pada :
Mengetahui,
Kepala RSAU dr. Siswanto
1
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. B
No. RM : 046xxx
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Tanon Lor, Gedongan, Colomadu
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 5 Juni 2021
2. Keluhan Utama
Demam sejak 2 hari SMRS
2
belimbing berisi air dan makanan. Keluhan muntah darah (-).
Pasien mengaku saat ini tidak ada keluarga dengan keluhan demam
serupa, dan tidak mengetahui adanya tetangga di kawasan rumah dengan
keluhan serupa. Pasien mengatakan di daerah tempat tinggal pasien sering
hujan dan di sekitar rumah pasien terdapat genangan- genangan air. Pasien
juga mengatakan di rumah pasien terdapat banyak tikus, dan beberapa kali
pasien kerap mengejar tikus di selokan rumahnya untuk ditangkap. Pasien
menyangkal adanya mimisan gusi berdarah, ataupun bercak-bercak
kemerahan di tubuh.
3
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
7. Riwayat Kebiasaan
Merokok : (+) sehari habis 1 bungkus rokok
Minum alkohol : disangkal
Makan : 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk
dan sayur bervariasi.
4
Genitourinaria : BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)
Muskuloskeletal : lemas (-), kaku sendi (-)
Ekstremitas :
Atas : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka (-/-) terasa dingin
(-/-
)
Bawah : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka (-/-) terasa dingin
(-/-
), nyeri tekan pada betis (+/+)
5
7. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-),
krepitasi (-), deviasi septum nasi (-)
8. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), gusi
berdarah (-), oral thrush (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-)
9. Leher : JVP R+2 cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
leher (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
10. Thorax :
Jantung
- Inspeksi : Ictus kordis tak tampak
- Palpasi : Ictus kordis tak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal,
reguler, bising (-), gallop (-).
Pulmo
- Inspeksi : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
tidak mendatar. Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar,
- Palpasi : Pergerakan kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
- Perkusi : sonor/sonor
- Auskultasi :Suara dasar vesikuler normal (+/+), suara
tambahan: wheezing (-/-), ronkhi basah kasar (-/-), krepitasi (-/-)
11. Abdomen
- Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding thorak,
ascites (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-),
caput medusae (-), ikterik (-),
- Auskultasi : Bising usus (+) meningkat, bruit hepar (-)
- Perkusi : timpani (+), pekak alih (-)
6
- Palpasi : supel, distended (-), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-),
hepar dan lien tidak teraba, undulasi (-)
12. Ekstremitas
_ _
_ _ __
_ _ Akral dingin Oedem
CRT < 2 detik, nyeri tekan M. Gastrocnemius (+/+)
7
KIMIA DARAH
Gula sewaktu 86↓ mg/dL <150
Creatinin 1.4↑ mg/dL 0.7-1.3
Ureum 38 mg/dL 17-43
8
3. Rontgen Thorax (5 Juni 2021)
Kesan :
-Bercak-bercak infiltrat paracardial dan perihiler kanan dan kiri
-Cor: bentuk dan ukuran dalam batas normal
-Sistema tulang baik
-Kedua sinus dan diafragma baik
Meningismus 4 -
9
10 -
Injeksi konjungtiva +
meningismus + mialgia
Ikterus 1 -
2 -
Albuminuria atau retensi
nitrogen
2 -
Hemoptisis atau dyspneu
B: Faktor Epidemiologis Skor Skor Pasien
Curah hujan 5 5
Kontak dengan lingkungan 4 4
terkontaminasi
Kontak dengan binatang 1 1
C: Temuan Bakteriologis dan Skor Skor Pasien
Laboratorium
Isolasi Leptospira pada kultur Diagnosa pasti
PCR 25
Serologi positif:
o ELISA IgM positif; SAT* 15
positif; rapid test lain***,
satu kali titer tinggi pada
MAT** (masing-masing
dari ketiga pemeriksaan
ini harus diberikan nilai)
Peningkatan titer MAT** 25
atau serokonversi (serum
yang berpasangan)
22
Total
Suspek
Leptospirosis
10
V. DIAGNOSIS
1. Suspek leptospirosis
2. Gastroenteritis akut
3. Pneumonia
