Dextral 3x1
10. OBH syrup 3xCI
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Qua ad sanam : dubia ad bonam

VIII. FOLLOW UP
Tanggal Follow up Terapi
5/6/2021 S : Demam (+), nyeri kepala (+), nyeri P:
di seluruh tubuh terutama di betis (+), Inf RL 20 tpm
muntah (+) 1x, BAB cair (+) 4x lendir Inj. Ceftriaxone 2 gram/24
(-) darah (-), batuk berdahak (+) jam
O : KU : sedang, CM Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
TD : 130/80 Inj. Dexamethasone 5

11
HR : 107x/ menit mg/8 jam
RR : 22x/ menit Inj. Ranitidin 50 mg/12
T : 37.5 0C jam
Mata : CA (-/-), SI (-/-), injeksi Loperamid 3x2 mg
konjungtiva (+/+) Sanmol 3x500 mg k/p
Mulut: sianosis (-), tonsil T1-T1 ISDN 1x5 mg
Cor : IC tidak tampak, IC tidak Dextral 3x1
kuat angkat, batas jantung kesan OBH syrup 3xCI
tidak melebar, BJ I-II regular,
normal
Pulmo : simetris, retraksi (-), SDV
(+/+), ST (-/-)
Abdomen : supel, timpani, BU (+)
meningkat, NT (-)
Ekstremitas: Akral dingin (-)
edema (-), CRT < 2 detik, nyeri
tekan M. Gastrocnemius (+/+)

A : Suspek leptospirosis
Gastroenteritis akut
Pneumonia
IHD
6/6/2021 S : Demam (+) naik turun, pusing (+), P:
nyeri di seluruh tubuh terutama di Inf RL 20 tpm
betis (+) berkurang, muntah (-), BAB Inj. Ceftriaxone 2 gram/24
cair (+) 3x lendir (-) darah (-), batuk jam
(+) Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
O : KU : baik, CM Inj. Dexamethasone 5
TD : 103/66 mg/8 jam
HR : 102x/ menit Inj. Ranitidin 50 mg/12
12
RR : 20x/ menit jam
T : 37 0C Loperamid 3x2 mg
Mata : CA (-/-), SI (-/-), injeksi Sanmol 3x500 mg k/p
konjungtiva (-/-) ISDN 1x5 mg
Mulut: sianosis (-), tonsil T1-T1 Dextral 3x1
Cor : IC tidak tampak, IC tidak OBH syrup 3xCI
kuat angkat, batas jantung kesan
tidak melebar, BJ I-II regular,
normal
Pulmo : simetris, retraksi (-), SDV
(+/+), ST (-/-)
Abdomen : supel, timpani, BU (+)
meningkat, NT (-)
Ekstremitas: Akral dingin (-)
edema (-), CRT < 2 detik, nyeri
tekan M. Gastrocnemius (+/+)

A : Suspek leptospirosis
Gastroenteritis akut
Pneumonia
IHD
7/6/2021 S : Demam (-), pusing (-), nyeri di P:
seluruh tubuh (-), muntah (-), BAB BLPL
cair (-), batuk (-)
O : KU : baik, CM Obat pulang:
TD : 136/82 Cefixime 2x100 mg
HR : 104x/ menit Ranitidin 2x50 mg
RR : 20x/ menit Metilprednisolon 3x4 mg
T : 36.1 0C Neurodex 1x1
Mata : CA (-/-), SI (-/-), injeksi Loperamid 3x2 mg k/p
13
konjungtiva (-/-) bila diare
Mulut: sianosis (-), tonsil T1-T1
Cor : IC tidak tampak, IC tidak
kuat angkat, batas jantung kesan
tidak melebar, BJ I-II regular,
normal
Pulmo : simetris, retraksi (-), SDV
(+/+), ST (-/-)
Abdomen : supel, timpani, BU (+)
meningkat, NT (-)
Ekstremitas: Akral dingin (-)
edema (-), CRT < 2 detik, nyeri
tekan M. Gastrocnemius (-/-)

A : Suspek leptospirosis
Gastroenteritis akut
Pneumonia
IHD

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Leptospirosis
1. Definisi

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


patogen spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali
diisolasi di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh
Adolf Weil tahun 1886. Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang
manusia dengan gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta
kerusakan ginjal (Watt, 2013).
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia
dan binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat
menjangkiti manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling sering
terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau
demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir (Setiati et al,
2014).
2. Epidemiologi

Leptospirosis diperkirakan merupakan zoonosis yang paling luas


tersebar di dunia. Kasus-kasus dilaporkan secara teratur dari seluruh dunia
kecuali Antartika dan terutama paling banyak di daerah tropis. Leptospira
biasa terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda,
kucing, marmut, atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai,
musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut
leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya (Setiati, 2014).

Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian


leptospirosis berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah
subtropis angka kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun.
Case fatality rate (CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan
berkisar antara <5%-30%. Angka ini memang tidak terlalu reliabel
15
mengingat masih banyak daerah di dunia yang angka kejadian
leptospirosisnya tidak terdokumentasi dengan baik. Selain itu masih
banyak kasus leptospirosis ringan belum didiagnosis secara tepat
(Kementerian Kesehatan, 2012).

International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai


negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia
untuk mortalitas (Setiati et al, 2014).
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta, dapat
menyebabkan penyakit infeksius yang disebut leptospirosis. Leptospira
merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15
μm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung
bakteri ini seringkali bengkok dan membentuk kait (Watt, 2013).
Leptospira memiliki ciri umum yang membedakannya dengan bakteri
lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5
lapis. Di bawah membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang
fleksibel dan helikal, serta membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini
adalah lokasi flagelnya, yang terletak diantara membran luar dan lapisan
peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela periplasmik. Leptospira
memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada setiap
ujung sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan
menggunakan mikroskop lapangan gelap (Watt, 2013).
Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan,
tumbuh paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH
7,4. Media yang bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya
protein, misalnya media Fletch atau Stuart. Lingkungan yang sesuai untuk
hidup leptospira adalah lingkungan lembab seperti kondisi pada daerah
tropis. Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi, Leptospira sp.
dibagi menjadi Leptospira interrogans yang merupakan spesies yang
16
patogen dan Leptospira biflexa yang bersifat tidak patogen (saprofit)
(Watt, 2013).

Gambar 1. Leptospira interrogans


4. Penularan

Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara,


yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar
bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang
lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa
penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak)
terutama bila kontak lama dengan air. Selain melalui kulit atau mukosa,
infeksi leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva. Selanjutnya
bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah dan
jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi
dan dimusnahkan oleh system kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari
infeksi (Day dan Edwards, 2010).

17
Faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam proses penularan
leptospirosis. Faktor lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik,
biologik, dan sosial. Salah satu pengaruh lingkungan sosial adalah mengenai
jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara
lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol
tikus, tukang sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara, pembersih
septic tank dan pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang. Beberapa
faktor risiko kejadian leptospirosis yaitu pekerjaan yang melibatkan kontak
tubuh dengan air, keberadaan sampah di dalam rumah, keberadaan tikus di
dalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan
mandi/cuci di sungai (Setiati et al, 2014).

Gambar 2. Siklus penularan leptospirosis


5. Patogenesis

Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir,


kemudian memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara
luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologi baik secara
selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk
antibodi spesifik. Walaupun demikian, beberapa organisme ini masih
bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam
ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted
18
tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin (Setiati et al, 2014).

Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai


beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan
fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari
darah setelah terbentuknya agglutinin (Setiati et al, 2014)

6. Patologi

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan


toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada
beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan
endotel kapiler (Setiati et al, 2014).

Organ yang sering terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal, hati, otot,
dan pembuluh darah. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke
interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat,
vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas
kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak
pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta
nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa
tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan
patologi berupa nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia
sel Kupffer (Amin, 2016).

19
Gambar 3. Leptospirosis pathway dan gambaran klinis

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril
umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis. Secara khas
penyakit ini bersifat bifasik, yaitu fase leptospiremia/ septikemia dan fase
imun.
a. Fase leptospiremia atau septikemia
Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-rata
10 hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2
hari atau bahkan bisa memanjang sampai 30 hari. Fase ini ditandai
adanya demam yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit
kepala biasanya di frontal, mialgia terutama pada paha, betis, dan

20
pinggang, ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion, dan
tampak lemah.
Demam tinggi dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum
mengalami penurunan suhu tubuh. Conjunctival suffusion merupakan
tanda khas yang biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4 sakit.
Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau cairan
serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang negatif
sampai setidaknya 5 hari setelah onset gejala. Pada fase ini mungkin
dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi splenomegali kurang
umum dijumpai. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan adanya
penurunan jumlah platelet dan trombositopeni purpura. Pada
urinalisis ditemukan adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin
biasanya masih dalam batas normal sampai terjadi nekrosis tubular
atau glomerulonefritis (Setiati et al, 2014).
b. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan
dengan timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita . Pada kasus
yang ringan (mild case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan
gejala yang minimal, sementara pada kasus yang berat (severe case)
ditemukan manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal
yang dominan. Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala
meningitis yang ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku
kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis sebagian
besar timbul sebagai meningitis aseptik. Dapat timbul demam yang
mencapai suhu 400C disertai menggigil dan kelemahan umum.
Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot
kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis,
uremia, ikterik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai komplikasi,
antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, dan neuropati perifer.
Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua
mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi segera

21
disertai jaundice dan perdarahan pada kulit, membrana mukosa,
bahkan paru. Selain itu ini sering juga dijumpai adanya hepatomegali,
purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria, syok, dan miokarditis
juga bisa terjadi dan berhubungan dengan mortalitas penderita
(Setiati et al, 2014).

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan


(nonikterik) dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari
leptospirosis berat.

a. Leptospirosis ringan (non-ikterik)

Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik,


dan ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di
masyarakat. Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan
virallike illness, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri
kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai
nyeri retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi karena
adanya kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) pada
sebagian besar kasus meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat
membantu penegakkan diagnosis klinik leptospirosis. Dapat juga
ditemukan nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati, splenomegali,
rash makulopapular, kelainan mata (uveitis, iridosiklitis), meningitis
aseptik dan conjunctival suffusion.

Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan


nyeri tekan di daerah betis. Gambaran klinis terpenting leptospirosis
non-nikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga
sering terlewatkan diagnosisnya. Sebanyak 80-90% penderita
leptospirosis anikterik akan mengalami pleositosis pada cairan
serebrospinal selama minggu ke-2 penyakit dan 50% diantaranya
akan menunjukkan tanda klinis meningitis. Karena penderita
memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau memberikan

22
riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang salah
didiagnosis sebagai kelainan akibat virus.

Pasien dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya tidak


berobat karena keluhan bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien,
penyakit ini bisa sembuh sendiri (self-limited) dan biasanya gejala
kliniknya menghilang dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Karena
gambaran kliniknya mirip dengan penyakit demam akut yang lain,
maka pada setiap kasus dengan keluhan demam akut, leptospirosis
anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding,
terutama di daerah endemik leptospirosis seperti Indonesia (Amin,
2016).

Gambar 4. conjunctival suffusion pada leptospirosis (Khurana et al, 2020)


b. Leptospirosis berat (ikterik)

Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan


sebagai Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat
terlihat pada setiap serotipe leptospira yang lain. Manifestasi
leptospirosis yang berat memiliki angka mortalitas sebesar 5-15%.
Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil. Tanda
khas dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, anemia, azotemia,
gangguan kesadaran, serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6
hari setelah onset gejala dan dapat mengalami perburukan dalam
minggu ke-2. Manifestasi perdarahan yang paling sering adalah
purpura, petekie, epistaksis, perdarahan gusi, dan hemoptisis minor.
Kematian dapat terjadi akibat perdarahan subarachnoid dan

23
perdarahan masif saluran cerna. Adanya perdarahan konjungtiva
sangat berguna untuk diagnostik, dan jika disertai skera ikterik dan
injeksi konjungtiva, merupakan temuan yang sangat sugestif untuk
leptospirosis. Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama
leptospirosis berat (Amin, 2016).
8. Diagnosis
a. Diagnosis Klinis
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat
kontak terhadap binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin
binatang (tinggal di daerah banjir, berjalan kaki di banjir atau air yang
terkontaminasi, berenang di air banjir atau menelan air yang
terkontaminasi dengan atau tanpa luka), disertai dengan setidaknya 2
dari gejala berikut: demam, menggigil, mialgia, nyeri tekan betis,
conjunctival suffusion, nyeri kepala, ikterus, atau oliguria. Selain itu
penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan
riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya (Setiati et al, 2014)

b. Diagnosis Laboratorium

Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan


laboratorium. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa
dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran
neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Trombositopenia
terdapat pada 50% kasus. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria
dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat
tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa
meningkat bila terjadi komplikasi pada ginjal (Setiati et al, 2014)
Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan netropenia,
terutama selama fase awal penyakit. Anemia tidak biasa ditemukan
pada leptospirosis anikterik, tetapi dapat terjadi anemia berat pada
sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum dapat sedikit
meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat secara ekstrim

24
pada sindrom Weil (Toyokawa et al, 2011).

1) Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di
mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan
mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen
pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin (Toyokawa et al,
2011).
2) Kultur
Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dan cairan
serebrospinal pada hari ketujuh hingga kesepuluh sakit, dan dari
urin selama minggu kedua dan ketiga. Kultur dan isolasi masih
menjadi baku emas, dapat mengidentifikasi serovar, tetapi
membutuhkan media khusus dengan waktu inkubasi beberapa
minggu dan membutuhkan mikroskop medan gelap, sehingga tidak
sesuai untuk perawatan individual (Toyokawa et al, 2011).
3) Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi
intraperitoneal pada marmut muda. Dalam beberapa hari dapat
ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini
mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ
(Toyokawa et al, 2011).
4) Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test
merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening.
Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi antibodi terhadap
Leptospia interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT)
yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi
tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi,
kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan menetap

25
selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan
menurun (Toyokawa et al, 2011).

Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga


dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada
manusia dan hewan. Oleh karena itu membutuhkan sejumlah strain
(battery of strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping
sepasang sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari
sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi
serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu
atau lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik
leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160) (Toyokawa et al, 2011).
Mengingat sulitnya konfirmasi diagnosis leptospirosis, dibuatlah
sistem skor yang mencakup parameter klinis, epidemiologis, dan
laboratorium (Tabel 1). Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi,
diagnosis presumtif leptospirosis dapat ditegakkan jika:
(i) Skor bagian A atau bagian A + bagian B = 26 atau lebih;
atau
(ii) Skor bagian A + bagian B + bagian C = 25 atau lebih

Skor antara 20 dan 25 menunjukkan kemungkinan diagnosis


leptospirosis tapi belum terkonfirmasi (Kumar, 2013).

