Anda di halaman 1dari 13

Pengenaan Penghasilan dimana Harta Terletak dan Kredit Pajak

di Negara Penerima Penghasilan Pengenaan Pajak Induk


Perusahaan Pelayaran & Perusahaan Penerbangan

Disusun Oleh Kelompok 1 :


Adam Djuan Fahrizal (CA181110382)
Afdilah Syafira D (CA181110537)
Aldi Ardiansyah (CA181110376)
Chusnul Chotimah (CA181112365)
Clara Shinta Alverena (CA181112435)

Mata Kuliah :
Perbandingan Administrasi Perpajakan Internasional

Dosen :
Licke Bieattant, SE, M.Ak

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


INSTITUT ILMU SOSIAL DAN MANAJEMEN STIAMI

2021
A. Pengenaan Penghasilan Harta Tak Bergerak

PENGHASILAN dari harta tak bergerak merupakan salah satu bentuk penghasila n
pasif (passive income). Yaitu, penghasilan yang secara prinsip diperoleh dengan tidak
terlibat secara langsung. Dalam OECD Model dan UN Model, pemajakan atas penghasila n
dari harta tak bergerak yang terletak di suatu negara yang dimiliki oleh subjek pajak dalam
negeri dari negara lainnya diatur dalam Pasal 6.

Pemajakan atas penghasilan dari harta tak bergerak berdasarkan Pasal 6 OECD
Model dan UN Model tidak memperhatikan di mana pihak yang membayarkan penghasila n
bertempat kedudukan. Namun, hanya memperhatikan di mana subjek pajak dalam negeri
yang menerima penghasilan berdomisili dan di mana letak dari harta tak bergerak yang
menghasilkan penghasilan tersebut.

Dalam hal ini, harta tak bergerak tersebut harus terletak atau berada di negara yang
berbeda dengan negara di mana subjek pajak dalam negeri yang menerima penghasila n
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan (negara domisili). Oleh karena itu, Pasal 6
OECD Model dan UN Model tidak berlaku untuk penghasilan dari harta tak bergerak yang
terletak di negara domisili ataupun negara ketiga.

Terkait alokasi hak pemajakan, Pasal 6 ayat (1) OECD Model dan UN Model
memberikan hak pemajakan utama secara tidak terbatas (primary unlimited jurisdiction to
tax) kepada negara sumber untuk mengenakan pajak yang timbul dari harta tak bergerak
yang terletak (situated) di negara sumber tersebut. Atau dengan kata lain, pemajakan atas
penghasilan dari harta tak bergerak menganut prinsip situs (situs principle). Yaitu, pajak
dikenakan di negara di mana harta tak bergerak terletak (situated).

Di lihat dari sisi pengalokasian hak pemajakan, Pasal 6 ayat (1) memberika n
keuntungan lebih kepada negara sumber. Selain itu, tidak seperti penghasilan pasif lainnya
(bunga dan dividen), OECD Model dan UN Model tidak membatasi hak pemajakan negara
sumber atas penghasilan dari harta tak bergerak.

Pada dasarnya, Pasal 6 OECD Model dan UN Model tidak mendefinisikan istila h
harta tak bergerak secara khusus. Namun, menyerahkan penjelasan mengenai definis i
tersebut kepada kepada ketentuan domestik dari negara sumber di mana properti tersebut
terletak. Akan tetapi, terlepas dari adanya pendelegasian ini, sebenarnya rumusan Pasal 6
ayat (2) OECD Model dan UN Model telah memberikan pandangannya mengenai definis i
dari harta tak bergerak itu sendiri.

Dari rumusan Pasal 6 ayat (2), pengertian harta tak bergerak untuk tujuan penerapan P3B
meliputi:

1. Benda-benda yang menyertai harta tak bergerak, yang umumnya mencakup objek fisik
yang terpasang secara permanen pada harta tak bergerak seperti bangunan, instalas i
permanen;

2. Ternak dan peralatan yang dipergunakan dalam pertanian;

3. Hak-hak yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berkenaan dengan pertanahan berlaku; (iv) hak memungut hasil atas harta tak bergerak
dan hak atas pembayaran-pembayaran tidak tetap atau tetap sebagai imbalan atas
pengerjaan atau hak untuk mengerjakan, kandungan mineral, dan sumber-sumber daya
alam lainnya.