4. IHD
VI. TATALAKSANA
1. Inf RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxone 2 gram/24 jam
3. Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
4. Inj. Dexamethasone 5 mg/8 jam
5. Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
6. Loperamid 3x2 mg
7. Sanmol 3x500 mg k/p
8. ISDN 1x5 mg
9. Dextral 3x1
10. OBH syrup 3xCI
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Qua ad sanam : dubia ad bonam
VIII. FOLLOW UP
Tanggal Follow up Terapi
5/6/2021 S : Demam (+), nyeri kepala (+), nyeri P:
di seluruh tubuh terutama di betis (+), Inf RL 20 tpm
muntah (+) 1x, BAB cair (+) 4x lendir Inj. Ceftriaxone 2 gram/24
(-) darah (-), batuk berdahak (+) jam
O : KU : sedang, CM Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
TD : 130/80 Inj. Dexamethasone 5
11
HR : 107x/ menit mg/8 jam
RR : 22x/ menit Inj. Ranitidin 50 mg/12
T : 37.5 0C jam
Mata : CA (-/-), SI (-/-), injeksi Loperamid 3x2 mg
konjungtiva (+/+) Sanmol 3x500 mg k/p
Mulut: sianosis (-), tonsil T1-T1 ISDN 1x5 mg
Cor : IC tidak tampak, IC tidak Dextral 3x1
kuat angkat, batas jantung kesan OBH syrup 3xCI
tidak melebar, BJ I-II regular,
normal
Pulmo : simetris, retraksi (-), SDV
(+/+), ST (-/-)
Abdomen : supel, timpani, BU (+)
meningkat, NT (-)
Ekstremitas: Akral dingin (-)
edema (-), CRT < 2 detik, nyeri
tekan M. Gastrocnemius (+/+)
A : Suspek leptospirosis
Gastroenteritis akut
Pneumonia
IHD
6/6/2021 S : Demam (+) naik turun, pusing (+), P:
nyeri di seluruh tubuh terutama di Inf RL 20 tpm
betis (+) berkurang, muntah (-), BAB Inj. Ceftriaxone 2 gram/24
cair (+) 3x lendir (-) darah (-), batuk jam
(+) Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
O : KU : baik, CM Inj. Dexamethasone 5
TD : 103/66 mg/8 jam
HR : 102x/ menit Inj. Ranitidin 50 mg/12
12
RR : 20x/ menit jam
T : 37 0C Loperamid 3x2 mg
Mata : CA (-/-), SI (-/-), injeksi Sanmol 3x500 mg k/p
konjungtiva (-/-) ISDN 1x5 mg
Mulut: sianosis (-), tonsil T1-T1 Dextral 3x1
Cor : IC tidak tampak, IC tidak OBH syrup 3xCI
kuat angkat, batas jantung kesan
tidak melebar, BJ I-II regular,
normal
Pulmo : simetris, retraksi (-), SDV
(+/+), ST (-/-)
Abdomen : supel, timpani, BU (+)
meningkat, NT (-)
Ekstremitas: Akral dingin (-)
edema (-), CRT < 2 detik, nyeri
tekan M. Gastrocnemius (+/+)
A : Suspek leptospirosis
Gastroenteritis akut
Pneumonia
IHD
7/6/2021 S : Demam (-), pusing (-), nyeri di P:
seluruh tubuh (-), muntah (-), BAB BLPL
cair (-), batuk (-)
O : KU : baik, CM Obat pulang:
TD : 136/82 Cefixime 2x100 mg
HR : 104x/ menit Ranitidin 2x50 mg
RR : 20x/ menit Metilprednisolon 3x4 mg
T : 36.1 0C Neurodex 1x1
Mata : CA (-/-), SI (-/-), injeksi Loperamid 3x2 mg k/p
13
konjungtiva (-/-) bila diare
Mulut: sianosis (-), tonsil T1-T1
Cor : IC tidak tampak, IC tidak
kuat angkat, batas jantung kesan
tidak melebar, BJ I-II regular,
normal
Pulmo : simetris, retraksi (-), SDV
(+/+), ST (-/-)
Abdomen : supel, timpani, BU (+)
meningkat, NT (-)
Ekstremitas: Akral dingin (-)
edema (-), CRT < 2 detik, nyeri
tekan M. Gastrocnemius (-/-)
A : Suspek leptospirosis
Gastroenteritis akut
Pneumonia
IHD
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Leptospirosis
1. Definisi
17
Faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam proses penularan
leptospirosis. Faktor lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik,
biologik, dan sosial. Salah satu pengaruh lingkungan sosial adalah mengenai
jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara
lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, pekerja pengontrol
tikus, tukang sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara, pembersih
septic tank dan pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang. Beberapa
faktor risiko kejadian leptospirosis yaitu pekerjaan yang melibatkan kontak
tubuh dengan air, keberadaan sampah di dalam rumah, keberadaan tikus di
dalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan
mandi/cuci di sungai (Setiati et al, 2014).
