LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh
Oleh
B. Etiologi
Menurut Stuart (2016), berikut etiologi halusinasi :
1. Faktor predisposisi
a. Biologi, terjadi abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif.
b. Psikologis, hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda
atau peran yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir
dengan pengingkaran terhadap kenyataan sehingga terjadi halusinasi
c. Sosial budaya, berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang
merasa disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi
sehingga timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi
2. Faktor Presipitasi
a. Biologis, gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses infeormasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diintepretasikan.
b. Stress lingkungan, ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.
c. Sumber koping, mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
C. Klasifikasi Halusinasi
Klasifikasi halusinasi menurut Keliat (2016) adalah sebagai berikut :
1. Halusinasi pendengaran, mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang
jelas maupun yang jelas, dimana terkadang suara-suara tersebut seperti
mengajak berbicara klian dan kadang memerintah klien untuk melakukan
sesuatu yang berbahaya, marah-marah tanpa sebab, mencondongkan telinga
kea rah tertentu dan menutup telinga.
2. Halusinasi penglihatan, stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya,
gambar atau bayangan yang rumit dan kompleks, klien menunjuk kea rah
tertentu, ketakutan pada objek yang tidak jelas, bayangan bisa menyenangkan
atau bahkan menakutkan, seperti melihat mosnster, dan bentuk geometri
lainnya.
3. Halusinasi penciuman, menghidu seperti sedang membau bau-abuan tertentu
4. Halusinasi perabaan , klien menggaruk-garuk permukaan kulit, megatakan ada
serangga di permukaan kulit, merasa seperti tersengat listrik.
5. Halusinasi pengecapan, kienn sering mengeludah, muntah, merasakan seperti
mengecap darah, urine, atau lainnya
1. Halusinasi Pendengaran
Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan telinga ke
arah tertentu, menutup telinga, mendengar suara atau kegaduhan,
mendengarkan suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara
yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
2. Halusinasi Penglihatan
Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas,
melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk kortoon, melihat hantu atau
monster.
3. Halusinasi Penghidungan
Mencium seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup hidung,
membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
4. Halusinasi Pengecapan
Sering meludah, muntah, merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
5. Halusinasi Perabaan
Menggaruk- garuk permukaan kulit, menyatakan ada serangga di permukaan
kulit, merasa tersengat listrik.
E. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
F. Fase Halusinasi
1. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian,
rasah bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan
untuk meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan
pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat
ditangani.
Perilaku Pasien:
Perilaku Klien :
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis pada Halusinasi adalah dengan pemberian obat-obatan
dan tindakan lain, yaitu :
1. Psikofarmakologis Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada pasien skizofrenia adalah
obatobatan anti-psikosis.
2. Terapi kejang listrik atau Elektro Compulcive Therapy (ECT)
3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK )
H. Pengkajian
1. Mengkaji Isi Halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila
halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar. Atau apa bentuk bayangan
yang dilihat oleh pasien, bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan,
bau apa yang tercium untuk halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk
halusinasi pengecapan, atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila halusinasi
perabaan.
2. Mengkaji Waktu, Frekuensi, dan Situasi Munculnya Halusinasi
Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya
halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi.
Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui
frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk
pencegahan terjadinya halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan kepada
pasien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu. Bila
mungkin pasien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu terjadi halusinasi
tersebut.
3. Mengkaji Respon Terhadap Halusinasi
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi pasien dapat
dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh pasien saat mengalami
pengalaman halusinasi. Apakah pasien masih dapat mengontrol stimulus
halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap halusinasi.
I. Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan pada pasien dengan halusinasi :
SP I Pasien : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan cara pertama : menghardik halusinasi
SP 2 Pasien : melatih pasien menggunakan obat secara teratur
SP 3 Pasien :melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga: bercakap-
cakap dengan orang lain
SP 4 Pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara keempat:
melaksanakan aktivitas terjadwal
Strategi pelaksanaan untuk keluarga dengan anggota keluarga halusinasi :
SP I Keluarga : Mengidentifikasi masalah yang dirasakan dalam merawat klien
halusinasi dan melatih keluarga cara membimbing pasien
mengontrol halusinasi dengan menghardik
SP 2 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien minum obat secara
teratur menggunakan prinsip 6 benar.