26
Tabel 1. Kriteria Faine yang dimodifikasi (Kumar, 2013)

9. Tatalaksana

27
Antibiotik hendaknya diberikan pada semua pasien leptospirosis pada
fase penyakit mana pun. Pada kasus ringan, obat terpilih adalah doksisiklin.
Obat alternatif adalah amoksisilin dan azitromisin dihidrat. Pasien sakit
berat hendaknya dirawat inap. Antibiotik terpilih pada leptospirosis sedang-
berat adalah penicillin G. Obat alternatif diantaranya sefalosporin generasi
ketiga (seftriakson,sefotaksim) dan azitromisin dihidrat parenteral.
Antibiotik harus diberikan selama 7 hari, kecuali azitromisin dihidrat selama
3 hari (Gulati, 2012).
Pada leptospirosis sedang berat, terapi suportif dengan perhatian pada
keseimbangan cairan dan elektrolit serta fungsi paru dan jantung sangat
penting. Pasien yang menderita gagal ginjal diterapi dengan hemodialisis.
Transfusi darah dan produk darah mungkin diperlukan pada perdarahan
berat. Transfusi trombosit dianjurkan jika trombosit kurang dari 50
ribu/mm3 atau turun bermakna dalam waktu singkat (Gulati, 2012).
Tabel 2. Dosis rekomendasi antibiotik untuk leptospirosis (Kumar, 2013)

10. Komplikasi

Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya adalah


gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari kasus),
gangguan respirasi akut (38% dari kasus), gangguan kardiovaskuler akut
(33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25% dari kasus) (Watt, 2013).
11. Prognosis

Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus,
angka kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut

28
mencapai 30-40% (Setiati et al, 2014).
12. Pencegahan
Pencegahan infeksi menggunakan doksisiklin 200 mg per minggu dapat
bermanfaat pada orang berisiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat,
misalnya anggota militer dan pekerja agrikultur tertentu. Antibiotik dimulai
1 sampai 2 hari sebelum paparan dan dilanjutkan selama periode paparan
(Watt, 2013).

Memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau
tanah yang terkontaminasi leptospira bagi para pekerja yang mempunyai
risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja
laboratorium, dokter hewan. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot,
masker, sarung tangan (Setiati et al, 2014).

Melindungi sanitasi air minum penduduk. Dalam hal ini dilakukan


pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinasi untuk
mencegah invasi leptospira.

B. Gastroenteritis Akut
1. Definisi

Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana terdapat inflamasi pada


bagian mukosa dari saluran gastrointestinal ditandai dengan diare dan
muntah (How, 2010). Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang
meningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi
feses yang lebih lembek atau cair (kandungan air pada feses lebih banyak
dari biasanya yaitu lebih dari 200 gram atau 200ml/24jam) (Dennis et al,
2016). Gastroenteritis akut adalah diare dengan onset mendadak dengan
frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari disertai dengan muntah dan
berlangsung kurang dari 14 hari (Setiati et al, 2014).
2. Epidemiologi

Gastroenteritis akut merupakan masalah yang banyak terjadi pada Negara

29
berkembang dibanding dengan negara maju yang tingkat higenitas dan
sanitasi lebih baik (How, 2010). Menurut data dari World Health
Organization (WHO) dan UNICEF, terdapat 1,87 juta orang meninggal
akibat kasus gastroenteritis setiap tahunnya di seluruh dunia (Anon, 2017).
Secara global, diperkirakan terdapat 179.000.000 insiden gastroenteritis
akut pada orang dewasa tiap tahunnya dengan angka pasien yang dirawat
inap sebanyak 500.000 dan lebih dari 5000 pasien mengalami kematian. Di
amerika serikat setidaknya 8.000.000 dari pasien gastroenteritis akut yang
berobat ke dokter dan lebih dari 250.000 pasien dirawat di rumah sakit
menurut data dari The American Journal of Gastroenterology (Setiati et al,
2014).
Sedangkan menurut hasil survey di Indonesia, insiden dari gastroenteritis
akut akibat infeksi mencapai 96.278 insiden dan masih menjadi peringkat
pertama sebagai penyakit rawat inap di Indonesia, sedangkan angka
kematian pada gastroenteritis akut (Case Fatality Rate) sebesar 1,92%
(Depkes RI, 2012).
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Gastroenteritis akut bisa disebabkan oleh berbagai faktor, menurut World
Gastroenterology Organisation, ada beberapa agen yang bisa menyebabkan
terjadinya gastroenteritis akut yaitu agen infeksi dan non-infeksi. Lebih dari
90 % diare akut disebabkan karena infeksi, sedangkan sekitar 10 % karena
sebab lain yaitu:
a. Faktor Infeksi
1) Virus
a) Rotavirus
Merupakan salah satu penyebab terbanyak dari kasus rawat
inap di rumah sakit dan mengakibatkan 500.000 kematian di
dunia tiap tahunnya, biasanya diare akibat rotavirus derajat
keparahannya diatas rerata diare pada umumnya dan
menyebabkan dehidrasi. Pada anak-anak sering tidak terdapat
gejala dan umur 3 – 5 tahun adalah umur tersering dari infeksi

30
virus ini.
b) Human Caliciviruses
c) Adenovirus

2) Bakteri
Tabel 3. Sumber yang Berpotensi Tercemar dan Menyebabkan
Gastroenteritis akut (Setiati et al, 2014)

3) Parasitic Agents
Infeksi beberapa jenis protozoa seperti Cryptosporidium parvum,
Giardia L, Entamoeba histolytica, Cyclospora cayetanensis jarang
terjadi namun sering dihubungkan dengan traveler dan gejalanya
sering tak tampak. Dalam beberapa kasus juga dinyatakan infeksi dari
cacing seperti Stongiloide stecoralis, Angiostrongylus C., Schisotoma
Mansoni, S. Japonicum juga bisa menyebabkan gastroenteritis akut.
b. Faktor Non-Infeksi
1) Malabsorpsi/Maldigesti

Kurangnya penyerapan seperti: karbohidrat, lemak, asam amino,


protein, vitamin dan mineral.
2) Imunodefisiensi
3) Terapi Obat

Konsumsi obat- obatan seperti antibiotik, antasida dan

31
kemoterapi juga bisa menyebabkan gastroenteritis akut.
4) Lain-lain
Tindakan gastrektomi, terapi radiasi dosis tinggi, sindrom
Zollinger-Ellison, neuropati diabetes sampai kondisi psikis juga dapat
menimbulkan gastroenteritis akut.

4. Patogenesis

Proses terjadinya gastroenteritis akut karena infeksi melibatkan faktor


penyebab infeksi atau kausal (agent) dan faktor pertahanan tubuh pejamu
(host). Faktor kausal meliputi kemampuan dari agen penyebab diare untuk
menembus pertahanan tubuh pejamu, termasuk dalam hal ini adalah jumlah
kuman yang berinokulasi, bakteri seperti Shigella, Eschericia coli tipe
enterohemoragika. Entamoeba hanya membutuhkan kolonisasi 10-100
bakteria untuk dapat menyebabkan infeksi, sementara kuman Salmonella
membutuhkan waktu untuk tumbuh lebih banyak dalam makanan yang
terkontaminasi sebelum akhirnya mencapai jumlah yang bermakna untuk
dapat menyebabkan infeksi (Setiati et al, 2014).

