Anda di halaman 1dari 57

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA

DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

LAPORAN PENDAHULUAN

Diajukan Sebagai Syarat Praktik Stase Keperawatan Jiwa


Pada Program Studi Profesi Ners

Oleh

DZULHIJJAH NUR RIZKI NASUTION


NPM. 2012501010028

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI
DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

DZULHIJJAH NUR RIZKI NASUTION


NPM. 2012501010028

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
HALUSINASI
A. Pengertian
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan individu dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Pasien akan
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh pasien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011).
Halusinasi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh
proses diterimanya stimulus oleh alat indera, kemudian individu ada perhatian, lalu
diteruskan otak dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang
dinamakan persepsi. halusinasi disebabkan oleh jenis dan jumlah sumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien
maupun keluarganya, (Yosep & Sutini 2016).
Halusinasi adalah persepsi sensoris yang tidak benar dan tidak berdasarkan
realitas yang dapat menyangkut lima indera dan sensasi tubuh yang lain (Herawati
& Afconneri, 2020).

B. Etiologi
Menurut Stuart (2016), berikut etiologi halusinasi :
1. Faktor predisposisi
a. Biologi, terjadi abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif.
b. Psikologis, hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda
atau peran yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir
dengan pengingkaran terhadap kenyataan sehingga terjadi halusinasi
c. Sosial budaya, berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang
merasa disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi
sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi
2. Faktor Presipitasi
a. Biologis, gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses infeormasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diintepretasikan.
b. Stress lingkungan, ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.
c. Sumber koping, mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.

C. Klasifikasi Halusinasi
Klasifikasi halusinasi menurut Keliat (2016) adalah sebagai berikut :
1. Halusinasi pendengaran, mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang
jelas maupun yang jelas, dimana terkadang suara-suara tersebut seperti
mengajak berbicara klian dan kadang memerintah klien untuk melakukan
sesuatu yang berbahaya, marah-marah tanpa sebab, mencondongkan telinga
kea rah tertentu dan menutup telinga.
2. Halusinasi penglihatan, stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya,
gambar atau bayangan yang rumit dan kompleks, klien menunjuk kea rah
tertentu, ketakutan pada objek yang tidak jelas, bayangan bisa menyenangkan
atau bahkan menakutkan, seperti melihat mosnster, dan bentuk geometri
lainnya.
3. Halusinasi penciuman, menghidu seperti sedang membau bau-abuan tertentu
4. Halusinasi perabaan , klien menggaruk-garuk permukaan kulit, megatakan ada
serangga di permukaan kulit, merasa seperti tersengat listrik.
5. Halusinasi pengecapan, kienn sering mengeludah, muntah, merasakan seperti
mengecap darah, urine, atau lainnya

D. Tanda dan Gejala

1. Halusinasi Pendengaran
Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan telinga ke
arah tertentu, menutup telinga, mendengar suara atau kegaduhan,
mendengarkan suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara
yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
2. Halusinasi Penglihatan
Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas,
melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk kortoon, melihat hantu atau
monster.
3. Halusinasi Penghidungan
Mencium seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup hidung,
membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
4. Halusinasi Pengecapan
Sering meludah, muntah, merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
5. Halusinasi Perabaan
Menggaruk- garuk permukaan kulit, menyatakan ada serangga di permukaan
kulit, merasa tersengat listrik.
E. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif

- Pikiran logis - Kadang proses


- Persepsi akurat piker tidak - Gangguan piker
- Emosi konsisten terganggu - Halusinasi
dengan - Ulusi - Kesukaran emosi
pengalaman - Enosi tidak stabil - Perilaku
- Perilaku cocok - Perilaku tidak terorganisasi
- Hubungan sosial biasa - Isolasi sosial
harmpnis - Menarik diri

F. Fase Halusinasi
1. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian,
rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan
untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan
pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat
ditangani.

Perilaku Pasien:     

a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai


b. Menggerakkan bibir tanpa suara. 
c. Pergerakan mata yang cepat. 
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik. 
e. Diam dan asyik sendiri. 
2. Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai
lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh
pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain. 

Perilaku Klien : 

a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom


akibat ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan
darah. 
b. Rentang perhatian menyempit. 
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan    halusinasi dan realita. 
3. Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien
mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti. 
Perilaku Klien : 
a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak mampu
mematuhi perintah.
4. Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak
ada intervensi terapeutik.
Perilaku Klien :
a. Perilaku teror akibat panik.
b. Potensi kuat suicide  (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi,
menarik diri, atau katatonia.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis pada Halusinasi adalah dengan pemberian obat-obatan
dan tindakan lain, yaitu :
1. Psikofarmakologis Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada pasien skizofrenia adalah
obatobatan anti-psikosis.
2. Terapi kejang listrik atau Elektro Compulcive Therapy (ECT)
3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK )

H. Pengkajian
1. Mengkaji Isi Halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila
halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar. Atau apa bentuk bayangan
yang dilihat oleh pasien, bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan,
bau apa yang tercium untuk halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk
halusinasi pengecapan, atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila halusinasi
perabaan.
2. Mengkaji Waktu, Frekuensi, dan Situasi Munculnya Halusinasi
Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya
halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi.
Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui
frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk
pencegahan terjadinya halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada
pasien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu. Bila
mungkin pasien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi
tersebut.
3. Mengkaji Respon Terhadap Halusinasi
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi pasien dapat
dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh pasien saat mengalami
pengalaman halusinasi. Apakah pasien masih dapat mengontrol stimulus
halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi.

I. Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan pada pasien dengan halusinasi :
SP I Pasien : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan cara pertama : menghardik halusinasi
SP 2 Pasien : melatih pasien menggunakan obat secara teratur
SP 3 Pasien :melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga: bercakap-
cakap dengan orang lain
SP 4 Pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara keempat:
melaksanakan aktivitas terjadwal
Strategi pelaksanaan untuk keluarga dengan anggota keluarga halusinasi :
SP I Keluarga : Mengidentifikasi masalah yang dirasakan dalam merawat klien
halusinasi dan melatih keluarga cara membimbing pasien
mengontrol halusinasi dengan menghardik
SP 2 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien minum obat secara
teratur menggunakan prinsip 6 benar.
SP 3 Keluarga : Melatih keluarga membimbing klien mengontrol halusinasi dengan
cara bercakap-cakap
SP 4 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol halusinasi
dengan kegiatan harian dan menjelaskan cara follow up ke
RSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan cara melakukan
rujukan ke RSJ/PKM
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha
Medika
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi
dan klasifikasi2018-2020. Ed. 11. Jakarta: EGC.

Keliat,B.A.(2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi


Indonesia : Elsevier Singapore Pte Ltd
Stuart, G.W., (2016). Prinsip dan praktik : keperawatan dan kesehatan jiwa
Edisi Indonesia, Singapore : Elsevier Singapore Pte Ltd
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Townsend, M. C. (2013). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts of
Care in Evidence-Based Practice (6 ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company
Yosep, I., & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa Dan Advance Mental
Health Nursing, Bandung : Refika Aditama.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
GANGGUAN ORIENTASI REALITAS: WAHAM
DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

DZULHIJJAH NUR RIZKI NASUTION


NPM. 2012501010028

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021

WAHAM

A. Definisi
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien (Keliat, 2106).
Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan adanya waham. Waham atau
delusi adalah kenyakinan yang salah secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain yang bertentangan dengan realita normal (Stuart, 2016).

B. Etiologi
Menurut Keliat (2016), Faktor predisposisi yang mungkin mengakibatkan
timbulnya waham, yaitu:
1. Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak / SSP, yang menimbulkan:
a. Hambatan perkembangan otak khususnya kortek prontal, temporal dan
limbik.
b. Pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal, perinatal, neonatus
dan kanak-kanak.
2. Psikososial
Faktor keluarga, pengasuh dan lingkungan pasien sangat mempengaruhi respon
psikologis. Sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi seperti adanya
penolakan dan kekerasan.
3. Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya dapat pula mempengaruhi timbulnya waham seperti
status ekonomi yang rendah. Konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan)
serta kehidupan yang terisolasi (isolasi sosial dan stress yang berlebihan
Faktor prespitasi yang biasanya menimbulkan waham merupakan
karakteristik umum latar belakang termasuk riwayat penganiayaan fisik /
emosional, perlakuan kekerasan dari orang tua, tuntutan dari aspek pendidikan,
tekanan/ancaman, isolasi, permusuhan, perasaan tidak berguna ataupun tidak
berdaya, proses pengolahan informasi yang berlebihan.

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang muncul seperti pasien mengungkapkan sesuatu yang
diyakininya (tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya secara
berulang kali dan berlebihan tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut
Dermawan (2013), tanda dab gejala yang muncul pada pasie lain yang muncul
adalah
1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berpikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial)
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
3. Fungsi emosi
Afek tumpul kurang respon emosional, afek datar, afek tidak sesuai, reaksi
berlebihan, ambivalen
4. Fungsi motoric
Imfulsif atau gerakan tiba-tiba dan spontan, stereotopik atau gerakan yang
diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas,
katatonia (penurunan dalam aktivitas)
5. Fungsi sosial
Hipersensitif, isolasi, menarik diri, hubungan interpersonal dengan orang
lain dangkal, depresi, ragu – ragu, mengancam secar verbal, aktifitas tidak
tepat
6. Dalam tatanan keperawatan jiwa respon neurobiologis yang sering muncul
adalah gangguan isi pikir : waham dan gangguan persepsi sensori :
halusinasi.