6. Patologi
Organ yang sering terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal, hati, otot,
dan pembuluh darah. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke
interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat,
vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan
permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas
kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak
pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta
nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa
tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan
patologi berupa nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia
sel Kupffer (Amin, 2016).
19
Gambar 3. Leptospirosis pathway dan gambaran klinis
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril
umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis. Secara khas
penyakit ini bersifat bifasik, yaitu fase leptospiremia/ septikemia dan fase
imun.
a. Fase leptospiremia atau septikemia
Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-rata
10 hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2
hari atau bahkan bisa memanjang sampai 30 hari. Fase ini ditandai
adanya demam yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit
kepala biasanya di frontal, mialgia terutama pada paha, betis, dan
20
pinggang, ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion, dan
tampak lemah.
Demam tinggi dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum
mengalami penurunan suhu tubuh. Conjunctival suffusion merupakan
tanda khas yang biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4 sakit.
Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau cairan
serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang negatif
sampai setidaknya 5 hari setelah onset gejala. Pada fase ini mungkin
dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi splenomegali kurang
umum dijumpai. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan adanya
penurunan jumlah platelet dan trombositopeni purpura. Pada
urinalisis ditemukan adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin
biasanya masih dalam batas normal sampai terjadi nekrosis tubular
atau glomerulonefritis (Setiati et al, 2014).
b. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan
dengan timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita . Pada kasus
yang ringan (mild case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan
gejala yang minimal, sementara pada kasus yang berat (severe case)
ditemukan manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal
yang dominan. Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala
meningitis yang ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku
kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis sebagian
besar timbul sebagai meningitis aseptik. Dapat timbul demam yang
mencapai suhu 400C disertai menggigil dan kelemahan umum.
Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot
kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis,
uremia, ikterik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai komplikasi,
antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, dan neuropati perifer.
Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua
mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi segera
21
disertai jaundice dan perdarahan pada kulit, membrana mukosa,
bahkan paru. Selain itu ini sering juga dijumpai adanya hepatomegali,
purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria, syok, dan miokarditis
juga bisa terjadi dan berhubungan dengan mortalitas penderita
(Setiati et al, 2014).
22
riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang salah
didiagnosis sebagai kelainan akibat virus.
23
perdarahan masif saluran cerna. Adanya perdarahan konjungtiva
sangat berguna untuk diagnostik, dan jika disertai skera ikterik dan
injeksi konjungtiva, merupakan temuan yang sangat sugestif untuk
leptospirosis. Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama
leptospirosis berat (Amin, 2016).
8. Diagnosis
a. Diagnosis Klinis
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat
kontak terhadap binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin
binatang (tinggal di daerah banjir, berjalan kaki di banjir atau air yang
terkontaminasi, berenang di air banjir atau menelan air yang
terkontaminasi dengan atau tanpa luka), disertai dengan setidaknya 2
dari gejala berikut: demam, menggigil, mialgia, nyeri tekan betis,
conjunctival suffusion, nyeri kepala, ikterus, atau oliguria. Selain itu
penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan
riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya (Setiati et al, 2014)
b. Diagnosis Laboratorium
24
pada sindrom Weil (Toyokawa et al, 2011).
1) Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di
mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan
mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen
pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin (Toyokawa et al,
2011).
2) Kultur
Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dan cairan
serebrospinal pada hari ketujuh hingga kesepuluh sakit, dan dari
urin selama minggu kedua dan ketiga. Kultur dan isolasi masih
menjadi baku emas, dapat mengidentifikasi serovar, tetapi
membutuhkan media khusus dengan waktu inkubasi beberapa
minggu dan membutuhkan mikroskop medan gelap, sehingga tidak
sesuai untuk perawatan individual (Toyokawa et al, 2011).
3) Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi
intraperitoneal pada marmut muda. Dalam beberapa hari dapat
ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini
mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ
(Toyokawa et al, 2011).
4) Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test
merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening.
Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi antibodi terhadap
Leptospia interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT)
yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi
tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi,
kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan menetap
25
selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan
menurun (Toyokawa et al, 2011).
26
Tabel 1. Kriteria Faine yang dimodifikasi (Kumar, 2013)
9. Tatalaksana
27
Antibiotik hendaknya diberikan pada semua pasien leptospirosis pada
fase penyakit mana pun. Pada kasus ringan, obat terpilih adalah doksisiklin.
Obat alternatif adalah amoksisilin dan azitromisin dihidrat. Pasien sakit
berat hendaknya dirawat inap. Antibiotik terpilih pada leptospirosis sedang-
berat adalah penicillin G. Obat alternatif diantaranya sefalosporin generasi
ketiga (seftriakson,sefotaksim) dan azitromisin dihidrat parenteral.
Antibiotik harus diberikan selama 7 hari, kecuali azitromisin dihidrat selama
3 hari (Gulati, 2012).
Pada leptospirosis sedang berat, terapi suportif dengan perhatian pada
keseimbangan cairan dan elektrolit serta fungsi paru dan jantung sangat
penting. Pasien yang menderita gagal ginjal diterapi dengan hemodialisis.
Transfusi darah dan produk darah mungkin diperlukan pada perdarahan
berat. Transfusi trombosit dianjurkan jika trombosit kurang dari 50
ribu/mm3 atau turun bermakna dalam waktu singkat (Gulati, 2012).
Tabel 2. Dosis rekomendasi antibiotik untuk leptospirosis (Kumar, 2013)
10. Komplikasi
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus,
angka kematian 5 % pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut
28
mencapai 30-40% (Setiati et al, 2014).
12. Pencegahan
Pencegahan infeksi menggunakan doksisiklin 200 mg per minggu dapat
bermanfaat pada orang berisiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat,
misalnya anggota militer dan pekerja agrikultur tertentu. Antibiotik dimulai
1 sampai 2 hari sebelum paparan dan dilanjutkan selama periode paparan
(Watt, 2013).
Memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau
tanah yang terkontaminasi leptospira bagi para pekerja yang mempunyai
risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja
laboratorium, dokter hewan. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot,
masker, sarung tangan (Setiati et al, 2014).
B. Gastroenteritis Akut
1. Definisi
29
berkembang dibanding dengan negara maju yang tingkat higenitas dan
sanitasi lebih baik (How, 2010). Menurut data dari World Health
Organization (WHO) dan UNICEF, terdapat 1,87 juta orang meninggal
akibat kasus gastroenteritis setiap tahunnya di seluruh dunia (Anon, 2017).
Secara global, diperkirakan terdapat 179.000.000 insiden gastroenteritis
akut pada orang dewasa tiap tahunnya dengan angka pasien yang dirawat
inap sebanyak 500.000 dan lebih dari 5000 pasien mengalami kematian. Di
amerika serikat setidaknya 8.000.000 dari pasien gastroenteritis akut yang
berobat ke dokter dan lebih dari 250.000 pasien dirawat di rumah sakit
menurut data dari The American Journal of Gastroenterology (Setiati et al,
2014).