Penghasilan dari harta tak bergerak pada umumnya diterapkan dari pemanfaatan
langsung (direct use) harta tak bergerak, penyewaan, ataupun bentuk pemanfataan lainnya
atas harta tak bergerak, seperti pengalihan harta tak bergerak. Hal ini sebagaimana rumusan
yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) OECD Model dan UN Model.

Dalam hal harta tak bergerak yang dimiliki oleh suatu perusahaan subjek pajak
dalam negeri suatu negara (negara domisili) terletak di negara lainnya (negara sumber),
Pasal 6 ayat (4) OECD Model dan UN Model mengatur bahwa hak pemajakan atas
penghasilan dari harta tak bergerak hanya dikenakan pajak di negara sumber. Hal ini
mencakup harta tak bergerak yang merupakan bagian harta dari suatu BUT yang terletak
di negara lainnya. Dengan demikian, Pasal 6 ayat (4) menunjukkan dengan jelas bahwa
pasal yang berlaku untuk pemajakan atas penghasilan dari harta tak bergerak yang dimilik i
oleh perusahaan adalah Pasal 6 dan bukan Pasal 7.

Dalam ketentuan lama diatur persyaratan formal agar dapat kredit pajak luar negeri,
yaitu melampirkan laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
fotokopi SPT yang disampaikan di luar negeri; dan dokumen pembayaran pajak di luar
negeri. Kententuan formal tersebut masih berlaku atas jenis penghasilan dividen. Namun,
dalam PMK 192/2018, aturan dokumen tersebut sudah tidak ada lagi. PMK ini hanya
mensyaratkan dokumen-dokumen yang setara dengan surat setoran pajak (SSP).
Bukti pemenuhan pembayaran PPh luar negeri bagi WPDN yang mengkreditka n
PPh luar negeri dapat berupa salinan bukti pembayaran atau bukti pemotongan PPh luar
negeri atau salinan bukti lainnya yang dapat menunjukkan adanya pembayaran atau
pemotongan PPh luar negeri. Bukti pemenuhan pembayaran PPh luar negeri ini sekurang-
kurangnya memuat data atau informasi berupa nama WPDN dan jumlah PPh luar negeri.

Dalam hal WPDN memperoleh penghasilan usaha dan/atau penghasila n


dari trust di luar negeri yang dikenai PPh di tingkat trust, bukti pemenuhan pembayaran
PPh luar negeri dapat digantikan dengan SPT tahunan PPh yang disampaikan di luar negeri
oleh cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri dan/atau SPT tahunan PPh atau bukti
pembayaran PPh luar negeri yang dilakukan oleh trust.

Demikian penjelasan mengenai mekanisme pengkreditan pajak luar negeri yang


diatur dalam PMK 192/2018. Selanjutnya, akan diulas mengenai contoh-contoh
penggabungan penghasilan dan perhitungan pengkreditan pajak luar negeri untuk wajib
pajak badan.

1. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang dari penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang
terutang di Indonesia ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit antara :
 Hasil dari pajak penghasilan yang pada seharusnya terutang, dipotong, atau
dibayar di luar negeri dengan cara memperhatikan ketentuan yang ada di dalam
P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku secara efektif
 Jumlah PPh Luar Negeri
 Jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan sebagai berikut :

2. Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberpa negara, maka perhitunga n
PPh pasal 24 dilakukan untuk masing- masing negara.
3. Dalam hal pasangan suami- istri sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)
menghendaki dengan secara tertulis perjanjian pemisahan harta dan penghasila n,
atau istri mengambil pilihan untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakann ya
sendiri dengan dasar kehendaknya sendiri, besarnya jumlah dari PPh Luar Negeri
yang dapat dikreditkan oleh masing- masing suami atau istri ditentukan berdasarka n
jumlah yang paling sedikit di antara :
 Jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di
luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumbe r
penghasilan di luar negeri untuk masing- masing suami atau istri denga n
memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah
berlaku efektif;
 Jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
sumber penghasilan di luar negeri untuk masing- masing suami atau istri; dan
 Jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri oleh masin g-
masing suami atau istri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan denga n
Pajak Penghasilan yang keadaannya terutang atas Penghasilan Kena Pajak,
paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yang ditanggung secara
individual untuk masing – masing suami atau istri.
4. Dalam hal penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di
luar negeri berasal dari Trust, besarnya PPh Luar Negeri ditentukan sebaga i
berikut:
 Sebesar pajak penghasilan atau bagian pajak penghasilan atas penghasila n
yang diperoleh WPDN, dalam hal Trust di luar negeri dikenai pajak
penghasilan di tingkat Trust; dan
 Sejumlah pajak penghasilan atas penerimaan penghasilan yang diterima oleh
WPDN, dalam hal Trust di luar negeri tidak dikenai pajak penghasilan di
tingkat Trust.
5. Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (UU PPh Pasal 4 ayat 2)
dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersend iri (UU PPh Pasal 8 ayat (1 dan
4)) tidak bisa digabungkan Bersama dengan penghasilan yang lain, baik
penghasilan diperoleh dari Dalam Negeri, maupun penghasilan yang telah
diperoleh dari Luar Negeri.
6. Untuk melaksanakan pengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib
menyampaikan Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri bagi WPDN yang
mengkreditkan PPh Luar Negeri berupa ;
 Salinan bukti pembayaran atau bukti pemotongan PPh Luar Negeri; atau
 Salinan bukti lainnya yang dapat menunjukkan adanya pembayaran atau
pemotongan PPh Luar Negeri.
 Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri sekurang-kurangnya memua t
data atau informasi berupa nama WPDN dan jumlah PPh Luar Negeri.
 Dalam hal WPDN mendapatkan pemasukan dari usaha dan/atau pemasuka n
dari Trust di luar negeri yang dikenai pajak penghasilan di tingkat Trust, bukti
dari pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri dapat digantikan denga n
menggunakan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan yang
disampaikan di luar negeri oleh cabang atau perwakilan dari WPDN yang
berada di luar negeri dan/atau surat pemberitahuan tahunan pajak penghasila n
atau bukti pembayaran PPh Luar Negeri yang dilakukan oleh Trust.
7. Dalam hal terjadinya perubahan jumlah dari pemasukan yang berasal dari luar
negeri, wajib pajak diwajibkan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan yang
bersangkutan dengan cara melakukan pelampiran dokumen-dokumen yang
berkenaan dengan perubahan yang terjadi.
8. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka
atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
9. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas
kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungka n
dengan utang pajak lainnya.
Contoh:
Misalkan WPDN, PT Renjana Abadi pada Tahun Pajak 2018 memperoleh dan
menerima penghasilan neto dengan rincian sebagai berikut:
a. Di negara X, PT Renjana Abadi memperoleh penghasilan usaha sebesar
Rp1.000.000.000;00 dan dikenai PPh Luar Negeri sebesar Rp300.000.000,00;
b. Di negara Y, PT Renjana Abadi menerima penghasilan berupa bunga sebesar
Rp3.000.000.000,00 dan dikenai PPh Luar Negeri sebesar Rp450.000.000, 00 ,
tidak terdapat pengurang penghasilan bruto atas penghasilan berupa bunga
tersebut;
c. Di negara Z, PT Renjana Abadi menderita kerugian dari penjualan harta
sebesar Rp250.000.000,00; dan
d. Penghasilan neto dalam negeri sebesar Rp4.000.000.000,00.
e. Tidak ada P3B antara Indonesia dengan negara X, negara Y, dan negara Z.
Besarnya Pajak Penghasilan terutang atas seluruh penghasilan dihitung sebaga i
berikut :
a. Penghasilan neto luar negeri:
Negara X (penghasilan usaha) Rp 1.000.000.000,00
Negara Y (penghasilan bunga) Rp 3.000.000.000,00
NegaraZ (kerugian penjualan harta) Rp 0,00
Jumlah penghasilan neto luar negeri Rp 4.000.000.000,00
b. Penghasilan neto dalam negeri Rp 4.000.000.000,00
c. Jumlah penghasilan neto fiskal Rp 8.000.000.000,00
d. Penghasilan Kena Pajak Rp 8.000.000.000,00
e. PPh Terutang (Tarif Pasal 17 UU PPh) Rp 2.000.000.000,00
Besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan per jenis penghasilan untuk
tiap negara atau yurisdiksi dilakukan sebagai berikut :
a. Penghasilan usaha dari Negara X :
1. PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X sebesar
Rp300.000.000,00;
2. Jumlah tertentu
= Rp 1.000.000.000,00/ Rp 8.000.000.000,00 x Rp 2.000.000.000,00
= Rp 250.000.000,00
Dikarenakan jumlah tertentu sebesar Rp250.000.000,00, lebih kecil
dibandingkan dengan PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X,
maka jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X yang dapat
dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang di dalam negeri hanya sebesar
jumlah tertentu, yaitu sebesar Rp250.000.000,00.
b. Penghasilan bunga dari negara Y :
1. PPh Luar Negeri atas penghasilan bunga dari negara Y sebesar
Rp450.000.000,00;
2. Jumlah tertentu:
= Rp 3.000.000.000,00/ Rp 8.000.000.000,00 x Rp 2.000.000.000,00
= Rp 750.000.000,00
Dikarenakan jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan bunga dari negara Y
sebesar Rp450.000.000,00 lebih kecil dibandingkan dengan jumlah tertentu,
maka jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan bunga dari negara Y yang dapat
dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang di dalam negeri hanya sebesar
PPh Luar Negeri, yaitu sebesar Rp450.000.000,00.
Dengan demikian, jumlah PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan oleh PT
Renjana Abadi terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di dalam neger i
adalah sebesar Rp700.000.000,00 (Rp250.000.000,00 + Rp450.000.000, 00 ).
Kerugian dari negara Z tidak dapat digabungkan dalam menghitu ng
Penghasilan Kena Pajak.