D. Patofisiologi
Waham dapat terjadi diawali dengan adanya perasaan diancam oleh
lingkungan, merasa suatu yang tidak nyata, sehingga pasien mengingkari ancaman
dari persepsi diri atau objek realitas dengan menyalahkan arti dan kesan terhadap
kejadian bagian eksternal dan akhirnya individu mencoba memberoi pembenaran
rasional/alasan interpretasi rasional tentang realitas pada diri sendiri atau orang lain.
Perubahan proses pikir dapat dimanifestasikan karena adanya kerusakan dalam
pengoperasian kognitif dan aktivitas.

E. Klasifikasi Waham
Menurut Videbeck (2015), Klasifikasi waham dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, yaitu:
1. Waham kebesaran
Individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus yang
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini
pejabat di departemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya tambang emas.”
2. Waham curiga
Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
3. Waham agama
Individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama secara berlebihan
dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Kalau
saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
4. Waham somatic
Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang
penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium
tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia
sakit kanker).
5. Waham nihilistic
Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, ”Ini kan alam
kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
6. Waham sisip piker
Keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke dalam
pikirannya.
7. Waham siar pikir
Keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun
ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
8. Waham kontrol piker
Keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di luar dirinya.
F. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptive
Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan pikiran/Waham

Respon Adaptif Risiko Respon Maladaptif

Pikiran logis Kadang proses piker Gangguan isi piker


terganggu
Persepsi akurat Ilusi Perubahan proses emosi

Emosi konsisten dengan Emosi berlebihan Perilaku yang tak


pengalaman teroganisasi

Perilaku sesuai Berprilaku yang tidak Isolasi sosial


biasa
Hubungan sosial Menarik diri
Harmonis

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan klien dengan waham meliputi Psikofarmakologi, ECT dan
terapi lainnya seperti: terapi psikomotor, terapi rekreasi, terapi somatik, terapi
seni, terapi tingkah laku, terapi keluarga,terapi kelompok, terapi spritual dan
terapi okupsi yang semuanya bertujuan untuk memperbaiki prilaku klien
dengan waham pada gangguan skizoprenia. Penatalaksanaan yang terakhir
adalah rehablitasi sebagai suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan
bagi pasien agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.
H. Pengkajian
1. Identitaa, keluhan utama, faktor predisposisi, aspek fisik/biologis, Aspek
psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping,
masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan, dan aspek medik.
2. Data subjektif, m udah lupa dan sulit konsentrasi, tidak mampu mengambil
keputusan, berpikir tidak realitis, pembicaraan sirkumstansial, mengungkapkan
isi waham, merasa khawatir
3. Data objektif, menunjukkan perilaku sesuai isi waham, isi pikir tidak sesuai
realita, isi pembicaraan sulit di mengerti, curiga berlebihan, waspada
berlebihan, bicara berlebihan, sedih berlebihan atau gembira berlebihan,
wajah tegang, pola tidur berubah, produktivitas kerja menurun, bingung,
inkoheren, flight of idea, khawatir, , menentang atau pemusuhan, hiperaktif,
menarik diri, tidak bisa merawat diri.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan proses pikir: waham
2. Hambatan komunikasi verbal
3. Risiko perilaku kekerasan
J. Strategi Pelaksanaan
Pasien
SP I
1. Membina hubungan saling percaya
2. Membantu orientasi realita
3. Mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi.
4. Melatih pasien memenuhi kebutuhannya
SP II

1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya


2. Ajarkan dan latih pasien minum obat dengan benar
SP III
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
2. Menjelaskan cara memenuhi kebutuhan klien yang tidak terpenuhi akibat
wahamnya dan kemampuan memenuhi kebutuhannya.
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
2. Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu
mempraktikannya
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Keluarga

SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala waham, dan jenis waham yang
dialami pasien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien waham
SP II

1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan waham


a. Menjelaskan cara merawat klien waham
b. Memotivasi, membimbing dan memberi pujian kepada klien untuk
latihan orientasi realita
c. Memotivasi, membimbing dan memberi pujian kepada klien untuk
minum obat dengan prinsip 6 benar.
d. Memotivasi, membimbing dan memberi pujian kepada klien
memenuhi kebutuha yang tidak terpenuhi karena waham dan kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan
e. Memotivasi, membimbing dan memberi pujian kepada klien latihan
kemampuan positif yang dimiliki.
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
waham

SP III

1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum


obat
2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa dijangkau keluarga

K. Pemberian Psikofarmaka
1. Olanzapin 5-8 mg/hari
2. Risperidon 2-8 mg/hari
3. Haloperidol 1-20 mg/hari
(Rhoads & Murphy 2012)
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Dermawan., 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan


Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen
Keliat,B.A.(2016).Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi
Indonesia : Elsevier Singapore Pte Ltd
Rhoads, J. & Murphy, J. 2012. Nurses’ Clinical Consulting to Psychoparmacology.
New York: Springer Publisher
Stuart, G.W., (2016). Prinsip dan praktik : keperawatan dan kesehatan jiwa
Edisi Indonesia, Singapore : Elsevier Singapore Pte Ltd
Videbeck, S. L. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Psychiatric Mental Health
Nursing). Jakarta: ECG.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

DZULHIJJAH NUR RIZKI NASUTION


NPM. 2012501010028

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021

RISIKO PERILAKU KEKERASAN

A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk di mana seseorang marah
berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motoric yang tidak terkontrol
(Yosep, 2016).
Perilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau
ketakutan (panic) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman
serangan fisik atau konsep diri (Struat, 2016).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Perilaku kekerasan adalah salah satu
respon marah yang diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang
lain, dan atau merusakan lingkungan (Keliat, 2016).

B. Etiologi

1. Faktor Predisposisi
a. Faktor biologis
1) Intinctual drive theory (teori dorongan naluri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang kuat
2) Psycomatic theory (teori psikomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem
limbik berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun
menghambat rasa marah.

b. Faktor psikologis

1) Frustasion aggresion theory ( teori argesif frustasi)


Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi
frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu
berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui
perilaku kekerasan.
2) Behavioral theory (teori perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia
fasilitas atau situasi yang mendukung reinforcement yang diterima pada
saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah
atau di luar rumah. Semua aspek ini menstimulai individu mengadopsi
perilaku kekerasan.

c. Faktor sosio kultural

1) Social enviroment theory ( teori lingkungan )


Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas secara diam
(pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.
2) Social learning theory ( teori belajar sosial )
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui
proses sosialisasi.
2. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap

individu bersifat buruk. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar

maupun dalam. Contoh stressor yang berasal dari luar antara lain

serangan fisik, kehilangan, kematian, krisis dan lain-lain. Sedangkan

dari dalam adalah putus hubungan dengan seseorang yang berarti,

kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik, hilang

kontrol, menurunnya percaya diri dan lain-lain.Selain itu lingkungan

yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan,

tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan.

C. Rentang Respon Ekspresi Marah

Respon adaptif Respon maladaptive

Aserif frustasi pasif agresif kekerasan

Keterangan:
1. Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
2. Frustasi : Respon yang terjadi akibat individu gagal mencapai
tujuan, keputusan / rasa aman dan individu tidak
menemukan alternatif lain
3. Pasif : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realitas atau
terhambat
4. Agresif : Memperlihatkan permusuhan, keras, dan menuntut, mendekati
orang lain dengan ancaman, memberi kata – kata ancaman
tanpa niat melukai orang lain
5. Kekerasan : Dapat disebut juga dengan amuk yaitu perasaan marah
dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Contohnya membanting barang-barang menyakiti diri sendiri
(bunuh diri).

D. Tanda dan Gejala


1. Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara
dengan nada keras, kasar dan ketus
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut
5. Intelektuan : mendominasi cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan
tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme
6. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral dan kreativitas terhambat
7. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan
sindiran
E. Pengkajian Kperawatan
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, dan
perumusan masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa keperawatan.

1) Pengumpulan Data
a) Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal
MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No Rumah Sakit
dan alamat klien.
b) Keluhan utama
c) Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan
jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik,
seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan
kriminal..
d) Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, takikardi,
muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang
sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot
seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini
disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
e) Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan
sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
f) Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu
pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi
penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
g) Aspek social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali
menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga
orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang
berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu
sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
h) Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa
tidak berdosa. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu
mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi,
intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai
berikut :
i) Aspek fisik
Muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat, berkeringat, sakit
fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak
adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi,
bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri,
penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
j) Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
3) Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
k) Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien,
afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir,
tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
l) Aspek medic
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.

a. Diagnosa keperawatan
1) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan.
2) Perilaku kekerasan.

F. Diagnosa keperawatan

1. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan.


2. Perilaku kekerasan.
G. Strategi Pelaksanan
Pasien
SP I

a) Mengidentifikasi penyebab PK

b) Mengidentifikasi tanda dan gejala PK

c) Mengidentifikasi PK yang dilakukan


d) Mengidentifikasi akibat PK
e) Mengajarkan cara mengontrol PK
f) Melatih pasien cara kontrol PK fisik I (nafas dalam) dan fisik II (memukul
bantal/ kasur/ konversi energi)
g) Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP II
a) Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya

b) Melatih mengontrol PK dengan cara minum obat

c) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP III

a) Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.

b) Melatih pasien cara kontrol PK secara verbal (meminta, menolak dan


mengungkapkan marah secara baik).
c) Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
a) Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.

b) Melatih pasien cara kontrol PK secara spiritual (berdoa, berwudhu, sholat).


c) Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
Keluarga

SP I
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
b) Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses terjadinya PK.
c) Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK.
SP II

a) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan PK.


b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien PK.
SP III

a) Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum obat 


(discharge planning).
b) Menjelaskan  follow up pasien setelah pulang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan:


Definisi dan klasifikasi2018-2020. Ed. 11. Jakarta: EGC.