SP 3 Keluarga : Melatih keluarga membimbing klien mengontrol halusinasi dengan
cara bercakap-cakap
SP 4 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol halusinasi
dengan kegiatan harian dan menjelaskan cara follow up ke
RSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan cara melakukan
rujukan ke RSJ/PKM
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha
Medika
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi
dan klasifikasi2018-2020. Ed. 11. Jakarta: EGC.
Oleh
WAHAM
A. Definisi
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas
yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien (Keliat, 2106).
Gangguan isi pikir dapat diidentifikasi dengan adanya waham. Waham atau
delusi adalah kenyakinan yang salah secara kokoh dipertahankan walaupun tidak
diyakini oleh orang lain yang bertentangan dengan realita normal (Stuart, 2016).
B. Etiologi
Menurut Keliat (2016), Faktor predisposisi yang mungkin mengakibatkan
timbulnya waham, yaitu:
1. Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak / SSP, yang menimbulkan:
a. Hambatan perkembangan otak khususnya kortek prontal, temporal dan
limbik.
b. Pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal, perinatal, neonatus
dan kanak-kanak.
2. Psikososial
Faktor keluarga, pengasuh dan lingkungan pasien sangat mempengaruhi respon
psikologis. Sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi seperti adanya
penolakan dan kekerasan.
3. Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya dapat pula mempengaruhi timbulnya waham seperti
status ekonomi yang rendah. Konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan)
serta kehidupan yang terisolasi (isolasi sosial dan stress yang berlebihan
Faktor prespitasi yang biasanya menimbulkan waham merupakan
karakteristik umum latar belakang termasuk riwayat penganiayaan fisik /
emosional, perlakuan kekerasan dari orang tua, tuntutan dari aspek pendidikan,
tekanan/ancaman, isolasi, permusuhan, perasaan tidak berguna ataupun tidak
berdaya, proses pengolahan informasi yang berlebihan.
D. Patofisiologi
Waham dapat terjadi diawali dengan adanya perasaan diancam oleh
lingkungan, merasa suatu yang tidak nyata, sehingga pasien mengingkari ancaman
dari persepsi diri atau objek realitas dengan menyalahkan arti dan kesan terhadap
kejadian bagian eksternal dan akhirnya individu mencoba memberoi pembenaran
rasional/alasan interpretasi rasional tentang realitas pada diri sendiri atau orang lain.
Perubahan proses pikir dapat dimanifestasikan karena adanya kerusakan dalam
pengoperasian kognitif dan aktivitas.
E. Klasifikasi Waham
Menurut Videbeck (2015), Klasifikasi waham dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, yaitu:
1. Waham kebesaran
Individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus yang
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini
pejabat di departemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya tambang emas.”
2. Waham curiga
Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
3. Waham agama
Individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama secara berlebihan
dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Kalau
saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
4. Waham somatic
Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang
penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium
tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia
sakit kanker).
5. Waham nihilistic
Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, ”Ini kan alam
kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
6. Waham sisip piker
Keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke dalam
pikirannya.
7. Waham siar pikir
Keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan walaupun
ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
8. Waham kontrol piker
Keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di luar dirinya.
F. Rentang Respon
Respon adaptif Respon maladaptive
Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan pikiran/Waham
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan klien dengan waham meliputi Psikofarmakologi, ECT dan
terapi lainnya seperti: terapi psikomotor, terapi rekreasi, terapi somatik, terapi
seni, terapi tingkah laku, terapi keluarga,terapi kelompok, terapi spritual dan
terapi okupsi yang semuanya bertujuan untuk memperbaiki prilaku klien
dengan waham pada gangguan skizoprenia. Penatalaksanaan yang terakhir
adalah rehablitasi sebagai suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan
bagi pasien agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.
H. Pengkajian
1. Identitaa, keluhan utama, faktor predisposisi, aspek fisik/biologis, Aspek
psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping,
masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan, dan aspek medik.
