Satu-satunya sistem yang sesuai dengan semangat kebebasan dalam way of life Islam ini
adalah sistem dimana pelaksanaan sebagian besar proses produksi dan distribusi barang-
barang serta jasa diserahkan kepada individu-individu atau kelompok-kelompok yang
dibentuk dengan sukarela, dan dimana setiap orang diijinkan untuk menjual kepada, dan
membeli dari siapapun yang dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua
belah pihak.
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan literatur fiqh penuh dengan pembahasan yang terperinci
tentang norma-norma yang menyangkut pencarian dan pembelanjaan harta benda pribadi
dan perdagangan, dan jual beli barang-barang dagangan, disamping pelembagaan zakat
dan warisan.
Yang pasti tidak akan dibahas dengan demikian terperinci seandainya pelembagaan hak
milik pribadi atas sebagian besar sumber-sumber daya yang produktif tidak diakui oleh
Islam. Karena itu, peniadaan hak milik pribadi ini tidak dapat dipandang sesuai dengan
ajaran Islam.
Mekanisme pasar juga dapat dipandang sebagai bagian integral dari sistem ekonomi
Islam, karena di satu pihak pelembagaan hak milik pribadi tidak akan dapat berfungsi
tanpa pasar.
Dan dilain pihak, pasar memberikan kesempatan kepada para konsumen untuk
mengungkapkan keinginannya terhadap produk barang atau jasa yang mereka senangi
diiringi kesediaan mereka untuk membayar harganya, dan juga memberikan kepada para
pemilik sumber daya (produsen) kesempatan untuk menjual produk barang atau jasanya
sesuai dengan keinginan bebas mereka.
Motif mencari keuntungan, yang mendasari keberhasilan pelaksanaan sistem yang dijiwai
kebebasan berusaha, juga diakui oleh Islam. Hal ini dikarenakan keuntungan memberikan
insentif yang perlu bagi efisiensi pemakaian sumberdaya yang telah dianugerahkan Allah
kepada umat manusia.
Efisiensi dalam alokasi sumber daya ini merupakan unsur yang perlu dalam kehidupan
masyarakat yang sehat dan dinamis. Tetapi karena adalah mungkin untuk menjadikan
keuntungan sebagai tujuan utama, dan dengan demikian membawa kepada berbagai
penyakit ekonomi dan sosial, maka Islam menempatkan pembatasan-pembatasan moral
tertentu atas motif mencari keuntungan, sehingga motif tersebut menunjang kepentingan
individu dalam konteks sosial dan tidak melanggar tujuan-tujuan Islam dalam keadilan
ekonomi dan sosial serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.
Pengakuan Islam atas kebebasan berusaha bersama dengan pelembagaan hak milik
pribadi dan motif mencari keuntungan, tidaklah menjadikan sistem Islam mirip dengan
kapitalisme yang berdasarkan kebebasan berusaha. Perbedaan antara kedua hal itu perlu
difahami dikarenakan oleh dua alasan penting:
Pertama, dalam sistem Islam, walaupun pemilikan harta benda secara pribadi diizinkan,
namun ia harus dipandang sebagai amanat dari Allah, karena segala sesuatu yang ada di
langit dan di bumi sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia sebagai wakil (khalifah)
Allah hanya mempunyai hak untuk memilikinya dengan status amanat. Qur’an berkata:
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan dibumi” (QS. 2:84).
“Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi dan apa yang ada di dalamnya, kalau kamu
semua tahu? Pasti mereka akan menjawab: Milik Allah. Katakanlah: Kalau demikian,
maukah kamu semua berfikir?” (QS. 23:84-85).
“Dan berilah (bantulah) mereka dari kekayaan Allah yang telah diberikan Allah
kepadamu” (QS. 24:33).
Kedua, karena manusia adalah wakil Allah di bumi, dan harta benda yang dimilikinya
adalah amanat dari-Nya, maka manusia terikat oleh syarat-syarat amanat, atau lebih
khusus lagi, oleh nilai-nilai moral Islam, terutama nilai-nilai halal dan haram,
persaudaraan, keadilan sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan yang
adil, dan menunjang kesejahteraan masyarakat umum.
Harta benda haruslah dicari dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, dan
harus dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang menjadi tujuan penciptaannya.
“Harta benda memang hijau dan manis (mempesona); barangsiapa yang mencarinya
dengan cara yang halal, maka harta itu akan menjadi pembantunya yang sangat baik,
sedangkan barangsiapa yang mencarinya dengan cara yang tidak benar, maka ia akan
seperti seseorang yang makan tapi tak pernah kenyang” (HR. Muslim, dalam Shahih-nya,
2:728). Wallahu a’lam bish-shawab.
BAB II PEMBAHASAN
Al Qur'an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum
Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit
tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi
dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku
usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4. Tanggungjawab (responsibility)
Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik,
karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia
adalah kepercayaannya di bumi[2]. Didalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam
sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti "kelebihan"[7]. Dalam
Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 275[8] disebutkan bahwa Orang-orang yang makan
(mengambil) riba. Riba itu ada dua macam : nasiah dan fadhi. Riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhi ialah
penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya
karena orang yang menukarkan mensyarakat.