B. Kredit Pajak
Jenis pajak berdasarkan UU 36 tahun 2008 (UU PPh) ada beberapa jenis yang bisa Anda
simak dibawah ini :
1. PPh pasal 22 yang mengatur akan kegiatan impor perusahaan. Misalnya saja
pembelian bahan baku dari luar negeri tentu dikenakan PPN, PPh pasal 22 dan bea
masuk. Untuk PPh pasal 22 bagi BUMN adalah sebesar 1.5 % dari harga pembelian
sebelum dikenakan PPN. Untuk PPh pasal 22 yang sifatnya tidak final bisa dikreditkan
dari total pajak terutangnya.

2. PPh pasal 23 atas pemotongan pajak untuk transaksi bunga, royalti, deviden hadiah,
penghargaan ataupun imbalan hingga sewa. Imbalan yang dimaksud disini berupa jasa
selain yang dipotong dari PPh 21 misalnya saja jasa konsultan, konstruksi maupun
manajemen. Besaran potongan pajak dimulai dari 2-15 % tergantung objek pajaknya.

3. PPh pasal 26 ayat 5 yang mengatur tentang kredit pajak luar negeri yang sifatnya tidak
final. Sebenarnya pemotongan pajak wajib pajak luar negeri sifatnya selalu final tetapi
atas penghasilan wajib pajak orang pribadi yang mengubah status pungutan ini.

4. PPh pasal 24 mengatur tentang penghasilan yang diterima dari luar negeri yang boleh
dikreditkan. Ketentuan PPh pasal 24 ini untuk menghindari pajak berganda sehingga
besaran pajak yang dibayarkan di luar negeri bisa mengurangi pajak di Indonesia

5. PPh pasal 25 mengatur tentang kewajiban wajib pajak badan. Ketentuan pasal ini
membuat wajib pajak badan bisa mencicil pajak terutangnya setiap bulan sehingga
jumlah pajak terutang yang dibayarkan akhir tahun tidak terlalu besar.

 Pajak Luar Negeri Dapat Dikreditkan

PPh Pasal 24 mengatur mengenai hak Wajib Pajak untuk memanfaatkan kredit
pajak di luar negeri. Berdasarkan UU PPh, atas pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang (dalam tahun pajak yang sama). Hal ini untuk
meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi. Namun, tidak semua pajak
terutang di luar negeri dapat Wajib Pajak kreditkan di Indonesia. PPh Pasal 24 dapat
dikreditkan terhadap pajak yang teutang di Indonesia.