Sedangkan menurut hasil survey di Indonesia, insiden dari gastroenteritis
akut akibat infeksi mencapai 96.278 insiden dan masih menjadi peringkat
pertama sebagai penyakit rawat inap di Indonesia, sedangkan angka
kematian pada gastroenteritis akut (Case Fatality Rate) sebesar 1,92%
(Depkes RI, 2012).
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Gastroenteritis akut bisa disebabkan oleh berbagai faktor, menurut World
Gastroenterology Organisation, ada beberapa agen yang bisa menyebabkan
terjadinya gastroenteritis akut yaitu agen infeksi dan non-infeksi. Lebih dari
90 % diare akut disebabkan karena infeksi, sedangkan sekitar 10 % karena
sebab lain yaitu:
a. Faktor Infeksi
1) Virus
a) Rotavirus
Merupakan salah satu penyebab terbanyak dari kasus rawat
inap di rumah sakit dan mengakibatkan 500.000 kematian di
dunia tiap tahunnya, biasanya diare akibat rotavirus derajat
keparahannya diatas rerata diare pada umumnya dan
menyebabkan dehidrasi. Pada anak-anak sering tidak terdapat
gejala dan umur 3 – 5 tahun adalah umur tersering dari infeksi
30
virus ini.
b) Human Caliciviruses
c) Adenovirus
2) Bakteri
Tabel 3. Sumber yang Berpotensi Tercemar dan Menyebabkan
Gastroenteritis akut (Setiati et al, 2014)
3) Parasitic Agents
Infeksi beberapa jenis protozoa seperti Cryptosporidium parvum,
Giardia L, Entamoeba histolytica, Cyclospora cayetanensis jarang
terjadi namun sering dihubungkan dengan traveler dan gejalanya
sering tak tampak. Dalam beberapa kasus juga dinyatakan infeksi dari
cacing seperti Stongiloide stecoralis, Angiostrongylus C., Schisotoma
Mansoni, S. Japonicum juga bisa menyebabkan gastroenteritis akut.
b. Faktor Non-Infeksi
1) Malabsorpsi/Maldigesti
31
kemoterapi juga bisa menyebabkan gastroenteritis akut.
4) Lain-lain
Tindakan gastrektomi, terapi radiasi dosis tinggi, sindrom
Zollinger-Ellison, neuropati diabetes sampai kondisi psikis juga dapat
menimbulkan gastroenteritis akut.
4. Patogenesis
32
mekanisme yang hampir sama namun melalui aktivasi siklik GMP (Setiati
et al, 2014).
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gastroenteritis akut bisa bersifat inflamasi atau
noninflamasi. Diare noninflamasi bersifat sekretorik (watery) bisa
mencapai lebih dari 1 liter per hari. Biasanya tidak disertai dengan nyeri
abdomen yang hebat dan tidak disertai darah atau lendir pada feses.
Demam dapat dijumpai bisa juga tidak. Gejala mual dan muntah bisa
dijumpai. Pada diare tipe ini penting diperhatikan kecukupan cairan
karena pada kondisi yang tidak terpantau dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan yang mengakibatkan syok hipovolemik (Setiati et al,
2014).
Diare yang bersifat inflamasi bisa berupa sekretori atau disentri.
Biasanya disebabkan oleh patogen yang bersifat invasif. Gejala mual,
muntah, disertai dengan demam, nyeri perut hebat dan tenesmus, serta
feses berdarah dan berlendir merupakan gejala yang dapat dijumpai.
Tabel 4. Manifestasi Klinis Gastroenteritis Akut karena Infeksi
33
Berdasarkan Kausal (Setiati et al, 2014)
6. Diagnosis
a. Anamnesis
1) Tanyakan gejala dan tanda yang sesuai dengan kemungkinan
penyebab (non inflamasi atau inflamasi). Onset, durasi, tingkat
keparahan, dan frekuensi diare harus dicatat, dengan perhatian
khusus pada karakteristik feses (misalnya, berair, berdarah,
berlendir, purulen). Pasien harus dievaluasi untuk tanda-tanda
mengetahui dehidrasi, termasuk kencing berkurang, rasa haus,
pusing, dan perubahan status mental (Barr dan Smith, 2017).