Selain jumlah kuman, kemampuan untuk menempel pada mukosa saluran


cerna dan kemampuan untuk berkompetisi dengan flora normal serta
membentuk koloni di mukosa juga merupakan faktor kausal yang
menyebabkan penyakit. Faktor lainnya adalah kemampuan untuk
memproduksi toksin seperti enterotoksin, sitotoksin, dan neurotoksin.
Enterotoksin yang paling banyak dijumpai adalah pada kolera, dimana
toksin yang dikeluarkan akan berikatan dengan reseptor di permukaan
enterosit yang akan meningkatkan siklik AMP di mukosa saluran cerna dan
akhirnya meningkatkan pelepasan Cl- dan menurunnya absorpsi Na+,
sehingga menyebabkan diare. Demikian pula dengan E.coli yang
memproduksi enterotoksin (LT atau ST) menyebabkan diare dengan

32
mekanisme yang hampir sama namun melalui aktivasi siklik GMP (Setiati
et al, 2014).

Sitotoksin seperti yang dihasilkan oleh Shigella dysentriae, Clostridium


difficile mampu merusak mukosa saluran cerna dan menyebabkan diare
berdarah bahkan sindrom hemolitik umerikum (Setiati et al, 2014).

Sedangkan yang termasuk dalam neurotoksin adalah Bacillus cereus atau


stafilococcus yang biasanya menyebabkan muntah karena toksin yang
bekerja di sistem saraf pusat (Setiati et al, 2014).

Sejumlah pertahanan tubuh pejamu yang dapat menghindari terjadinya


diare adalah flora normal saluran cerna, keasaman lambung, motilitas usus,
juga status imun pejamu. Mucosal immunity merupakan pertahanan pertama
yang penting terhadap berbagai pathogen penyebab diare (Setiati et al,
2014).

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gastroenteritis akut bisa bersifat inflamasi atau
noninflamasi. Diare noninflamasi bersifat sekretorik (watery) bisa
mencapai lebih dari 1 liter per hari. Biasanya tidak disertai dengan nyeri
abdomen yang hebat dan tidak disertai darah atau lendir pada feses.
Demam dapat dijumpai bisa juga tidak. Gejala mual dan muntah bisa
dijumpai. Pada diare tipe ini penting diperhatikan kecukupan cairan
karena pada kondisi yang tidak terpantau dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan yang mengakibatkan syok hipovolemik (Setiati et al,
2014).
Diare yang bersifat inflamasi bisa berupa sekretori atau disentri.
Biasanya disebabkan oleh patogen yang bersifat invasif. Gejala mual,
muntah, disertai dengan demam, nyeri perut hebat dan tenesmus, serta
feses berdarah dan berlendir merupakan gejala yang dapat dijumpai.
Tabel 4. Manifestasi Klinis Gastroenteritis Akut karena Infeksi

33
Berdasarkan Kausal (Setiati et al, 2014)

6. Diagnosis
a. Anamnesis
1) Tanyakan gejala dan tanda yang sesuai dengan kemungkinan
penyebab (non inflamasi atau inflamasi). Onset, durasi, tingkat
keparahan, dan frekuensi diare harus dicatat, dengan perhatian
khusus pada karakteristik feses (misalnya, berair, berdarah,
berlendir, purulen). Pasien harus dievaluasi untuk tanda-tanda
mengetahui dehidrasi, termasuk kencing berkurang, rasa haus,
pusing, dan perubahan status mental (Barr dan Smith, 2017).
2) Adanya kontak dengan sumber yang berpotensi tercemar patogen
penyebab diare
3) Riwayat perjalanan, aktivitas seperti berenang, kontak dengan orang
yang sakit serupa, tempat tinggal, juga pola kehidupan seksual
4) Adanya riwayat pengobatan dan diketahui penyakit lain seperti
infeksi HIV
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara general tidak mengarah ke diagnosis secara
spesifik namun lebih untuk menilai status hidrasi pasien. Tanda
dehidrasi pada dewasa: nadi > 90x/menit, hipotensi postural, lidah
kering, mata cekung, penurunan turgor kulit (Setiati et al, 2014).
Pemeriksaan abdomen penting untuk menilai ada tidaknya tanda
bahaya seperti nyeri perut hebat terutama pada pasien usia lanjut atau
dengan kondisi imun menurun. Pemeriksaan rektal dapat membantu

34
dalam menilai adanya darah, nyeri dubur, dan konsistensi feses (Barr
dan Smith, 2017).
c. Pemeriksaan Penunjang

1) Darah:

- Darah perifer lengkap

- Ureum, kreatinin

- Serum elektrolit: Na+, K+, Cl-

- Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan


keseimbangan asam basa (pernafasan Kusmaull)
- Immunoassay: pemeriksaan toksin bakteri (C. difficile), antigen
virus (rotavirus), antigen protozoa (Giardia, E. histolytica).
2) Feses:

- Feses lengkap (mikroskopis: peningkatan jumiah lekosit di feses


pada diare inflamasi; parasit: amoeba bentuk tropozoit, hifa pada
jamur)
- Biakan dan resistensi feses (colok dubur)

Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam penatalaksanaan diare


akut karena infeksi, karena dengan tata cara pemeriksaan yang terarah
akan sampai pada terapi definitif (Setiati et al, 2014).
7. Tatalaksana
a. Rehidrasi Cairan
Pada keadaan awal dapat diberikan sediaan cairan atau bubuk hidrasi
peroral setiap kali diare. Komposisi larutan bubuk hidrasi peroral adalah
3,5g NaCl; 2,5g Na bikarbonat; 1,5g KCl; 20 g glukosa per liter air.
Pemberian hidrasi melalui cairan infus dapat menggunakan sediaan
berupa Ringer Laktat ataupun NaCl isotonis. Koreksi bikarbonas ataupun
kalium perlu diperhitungkan secara tersendiri, mengingat kedua cairan
tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan kalium ataupaun mengatasi
asidosis apabila terjadi pada pasien.
35
Jumlah cairan yang akan diberikan dapat menggunakan perhitungan
skor Daldiyono atau disesuaikan dengan banyaknya cairan yang keluar
dari tubuh yang dapat dinilai melalui perhitungan balans cairan saat
pasien dirawat.
Rehidrasi harus dicapai secepat mungkin. Berdasarkan skor
Daldiyono, rehidrasi awal dicapai optimal dalam 2 jam pertama. Setelah
itu pemberian cairan disesuaikan dengan perhitungan kebutuhan cairan
berdasarkan kehilangan pada saat 2 jam pertama tersebut. Bila tidak ada
syok atau skor Daldiyono kurang dari 3, maka cairan dapat diberikan per
oral. Pemberian cairan selanjutnya adalah sesuai perhitungan balans
pasien (Setiati et al, 2014).
Tabel 5. Skor Daldiyono

Rasa haus/muntah 1
Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1
Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2
Frekuensi nadi > 120 x/menit 1
Kesadaran apatis 1
Kesadaran somnolen, sopor, atau koma 2
Frekuensi napas > 30 x/menit 1
Facies cholerica 2
Vox cholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer’s woman’s hand 1
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur > 60 tahun -2

Kebutuhan cairan = x 10% x KgBB x 1 liters


b. Pengaturan Asupan Makanan
Pemberian asupan makanan diberikan secara normal, sebaiknya
dalam porsi kecil namun dengan frekuensi yang lebih sering. Pilih
36
makanan yang mengandung mikronutrien dan energi (pemenuhan
kebutuhan kalori dapat diberikan bertahap sesuai toleransi pasien).
Menghindari makanan atau minuman yang mengandung susu karena
dapat terjadi intoleransi laktosa, demikian juga makanan yang pedas
ataupun mengandung lemak yang tinggi (Setiati et al, 2014) .