 Batas Maksimum Kredit

Metode Pengkreditan Terbatas (Ordinary Credit Method) ialah besaran Kredit


Pajak Luar Negeri tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang
berdasarkan Pasal 24 Ayat 2 Undang-Undang PPh. Penghitungan kredit pajak dihitung
dengan tetap berpegang pada peraturan batas maksimum dengan mengambil nomina l
terendah dari :
1. Jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri.
2. (Penghasilan Luar Negeri (PLN) / Penghasilan Kena Pajak ) X PPh terutang.
3. Jumlah PPh terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak, dalam hal penghasila n
kena pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

 Daftar Sumber Penghasilan Luar negeri

Sumber penghasilan dari luar negeri yang dapat menjadi pengurang pajak atau boleh
dikreditkan di dalam negeri adalah :

1. Penghasilan dari saham dan surat berharga lainnya.


2. Pendapatan lain berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan
penggunaan harta benda bergerak.
3. Jasa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan.
4. Keuntungan dari pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
5. Pendapatan yang berupa sewa terkait dengan penggunaan harta benda tidak
bergerak.
6. Keuntungan dari pengalihan harta tetap.

 Tahapan Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri

1. Tentukan Pajak Terutang atas Penghasilan Kena Pajak yang Berasal dari Dalam
Negeri maupun Luar Negeri

Penghasilan Kena Pajak = (Penghasilan Neto Fiskal DN – Kompensasi


Kerugian Fiskal) + Penghasilan Neto LN

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Penghasilan Kena Pajak


Gabungkan Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari seluruh penghasila n
termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Namun
sebagai catatan: kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungka n
dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.

PT Eksiss di Bandung memperoleh penghasilan Neto dalam tahun 2017 sebagai


berikut :

Penghasilan Dalam Negeri = Rp 800.000.000,00

Penghasilan Luar Negeri = Rp 400.000.000,00

Penghitungan PPh pasal 24:

Penghasilan Kena Pajak

penghasilan Dalam Negeri = Rp 800.000.000,00

penghasilan Luar Negeri = Rp 400.000.000,00

Penghasilan Neto = Rp 1.200.000.000,00

Total PPh terutang

25% x Rp 1.200.000.000 = Rp 300.000.000,00

2. Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri


Kredit Pajak Luar Negeri dihitung dengan tetap berpegang pada batas maksimum
Kredit Pajak Luar Negeri dengan memilih nominal terendah penghitungan PPh di
bawah ini:
PPh maksimum yang dapat dikreditkan
=(penghasilan LN : total penghasilan) x total PPh terutang
=(Rp 400.000.000 : Rp 1.200.000.000) x Rp 300.000.000,00
= Rp 100.000.000,00
PPh yang terutang atau dipotong di LN:
20% x Rp 400.000.000 = Rp 80.000.000,00
Dari perhitungan tersebut di atas kredit pajak LN yang diperbolehkan adalah
sebesar Rp80.000.000 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di LN. Jumlah
ini diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh
dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di LN, kemudian dipilih jumlah
yang terendah.
 Permohonan Pengkreditan Pajak Luar Negeri
Untuk menggunakan fasilitas pajak berupa pengkreditan pajak yang terutang di luat
negeri, Anda dapat mengajukan permohonan pengkreditan pajak luar negeri, dengan
menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri :
1. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.
2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri, dan
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