Keliat,B.A.(2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi


Indonesia : Elsevier Singapore Pte Ltd
Stuart, G.W., (2016). Prinsip dan praktik : keperawatan dan kesehatan
jiwa Edisi Indonesia, Singapore : Elsevier Singapore Pte Ltd
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Townsend, M. C. (2013). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts
of Care in Evidence-Based Practice (6 ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company
Videbeck, S. L. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Psychiatric Mental Health
Nursing). Jakarta: ECG.
Yosep, I., & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa Dan Advance Mental
Health Nursing, Bandung : Refika Aditama.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

DZULHIJJAH NUR RIZKI NASUTION


NPM. 2012501010028

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
HARGA DIRI RENDAH

A. Definisi
Menurut Stuart (2013), harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh
individu mengenai dirinya sendiri, di mana evaluasi diri tersebut merupakan
hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya serta perlakuan orang lain
terhadap dirinya.
Harga diri adalah evaluasi subjektif individu atas penilaiannya sebagai
individu. Jika individu percaya bahwa dia adalah orang yang berharga, maka ini
menunjukkan dirinya memiliki harga diri, terlepas dari apakah penilaiannya
disetujui oleh orang lain atau kriteria dari luar dirinya (Trzesniewski, Donnelan,
& Robins, 2013). Sebaliknya, individu yang menilai dirinya secara negatif,
relatif menjadi tidak sehat, cemas tertekan, dan pesimis akan masa depannya,
dan cenderung mudah gagal (Widyastuti, 2014).
Harga diri rendah adalah penilaian negatif individu terhadap dirinya
sendiri yang ditandai dengan adanya perasaan lemah, tidak berdaya, putus asa,
ketakutan, rentan, rapuh, dan merasa diri tidak berharga (Stuart, 2016).

B. Klasifikasi
Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga diri rendah menurut
Yosep (2010) dapat terjadi secara :
1. Situational, yaitu terjadi terutama secara tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami/istri, putus sekolah, putus hubungan kerja,
perasaan malu karena sesuatu seperti korban pelecehan seksual atau di
tuduh melakukan tindak pidana.
2. Kronik, yaitu perasaan negatif terhadap diri berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/dirawat. Pasien ini mempunyai cara berpikir yang negatif.
Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap
dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respon maladaptif. Kondisi ini dapat
ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronik atau pada klien gangguan
jiwa. Contohnya terjadi pada kondisi dengan gangguan fisik yang kronis
(post amputasi, luka bakar yang parah, kanker stadium akhir).

C. Etiologi
Menurut Stuart (2016) adapun faktor-faktor yang mengakibatkan harga diri
rendah kronis meliputi faktor predisposisi dan faktor presipitasi sebagai berikut :
1. Faktor predisosisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotip peran
gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan
orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur
sosial.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan/ bentuk tubuh, kegagalan atau
produktivitas yang menurun.

D. Rentang Respon
E. Pengkajian dan Tanda Gejala
1. Tanda dan gejala harga diri rendah situasional menurut NANDA (2018) :
a. Meremehkan kemampuan menghadapi situasi
b. Perilaku asertif
c. Perilaku tidak selaras dengan nilai
d. Tanpa tujuan
e. Tantangan situasi terhadap harga diri
f. Tidak berdaya
g. Ungkapan negatif tentang diri
2. Tanda dan gejala harga diri rendah kronis menurut NANDA (2018) :
a. Bergantung pada pendapat orang lain
b. Ekspresi rasa bersalah dan malu
c. Enggan mencoba hal baru
d. Kegagalan hidup berulang
e. Kontak mata kurang
f. Melebih-lebihkan umpan balik negatif tentang diri sendiri
g. Menolak umpan balik positif tentang diri sendiri
h. Meremehkan kemampuan mengatasi situasi
i. Perilaku bimbang, Pasif, dan asertif
j. Secara berlebihan mencari penguatan dan penegasan

F. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronik

2. Gangguan konsep diri: harga diri rendah situasional

3. Ketidakefektifan koping

4. Hambatan interaksi sosial


G. Strategi Pelaksaan

Pasien

SP I

1. Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien


2. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat digunakan
3. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien
4. Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan
5. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP II
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
2. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP III
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
2. Melatih kegiatan ketiga (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah

SP II

1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri


rendah
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga
diri rendah

SP III

1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum


obat (discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

H. Pemberian Psikofarmaka
4. Chlorpromazine (CPZ) 2x100 mg.
5. Tryhexyphenydil (THP) 2x2 mg.
6. Haloperidol (HLP) 2x5 mg
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Herdman, T.H., & Kamitsuru, S. (2018). Diagnosis keperawatan: defines &
klasifikasi 2018-2020. Ed. 11. Jakarta:EGC
Stuart, dkk. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3 Jakarta: EGC

Stuart, G.W., (2016). Prinsip dan praktik : keperawatan dan kesehatan


jiwa Edisi Indonesia, Singapore : Elsevier Singapore Pte Ltd
Trzesniewski, K. H, Donnelan, M. B., & Robins, R. W. (2013). Development self-
esteem; dalam Zeiger-Hill, V. (Ed), Self-esteem (hlm. 60-79). New York:
Psychology Press.
Widyastuti, Y. (2014). Psikologi sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yosep, I. (2010). Keperawatan Jiwa. Bandung. Refika Aditama.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
ISOLASI SOSIAL DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

DZULHIJJAH NUR RIZKI NASUTION


NPM. 2012501010028
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021

ISOLASI SOSIAL

A. Definisi
Interaksi sosial atau sosialisasi adalah hubungan interpersonal yang
sehat, terjadi jika individu terlibat saling merasakan kedekatan, sementara
identitas pribadi masih dapat di pertahankan. Interaksi sosial juga diperlukan
untuk membina perasaan saling tergantung, yang merupakan keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian dalam suatu hubungan (Stuart, 2016).
Menurut Townsend (2013) isolasi sosial merupakan keadaan kesepian
yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif
dan mengancam bagi dirinya. Penarikan diri yang dilakukan merupakan suatu
tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan
sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap.
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien isolasi sosial mengalami gangguan dalam berinteraksi dan
mengalami perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain disekitarnya,
lebih menyukai berdiam diri, mengurung diri, dan menghindar dari orang lain
(Yosep & Sutini, 2016).

B. Etioloi
Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan akan mencetuskan
seseorang mempunyai masalah respon sosial maladaptif. Sistem keluarga
yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon sosial maladaptif.
Beberapa orang percaya bahwa individu yang mempunyai ini adalah orang
yang tidak berhasil memisahkan dirinya dari orang tua. Norma keluarga
mungkin tidak mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain di luar
keluarga. Peran keluarga sering kali tidak jelas. Orang tua pecandu alkohol
dan penganiaya anak juga mempengaruhi seseorang berespon social
maladaptif.

2. Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif. Ada bukti
terdahulu tentang terlibatnya neurotransmiter dalam perkembangan gangguan
ini, namun tetap masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
3. Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam anggota gangguan berhubungan, ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau
tidak mengahargai anggota masyarakat yang tidak produktif seperti lansia 
orang cacat, dan berpenyakit kronik, isolasi dapat terjadi karena mengadopsi
norma, prilaku, dan sistem nilai yang berbeda dari kelompok budaya
mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan merupakan faktor
lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
(Videbeck, 2015)
Faktor Presipitasi.
Stressor pencetus umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress
seperti kehilangan yang mempengaruhi individu untuk berhubungan dengan
orang lain dan menyebabkan stress. Faktor pencetus ini di kategorikan:
1. Stressor sosiokultural, stress dapat ditimbulkan oleh :
a. Menurunnya stabilitas unit keluarga
b. Berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya
2. Stressor Psikologi, Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan untuk ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tinggi.
(Videbeck, 2015)
C. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan diri yang di gunakan pada gangguan hubungan sosial
sangat bervariasi, seperti pada gangguan menarik diri, mekanisme yang di
gunakan adalah regresi, represi, isolasi

D. Tanda dan Gejala


Menurut Keliat (2016), tanda dan gejala yang menunjukkan pasien dengan
isolasi sosial adalah sebagai berikut
1. Gangguan pola makan, tidak nafsu makan atau makan berlebihan
2. Berat badan menurn drastic
3. Kemunduran kesehatan fisik
4. Tidur berlebihan
5. Tinggal ditempat tidur dalam waktu (berdiam diri di kamar sehingga
kurang mobilitas)
6. Kurang bergairah/semangat
7. Tidak memperdulikan lingkungan
8. Kegiatan menurun
9. Imobilisasi
10. Sikap mematung
11. Melakukan gerakan berulang-ulang
12. Keinginan seksual menurun
13. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
14. Menghindar dari orang lain (menyendiri).
15. Komunikasi kurang/tidak ada. Pasien tidak tampak bercakap-cakap
dengan pasien lain/perawat.
16. Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
17. Menolak berhubungan dengan orang lain, memutuskan percakapan atau
pergi jika diajak bercakap-cakap.
18. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
E. Pengkajian Keperawatan

1. Pengumpulan data

a. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, status
mental, suku bangsa, alamat, nomer medrek, ruang rawat, tanggal
masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis.
b. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin,  pendidikan, pekerjaan, agama, hubungan
dengan klien, alamat.

