Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
OLEH:
SUMRIATI
(G2U120032)
1
KAJIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR YANG SERING TERJADI DI
WILAYAH PESISIR
“PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK”
A. Definisi
Menurut “The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI)” dan
WHO, COPD sebagai penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang
progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali.Keterbatasan jalan udara
biasanya dapat progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi abnormal paru-paru
terhadap partikel asing atau gas.Kondisi paling umum yang menyebabkan COPD
adalah bronkhitis kronik dan emfisema.
Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease),
PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan beberapa efek
ekstrapulmonal yang signifikan berkontribusi terhadap tingkat keparahan
penderita.Karakteristik penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara tersebut biasanya
bersifat progressif dan berhubungan dengan respon inflamasi pulmonal terhadap
partikel atau gas berbahaya
Bronkhitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mukus kronik atau
berulang kedalam cabang bronkus dengan batuk yang terjadi hamper setiap hari
selama paling tidak 3 bulan dalam setahun, dan ini berlangsung paling tidak dalam 2
tahun berturut-turut bila penyebab batuk yang lain telah dikeluarkan.Emfisema
didefinisikan sebagai pembesaran permanen yang abnormal dari ruang udara pada
posisi distal terhadap bronkhiol terminal, disertai dengan kerusakan dindingnya, tapi
tanpa fibrosis yang jelas.
B. Epidemiologi PPOK
Di seluruh dunia, PPOK menduduki peringkat keenam sebagai penyebab
utama kematian pada tahun 1990.Hal ini diproyeksikan menjadi penyebab utama
keempat kematian di seluruh dunia pada 2030 karena peningkatan tingkat merokok
2
dan perubahan demografis di banyak negara.PPOK adalah penyebab utama kematian
ketiga di Amerika Serikat dan beban ekonomi PPOK di AS pada tahun 2007 adalah
426 juta dollar dalam biaya perawatan kesehatan dan kehilangan produktivitas.
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK.Pada Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama.SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
• Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
• Pertambahan penduduk
• Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada tahun 1990-an
• Industrialisasi
• Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan
C. Etiologi PPOK
Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting. Selain itu,
terdapat faktor-faktor resiko yang lain seperti riwayat terpajan polusi udara di
lingkungan dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran nafas
berulang, dan defisiensi antitripsin alfa-1. Di Indonesia defisiensi antitripsin alfa-1
sangat jarang terjadi. Dalam pencatatan perlu diperhatikan riwayat
merokok.Termasuk perokok aktif, perokok pasif, dan bekas perokok.Derajat berat
merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok
dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun.Kategori ringan 0-200, sedang
200-600, dan berat >600.
3
D. Transmisi PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah salah satu kelompok penyakit
tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Bila Anda
sering mengalami infeksi paru-paru, waspadai kemungkinan PPOK. WHO
menyebutkan PPOK sebagai penyebab kematian keempat di dunia. PPOK paling
sering terjadi pada orang usia lebih dari 40 tahun yang merokok atau pernah merokok
sebelumnya. Dulu, PPOK lebih sering terjadi pada pria, namun sekarang risikonya
menjadi sama.
Perlu diketahui PPOK dapat menyebabkan kerusakan paru yang permanen
dan berhubungan erat dengan naiknya risiko penyakit jantung.Faktor risiko terjadinya
PPOK adalah kebiasan merokok maupun paparan asap rokok dan pencemaran udara.
PPOK adalah penyakit peradangan paru kronis yang menyebabkan terhambatnya
aliran udara keluar dari dalam paru keluar. Penderita PPOK secara alamiah lebih
rentan mengalami infeksi paru-paru. Kekambuhan akut PPOK ditandai dengan
perburukan mendadak fungsi pernapasan dan gejala PPOK.
Episode kekambuhan ini dapat bersifat ringan yaitu dapat sembuh sendiri
maupun dapat sangat buruk sampai membutuhkan alat bantu pernapasan.Sebagian
besar pasien PPOK mengalami dua kali episode kekambuhan akut dalam setahun.
Penyebab tersering kekambuhan akut PPOK adalah infeksi bakteri pada saluran
napas, walaupun infeksi virus juga dapat mencetuskannya. Kekambuhan akut PPOK
juga dapat disebabkan alergi berat akibat menghirup zat seperti polusi udara berat.
Penyebab lainnya adalah perubahan cuaca, kelelahan, tidak cukup tidur, atau
mengalami stres emosional atau kecemasan.