c. Pemberian Terapi Simtomatik


Pemberian antimotilitas seperti loperamid dengan dosis 4-6 mg/hari
pada dewasa diutamakan dapat diare yang dialami oleh wisatawan bila
bersifat ringan atau sedang, serta tidak ada kecurigaan suatu diare
inflamasi. Sebaiknya dihindari pada diare yang disertai darah dan
merupakan kontraindikasi pada diare yang disertai dengan nyeri perut.
Pemberian antisekretori seperti bismuth subsalisilat dapat diberikan
dengan dosis 2 tablet yang boleh diulang bila masih ada diare, tidak lebih
dari 8 tablet per hari. Pemberian obat adsorbens seperti attapulgite,
activated charcoal dapat diberikan (Setiati et al, 2014).
d. Pemberian Terapi Definitif

Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare


akut infeksi, karena 40% kasus diare sembuh kurang dari 3 hari tanpa
pemberian antibiotik.
Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda diare
infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses, mengurangi
ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa
pada diare infeksi, diare pada pelancong dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotic dapat secara empiris, tetapi
antibiotic spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman
(Amin, 2015).
Tabel 6. Terapi Antibiotik Empiris (Amin, 2015)

37
Organisme Antibiotik Pilihan Antibiotik Pilihan Kedua
Pertama
Campylobacter Ciprofloxacin 2x500mg Azithromycin 2x500mg
selama 3 hari selama 3-5 hari
Erytromycin 2x500mg

Shigella atau Ciprofloxacin 2x500mg Ceftriaxone 1gram IM/IV


Salmonela spp. selama 3-5 hari perhari selama 5 hari

Vibrio Cholera Tetracycline 4x500mg Ciprofloxacin 1gram oral,


selama 3 hari dosis tunggal
Doxycycline 300mg oral, Erythromycin 4x250mg
dosis tunggai selama 3 hari

Traveler’s diarrhea Ciprofloxacin 2x500mg TMP-SMX DS oral 2 kali


sehari, selama 3 hari

Clostridium Metronidazole 4x250-500mg Vancomycin 4x125mg


difficile selama 7-14 hari, oral atau selama 7-14 hari
IV

Amebiasis Metronidazole 3x750mg


selama 5-10 hari

Giardiasis Metronidazole 3x250-750mg


selama 7-10 hari

Eschericia Cotrimoxazole 2x960mg Ciprofloxacin 2x500mg


coli selama 3 hari selama 3 hari

38
8. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera,
kehilangan cairan terjadi secara mendadak sehingga cepat terjadi syok
hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui feses dapat mengarah terjadinya
hipokalemia dan asidosis metabolic (Amin, 2015).
Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok
hipovolemik sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular
akut ginjal dan selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat
juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat, sehingga
rehidrasi optimal tidak tercapai (Amin, 2015).
Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama karena
EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolitik, dan
trombositopeni 12-14 hari setelah diare.
Sindrom Guillaine-Barre merupakan komplikasi, khususnya setelah
terinfeksi C. jejuni; 20-40% pasien Guillain-Barre menderita infeksi
C.jejuni beberapa minggu sebelumnya.
Artritis pasca-infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit
diare karena Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.
9. Prognosis

Pada pasien dewasa yang tidak mengalami keterlambatan penanganan,


sebagian besar kasus memiliki prognosis yang baik. Kematian bisa terjadi
terutama pada kasus yang terjadi pada usia lanjut atau pasien dengan kondisi
imunokompromais dengan status dehidrasi berat saat awal didiagnosis atau
dengan penyulit (Setiati 2014).
10. Pencegahan

Pencegahan gastroenteritis akut meliputi (Setiati, 2014):

39
- Menjaga kebersihan air, sanitasi makanan dari vektor penyebar kuman
seperti lalat, kebiasaan mencuci tangan sebelum kontak dengan
makanan.
- Mengkonsumsi makanan yang dimasak secara matang.

C. Pneumonia
1. Definisi

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan


parenkim paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat. Pnemunonia dibedakan menjadi dua
yaitu pneumonia kominiti dan pneumonia nosokomial. Pneumonia
komunitas adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit,
sedangkan pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari
48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit (Setiati, 2014).
Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling
sering ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya
pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi
pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi
(lobar pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan
intertisial pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga sering
diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti
pneumonia rekurens (pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan
penyakit paru kronik), pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan

40
pneumonia pada gangguan imun (pneumonia pada pasien tranplantasi
organ, onkologi, dan AIDS) (Dunn, 2007).
2. Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti


bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan
pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan
beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
komunitas adalah bakteri gram negatif.
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan
nosokomial (Wilson, 2012):
a. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli,
Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus, anaerob oral.
3. Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan
yang berinteraksi satu sama lain (Setiati, 2014). Dalam keadaan sehat, pada
paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini
disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Adanyanya bakteri di
paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit (Mandell, 2007).
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi
langsung; 2) Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4)
Kolonosiasi di permukaan mukosa.2 Dari keempat cara tersebut, cara yang
terbanyak adalah dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus,

41
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria
dengan ukuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat mencapai brokiolus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal
ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur
(50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi
bakteri yang sanagt tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil
sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi
dan terjadi pneumonia (Setiati, 2014).

Gambar 4. Patogenesis pneumonia oleh bakteri pneumococcus (Mandell,


2007)
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel
PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis
sebelum terbentuk antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan
alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis
sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian terjadi proses
fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka
akan nampak empat zona (Gambar 4) pada daerah pasitik parasitik terset

42
yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan
edema; 2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN
dan beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey
hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah
PMN yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi
dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
4. Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum
berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan
retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, pleural friction rub (Setiati et al, 2014).
5. Diagnosis
Manifestasi klinis gastroenteritis akut bisa bersifat inflamasi atau
noninflamasi. Diare noninflamasi bersifat sekretorik (watery) bisa
mencapai lebih dari 1 liter per hari. Biasanya tidak disertai dengan nyeri
abdomen yang hebat dan tidak disertai darah atau lendir pada feses.
Demam dapat dijumpai bisa juga tidak. Gejala mual dan muntah bisa
dijumpai. Pada diare tipe ini penting diperhatikan kecukupan cairan
karena pada kondisi yang tidak terpantau dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan yang mengakibatkan syok hipovolemik (Setiati et al,
2014).

Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang


lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks
terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih

43
gejala di bawah ini:

a. Batuk-batuk bertambah

b. Perubahan karakteristik dahak/purulen

c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam


d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara
napas bronkial dan ronki

e. Leukosit > 10.000 atau < 4500 (Luttfiya, 2010)

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat


dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT).2

Gambar 5. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT

PSI membagi kelompok CAP menjadi lima kelas berdasarkan risiko


mortalitas yang dimiliki pasien, dimana kelas I-III merupakan pasien dengan
mortalitas rendah, kelas IV merupakan pasien dengan mortalitas sedang dan
kelas V merupakan pasien dengan mortalitas tinggi (Wexner, 2017). PSI
juga digunakan untuk menentukan pasien akan diterapi dengan rawat jalan
atau rawat inap, seperti yang tertera pada tabel 7.

44
Tabel 7. Derajat risiko dan rekomendasi perawatan menurut PORT/PSI

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik dan
intertisial serta gambaran kavitas (Setiati, 2014).
b. Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul,
Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula
ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan
LED meningkat (Luttfiya, 2010).
c. Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan kultur


darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan
koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus (Luttfiya, 2010).
d. Analisa Gas Darah

Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada beberapa kasus,


tekanan parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut
menunjukkan asidosis respiratorik (Luttfiya, 2010).