2. Data subjektif, m udah lupa dan sulit konsentrasi, tidak mampu mengambil
keputusan, berpikir tidak realitis, pembicaraan sirkumstansial, mengungkapkan
isi waham, merasa khawatir
3. Data objektif, menunjukkan perilaku sesuai isi waham, isi pikir tidak sesuai
realita, isi pembicaraan sulit di mengerti, curiga berlebihan, waspada
berlebihan, bicara berlebihan, sedih berlebihan atau gembira berlebihan,
wajah tegang, pola tidur berubah, produktivitas kerja menurun, bingung,
inkoheren, flight of idea, khawatir, , menentang atau pemusuhan, hiperaktif,
menarik diri, tidak bisa merawat diri.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan proses pikir: waham
2. Hambatan komunikasi verbal
3. Risiko perilaku kekerasan
J. Strategi Pelaksanaan
Pasien
SP I
1. Membina hubungan saling percaya
2. Membantu orientasi realita
3. Mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi.
4. Melatih pasien memenuhi kebutuhannya
SP II
SP IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
2. Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu
mempraktikannya
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala waham, dan jenis waham yang
dialami pasien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien waham
SP II
SP III
K. Pemberian Psikofarmaka
1. Olanzapin 5-8 mg/hari
2. Risperidon 2-8 mg/hari
3. Haloperidol 1-20 mg/hari
(Rhoads & Murphy 2012)
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Oleh
A. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun
orang lain. Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk di mana seseorang marah
berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motoric yang tidak terkontrol
(Yosep, 2016).
Perilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau
ketakutan (panic) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman
serangan fisik atau konsep diri (Struat, 2016).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Perilaku kekerasan adalah salah satu
respon marah yang diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang
lain, dan atau merusakan lingkungan (Keliat, 2016).
B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor biologis
1) Intinctual drive theory (teori dorongan naluri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang kuat
2) Psycomatic theory (teori psikomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem
limbik berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun
menghambat rasa marah.
b. Faktor psikologis
maupun dalam. Contoh stressor yang berasal dari luar antara lain
Keterangan:
1. Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
2. Frustasi : Respon yang terjadi akibat individu gagal mencapai
tujuan, keputusan / rasa aman dan individu tidak
menemukan alternatif lain
3. Pasif : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realitas atau
terhambat
4. Agresif : Memperlihatkan permusuhan, keras, dan menuntut, mendekati
orang lain dengan ancaman, memberi kata – kata ancaman
tanpa niat melukai orang lain
5. Kekerasan : Dapat disebut juga dengan amuk yaitu perasaan marah
dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Contohnya membanting barang-barang menyakiti diri sendiri
(bunuh diri).
1) Pengumpulan Data
a) Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal
MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No Rumah Sakit
dan alamat klien.
b) Keluhan utama
c) Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan
jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik,
seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan
kriminal..
d) Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, takikardi,
muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang
sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot
seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini
disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
e) Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan
sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
f) Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu
pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi
penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
g) Aspek social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali
menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga
orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang
berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu
sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
h) Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa
tidak berdosa. Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu
mengkaji individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi,
intelektual, sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai
berikut :
i) Aspek fisik
Muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan cepat, berkeringat, sakit
fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak
adekuat, tidak aman, dendam, jengkel. aspek intelektual : mendominasi,
bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan. aspek sosial : menarik diri,
penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
j) Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
3) Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
k) Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien,
afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir,
tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
l) Aspek medic
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
a. Diagnosa keperawatan
1) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan.
2) Perilaku kekerasan.
F. Diagnosa keperawatan
a) Mengidentifikasi penyebab PK
SP III
SP I
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
b) Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses terjadinya PK.
c) Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK.
SP II
Oleh
A. Definisi
Menurut Stuart (2013), harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh
individu mengenai dirinya sendiri, di mana evaluasi diri tersebut merupakan
hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya serta perlakuan orang lain
terhadap dirinya.
Harga diri adalah evaluasi subjektif individu atas penilaiannya sebagai
individu. Jika individu percaya bahwa dia adalah orang yang berharga, maka ini
menunjukkan dirinya memiliki harga diri, terlepas dari apakah penilaiannya
disetujui oleh orang lain atau kriteria dari luar dirinya (Trzesniewski, Donnelan,
& Robins, 2013). Sebaliknya, individu yang menilai dirinya secara negatif,
relatif menjadi tidak sehat, cemas tertekan, dan pesimis akan masa depannya,
dan cenderung mudah gagal (Widyastuti, 2014).