4
Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok
lama.Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah.Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak
mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler.Proses terlokalisir di septa
atau dekat pleura. Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
5
F. Gejala Klinis
Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan
terbentuknya sputum kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul.
Salah satu gejala yang paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea). Orang
dengan PPOK umumnya menggambarkan ini sebagai:."Saya merasa kehabisan
napas," atau "Saya tidak bisa mendapatkan cukup udara".Orang dengan PPOK
biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat melakukan olahraga berat
ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar.Selama bertahun-tahun, dyspnea
cenderung untuk bertambah parah secara bertahap sehingga dapat terjadi pada
aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga.Pada
tahap lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat menjadi begitu buruk yang terjadi selama
istirahat dan selalu muncul.
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan.Ketika ini
terjadi, sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh
kekurangan oksigen dalam darah, bisa terjadi.Kelebihan karbon dioksida dalam darah
dapat menyebabkan sakit kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis).Salah satu
komplikasi dari PPOK parah adalah cor pulmonale, kejang pada jantung karena
pekerjaan tambahan yang diperlukan oleh jantung untuk memompa darah melalui
paru-paru yang terkena dampak.Gejala cor pulmonale adalah edema perifer, dilihat
sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan dyspnea.
6
Bronkodilator
Bronkodilator digunakan untuk mengontrol gejala; tidak ada golongan
farmakologi yang terbukti memberikan keuntungan lebih dibanding yang lain,
meskipun terapi inhalasi lebih disukai. Pemilihan pengobaan didasarkan pada
kepatuhan pasien, respon individu, dan efek samping.Pengobaan dapat dipakai
sesuai kebutuhan atau didasarkan pada jadwal, dan terapi tambahan sebaiknya
ditambahkan pada tahapan tergantung respon dan keparahan penyakit.Keuntungan
klins bronkodilator termasuk peningkatan kapasitas latihan fisik, penurunan
terperangkapna udara, dan peredaran gejala seperti dispnea. Namun, peningkatan
berarti pada penentuan fungsi paru-paru seperti FEV mungkin terlihat
Simpatomimetik
- Simpatomimetik selektif β2 menyebabkan relakasai otot polos bronkial dan
bronkodilatasi dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan
pembentukan adenosin monofosfat siklik (cAMP). Simpatomimetik juga dapat
meningkakan klirens mukosiliar.
- Pemberian melalui metered-dose inhaler (MDI) atau dry-poedwr inhaler (DPI)
setidaknya seefektif terapi nebulisasi dan biasanya lebi disukai karena alasana
biaya dan kenyamanan.
- Albuterol, levalbuterol, bitolterol, pributerol dan terbutalin merupakan agen
aksi pendek yang lebih disukai karena mempunyai selektivitas β2 lebih besar
dan durasi aksi lebih panjang dibandingkan aksi pendek lainnya (isoproterenol,
metaproterenol, dan isoetarin) rute inhalasi lenih diminati dibandingkan rute
oral dan parenteral dalam hal efikasi dan efek samping. Agen aksi pendek dapat
digunakan untuk meredakan gejala secara akut atau berdasarkan jadwal untuk
mencegah aau meredakan gejala. Durasi aksi agonis β2 aksi pendek adalah 4
hingga 6 jam.
- Formaterol dan salmoeterol merupakan agonis β2 inhalasi aksi panjang yang
diberikan setiap 12 jam berdasarkan jadwal dan menghasilkan bronkodilatasi
selama interval dosis. Penggunaan agen ini sebaiknya dipertimbangkan untuk
7
pasien yang memperlihatkan kebutuhan yang sering akan agen aksi pendek.
Tidak satupun obat yang diindikasikan untuk peredaan gejala secara akut.
Antikolinergik
- Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik memproduksi
bronkodilatasi dengan menginhibis reseptor kolinergik secara kompetitif pada
otot polos bronkial. Aktivitas ini meblok asetilkolin, yang efek selanjutnya
adalah pengurangan guonosin monofosfat siklik (cGMP), yang umumnya
mengkontriksi otot pols bronkial.
