0320170035-23229-210531113957 (m7 Kel1)
0320170035-23229-210531113957 (m7 Kel1)
Mata Kuliah :
Perbandingan Administrasi Perpajakan Internasional
Dosen :
Licke Bieattant, SE, M.Ak
2021
A. Pengenaan Penghasilan Harta Tak Bergerak
PENGHASILAN dari harta tak bergerak merupakan salah satu bentuk penghasila n
pasif (passive income). Yaitu, penghasilan yang secara prinsip diperoleh dengan tidak
terlibat secara langsung. Dalam OECD Model dan UN Model, pemajakan atas penghasila n
dari harta tak bergerak yang terletak di suatu negara yang dimiliki oleh subjek pajak dalam
negeri dari negara lainnya diatur dalam Pasal 6.
Pemajakan atas penghasilan dari harta tak bergerak berdasarkan Pasal 6 OECD
Model dan UN Model tidak memperhatikan di mana pihak yang membayarkan penghasila n
bertempat kedudukan. Namun, hanya memperhatikan di mana subjek pajak dalam negeri
yang menerima penghasilan berdomisili dan di mana letak dari harta tak bergerak yang
menghasilkan penghasilan tersebut.
Dalam hal ini, harta tak bergerak tersebut harus terletak atau berada di negara yang
berbeda dengan negara di mana subjek pajak dalam negeri yang menerima penghasila n
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan (negara domisili). Oleh karena itu, Pasal 6
OECD Model dan UN Model tidak berlaku untuk penghasilan dari harta tak bergerak yang
terletak di negara domisili ataupun negara ketiga.
Terkait alokasi hak pemajakan, Pasal 6 ayat (1) OECD Model dan UN Model
memberikan hak pemajakan utama secara tidak terbatas (primary unlimited jurisdiction to
tax) kepada negara sumber untuk mengenakan pajak yang timbul dari harta tak bergerak
yang terletak (situated) di negara sumber tersebut. Atau dengan kata lain, pemajakan atas
penghasilan dari harta tak bergerak menganut prinsip situs (situs principle). Yaitu, pajak
dikenakan di negara di mana harta tak bergerak terletak (situated).
Di lihat dari sisi pengalokasian hak pemajakan, Pasal 6 ayat (1) memberika n
keuntungan lebih kepada negara sumber. Selain itu, tidak seperti penghasilan pasif lainnya
(bunga dan dividen), OECD Model dan UN Model tidak membatasi hak pemajakan negara
sumber atas penghasilan dari harta tak bergerak.
Pada dasarnya, Pasal 6 OECD Model dan UN Model tidak mendefinisikan istila h
harta tak bergerak secara khusus. Namun, menyerahkan penjelasan mengenai definis i
tersebut kepada kepada ketentuan domestik dari negara sumber di mana properti tersebut
terletak. Akan tetapi, terlepas dari adanya pendelegasian ini, sebenarnya rumusan Pasal 6
ayat (2) OECD Model dan UN Model telah memberikan pandangannya mengenai definis i
dari harta tak bergerak itu sendiri.
Dari rumusan Pasal 6 ayat (2), pengertian harta tak bergerak untuk tujuan penerapan P3B
meliputi:
1. Benda-benda yang menyertai harta tak bergerak, yang umumnya mencakup objek fisik
yang terpasang secara permanen pada harta tak bergerak seperti bangunan, instalas i
permanen;
Penghasilan dari harta tak bergerak pada umumnya diterapkan dari pemanfaatan
langsung (direct use) harta tak bergerak, penyewaan, ataupun bentuk pemanfataan lainnya
atas harta tak bergerak, seperti pengalihan harta tak bergerak. Hal ini sebagaimana rumusan
yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) OECD Model dan UN Model.