2) Adanya kontak dengan sumber yang berpotensi tercemar patogen
penyebab diare
3) Riwayat perjalanan, aktivitas seperti berenang, kontak dengan orang
yang sakit serupa, tempat tinggal, juga pola kehidupan seksual
4) Adanya riwayat pengobatan dan diketahui penyakit lain seperti
infeksi HIV
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara general tidak mengarah ke diagnosis secara
spesifik namun lebih untuk menilai status hidrasi pasien. Tanda
dehidrasi pada dewasa: nadi > 90x/menit, hipotensi postural, lidah
kering, mata cekung, penurunan turgor kulit (Setiati et al, 2014).
Pemeriksaan abdomen penting untuk menilai ada tidaknya tanda
bahaya seperti nyeri perut hebat terutama pada pasien usia lanjut atau
dengan kondisi imun menurun. Pemeriksaan rektal dapat membantu
34
dalam menilai adanya darah, nyeri dubur, dan konsistensi feses (Barr
dan Smith, 2017).
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah:
- Ureum, kreatinin
Rasa haus/muntah 1
Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1
Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2
Frekuensi nadi > 120 x/menit 1
Kesadaran apatis 1
Kesadaran somnolen, sopor, atau koma 2
Frekuensi napas > 30 x/menit 1
Facies cholerica 2
Vox cholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer’s woman’s hand 1
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur > 60 tahun -2
37
Organisme Antibiotik Pilihan Antibiotik Pilihan Kedua
Pertama
Campylobacter Ciprofloxacin 2x500mg Azithromycin 2x500mg
selama 3 hari selama 3-5 hari
Erytromycin 2x500mg
38
8. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera,
kehilangan cairan terjadi secara mendadak sehingga cepat terjadi syok
hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui feses dapat mengarah terjadinya
hipokalemia dan asidosis metabolic (Amin, 2015).
Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok
hipovolemik sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular
akut ginjal dan selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat
juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat, sehingga
rehidrasi optimal tidak tercapai (Amin, 2015).
Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama karena
EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolitik, dan
trombositopeni 12-14 hari setelah diare.
Sindrom Guillaine-Barre merupakan komplikasi, khususnya setelah
terinfeksi C. jejuni; 20-40% pasien Guillain-Barre menderita infeksi
C.jejuni beberapa minggu sebelumnya.
Artritis pasca-infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit
diare karena Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.
9. Prognosis
39
- Menjaga kebersihan air, sanitasi makanan dari vektor penyebar kuman
seperti lalat, kebiasaan mencuci tangan sebelum kontak dengan
makanan.
- Mengkonsumsi makanan yang dimasak secara matang.
C. Pneumonia
1. Definisi
40
pneumonia pada gangguan imun (pneumonia pada pasien tranplantasi
organ, onkologi, dan AIDS) (Dunn, 2007).
2. Etiologi
41
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria
dengan ukuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat mencapai brokiolus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal
ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur
(50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi
bakteri yang sanagt tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil
sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi
dan terjadi pneumonia (Setiati, 2014).
42
yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan
edema; 2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN
dan beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona konsolidasi yang luas (grey
hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah
PMN yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi
dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
4. Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat,
batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum
berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan
retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, pleural friction rub (Setiati et al, 2014).
5. Diagnosis
Manifestasi klinis gastroenteritis akut bisa bersifat inflamasi atau
noninflamasi. Diare noninflamasi bersifat sekretorik (watery) bisa
mencapai lebih dari 1 liter per hari. Biasanya tidak disertai dengan nyeri
abdomen yang hebat dan tidak disertai darah atau lendir pada feses.
Demam dapat dijumpai bisa juga tidak. Gejala mual dan muntah bisa
dijumpai. Pada diare tipe ini penting diperhatikan kecukupan cairan
karena pada kondisi yang tidak terpantau dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan yang mengakibatkan syok hipovolemik (Setiati et al,
2014).