2. Faktor predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri
Pengalaman masa kanak-kanak dapat merupakan faktor kontribusi
pada gangguan atau masalah konsep diri meliputi masalah penolakan
orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang
berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis. 
b. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran
Tuntutan peran kerja, dan harapan peran kultural, peran sesuai dengan
jenis kelamin, konflik peran yang tidak sesuai muncul dari faktor
biologis.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri
Orang tua yang selalu curiga pada anak akan menyebabkan kurang
percaya diri pada anak, teman sebaya merupakan factor lain yang
mempengaruhi identitas.
d. Faktor tumbuh kembang
Pada dasarnya kemampuan hubungan sosisal berkembang sesuai
dengan tumbuh kembang individu mulai dari dalam kandungan
sampai dewasa lanjut. Untuk mengembangkan hubungan social yang
positif setiap tugas perkembangan harus dilalui dengan sukses. Bila
salah satu tugas perkembangan tidak terpenuhi maka akan
mengahambat tahap perkembangan berikutnya.
e. Faktor sosial budaya
Nilai-nilai, norma-norma , adat dan kebiasaan yang ada dan sudah
menjadi suatu budaya dalam masyarakat merupakan tantangan antara
budaya dan keadaan social dengan nilai-nilai yang dianut.
f. Faktor Biologis
Organ tubuh yang jelas dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
hubungan social adalah otak. Sebagai contoh : pada klien skizoprenia
yang mengalami masalah dalam hubungan social terdapat struktur
yang abnormal pada otak seperti atropi otak, perubahan ukuran dan
sel-sel dalam limbic dan daerah kortikal.

3. Faktor Presipitasi
1. Faktor Ekstrenal
Contohnya adalah sterssor social budaya, yaitu sress yang di
timbulkan oleh faktor social budaya yang antatra lain adalah keluarga.
2. Faktor Internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu sres terjadi akibat ansietas
yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi
akibat tuntutan  untuk  berpisah dengan orang terdekat atau tidak
terpenuhinya kebutuhan ketergantungan individu.

4. Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya dengan
depresi berat seperti pada sistem integumen akan tampak kotor, kulit
lengket di karenakan kurang perhatian terhadap perawatan dirinya.
5. Status Mental

6. Penampilan
Biasanya pada pasien menarik diri klien tidak terlalu memperhatikan
penampilan, biasanya penampilan tidak rapi, cara berpakaian tidak seperti
biasanya (tidak tepat).
7. Pembicaraan
Cara bicara biasanya di gambarkan dalam frekuensi, volume dan
karakteristik. Frekuansi merujuk pada kecepatan pasien berbicara dan
volume di ukur dengan berapa keras pasien berbicara. Observasi frekuensi
cepat atau lambat, volume keras atau lambat, jumlah sedikit, membisu,
dan di tekan, karakteristik gagap atau kata-kata bersambungan.
8. Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik pasien. Tingkat
aktifitas: letargik, tegang, gelisah atau agitasi. Jenis aktifitas : seringai atau
tremor. Gerakan tubuh yang berlebihan mungkin ada hubunganya dengan
ansietas, mania atau penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik yang
berulang atau kompulsif bisa merupakan kelainan obsesif kompulsif.
9. Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri pasien tentang status emosional
dan cerminan situasi kehidupan pasien. Alam perasaan dapat di evaluasi
dengan menanyakan pertanyaan yang sederhana dan tidak mengarah
seperti “bagaimana perasaan anda hari ini” apakah pasien menjawab
bahwa ia merasa sedih, takut, putus asa, sangat gembira atau ansietas
(cemas).
10. Afek
Afek yang labil sering terlihat pada mania, dan afek yang datar,tidak
selaras sering tampak pada skizofrenia.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Isolasi sosial: menarik diri


2. RIsiko perubahan persepsi sensori: halusinasi
3. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
4. Ketidakefektifan koping
5. Hambatan komunikasi verbal
6. Hambatan interaksi sosial
(NANDA, 2018; SDKI 17)

G. Strategi Pelaksaan

Pasien
SP I
1. Bina hubungan saling percaya
2. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
a. Menanyakan pendapat klien tentang berinteraksi dengan orang lain
b. Menanyakan apa yang menyebabkan klien tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain
c. Membantu klien mengenal keuntungan berinterksi dengan orang lain.
d. Membantu klien mengenal kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
SP II
1. Diskusikan bersama pasien keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan
kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
2. Ajarkan pasien berkenalan dengan satu orang
3. Anjurkan pasien untuk memasukan kegiatan berkenalan dengan orang lain
dalam jadwal kegiatan harian
SP III
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan
dengan satu orang
3. Melatih pasien berinteraksi dengan dua orang atau lebih.
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Melatih pasien berbicara sambil melakukan kegiatan sosial.

Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien
beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
SP II
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial
SP III
1. Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung perawatan
pasien isolasi social.
SP IV
2. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
3. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan:


Definisi dan klasifikasi2018-2020. Ed. 11. Jakarta: EGC.

Keliat,B.A.(2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi


Indonesia : Elsevier Singapore Pte Ltd
Stuart, G.W., (2016). Prinsip dan praktik : keperawatan dan kesehatan
jiwa Edisi Indonesia, Singapore : Elsevier Singapore Pte Ltd
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Townsend, M. C. (2013). Essentials of Psychiatric Mental Health Nursing: Concepts
of Care in Evidence-Based Practice (6 ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company
Videbeck, S. L. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Psychiatric Mental Health
Nursing). Jakarta: ECG.
Yosep, I., & Sutini, T. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa Dan Advance Mental
Health Nursing, Bandung : Refika Aditama.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

DZULHIJJAH NUR RIZKI NASUTION


NPM. 2012501010028
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021

DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Definisi
Menurut Potter & Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan
untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik
dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya.
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan, dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya. Pasien dinyatakan terganggu
keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri. Defisit
perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan
kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara
mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK
(toileting) (Dermawan,2013).

B. Jenis–Jenis Defisit Perawatan Diri (NANDA I, 2018)


1. Defisit perawatan diri : mandi
Ketidakmampuan melakukan pembersihan diri secara seksama.
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Ketidakmampuan untuk mengenakan atau melepas pakaian secara mandiri.
3. Defisit perawatan diri : makan
Ketidakmampuan makan secara mandiri.
4. Defisit perawatan diri : eliminasi
Ketidakmampuan untuk melakukan secara mandiri tugas yang berkaitan
dengan eliminasi fekal dan urine.
C. Etiologi
Faktor prediposisi menurut Stuart (2016).
1. Perkembangan: keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2. Biologis: penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3. Kemampuan realitas turun: klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan diri.
4. Sosial: kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.

Faktor presipitasi menurut Stuart (2016), faktor presipitasi defisit


perawatan diri adalah penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual,
cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri.

D. Tanda dan Gejala


tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah sebagai berikut:
1. Fisik
a. Badan bau, pakaian kotor
b. Rambut dan kulit kotor.
c. Kuku panjang dan kotor.
d. Gigi kotor disertai mulut bau.
e. Penampilan tidak rapi.
2. Psikologis
a. Malas, tidak ada inisiatif.
b. Menarik diri, isolasi diri
c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.

3. Sosial
a. Interaksi kurang
b. Kegiatan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
d. Cara makan tidak teratur
e. BAK dan BAB di sembarang tempat
f. Gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.

D. Pengkajian Keperawatan
1. Data Subjektif
Mengatakan malas mandi, tak mau menyisir rambut, tak mau menggosok
gigi, tak mau memotong kuku, tak mau berhias, tak bisa menggunakan alat
mandi / kebersihan diri, pasien merasa lemas, malas beraktivitas, atau merasa
tidak berdaya
2. Data Objektif
Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor,
gigi kotor, mulut bau, penampilan tidak rapih, tak bisa menggunakan alat
mandi, kuku panjang dan tidak dirawat

E. Penatalaksanaan
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat
merawat diri sendiri adalah:
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
a. Bantu klien merawat diri
b. Ajarkan ketrampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari

3. Ciptakan lingkungan yang mendukung


a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman misalnya, kamar mandi
yang dekat dan tertutup.

F. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit perawatan diri: mandi
2. Defisit perawatan diri: berpakaian
3. Defisit perawatan diri: makan
4. Defisit perawatan diri: eliminasi
(NANDA, 2018; SDKI, 2016)

G. Strategi Pelaksanaan
Pasien
SP I
1. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri
2. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri
3. Melatih pasien cara menjaga kebersihan diri
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP II
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Melatih pasien cara berdandan
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP III
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik
3. Melatih cara eliminasi yang baik.
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara makan yang baik
3. Melatih pasien cara makan yang baik
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri, dan jenis
defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien defisit perawatan diri
SP II
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan defisit
perawatan diri
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien defisit
perawatan diri
SP III
1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Dermawan., 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan


Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan:
Definisi dan klasifikasi2018-2020. Ed. 11. Jakarta: EGC.

Keliat,B.A.(2016).Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart. Edisi


Indonesia : Elsevier Singapore Pte Ltd
Potter, P.A & Perry A.G. 2012. Fundamental of Nursing. Jakarta : EGC

Stuart, G.W., (2016). Prinsip dan praktik : keperawatan dan kesehatan


jiwa Edisi Indonesia, Singapore : Elsevier Singapore Pte Ltd
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
RISIKO BUNUH DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

DZULHIJJAH NUR RIZKI NASUTION


NPM. 2012501010028
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021

Anda mungkin juga menyukai