Dalam hal harta tak bergerak yang dimiliki oleh suatu perusahaan subjek pajak
dalam negeri suatu negara (negara domisili) terletak di negara lainnya (negara sumber),
Pasal 6 ayat (4) OECD Model dan UN Model mengatur bahwa hak pemajakan atas
penghasilan dari harta tak bergerak hanya dikenakan pajak di negara sumber. Hal ini
mencakup harta tak bergerak yang merupakan bagian harta dari suatu BUT yang terletak
di negara lainnya. Dengan demikian, Pasal 6 ayat (4) menunjukkan dengan jelas bahwa
pasal yang berlaku untuk pemajakan atas penghasilan dari harta tak bergerak yang dimilik i
oleh perusahaan adalah Pasal 6 dan bukan Pasal 7.
Dalam ketentuan lama diatur persyaratan formal agar dapat kredit pajak luar negeri,
yaitu melampirkan laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
fotokopi SPT yang disampaikan di luar negeri; dan dokumen pembayaran pajak di luar
negeri. Kententuan formal tersebut masih berlaku atas jenis penghasilan dividen. Namun,
dalam PMK 192/2018, aturan dokumen tersebut sudah tidak ada lagi. PMK ini hanya
mensyaratkan dokumen-dokumen yang setara dengan surat setoran pajak (SSP).
Bukti pemenuhan pembayaran PPh luar negeri bagi WPDN yang mengkreditka n
PPh luar negeri dapat berupa salinan bukti pembayaran atau bukti pemotongan PPh luar
negeri atau salinan bukti lainnya yang dapat menunjukkan adanya pembayaran atau
pemotongan PPh luar negeri. Bukti pemenuhan pembayaran PPh luar negeri ini sekurang-
kurangnya memuat data atau informasi berupa nama WPDN dan jumlah PPh luar negeri.
1. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang dari penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang
terutang di Indonesia ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit antara :
Hasil dari pajak penghasilan yang pada seharusnya terutang, dipotong, atau
dibayar di luar negeri dengan cara memperhatikan ketentuan yang ada di dalam
P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah berlaku secara efektif
Jumlah PPh Luar Negeri
Jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan sebagai berikut :
2. Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberpa negara, maka perhitunga n
PPh pasal 24 dilakukan untuk masing- masing negara.
3. Dalam hal pasangan suami- istri sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)
menghendaki dengan secara tertulis perjanjian pemisahan harta dan penghasila n,
atau istri mengambil pilihan untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakann ya
sendiri dengan dasar kehendaknya sendiri, besarnya jumlah dari PPh Luar Negeri
yang dapat dikreditkan oleh masing- masing suami atau istri ditentukan berdasarka n
jumlah yang paling sedikit di antara :
Jumlah pajak penghasilan yang seharusnya terutang, dibayar, atau dipotong di
luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumbe r
penghasilan di luar negeri untuk masing- masing suami atau istri denga n
memperhatikan ketentuan dalam P3B, dalam hal terdapat P3B yang telah
berlaku efektif;
Jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
sumber penghasilan di luar negeri untuk masing- masing suami atau istri; dan
Jumlah tertentu yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri oleh masin g-
masing suami atau istri terhadap Penghasilan Kena Pajak dikalikan denga n
Pajak Penghasilan yang keadaannya terutang atas Penghasilan Kena Pajak,
paling tinggi sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yang ditanggung secara
individual untuk masing – masing suami atau istri.
4. Dalam hal penghasilan yang diterima atau diperoleh dari sumber penghasilan di
luar negeri berasal dari Trust, besarnya PPh Luar Negeri ditentukan sebaga i
berikut:
Sebesar pajak penghasilan atau bagian pajak penghasilan atas penghasila n
yang diperoleh WPDN, dalam hal Trust di luar negeri dikenai pajak
penghasilan di tingkat Trust; dan
Sejumlah pajak penghasilan atas penerimaan penghasilan yang diterima oleh
WPDN, dalam hal Trust di luar negeri tidak dikenai pajak penghasilan di
tingkat Trust.
5. Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (UU PPh Pasal 4 ayat 2)
dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersend iri (UU PPh Pasal 8 ayat (1 dan
4)) tidak bisa digabungkan Bersama dengan penghasilan yang lain, baik
penghasilan diperoleh dari Dalam Negeri, maupun penghasilan yang telah
diperoleh dari Luar Negeri.