Harga diri rendah adalah penilaian negatif individu terhadap dirinya
sendiri yang ditandai dengan adanya perasaan lemah, tidak berdaya, putus asa,
ketakutan, rentan, rapuh, dan merasa diri tidak berharga (Stuart, 2016).
B. Klasifikasi
Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga diri rendah menurut
Yosep (2010) dapat terjadi secara :
1. Situational, yaitu terjadi terutama secara tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami/istri, putus sekolah, putus hubungan kerja,
perasaan malu karena sesuatu seperti korban pelecehan seksual atau di
tuduh melakukan tindak pidana.
2. Kronik, yaitu perasaan negatif terhadap diri berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/dirawat. Pasien ini mempunyai cara berpikir yang negatif.
Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap
dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respon maladaptif. Kondisi ini dapat
ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronik atau pada klien gangguan
jiwa. Contohnya terjadi pada kondisi dengan gangguan fisik yang kronis
(post amputasi, luka bakar yang parah, kanker stadium akhir).
C. Etiologi
Menurut Stuart (2016) adapun faktor-faktor yang mengakibatkan harga diri
rendah kronis meliputi faktor predisposisi dan faktor presipitasi sebagai berikut :
1. Faktor predisosisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah stereotip peran
gender, tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi ketidakpercayaan
orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur
sosial.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan/ bentuk tubuh, kegagalan atau
produktivitas yang menurun.
D. Rentang Respon
E. Pengkajian dan Tanda Gejala
1. Tanda dan gejala harga diri rendah situasional menurut NANDA (2018) :
a. Meremehkan kemampuan menghadapi situasi
b. Perilaku asertif
c. Perilaku tidak selaras dengan nilai
d. Tanpa tujuan
e. Tantangan situasi terhadap harga diri
f. Tidak berdaya
g. Ungkapan negatif tentang diri
2. Tanda dan gejala harga diri rendah kronis menurut NANDA (2018) :
a. Bergantung pada pendapat orang lain
b. Ekspresi rasa bersalah dan malu
c. Enggan mencoba hal baru
d. Kegagalan hidup berulang
e. Kontak mata kurang
f. Melebih-lebihkan umpan balik negatif tentang diri sendiri
g. Menolak umpan balik positif tentang diri sendiri
h. Meremehkan kemampuan mengatasi situasi
i. Perilaku bimbang, Pasif, dan asertif
j. Secara berlebihan mencari penguatan dan penegasan
F. Diagnosa Keperawatan
3. Ketidakefektifan koping
Pasien
SP I
SP II
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
2. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP III
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
2. Melatih kegiatan ketiga (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
SP II
SP III
H. Pemberian Psikofarmaka
4. Chlorpromazine (CPZ) 2x100 mg.
5. Tryhexyphenydil (THP) 2x2 mg.
6. Haloperidol (HLP) 2x5 mg
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Herdman, T.H., & Kamitsuru, S. (2018). Diagnosis keperawatan: defines &
klasifikasi 2018-2020. Ed. 11. Jakarta:EGC
Stuart, dkk. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3 Jakarta: EGC
Oleh
ISOLASI SOSIAL
A. Definisi
Interaksi sosial atau sosialisasi adalah hubungan interpersonal yang
sehat, terjadi jika individu terlibat saling merasakan kedekatan, sementara
identitas pribadi masih dapat di pertahankan. Interaksi sosial juga diperlukan
untuk membina perasaan saling tergantung, yang merupakan keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian dalam suatu hubungan (Stuart, 2016).
Menurut Townsend (2013) isolasi sosial merupakan keadaan kesepian
yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif
dan mengancam bagi dirinya. Penarikan diri yang dilakukan merupakan suatu
tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan
sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap.
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien isolasi sosial mengalami gangguan dalam berinteraksi dan
mengalami perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain disekitarnya,
lebih menyukai berdiam diri, mengurung diri, dan menghindar dari orang lain
(Yosep & Sutini, 2016).