C. Pelayaran dan Penerbangan


Selain memodifikasi penghasilan Subjek Pajak luar negeri yang berupa imbala n
sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan sebagaimana dijelaskan di muka,
Model P3B Indonesia juga memodifikasi imbalan dimaksud yang diterima oleh perusahaan
pelayaran dan penerbangan yang merupakan penduduk negara treaty partner.
Berdasarkan Pasal 8 Model P3B Indonesia, laba yang bersumber di Indonesia yang
diperoleh suatu perusahaan yang merupakan penduduk negara treaty partner dari
pengoperasian kapal-kapal laut dalam jalur lalu lintas internasional dapat dikenakan
pajak di Indonesia (negara sumber), tetapi pajak yang dikenakan tersebut akan dikurangi
dengan jumlah yang sama dengan 50%-nya.
Kalau dalam Pasal 7 Model P3B Indonesia diatur bahwa Indonesia berhak memajaki
business profit sepanjang ada BUT di Indonesia, untuk penghasilan perusahaan pelayaran
dari treaty partner, Indonesia mempunyai hak pengenaan pajak atas laba yang bersumber
di Indonesia yang diperoleh dari pengoperasian kapal-kapal laut dalam jalur lalu lintas
internasional tanpa melihat apakah perusahaan asing tersebut mempunyai BUT di
Indonesia atau tidak, tetapi dengan tarif sebesar 50% dari tarif yang berlaku.
Perlu diperhatikan bahwa yang dapat dipajaki di Indonesia dengan tarif sebesar 50%
dari tarif yang berlaku adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia dari pengoperasia n
kapal laut dalam jalur lalu lintas internasional. Penghasilan sehubungan dengan
pengoperasian kapal laut dalam jalur lalu lintas domestik Indonesia tunduk sepenuhnya
pada peraturan perundang-undangan Indonesia.
Berbeda dengan perusahaan pelayaran, laba dari pengoperasian pesawat
udara dalam jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan penerbangan dari treaty partner
hanya akan dikenakan pajak di negara treaty partner tersebut (negara domisili). Indonesia
hanya berhak memajaki penghasilan sehubungan dengan pengoperasian kapal laut dalam
jalur lalu lintas domestik Indonesia.
Yang dimaksud dengan jalur lalu lintas internasional adalah jalur lalu lintas selain
yang dari dan menuju tempat-tempat yang berada di wilayah Indonesia.
Sebagai ilustrasi, Perusahaan Malaysia mengoperasikan kapal laut atau pesawat
udaranya dengan jalur Kuala Lumpur – Jakarta – Denpasar – Jakarta – Kuala Lumpur.
Yang dimaksud dengan jalur lalu lintas internasional dalam hal ini adalah jalur Kuala
Lumpur – Jakarta dan Kuala Lumpur – Denpasar (serta sebaliknya). Penghasilan dari
penumpang yang naik dari Kuala Lumpur dan turun di Jakarta atau Denpasar (dan
sebaliknya, naik dari Denpasar atau Jakarta kemudian turun di Kuala Lumpur) adalah
penghasilan dari jalur lalu lintas internasional. Sedangkan penghasilan dari penumpang
yang naik dari Jakarta kemudian turun di Denpasar adalah penghasilan dari jalur lalu lintas
domestik Indonesia.
Ingat, yang diatur dalam P3B adalah penghasilan yang berasal dari jalur lalu lintas
internasional. Penghasilan dari jalur lalu lintas domestik Indonesia akan tunduk
sepenuhnya pada aturan domestik Indonesia.
Aturan domestik Indonesia berkenaan kegiatan pelayaran dan penerbangan yang
dilakukan oleh Subjek Pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996, penghasila n
neto Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri ditetapkan
sebesar 6% dari peredaran bruto, yaitu semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang
atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak tersebut dari pengangkutan orang
dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau
dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. Adapun besarnya PPh bagi Wajib
Pajak tersebut adalah sebesar 2,64% dari peredaran bruto dan bersifat final.
Jadi, tanpa adanya P3B, penghasilan Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan luar negeri akan dikenakan PPh sebesar 2,64% dari peredaran bruto baik atas
penghasilan yang berasal dari jalur lalu lintas internasional maupun yang berasal dari jalur
lalu lintas domestik Indonesia. Dengan adanya P3B, penghasilan yang berasal dari jalur
lalu lintas internasional akan dimodifikasi menjadi :
1. Untuk perusahaan pelayaran, ada potongan 50% sehingga tarifnya menjadi 1,32% dari
peredaran bruto; dan
2. Untuk perusahaan penerbangan, ada pembebasan pemotongan PPh.
 PPh Pasal 15 atas Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
1. Objek Pajak

Objek PPh-nya adalah Semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai
uang dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar
negeri.

Dengan demikian yang tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau
diperoleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebutadalah yang
dari pengangkutan orang dan/atau barang dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di
Indonesia.

2. Tarif

Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan


Luar Negeri ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto.

Pengertian peredaran bruto di sini adalah semua imbalan atau nilai pengganti
berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan
Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang
yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan
di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau


Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen)
dari peredaran bruto dan bersifat final.

3. Pemotong

Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang
membayar/mencharter wajib melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau
terutang.

Penghasilan selain berdasarkan perjanjian charter, maka Wajib Pajak Perusahaan


Pelayaran dan/atau Penerbangan luar Negeri Wajib menyetor sendiri.

Anda mungkin juga menyukai