- Ipratropium bromida memiliki onset yang lebih lambat dibandingkan agonis β 2
aksi pendek (15 hingga 20 menit vs 5 menit untukalbuterol). Karena alasan ini
obat tersebut kurang sesuaiuntuk penggunaan ketika dibutuhkantetapi sering
diresepkan untuk keadaan ini. Ipratropium memilk efek bronkodilator yang
lebih panjang dibandingkan agonsi β2 aksi pendek. Efek puncaknya muncul
pada 1,5 hingga 2 jam dan durasinya adalah 4 hingga 6 jam. Dosis yang
direkomendasikan menggunakan MDI adalah 2 hirup 4 kali sehari dengan
peningkatan bertahap yang sering hingga 24 hirup/hari. Obat ini juga tersedia
dalam bentuk larutan untuk nebulisasi. Keluhan dari pasien yang paling sering
adalah mulut kering, mual dan kadang rasa seperti logam. Karena anti
kolinergiktidak diserap baik secara sistemik, efek sampingnya jarang terlihat
(pandangan kabur, retensi, urinari, mual dan takikardia)
- Triotropium bromida merupakan agen aksi panjang yang memberikan
perlindungan terhadap bronkontriksi kolinergik selama lebih 24 jam. Onset
terjadi dalam 30 menit dan efek puuncak terjadi dalam waktu3 jam. At ini
diberikan menggunakan Handihaler, suatu alat nafasberaktuator untuk sekali isi
serbuk kering. Dosis yang direkomendasikan adalah inhaasi isia satu kapsul satu
kali sehari menggunakan alat inhalasi Handihaler, karena efeknya yang lokal,
trotropium ditoleransi dengan baik. Efek antikolnergik lain juga telah dilapokan.
Kombinasi antikolinegik dan simpatomimetik
8
- Kombinasi antikolinergik inhalasi dengan agonis β2 sering digunakan seiring
waktu. mengkombinaskan beronkodilator dengan mekanisme yang efek
samping dari masing-masing zat. Kombinasi kedua agonis β 2 aksi pendek dan
aksi panjang dengan ipratropium menunjukan pertambahan peredaan gejala dan
peningkatan fungsi paru-paru.
- Sediaan kombinasi yang mengandung albuterol dan ipratropium dalam MDI
digunakan untuk terapi pemeliharaan COPD.
Metilxantin
- Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan meninhibisi
fosfodiesterase (yang kemudian meningakan kadar cAMP), inhibisi influks ion
kalsium ke dalam otot polos, antagonis prostaglandin, stimuvasikatekovamin
endogen, antagonis reseptor adenosine dan inhibisi elepasan mediator. Dari sel
mast dan leukosit.
- Penggunaan kronik teofilin dalam COPD menununjukan peningkatan fungsi
paru-paru, termasuk kapasitas vital dan FEV. Secra subjektif teofilin
mengurangi dispnea, meningkatkan toleransi terhadapa latihan, dan
memperbaiki kendali respirasi. Efek nonpulmonari yang mungkinn
berkontribusi terhadap kapisitas fungsional yang lebih baik termasuk
peningktan fungsi kardiak dan enurunan tekanan arteri pulmonari.
- Metilxantin tidak lagi dipakai sebagai obat pilihan pertama dalam COPD.
- Seperti bronkodilator lain dalam CPOD, parameter selain yang objektif seperti
FEV, harus dimonitor untuk memastikan efikasi, parameter subjektif seperti
perbaikan yang dirakan dalam dispnea dan toleransi latihan fisik, merupakan hal
penting dalam menilai penerimaan metilxantin untuk pasien COPD.
- Sediaan teofilin lepas lambat meningkatkan kepuasan pasien dan mencapai
konsentrasi serum yang lebih konsisten dibandingka sediaan teofilin lepas
lambat ke yang lain karena ada variasi karakteristik lepas lambat.
9
- Peranan teofilin dalam COPD adalah sebagai terapi pemeliharaan pada pasien
sakit bukan akut. Terapi dapat diawali pada dosis 200 mg dua kali sehari dan
ditingkatkan bertahap setiap 3 hingga 5 hari sampai dosis target; kebanyakan
pasien memerlukan dosis harian 400 hingga 900 mg.
- Penyesuaian dosis sebaiknya dibuat berdasarkan hasil konsetrasi pada serum.
Rentang terapeutik pada konservatif antara 8 hingga 15 mcg/Ml lebih disukai
pada manula untuk mengurangi kecenderungan terjadinya toksisitas. Jika dosis
telah ditetapkan, konsentrasi harus ditetepkan sekali atau dua kali setahun
kecuali penyakit memburuk, ada pengobatan yang mempengaruhi metabolisme
teofilin atau dicurigai terjadi toksisitas.
- Efek samping teofilin yang paling umum termasuk dispsia, mual, muntah, diare,
sakit kepala, pusing dan takikardia. Aritmia dan seuzure dapat muncul, terutama
pada konsentrasi toksik.