6. Untuk melaksanakan pengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib
menyampaikan Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri bagi WPDN yang
mengkreditkan PPh Luar Negeri berupa ;
Salinan bukti pembayaran atau bukti pemotongan PPh Luar Negeri; atau
Salinan bukti lainnya yang dapat menunjukkan adanya pembayaran atau
pemotongan PPh Luar Negeri.
Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri sekurang-kurangnya memua t
data atau informasi berupa nama WPDN dan jumlah PPh Luar Negeri.
Dalam hal WPDN mendapatkan pemasukan dari usaha dan/atau pemasuka n
dari Trust di luar negeri yang dikenai pajak penghasilan di tingkat Trust, bukti
dari pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri dapat digantikan denga n
menggunakan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan yang
disampaikan di luar negeri oleh cabang atau perwakilan dari WPDN yang
berada di luar negeri dan/atau surat pemberitahuan tahunan pajak penghasila n
atau bukti pembayaran PPh Luar Negeri yang dilakukan oleh Trust.
7. Dalam hal terjadinya perubahan jumlah dari pemasukan yang berasal dari luar
negeri, wajib pajak diwajibkan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan yang
bersangkutan dengan cara melakukan pelampiran dokumen-dokumen yang
berkenaan dengan perubahan yang terjadi.
8. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka
atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
9. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas
kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungka n
dengan utang pajak lainnya.
Contoh:
Misalkan WPDN, PT Renjana Abadi pada Tahun Pajak 2018 memperoleh dan
menerima penghasilan neto dengan rincian sebagai berikut:
a. Di negara X, PT Renjana Abadi memperoleh penghasilan usaha sebesar
Rp1.000.000.000;00 dan dikenai PPh Luar Negeri sebesar Rp300.000.000,00;
b. Di negara Y, PT Renjana Abadi menerima penghasilan berupa bunga sebesar
Rp3.000.000.000,00 dan dikenai PPh Luar Negeri sebesar Rp450.000.000, 00 ,
tidak terdapat pengurang penghasilan bruto atas penghasilan berupa bunga
tersebut;
c. Di negara Z, PT Renjana Abadi menderita kerugian dari penjualan harta
sebesar Rp250.000.000,00; dan
d. Penghasilan neto dalam negeri sebesar Rp4.000.000.000,00.
e. Tidak ada P3B antara Indonesia dengan negara X, negara Y, dan negara Z.
Besarnya Pajak Penghasilan terutang atas seluruh penghasilan dihitung sebaga i
berikut :
a. Penghasilan neto luar negeri:
Negara X (penghasilan usaha) Rp 1.000.000.000,00
Negara Y (penghasilan bunga) Rp 3.000.000.000,00
NegaraZ (kerugian penjualan harta) Rp 0,00
Jumlah penghasilan neto luar negeri Rp 4.000.000.000,00
b. Penghasilan neto dalam negeri Rp 4.000.000.000,00
c. Jumlah penghasilan neto fiskal Rp 8.000.000.000,00
d. Penghasilan Kena Pajak Rp 8.000.000.000,00
e. PPh Terutang (Tarif Pasal 17 UU PPh) Rp 2.000.000.000,00
Besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan per jenis penghasilan untuk
tiap negara atau yurisdiksi dilakukan sebagai berikut :
a. Penghasilan usaha dari Negara X :
1. PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X sebesar
Rp300.000.000,00;
2. Jumlah tertentu
= Rp 1.000.000.000,00/ Rp 8.000.000.000,00 x Rp 2.000.000.000,00
= Rp 250.000.000,00
Dikarenakan jumlah tertentu sebesar Rp250.000.000,00, lebih kecil
dibandingkan dengan PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X,
maka jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan usaha dari negara X yang dapat
dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang di dalam negeri hanya sebesar
jumlah tertentu, yaitu sebesar Rp250.000.000,00.
b. Penghasilan bunga dari negara Y :
1. PPh Luar Negeri atas penghasilan bunga dari negara Y sebesar
Rp450.000.000,00;
2. Jumlah tertentu:
= Rp 3.000.000.000,00/ Rp 8.000.000.000,00 x Rp 2.000.000.000,00
= Rp 750.000.000,00
Dikarenakan jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan bunga dari negara Y
sebesar Rp450.000.000,00 lebih kecil dibandingkan dengan jumlah tertentu,
maka jumlah PPh Luar Negeri atas penghasilan bunga dari negara Y yang dapat
dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang di dalam negeri hanya sebesar
PPh Luar Negeri, yaitu sebesar Rp450.000.000,00.