45
7. Komplikasi

Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan


komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien
risiko tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bacteremia
(sepsis), abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas. 15 Bakteremia dapat
terjadi pada pasien jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam
aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ lain, yang berpotensi
menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia pneumokokkus
dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi ektrapulmoner berupa
meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan empiema. 3,15
Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura
atau biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi pleura pada pneumonia
umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura yang
disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan
sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusipleura eksudatif yang
mengandung mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah
disebut empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage
menggunakan chest tube atau dengan pembedahan (Djojodibroto, 2013),
8. Penatalaksanaan

Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan


antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman
penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan
antibiotik empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi
pasien (Setiati, 2014).
Terapi antibiotika empiris menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan
pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil
mikrobiologis umumnya tidak tersedia selama 12-72 jam. Maka dari itu
membedakan jenis pneumonia (CAP atau HAP) dan tingkat keparahan
berdasarkan kondisi klinis pasien dan faktor predisposisi sangatlah penting,

46
karena akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang akan diberikan
kepada pasien (Jeremy, 2007).

Tindakan suportif meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8


kPa (SaO2 > 92%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan
stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya
tekanan jalan napas positif kontinu (continous positive airway pressure),
atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Bila demam
atau nyeri pleuritik dapat diberikan antipiretik analgesik serta dapat diberika
mukolitik atau ekspektoran untuk mengurangi dahak (Setiati, 2014).

Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor


sensitivitas bakteri terhadap antibiotika, keadaan tubuh pasien, dan faktor
biaya pengobatan (Nuryasni, 2009) Pada infeksi pneumonia (CAP dan
HAP) seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara sebelum
diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan
pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang
paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih
antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya tidak dibenarkan
karena hasil terapi tidaklebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika
berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan
antibiotika berspektrum luas (Mandell, 2007).
Tabel 8. Rekomendasi antibiotika empiris pada CAP
Terapi pasien rawat jalan
1. Sebelumnya sehat dan tidak menggunakan antibiotik
dalam 3 bulan sebelumnya
a. Makrolid
b. Doxicilin
2. Ada komorbid (penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, alkhol,
keganasan, asplenia, obat immunospresi, antibiotik 3 bulan
sebelumnya)
a. Fluoroquinolon respirasi (moxifloxacin,

47
gemifloxacin/ levofloxacin 750 mg)
b. þ lactam + makrolid
3. Pada daerah dengan angka infeksi tinggi dan dengan resisitensi
tinggi makrolid terhadap S.pneumoniae , dipertimbangkan
antibiotik sesuai poin 2.
Rawat inap tidak di ICU
Fluoroquinolon respirasi atau þ lactam + makrolid
Rawat inap di ICU
þ lactam (cefotaxim, ceftriaxon, atau ampicilin sulbaktam) +
azitromisin atau floroquinolon respirasi

Bila diperkirakan pseudomonas


- þ lactam antipseudomonas (piperasilin-tazobactam,
cefepime, imipenem atau merpenem) + ciprofloxasin
atau levofloxacin (750 mg)
atau
- þ lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan azitromisin
atau
- þ lactam antipseudomonas + aminoglikosid dan
floroquinolon antipneumococal (untuk pasien alergi
penisilin ganti þ lactam dengan asteronam.

Bila dipertimbangkan CA-MRSA tambahkan vancomysin/linezolid

Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh


American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan
perawatan di rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau
tanpa faktor modifikasi, terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan
golongan þ-lactam (cefotaxim, ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis
tinggi ampicillin intravena) yang dikombinasi dengan makrolide atau

48
doksisiklin oral atau intravena, ataupemberian fluroquinolon
antipneumococcal intravena saja. Begitu juga panduan penatalaksanaan
yang dikeluarkan oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA)
menganjurkan pemberian cephalosporin ditambah makrolide atau þ-
lactam/þ-lactamase inhibitor ditambah makrolide atau fluroquinolon saja
(Dunn, 2007).
Penatalaksanaan yang baik terhadap bakteriemik streptococcal
pneumonia akan secara signifikan menurunkan angka kematian pasien CAP.
Terdapat isu penting tentang penggunaan dual terapi meningkatkan outcome
yang lebih baik dibandingkan denganmonoterapi pada pasien CAP. Dual
terapi yang dimaksud adalah kombinasi antara regimen yang terdiri dari
antibiotika þ-lactam, makrolide, atau fluroquinolon. Sedangkan monoterapi
yang dimaksud adalah penggunaan golongan þ-lactam atau fluoroquinolon
sebagai agen tunggal.
9. Pencegahan

Di luar negeri di anjurkan pemberian vaksin influenza dan pneumokokus


pada orang dengan risiko tinggi. Vaksinasi sampai saat ini masih perlu
dilakukan penelitian tentang efektivitasnya. Pemberian vaksin tersebut
diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit
kronik, diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi
ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang
terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu
hipersensitivitas tipe 3. Di samping itu vaksin juga perlu di berikan untuk
penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan usia
diatas 65 tahun. Selain vaksin, pola hidup sehat juga termasuk tidak
merokok juga sangat direkomendasikan (CDC, 2015).

10. Prognosis

Kejadian pneumonia komunitas di Amerika Serikat adalah 3,4-4 juta


kasus per tahun, dan 20% diantaranya perlu dirawat di RS. Secara umum,
angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun

49
dapat meningkat pada lanjut usia dengan kondisi yang buruk. Pneumonia
dengan influenza di Amerika Serikat merupakan penyebab kematian
terbesar ke-6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia,
yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien pneumonia komunitas yang dirawat di
ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor
modifikasi yang ada pada pasien (Setiati, 2014).

D. Ischemic Heart Disease (IHD)


1. Definisi

Ischemic Heart Disease (IHD) atau disebut juga Penyakit Jantung


Koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang disebabkan karena kelainan
pembuluh darah koroner. Salah satu penyebab utamanya adalah
aterosklerosis koroner.
2. Etiologi
Penyebab jantung koroner adalah karena penumpukan zat lemak secara
berlebihan di lapisan dinding nadi pembuluh koroner, yang dipengaruhi oleh
pola makan yang kurang sehat. Kecanduan rokok, hipertensi, kolesterol
tinggi juga dapat menjadi penyebab penyakit jantung koroner.

Salah satu penyebab utamanya adalah aterosklerosis koroner yaitu proses


penimbunan lemak dan jaringan fibrin, gangguan fungsi dan struktur
pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke
miokard.

Aterosklerosis adalah penyakit arteri yang berkembang secara perlahan,


dengan penebalan tunika intima yang terjadi akibat disfungsi endotel,
inflamasi vaskular, terbentuknya lipid kolesterol, kalsium, dan debris seluler
pada dinding pembuluh darah. Pembentukan ini akan menghasilkan plak,
remodelling pembuluh darah, obstruksi lumen pembuluh darah akut dan
kronik, abnormalitas aliran darah dan menurunnya suplai oksigen ke organ
target.
Adanya aterosklerosis koroner dimana terjadi kelainan pada intima

50
bermula berupa bercak fibrosa (fibrous plaque) dan selanjutnya terjadi
ulserasi, pendarahan, kalsifikasi dan trombosis. Perjalanan dalam kejadian
aterosklerosis tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, akan tetapi
diberati juga banyak faktor lain seperti : hipertensi, kadar lipid, rokok, kadar
gula darah yang abnormal.
3. Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit jantung koroner ada yang membaginya dalam
faktor risiko primer (independen) dan sekunder, yaitu:
a. Faktor risiko primer; faktor ini dapat menyebabkan gangguan arteri
berupa aterosklerosis tanpa harus dibantu oleh faktor lain (independen),
termasuk faktor risiko primer, yaitu hiperlidemi, merokok, dan
hipertensi.