43
gejala di bawah ini:
a. Batuk-batuk bertambah
44
Tabel 7. Derajat risiko dan rekomendasi perawatan menurut PORT/PSI
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik dan
intertisial serta gambaran kavitas (Setiati, 2014).
b. Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000 /ul,
Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat pula
ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan
LED meningkat (Luttfiya, 2010).
c. Mikrobiologi
45
7. Komplikasi
46
karena akan menentukan pilihan antibiotika empirik yang akan diberikan
kepada pasien (Jeremy, 2007).
47
gemifloxacin/ levofloxacin 750 mg)
b. þ lactam + makrolid
3. Pada daerah dengan angka infeksi tinggi dan dengan resisitensi
tinggi makrolid terhadap S.pneumoniae , dipertimbangkan
antibiotik sesuai poin 2.
Rawat inap tidak di ICU
Fluoroquinolon respirasi atau þ lactam + makrolid
Rawat inap di ICU
þ lactam (cefotaxim, ceftriaxon, atau ampicilin sulbaktam) +
azitromisin atau floroquinolon respirasi
48
doksisiklin oral atau intravena, ataupemberian fluroquinolon
antipneumococcal intravena saja. Begitu juga panduan penatalaksanaan
yang dikeluarkan oleh Infectious Diseases Society of America (IDSA)
menganjurkan pemberian cephalosporin ditambah makrolide atau þ-
lactam/þ-lactamase inhibitor ditambah makrolide atau fluroquinolon saja
(Dunn, 2007).
Penatalaksanaan yang baik terhadap bakteriemik streptococcal
pneumonia akan secara signifikan menurunkan angka kematian pasien CAP.
Terdapat isu penting tentang penggunaan dual terapi meningkatkan outcome
yang lebih baik dibandingkan denganmonoterapi pada pasien CAP. Dual
terapi yang dimaksud adalah kombinasi antara regimen yang terdiri dari
antibiotika þ-lactam, makrolide, atau fluroquinolon. Sedangkan monoterapi
yang dimaksud adalah penggunaan golongan þ-lactam atau fluoroquinolon
sebagai agen tunggal.
9. Pencegahan
10. Prognosis
49
dapat meningkat pada lanjut usia dengan kondisi yang buruk. Pneumonia
dengan influenza di Amerika Serikat merupakan penyebab kematian
terbesar ke-6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia,
yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien pneumonia komunitas yang dirawat di
ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor
modifikasi yang ada pada pasien (Setiati, 2014).
50
bermula berupa bercak fibrosa (fibrous plaque) dan selanjutnya terjadi
ulserasi, pendarahan, kalsifikasi dan trombosis. Perjalanan dalam kejadian
aterosklerosis tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, akan tetapi
diberati juga banyak faktor lain seperti : hipertensi, kadar lipid, rokok, kadar
gula darah yang abnormal.
3. Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit jantung koroner ada yang membaginya dalam
faktor risiko primer (independen) dan sekunder, yaitu:
a. Faktor risiko primer; faktor ini dapat menyebabkan gangguan arteri
berupa aterosklerosis tanpa harus dibantu oleh faktor lain (independen),
termasuk faktor risiko primer, yaitu hiperlidemi, merokok, dan
hipertensi.
51
membentuk koloni di mukosa juga merupakan faktor kausal yang
menyebabkan penyakit. Faktor lainnya adalah kemampuan untuk
memproduksi toksin seperti enterotoksin, sitotoksin, dan neurotoksin.
Enterotoksin yang paling banyak dijumpai adalah pada kolera, dimana
toksin yang dikeluarkan akan berikatan dengan reseptor di permukaan
enterosit yang akan meningkatkan siklik AMP di mukosa saluran cerna dan
akhirnya meningkatkan pelepasan Cl- dan menurunnya absorpsi Na+,
sehingga menyebabkan diare. Demikian pula dengan E.coli yang
memproduksi enterotoksin (LT atau ST) menyebabkan diare dengan
mekanisme yang hampir sama namun melalui aktivasi siklik GMP (Setiati
et al, 2014).