B. Etioloi
Faktor Predisposisi
1. Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan akan mencetuskan
seseorang mempunyai masalah respon sosial maladaptif. Sistem keluarga
yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon sosial maladaptif.
Beberapa orang percaya bahwa individu yang mempunyai ini adalah orang
yang tidak berhasil memisahkan dirinya dari orang tua. Norma keluarga
mungkin tidak mendukung hubungan keluarga dengan pihak lain di luar
keluarga. Peran keluarga sering kali tidak jelas. Orang tua pecandu alkohol
dan penganiaya anak juga mempengaruhi seseorang berespon social
maladaptif.
2. Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif. Ada bukti
terdahulu tentang terlibatnya neurotransmiter dalam perkembangan gangguan
ini, namun tetap masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
3. Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam anggota gangguan berhubungan, ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau
tidak mengahargai anggota masyarakat yang tidak produktif seperti lansia
orang cacat, dan berpenyakit kronik, isolasi dapat terjadi karena mengadopsi
norma, prilaku, dan sistem nilai yang berbeda dari kelompok budaya
mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan merupakan faktor
lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
(Videbeck, 2015)
Faktor Presipitasi.
Stressor pencetus umumnya mencakup kejadian kehidupan yang penuh stress
seperti kehilangan yang mempengaruhi individu untuk berhubungan dengan
orang lain dan menyebabkan stress. Faktor pencetus ini di kategorikan:
1. Stressor sosiokultural, stress dapat ditimbulkan oleh :
a. Menurunnya stabilitas unit keluarga
b. Berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya
2. Stressor Psikologi, Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan untuk ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tinggi.
(Videbeck, 2015)
C. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan diri yang di gunakan pada gangguan hubungan sosial
sangat bervariasi, seperti pada gangguan menarik diri, mekanisme yang di
gunakan adalah regresi, represi, isolasi
1. Pengumpulan data
a. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, status
mental, suku bangsa, alamat, nomer medrek, ruang rawat, tanggal
masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis.
b. Identitas penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, hubungan
dengan klien, alamat.
2. Faktor predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri
Pengalaman masa kanak-kanak dapat merupakan faktor kontribusi
pada gangguan atau masalah konsep diri meliputi masalah penolakan
orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang
berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran
Tuntutan peran kerja, dan harapan peran kultural, peran sesuai dengan
jenis kelamin, konflik peran yang tidak sesuai muncul dari faktor
biologis.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri
Orang tua yang selalu curiga pada anak akan menyebabkan kurang
percaya diri pada anak, teman sebaya merupakan factor lain yang
mempengaruhi identitas.
d. Faktor tumbuh kembang
Pada dasarnya kemampuan hubungan sosisal berkembang sesuai
dengan tumbuh kembang individu mulai dari dalam kandungan
sampai dewasa lanjut. Untuk mengembangkan hubungan social yang
positif setiap tugas perkembangan harus dilalui dengan sukses. Bila
salah satu tugas perkembangan tidak terpenuhi maka akan
mengahambat tahap perkembangan berikutnya.
e. Faktor sosial budaya
Nilai-nilai, norma-norma , adat dan kebiasaan yang ada dan sudah
menjadi suatu budaya dalam masyarakat merupakan tantangan antara
budaya dan keadaan social dengan nilai-nilai yang dianut.
f. Faktor Biologis
Organ tubuh yang jelas dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
hubungan social adalah otak. Sebagai contoh : pada klien skizoprenia
yang mengalami masalah dalam hubungan social terdapat struktur
yang abnormal pada otak seperti atropi otak, perubahan ukuran dan
sel-sel dalam limbic dan daerah kortikal.
3. Faktor Presipitasi
1. Faktor Ekstrenal
Contohnya adalah sterssor social budaya, yaitu sress yang di
timbulkan oleh faktor social budaya yang antatra lain adalah keluarga.
2. Faktor Internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu sres terjadi akibat ansietas
yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi
akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak
terpenuhinya kebutuhan ketergantungan individu.
4. Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya dengan
depresi berat seperti pada sistem integumen akan tampak kotor, kulit
lengket di karenakan kurang perhatian terhadap perawatan dirinya.