b. Faktor risiko sekunder; Faktor ini baru dapat menimbulkan kelainan


arteri bila ditemukan faktor lain secara bersamaan, termasuk factor risiko
sekunder, yaitu diabetes melitus (DM), obesitas, stres, kurang olah raga,
alkohol, dan riwayat keluarga.
4. Patogenesis

Proses terjadinya gastroenteritis akut karena infeksi melibatkan faktor


penyebab infeksi atau kausal (agent) dan faktor pertahanan tubuh pejamu
(host). Faktor kausal meliputi kemampuan dari agen penyebab diare untuk
menembus pertahanan tubuh pejamu, termasuk dalam hal ini adalah jumlah
kuman yang berinokulasi, bakteri seperti Shigella, Eschericia coli tipe
enterohemoragika. Entamoeba hanya membutuhkan kolonisasi 10-100
bakteria untuk dapat menyebabkan infeksi, sementara kuman Salmonella
membutuhkan waktu untuk tumbuh lebih banyak dalam makanan yang
terkontaminasi sebelum akhirnya mencapai jumlah yang bermakna untuk
dapat menyebabkan infeksi (Setiati et al, 2014).

Selain jumlah kuman, kemampuan untuk menempel pada mukosa saluran


cerna dan kemampuan untuk berkompetisi dengan flora normal serta

51
membentuk koloni di mukosa juga merupakan faktor kausal yang
menyebabkan penyakit. Faktor lainnya adalah kemampuan untuk
memproduksi toksin seperti enterotoksin, sitotoksin, dan neurotoksin.
Enterotoksin yang paling banyak dijumpai adalah pada kolera, dimana
toksin yang dikeluarkan akan berikatan dengan reseptor di permukaan
enterosit yang akan meningkatkan siklik AMP di mukosa saluran cerna dan
akhirnya meningkatkan pelepasan Cl- dan menurunnya absorpsi Na+,
sehingga menyebabkan diare. Demikian pula dengan E.coli yang
memproduksi enterotoksin (LT atau ST) menyebabkan diare dengan
mekanisme yang hampir sama namun melalui aktivasi siklik GMP (Setiati
et al, 2014).

Sitotoksin seperti yang dihasilkan oleh Shigella dysentriae, Clostridium


difficile mampu merusak mukosa saluran cerna dan menyebabkan diare
berdarah bahkan sindrom hemolitik umerikum (Setiati et al, 2014).

Sedangkan yang termasuk dalam neurotoksin adalah Bacillus cereus atau


stafilococcus yang biasanya menyebabkan muntah karena toksin yang
bekerja di sistem saraf pusat (Setiati et al, 2014).

Sejumlah pertahanan tubuh pejamu yang dapat menghindari terjadinya


diare adalah flora normal saluran cerna, keasaman lambung, motilitas usus,
juga status imun pejamu. Mucosal immunity merupakan pertahanan pertama
yang penting terhadap berbagai pathogen penyebab diare (Setiati et al,
2014).

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gastroenteritis akut bisa bersifat inflamasi atau
noninflamasi. Diare noninflamasi bersifat sekretorik (watery) bisa
mencapai lebih dari 1 liter per hari. Biasanya tidak disertai dengan nyeri
abdomen yang hebat dan tidak disertai darah atau lendir pada feses.
Demam dapat dijumpai bisa juga tidak. Gejala mual dan muntah bisa

52
dijumpai. Pada diare tipe ini penting diperhatikan kecukupan cairan
karena pada kondisi yang tidak terpantau dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan yang mengakibatkan syok hipovolemik (Setiati et al,
2014).
Diare yang bersifat inflamasi bisa berupa sekretori atau disentri.
Biasanya disebabkan oleh patogen yang bersifat invasif. Gejala mual,
muntah, disertai dengan demam, nyeri perut hebat dan tenesmus, serta
feses berdarah dan berlendir merupakan gejala yang dapat dijumpai.
Tabel 4. Manifestasi Klinis Gastroenteritis Akut karena Infeksi
Berdasarkan Kausal (Setiati et al, 2014)

6. Diagnosis
a. Anamnesis
5) Tanyakan gejala dan tanda yang sesuai dengan kemungkinan
penyebab (non inflamasi atau inflamasi). Onset, durasi, tingkat
keparahan, dan frekuensi diare harus dicatat, dengan perhatian
khusus pada karakteristik feses (misalnya, berair, berdarah,
berlendir, purulen). Pasien harus dievaluasi untuk tanda-tanda
mengetahui dehidrasi, termasuk kencing berkurang, rasa haus,
pusing, dan perubahan status mental (Barr dan Smith, 2017).
6) Adanya kontak dengan sumber yang berpotensi tercemar patogen
penyebab diare
7) Riwayat perjalanan, aktivitas seperti berenang, kontak dengan orang
yang sakit serupa, tempat tinggal, juga pola kehidupan seksual

53
8) Adanya riwayat pengobatan dan diketahui penyakit lain seperti
infeksi HIV
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara general tidak mengarah ke diagnosis secara
spesifik namun lebih untuk menilai status hidrasi pasien. Tanda
dehidrasi pada dewasa: nadi > 90x/menit, hipotensi postural, lidah
kering, mata cekung, penurunan turgor kulit (Setiati et al, 2014).
Pemeriksaan abdomen penting untuk menilai ada tidaknya tanda
bahaya seperti nyeri perut hebat terutama pada pasien usia lanjut atau
dengan kondisi imun menurun. Pemeriksaan rektal dapat membantu
dalam menilai adanya darah, nyeri dubur, dan konsistensi feses (Barr
dan Smith, 2017).
c. Pemeriksaan Penunjang

3) Darah:

- Darah perifer lengkap

- Ureum, kreatinin

- Serum elektrolit: Na+, K+, Cl-

- Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan


keseimbangan asam basa (pernafasan Kusmaull)
- Immunoassay: pemeriksaan toksin bakteri (C. difficile), antigen
virus (rotavirus), antigen protozoa (Giardia, E. histolytica).
4) Feses:

- Feses lengkap (mikroskopis: peningkatan jumiah lekosit di feses


pada diare inflamasi; parasit: amoeba bentuk tropozoit, hifa pada
jamur)
- Biakan dan resistensi feses (colok dubur)

Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam penatalaksanaan diare


akut karena infeksi, karena dengan tata cara pemeriksaan yang terarah
akan sampai pada terapi definitif (Setiati et al, 2014).
54
7. Tatalaksana
a. Rehidrasi Cairan
Pada keadaan awal dapat diberikan sediaan cairan atau bubuk hidrasi
peroral setiap kali diare. Komposisi larutan bubuk hidrasi peroral adalah
3,5g NaCl; 2,5g Na bikarbonat; 1,5g KCl; 20 g glukosa per liter air.
Pemberian hidrasi melalui cairan infus dapat menggunakan sediaan
berupa Ringer Laktat ataupun NaCl isotonis. Koreksi bikarbonas ataupun
kalium perlu diperhitungkan secara tersendiri, mengingat kedua cairan
tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan kalium ataupaun mengatasi
asidosis apabila terjadi pada pasien.
Jumlah cairan yang akan diberikan dapat menggunakan perhitungan
skor Daldiyono atau disesuaikan dengan banyaknya cairan yang keluar
dari tubuh yang dapat dinilai melalui perhitungan balans cairan saat
pasien dirawat.
Rehidrasi harus dicapai secepat mungkin. Berdasarkan skor
Daldiyono, rehidrasi awal dicapai optimal dalam 2 jam pertama. Setelah
itu pemberian cairan disesuaikan dengan perhitungan kebutuhan cairan
berdasarkan kehilangan pada saat 2 jam pertama tersebut. Bila tidak ada
syok atau skor Daldiyono kurang dari 3, maka cairan dapat diberikan per
oral. Pemberian cairan selanjutnya adalah sesuai perhitungan balans
pasien (Setiati et al, 2014).
Tabel 5. Skor Daldiyono