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gastroenteritis akut bisa bersifat inflamasi atau
noninflamasi. Diare noninflamasi bersifat sekretorik (watery) bisa
mencapai lebih dari 1 liter per hari. Biasanya tidak disertai dengan nyeri
abdomen yang hebat dan tidak disertai darah atau lendir pada feses.
Demam dapat dijumpai bisa juga tidak. Gejala mual dan muntah bisa
52
dijumpai. Pada diare tipe ini penting diperhatikan kecukupan cairan
karena pada kondisi yang tidak terpantau dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan cairan yang mengakibatkan syok hipovolemik (Setiati et al,
2014).
Diare yang bersifat inflamasi bisa berupa sekretori atau disentri.
Biasanya disebabkan oleh patogen yang bersifat invasif. Gejala mual,
muntah, disertai dengan demam, nyeri perut hebat dan tenesmus, serta
feses berdarah dan berlendir merupakan gejala yang dapat dijumpai.
Tabel 4. Manifestasi Klinis Gastroenteritis Akut karena Infeksi
Berdasarkan Kausal (Setiati et al, 2014)
6. Diagnosis
a. Anamnesis
5) Tanyakan gejala dan tanda yang sesuai dengan kemungkinan
penyebab (non inflamasi atau inflamasi). Onset, durasi, tingkat
keparahan, dan frekuensi diare harus dicatat, dengan perhatian
khusus pada karakteristik feses (misalnya, berair, berdarah,
berlendir, purulen). Pasien harus dievaluasi untuk tanda-tanda
mengetahui dehidrasi, termasuk kencing berkurang, rasa haus,
pusing, dan perubahan status mental (Barr dan Smith, 2017).
6) Adanya kontak dengan sumber yang berpotensi tercemar patogen
penyebab diare
7) Riwayat perjalanan, aktivitas seperti berenang, kontak dengan orang
yang sakit serupa, tempat tinggal, juga pola kehidupan seksual
53
8) Adanya riwayat pengobatan dan diketahui penyakit lain seperti
infeksi HIV
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara general tidak mengarah ke diagnosis secara
spesifik namun lebih untuk menilai status hidrasi pasien. Tanda
dehidrasi pada dewasa: nadi > 90x/menit, hipotensi postural, lidah
kering, mata cekung, penurunan turgor kulit (Setiati et al, 2014).
Pemeriksaan abdomen penting untuk menilai ada tidaknya tanda
bahaya seperti nyeri perut hebat terutama pada pasien usia lanjut atau
dengan kondisi imun menurun. Pemeriksaan rektal dapat membantu
dalam menilai adanya darah, nyeri dubur, dan konsistensi feses (Barr
dan Smith, 2017).
c. Pemeriksaan Penunjang
3) Darah:
- Ureum, kreatinin
Rasa haus/muntah 1
Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg 1
Tekanan darah sistolik < 60 mmHg 2
Frekuensi nadi > 120 x/menit 1
Kesadaran apatis 1
Kesadaran somnolen, sopor, atau koma 2
Frekuensi napas > 30 x/menit 1
Facies cholerica 2
55
Vox cholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer’s woman’s hand 1
Sianosis 2
Umur 50-60 tahun -1
Umur > 60 tahun -2
57
Amebiasis Metronidazole 3x750mg
selama 5-10 hari
8. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera,
kehilangan cairan terjadi secara mendadak sehingga cepat terjadi syok
hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui feses dapat mengarah terjadinya
hipokalemia dan asidosis metabolic (Amin, 2015).
Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok
hipovolemik sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular
akut ginjal dan selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat
juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat, sehingga
rehidrasi optimal tidak tercapai (Amin, 2015).
Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama karena
EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolitik, dan
trombositopeni 12-14 hari setelah diare.
Sindrom Guillaine-Barre merupakan komplikasi, khususnya setelah
terinfeksi C. jejuni; 20-40% pasien Guillain-Barre menderita infeksi
C.jejuni beberapa minggu sebelumnya.
Artritis pasca-infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit
diare karena Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.
58
9. Prognosis
59
DAFTAR PUSTAKA
61