Dengan demikian, jumlah PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan oleh PT
Renjana Abadi terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di dalam neger i
adalah sebesar Rp700.000.000,00 (Rp250.000.000,00 + Rp450.000.000, 00 ).
Kerugian dari negara Z tidak dapat digabungkan dalam menghitu ng
Penghasilan Kena Pajak.
B. Kredit Pajak
Jenis pajak berdasarkan UU 36 tahun 2008 (UU PPh) ada beberapa jenis yang bisa Anda
simak dibawah ini :
1. PPh pasal 22 yang mengatur akan kegiatan impor perusahaan. Misalnya saja
pembelian bahan baku dari luar negeri tentu dikenakan PPN, PPh pasal 22 dan bea
masuk. Untuk PPh pasal 22 bagi BUMN adalah sebesar 1.5 % dari harga pembelian
sebelum dikenakan PPN. Untuk PPh pasal 22 yang sifatnya tidak final bisa dikreditkan
dari total pajak terutangnya.
2. PPh pasal 23 atas pemotongan pajak untuk transaksi bunga, royalti, deviden hadiah,
penghargaan ataupun imbalan hingga sewa. Imbalan yang dimaksud disini berupa jasa
selain yang dipotong dari PPh 21 misalnya saja jasa konsultan, konstruksi maupun
manajemen. Besaran potongan pajak dimulai dari 2-15 % tergantung objek pajaknya.
3. PPh pasal 26 ayat 5 yang mengatur tentang kredit pajak luar negeri yang sifatnya tidak
final. Sebenarnya pemotongan pajak wajib pajak luar negeri sifatnya selalu final tetapi
atas penghasilan wajib pajak orang pribadi yang mengubah status pungutan ini.
4. PPh pasal 24 mengatur tentang penghasilan yang diterima dari luar negeri yang boleh
dikreditkan. Ketentuan PPh pasal 24 ini untuk menghindari pajak berganda sehingga
besaran pajak yang dibayarkan di luar negeri bisa mengurangi pajak di Indonesia
5. PPh pasal 25 mengatur tentang kewajiban wajib pajak badan. Ketentuan pasal ini
membuat wajib pajak badan bisa mencicil pajak terutangnya setiap bulan sehingga
jumlah pajak terutang yang dibayarkan akhir tahun tidak terlalu besar.
PPh Pasal 24 mengatur mengenai hak Wajib Pajak untuk memanfaatkan kredit
pajak di luar negeri. Berdasarkan UU PPh, atas pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang (dalam tahun pajak yang sama). Hal ini untuk
meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi. Namun, tidak semua pajak
terutang di luar negeri dapat Wajib Pajak kreditkan di Indonesia. PPh Pasal 24 dapat
dikreditkan terhadap pajak yang teutang di Indonesia.
Sumber penghasilan dari luar negeri yang dapat menjadi pengurang pajak atau boleh
dikreditkan di dalam negeri adalah :
1. Tentukan Pajak Terutang atas Penghasilan Kena Pajak yang Berasal dari Dalam
Negeri maupun Luar Negeri
Objek PPh-nya adalah Semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai
uang dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar
negeri.
Dengan demikian yang tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau
diperoleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebutadalah yang
dari pengangkutan orang dan/atau barang dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di
Indonesia.
2. Tarif
Pengertian peredaran bruto di sini adalah semua imbalan atau nilai pengganti
berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan
Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang
yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan
di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
3. Pemotong
Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang
membayar/mencharter wajib melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau
terutang.