Rasa haus/muntah 1
Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1
Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2
Frekuensi nadi > 120 x/menit 1
Kesadaran apatis 1
Kesadaran somnolen, sopor, atau koma 2
Frekuensi napas > 30 x/menit 1
Facies cholerica 2

55
Vox cholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer’s woman’s hand 1
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur > 60 tahun -2

Kebutuhan cairan = x 10% x KgBB x 1 liters


b. Pengaturan Asupan Makanan
Pemberian asupan makanan diberikan secara normal, sebaiknya
dalam porsi kecil namun dengan frekuensi yang lebih sering. Pilih
makanan yang mengandung mikronutrien dan energi (pemenuhan
kebutuhan kalori dapat diberikan bertahap sesuai toleransi pasien).
Menghindari makanan atau minuman yang mengandung susu karena
dapat terjadi intoleransi laktosa, demikian juga makanan yang pedas
ataupun mengandung lemak yang tinggi (Setiati et al, 2014) .

c. Pemberian Terapi Simtomatik


Pemberian antimotilitas seperti loperamid dengan dosis 4-6 mg/hari
pada dewasa diutamakan dapat diare yang dialami oleh wisatawan bila
bersifat ringan atau sedang, serta tidak ada kecurigaan suatu diare
inflamasi. Sebaiknya dihindari pada diare yang disertai darah dan
merupakan kontraindikasi pada diare yang disertai dengan nyeri perut.
Pemberian antisekretori seperti bismuth subsalisilat dapat diberikan
dengan dosis 2 tablet yang boleh diulang bila masih ada diare, tidak lebih
dari 8 tablet per hari. Pemberian obat adsorbens seperti attapulgite,
activated charcoal dapat diberikan (Setiati et al, 2014).
d. Pemberian Terapi Definitif

Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare


akut infeksi, karena 40% kasus diare sembuh kurang dari 3 hari tanpa
56
pemberian antibiotik.
Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda diare
infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses, mengurangi
ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa
pada diare infeksi, diare pada pelancong dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotic dapat secara empiris, tetapi
antibiotic spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman
(Amin, 2015).
Tabel 6. Terapi Antibiotik Empiris (Amin, 2015)
Organisme Antibiotik Pilihan Antibiotik Pilihan Kedua
Pertama
Campylobacter Ciprofloxacin 2x500mg Azithromycin 2x500mg
selama 3 hari selama 3-5 hari
Erytromycin 2x500mg

Shigella atau Ciprofloxacin 2x500mg Ceftriaxone 1gram IM/IV


Salmonela spp. selama 3-5 hari perhari selama 5 hari

Vibrio Cholera Tetracycline 4x500mg Ciprofloxacin 1gram oral,


selama 3 hari dosis tunggal
Doxycycline 300mg oral, Erythromycin 4x250mg
dosis tunggai selama 3 hari

Traveler’s diarrhea Ciprofloxacin 2x500mg TMP-SMX DS oral 2 kali


sehari, selama 3 hari

Clostridium Metronidazole 4x250-500mg Vancomycin 4x125mg


difficile selama 7-14 hari, oral atau selama 7-14 hari
IV

57
Amebiasis Metronidazole 3x750mg
selama 5-10 hari

Giardiasis Metronidazole 3x250-750mg


selama 7-10 hari

Eschericia Cotrimoxazole 2x960mg Ciprofloxacin 2x500mg


coli selama 3 hari selama 3 hari

8. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera,
kehilangan cairan terjadi secara mendadak sehingga cepat terjadi syok
hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui feses dapat mengarah terjadinya
hipokalemia dan asidosis metabolic (Amin, 2015).
Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok
hipovolemik sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular
akut ginjal dan selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat
juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat, sehingga
rehidrasi optimal tidak tercapai (Amin, 2015).
Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama karena
EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolitik, dan
trombositopeni 12-14 hari setelah diare.
Sindrom Guillaine-Barre merupakan komplikasi, khususnya setelah
terinfeksi C. jejuni; 20-40% pasien Guillain-Barre menderita infeksi
C.jejuni beberapa minggu sebelumnya.
Artritis pasca-infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit
diare karena Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.

58
9. Prognosis

Pada pasien dewasa yang tidak mengalami keterlambatan penanganan,


sebagian besar kasus memiliki prognosis yang baik. Kematian bisa terjadi
terutama pada kasus yang terjadi pada usia lanjut atau pasien dengan kondisi
imunokompromais dengan status dehidrasi berat saat awal didiagnosis atau
dengan penyulit (Setiati 2014).
10. Pencegahan

Pencegahan gastroenteritis akut meliputi (Setiati, 2014):

- Menjaga kebersihan air, sanitasi makanan dari vektor penyebar kuman


seperti lalat, kebiasaan mencuci tangan sebelum kontak dengan
makanan.
- Mengkonsumsi makanan yang dimasak secara matang.

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin L. 2015. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical


Education;42(7):504-8.
2. Amin LZ. 2016. Leptospirosis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. CDK 43(8).
3. Anon. 2017. A manual for physicians and other senior health workers.
Available at: http://www.who.int/child-adolescent-
health/Emergencies/Diarrhoea_guidelines.pdf [Diakses 19 Juni 2021].
4. Barr W, Smith A. 2017. Acute diarrhea in adults. Available at: http://Acute
Diarrhea in Adults WENDY BARR, MD, MPH, MSCE, and ANDREW
SMITH, MD Lawrence Family Medicine Residency, Lawrence,
Massachusetts [Diakses 19 Juni 2021].
5. Day NPJ, Edwards CN. 2010. Leptospirosis. In: Cohen J, Opal SM,
Powderly WG, editors. Infectious diseases. 3rd ed. London: Mosby
Elsevier. P. 1241-2.
6. Dennis L., Anthony S., Stephen H., Dan L., Larry J., Joseph L. 2016.
Harrison's Gastroenterology and Hepatology. 3rd Edition. Philadelphia:
McGraw Hill.
7. Gulati S. 2012. Pulmonary manifestations of leptospirosis. Lung
India;29:347-53.
8. How, C. 2010. Acute gastroenteritis: from guidelines to real life. Clinical
and Experimental Gastroenterology, p.97.
9. Kementerian Kesehatan. 2012. Profil pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan tahun 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
10. Khurana S, Gupta PC, Ram J. 2020. Bilateral conjunctival suffusion: An
ocular manifestation of leptospirosis. Indian J Ophthalmol;68(9).
11. Kumar SS. 2013. Indian guidelines for the diagnosis and management of
human leptospirosis. API Medicine Update;23:23-9.
12. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.
60
13. Toyokawa T, Ohnishi M, Koizumi N. 2011. Diagnosis of acute
leptospirosis. Expert Rev Anti Infect Ther. 9(1):111-21.
14. Watt G. 2013. Leptospirosis. In: Magill AJ, Hill DR, Solomon T, Ryan
ET, editors. Hunter’s tropical medicine and emerging infectious diseases.
9th ed. London: Saunders. P 597-601.

61

Anda mungkin juga menyukai