5. Status Mental
6. Penampilan
Biasanya pada pasien menarik diri klien tidak terlalu memperhatikan
penampilan, biasanya penampilan tidak rapi, cara berpakaian tidak seperti
biasanya (tidak tepat).
7. Pembicaraan
Cara bicara biasanya di gambarkan dalam frekuensi, volume dan
karakteristik. Frekuansi merujuk pada kecepatan pasien berbicara dan
volume di ukur dengan berapa keras pasien berbicara. Observasi frekuensi
cepat atau lambat, volume keras atau lambat, jumlah sedikit, membisu,
dan di tekan, karakteristik gagap atau kata-kata bersambungan.
8. Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik pasien. Tingkat
aktifitas: letargik, tegang, gelisah atau agitasi. Jenis aktifitas : seringai atau
tremor. Gerakan tubuh yang berlebihan mungkin ada hubunganya dengan
ansietas, mania atau penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik yang
berulang atau kompulsif bisa merupakan kelainan obsesif kompulsif.
9. Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri pasien tentang status emosional
dan cerminan situasi kehidupan pasien. Alam perasaan dapat di evaluasi
dengan menanyakan pertanyaan yang sederhana dan tidak mengarah
seperti “bagaimana perasaan anda hari ini” apakah pasien menjawab
bahwa ia merasa sedih, takut, putus asa, sangat gembira atau ansietas
(cemas).
10. Afek
Afek yang labil sering terlihat pada mania, dan afek yang datar,tidak
selaras sering tampak pada skizofrenia.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
G. Strategi Pelaksaan
Pasien
SP I
1. Bina hubungan saling percaya
2. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
a. Menanyakan pendapat klien tentang berinteraksi dengan orang lain
b. Menanyakan apa yang menyebabkan klien tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain
c. Membantu klien mengenal keuntungan berinterksi dengan orang lain.
d. Membantu klien mengenal kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain.
SP II
1. Diskusikan bersama pasien keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan
kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
2. Ajarkan pasien berkenalan dengan satu orang
3. Anjurkan pasien untuk memasukan kegiatan berkenalan dengan orang lain
dalam jadwal kegiatan harian
SP III
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan
dengan satu orang
3. Melatih pasien berinteraksi dengan dua orang atau lebih.
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Melatih pasien berbicara sambil melakukan kegiatan sosial.
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien
beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
SP II
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial
SP III
1. Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung perawatan
pasien isolasi social.
SP IV
2. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
3. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Oleh
A. Definisi
Menurut Potter & Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan
untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik
dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya.
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan, dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya. Pasien dinyatakan terganggu
keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri. Defisit
perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan
kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri secara
mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK
(toileting) (Dermawan,2013).
3. Sosial
a. Interaksi kurang
b. Kegiatan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
d. Cara makan tidak teratur
e. BAK dan BAB di sembarang tempat
f. Gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
D. Pengkajian Keperawatan
1. Data Subjektif
Mengatakan malas mandi, tak mau menyisir rambut, tak mau menggosok
gigi, tak mau memotong kuku, tak mau berhias, tak bisa menggunakan alat
mandi / kebersihan diri, pasien merasa lemas, malas beraktivitas, atau merasa
tidak berdaya
2. Data Objektif
Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor,
gigi kotor, mulut bau, penampilan tidak rapih, tak bisa menggunakan alat
mandi, kuku panjang dan tidak dirawat
E. Penatalaksanaan
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat
merawat diri sendiri adalah:
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
a. Bantu klien merawat diri
b. Ajarkan ketrampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
F. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit perawatan diri: mandi
2. Defisit perawatan diri: berpakaian
3. Defisit perawatan diri: makan
4. Defisit perawatan diri: eliminasi
(NANDA, 2018; SDKI, 2016)
G. Strategi Pelaksanaan
Pasien
SP I
1. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri
2. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri
3. Melatih pasien cara menjaga kebersihan diri
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP II
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Melatih pasien cara berdandan
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP III
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik
3. Melatih cara eliminasi yang baik.
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara makan yang baik
3. Melatih pasien cara makan yang baik
4. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala defisit perawatan diri, dan jenis
defisit perawatan diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien defisit perawatan diri
SP II
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan defisit
perawatan diri
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien defisit
perawatan diri
SP III
1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Oleh