- Faktor yang dapat menurunkan klirens teofilin dan menghasilkan penurunan
kebutuhan dosis termasuk bertambahnya umur, pneumonia arena bakteri atau
virus, gagal jantung, disfungsi hati, hipoksemia dari dekompensasi akut, dan
penggunaan obat seperti antibiotik simetidin, makrolida dan florokuinolon.
- Faktor yang dapat meningkatkan klirens teofilin dan menyebabkan kebutuhan
akan dosis yang lebih tinggi termasuk merokok tembakau atau marijuana,
hipertiroid, dan penggunaan obat seperti fenitoin, fenobarbital, dan rifampisin.
2. Terapi Farmakologis untuk PPOK yang Memburuk
Tujuan terapi untuk pasien yang mengalami COPD yang memburuk adalah
pencegahan masuk ke rumah sakit atau perawatan di rumah sakit.Pencegahan
kegagalan respirasi akut dan kematian, dan peredaan gejala dan pengembalian kepada
status klinis dan kualitas hidup dasar.
Bronkodilator
- Dosis dan frekuensi bronkodilator ditingkatkan pada keparahan akut untuk
menyediakan peredaan gejala. Agonis β2 aksi pendek lebih disukai karena
10
onset aksi yang cepat. Zat antikolinergik dapat diambahkan jika gejala
bertahan meskipun dosis agonis β2 ditingkatkan.
- Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI atau nebulasi dengan efek yang
serupa. Nebulasi dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan dispnea parah
yan tidak dapat menahan nafas setelah pemakaian MDI.
- Bukti klinis yang mendukung penggunaan teofilin saat keadaan memburuk
hampir tidak ada, dan oleh karenanya penggunaan teofilin sebaiknya
dihindari. Teofilin dapat dipertimbangkan untuk pasien yang tidak merespon
kepada terapi lain.
Kortikosteroid
- Hasil pengujian klinis menyarankan kepada pasien dengan CPOD yang
memburuk secra akut untuk menerima kortikosteroid oral atau intravena dalam
jangka pendek. Karena variabilitas yang besar dalam rentang dosis yang
diganakan dalam pengujian ini, dosis optimum dan durasi tidak diketahui.
- Terlihat bahwa terapi jangka pendek (9 hingga 14 hari) sama efektifnya dengan
terapi jangka panjang dan dengan resiko efek samping yang lebih rendah. Jika
terapi dilanjutkan untuk lebih dari 2 minggu, jadwal oral yang diturunkan
bertahap sebaiknya diberikan untuk menghindarisupresi poros hipotalamus-
pituitari-adrenal.
Terapi antimikroba
- Meskipun kebanyakan CPOD yang memburuk diperkirakan karena infeksi
virus atau bakteri, sebanyak 30% keparahan tidak diketahui penyebabnya.
- Antibiotik paling mengntungkan dan sebaikya dimulai jikadua dari tiga gejala
berikut tampak ; peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum, dan
peningkatan kandungan nanah sputum. Kegunaan pewarnaan gramsputm dan
kultur dipertanyakan karena di beberapa pasien terdapat kolonisasi bakteri
kronik pada cabang bronkus diantara keadaan buruk.
11
- Pemilihan antimikroba empirik esbaiknya didassarkan pada organisme yang
paling mungkin. Organisme yang paling umum untuk CPOD memburuk akut
adalah Haemophilus, influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus
pneumonia, dan Haemophilus parainflunenza.
- Terapi sebaiknya dimulai dalam 24 jam setelah munculnya gejala untuk
mencegah pasien di bawah ke rumah sakit dan dilanjutkan selama paling tidak 7
hingga 10 hari.pemberian selama 5 hari dengan beberapa agen memberikan
efek yang sebanding.
- `pada keadaan memburuk tanpa komplikasi terapi yang direkomendasikan
termasuk makrolida (azitromisin, klaritromisin), sefalosporin generasi kedua
atau ketiga atau doksisiklin. Trimetoprim-sulfametoksazol sebaiknya tidak
digunakan karena meningkatka resistensi pneumococcus. Amoksisilin dan
sefalosporin generasi pertama tidak direkomendasikan karena kerentanan dari
βlaktamase. Eritromiksin tidak direkomendasikan karena insufisiensi aktivitas
melawan H.influenza.
