Kaitan Kebudayaan Minahasa Dengan Etika PL Dan PB (Irfandy Kentey)
Kaitan Kebudayaan Minahasa Dengan Etika PL Dan PB (Irfandy Kentey)
Bentuk utama etika Perjanjian Lama adalah prakarsa dan tanggapan. Kemudian
Prakarsa dan tanggapan ini terbagi lagi kedalam empat bentuk yaitu: menanggapi perbuatan
Allah, mengikuti teladan Alah, hidup di bawah pemerintahan Allah, dan menaati perintah
Allah.
Etika dalam Perjanjian Lama dianggap sebagai tanggapan terhadap prakarsa ilahi.
Konsep ini lahir dari sejarah bangsa Israel ketika Allah mengeluarkan mereka dari
perbudakan di Mesir. Kemudian Allah memberikan hukum kepada manusia. Manusia
menanggapi hukum tersebut dengan kepatuhan kepada kehendak Allah yang menjadi
ungkapan rasa syukur karena sebenarnya bangsa Israel tidak layak menerima pemberian-
pemberian Allah tersebut. Dengan demikian etika Perjanjian Lama merujuk ke arah masa
depan dimana tanggapan-tanggapan manusia akan menjadi serasi dengan cara Allah
bertindak terhadap mereka. Kedua mengikuti teladan Allah dengan memperlihatkan sifat
Allah melalui kelakuan manusia. Ketiga adalah manusia berada di bawah pemerintahan Allah
dan manusia menaati perintah Allah. Poin ketiga dan keempat ini saling terkait.
Selain itu, ajaran etik Yesus juga meminta kepada manusia untuk menjadi seorang
manusia yang bersifat ilahi. Kata ilahi ini memiliki arti menjadi seseorang yang lebih baik
dari yang lain. Sebagai contoh, Yesus mengajarkan "Janganlah kamu melawan orang yang
berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun menampar pipi kananmu, berilah juga
kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena
mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa yang menyuruh engkau berjalan
berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. (Matius 5;39-41).
Nasihat untuk hidup dalam kasih (Roma 12:10) Sikap terhadap sesama.
Orientasi nilai yang berkaitan dengan sikap dan perilaku terhadap sesama dapat
ditemukan pada ungkapan-ungkapan misalnya; masigi-sigian, maupu-upusan, maleo-
leosan. Secara sederhana ungkapan-ungkapan ini biasanya diterjemahkan: saling
menghormati, saling mengasihi, saling bersikap jujur satu terhadap yang lain. Namun,
substansi ungkapan-ungkapan ini tidak hanya dipahami secara harafiah, melainkan dalam
rangka orientasi nlai yang hendak menjelaskan wawasan dan sikap kultural-religius orang
Minahasa yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia. Wawasan kultural ini
hendak menjelaskan pula prinsip moral-etis orang Minahasa terhadap sesama, yakni saling
menghormati dan mengasihi. Sikap ini sekaligus suatu perwujudan sikap hormat terhadap
Yang Ilahi, Tuhan, yang biasanya disapa dengan sebutan-sebutan yakni: Opo Kasuruan
Wangko, Opo Wananatas, Opo Wailan.
Mengajar untuk Hidup Kudus (Imamat 19:32) Kewajiban moral terhadap sesama.
Orientasi nilai yang berikut ini adalah kesadaran akan kewajiban untuk melayani sesama
manusia. Hal ini terungkap lewat misalnya, dalam masyarakat Minahasa khususnya Toutemboan,
yang disebut masaali. Istilah ini merupakan suatu sikap dan tingkah laku anak-anak terhadap orang
tua. Adalah kewajiban anak-anak untuk merawat orang tua mereka di saat lanjut usia. Pelayanan
seperti ini merupakan juga ungkapan mengenai kesadaran etis-religius akan kehormatan seseorang
terhadap Yang Ilahi (Tuhan). Kata lain, penghormatan terhadap Tuhan diungkapkan pula lewat
kehidupan moral-praktis, yakni melayani sesama manusia. Jadi, praktek pelayanan seperti terlihat
pada masaali mengandung nilai etis-religius yang berkaitan dengan kesadaran akan kewajiban moral
seseorang terhadap sesama manusia.