- Pada keadaan memburuk dengan komplikasi dengan resiko Pseudomonas
aeruginosa, terapi yang direkomendasikan termasuk fluorokuinolon dengan
peningkatan aktivitas terhadap Pneumococcus dan P.aeruginosa levofloksasin,
gatiflokssin, moksifloksasin). Jika terapi intravena diperlukan, penisilin resisten
βlaktamase dengan aktivitas antipseudomonal atau sefalosporin generasi
keempat dengan aktivitas antipseudomonal sebaiknya digunakan.
Pengobatan lain
Pasien dari segala tingkat keparahan akan mendapatkan keuntungan dari
kegiatan rehabilitasi. Peningkatan kondisi pasien bisa dilihat setelah melakukan
program rehabilitasi pulmonari. Lama waktu minimum yang efektif untuk
rehabilitasi adalah 6 minggu, semakin lama program semakin bagus buat pasien.
- Terapi oksigen
12
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di
ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau
SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi,
tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala
yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup
dengankadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%.
Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar
PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi
adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik.
- Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat
adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki
gejala.Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik
yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi
mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi.Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik
dengan intubasi.Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized
Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten
menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%.Hasil ini
menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan
frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD,
2009).
- Terapi pembedahan
Terapi pembedahan pada PPOK memiliki beberapa
keuntungan.Keuntungan dari LVRS (Lung Ventilation Reduction Surgery) dari
pada terapi medis lainnya adalah lebih signifikan hasilnya pada pasien dengan
13
empidema pada lobus bawah dan pada pasien dengan kapasitas aktifitas fisik
rendah karena pengobatan.Pada beberapa pasien dengan PPOK sangat parah,
transplatasi paru menunjukkan peningkatan kualitas hidup yang baik.
Bronkodilator adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK,
terapi inhalasi lebih dipilih dan bronkodilator diresepkan sebagai pencegahan/
mengurangi gejala yang akan timbul dari PPOK. Bronkodilator inhalasi kerja lama
lebih efektif dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat.
Agonis β-2 kerja singkat baik yang dipakai secara reguler maupun saat
diperlukan (as needed) dapat memperbaiki FEV1 dan gejala, walaupun pemakaian
pada PPOK tidak dianjurkan apabila dengan dosis tinggi.Agonis β-2 kerja lama,
durasi kerja sekitar 12 jam atau lebih.Saat ini yang tersedia adalah formoterol dan
salmeterol.Obat ini dipakai sebagai ganti agonis β-2 kerja cepat apabila
pemakaiannya memerlukan dosis tinggi atau dipakai dalam jangka waktu lama. Efek
obat ini dapat memperbaiki FEV1 dan volume paru, mengurangi sesak napas,
memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan kejadia eksaserbasi, akan tetapi tidak
dapat mempengaruhi mortaliti dan besar penurunan faal paru. Agonis β-2 dengan
durasi kerja 24 jam , preparat yang ada adalah indacaterol.
Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV1<60%,
pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala,
meningkatkan fungsi paru dan kualtias hidup dan menurunkan frekuensi eksaserbasi.
Kortikosteroid inhalasi diasosiasikan dengan peningkatan pneumonia.Penghentian
tiba-tiba terapi dengan kortikosteroid inhalasi bisa menyebabkan eksaserbasi di
beberapa pasien. Terapi monoterm jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi
tidak direkomendasikan. Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta 2
agonist kerja lama lebih efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan
bronkodilator dalam peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi pada
pasien dengan PPOK sedang sampai sangat berat. Pengobatan jangka panjang dengan
kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
14
Phosphodiesterase-4 inhibitors, pada GOLD 3 dan GOLD 4 pasien dengan
riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronis, phosphodiesterase-4 inhibitor roflumilast ini
mengurangi eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan kortikosteroid oral.
H. Pencegahan PPOK
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan dan pencegahan jangka
panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan dipoliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat
darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik
rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan
memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi
harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan
sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang
harus diberikan adalah:
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
15
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
priority bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waku tertentu atau kalau
perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya. Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi
sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada
16
setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang
ireversibel.
17
DAFTAR PUSTAKA
Soetedjo, Farida A, 2007, “Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), Ilmu Penyakit
Dalam: Yogyakarta
Suradi, 2007, “Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Ppok) Tinjauan
Patogenesis, Klinis Dan Sosial, Universitas Sebelas Maret Press: Surakarta
Wijaya, Paramartha, 2010, “Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Paru Obstruktif
Kronis”, Ilmu Penyakit Dalam : Denpasar
18