Islam sebagai agama wahyu merupakan sumber pedoman hidup bagi seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, seluruh aktivitas yang dilakukan dalam bidang ekonomi Islam
mengutamakan metode pendekatan sistem nilai sebagaimana yang tercantum dalam
sumber-sumber hukum Islam yang berupa Al Quran, Sunnah, Ijma dan Ijtihad.
Sistem nilai tersebut diharapkan dapat membentuk suatu sistem ekonomi Islam yang
mampu mengentaskan kehidupan manusia dari ancaman pertarungan serta timbulnya
perpecahan akibat adanya persaingan dan kegelisahan yang menyebabkan keserakahan
sebagai bentuk krisis dari sistem ekonomi kapitalis dan sosialistik (Muhamad, 2000 : 14-
16). Islam menginginkan suatu ekonomi pasar yang dilandaskan pada nilai-nilai moral.
Segala kegiatan ekonomi harus berdasarkan pada prinsip kerjasama dan prinsip tanggung
jawab.
Karakteristik utama dari sistem ekonomi Islam adalah digunakannya konsep segitiga
(triangle concept) yang memiliki tiga elemen dasar. Adapun ketiga elemen dasar tersebut
adalah Allah SWT, manusia dan alam. Dalam melaksanakan segala aktivitas ekonomi,
maka manusia akan selalu berhubungan dengan manusia lainnya (hablum minannaas).
Sedangkan elemen alam pada konsep segitiga dimaksudkan sebagai wahana atau tempat
yang mampu memberikan dan mencukupi kebutuhan seluruh mahluk hidup, khususnya
umat manusia. Namun demikian, manusia yang telah ditakdirkan sebagai mahluk hidup
yang diberikan akal memiliki kewajiban untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan
hidup dari alam tersebut. Pada akhirnya, keseluruhan hubungan horisontal antara kedua
elemen tersebut harus mengacu pada sebuah garis lurus vertikal, yaitu Allah SWT
(hablum minnallah). Hal tersebut merupakan salah satu bentuk filsafat ekonomi Islam
(Muhamad, 2000 : 17).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam filsafat ekonomi Islam terdapat tiga asas pokok
yaitu sebagai berikut : (Muhamad, 2000 : 19)
1. Asas yang menjelaskan bahwa dunia dan seluruh isinya, termasuk alam semesta,
adalah milik Allah SWT dan berjalan menurut kehendak-Nya.
2. Asas yang menjelaskan bahwa Allah SWT merupakan pencipta semua mahluk
hidup yang ada di alam semesta ini. Konsekuensi yang timbul dari hal tersebut
adalah bahwa seluruh mahluk hidup tersebut harus tunduk kepada-Nya.
3. Asas yang menjelaskan bahwa iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi pola
pikir dan tingkah laku ekonomi manusia menurut horison waktu.
Bangunan Ekonomi Islam di atas, memiliki nilai-nilai universal yang menjadi dasar
inspirasi untuk mengembangkan teori Ekonomi Islam. Rincian dari nilai-nilai universal
tersebut adalah sebagai berikut:
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Muhammad (2000: 19-21) bahwa tauhid itu
yang membentuk 3 (tiga) asas pokok filsafat Ekonomi Islam, yaitu:
Pertama, dunia dengan segala isinya adalah milik Allah Swt dan berjalan menurut
kehendak-Nya (QS. Al-Ma’idah: 20, QS. Al-Baqarah: 6). Manusia sebagai khalifah-Nya
hanya mempunyai hak khilafat dan tidak absolut, serta harus tunduk melaksanakan
hukum-Nya, sehingga mereka yang menganggap kepemilikan secara tak terbatas berarti
ingkar kepada kekuasaan Allah Swt. Implikasi dari status kepemilikan menurut Islam
adalah hak manusia atas barang atau jasa itu terbatas. Hal ini jelas berbeda dengan
kepemilikan mutlak oleh individu pada Sistem Kapitalis dan oleh kaum proletar pada
Sistem Marxisme.
Kedua, Allah Swt. adalah pencipta semua makhluk dan semua makhluk tunduk kepada-
Nya (QS. Al-An’am: 142-145, QS. An-Nahl: 10-16, QS. Faathir: 27-29, QS. Az-Zumar:
21). Dalam Islam , kehidupan dunia hanya dipandang sebagai ujian, yang akan diberikan
ganjaran dengan surga yang abadi. Inilah ganjaran atas usaha-usaha dunia yang terbatas.
sebagai sesuatu yang sifatnya non moneter, yang tidak dapat dijadikan dan diukur dengan
sesuatu yang pasti, dan ini sulit untuk dimasukkan ke dalam analisis Ekonomi
Konvensional (Tarek El-Diwany, 2003: 160). Sedangkan ketidakmerataan karunia nikmat
dan kekayaan yang diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya merupakan kuasa Allah
Swt. semata. Tujuannya adalah agar mereka yang diberi kelebihan sadar menegakkan
persamaan masyarakat (egalitarian) dan bersyukur kepada-Nya (QS. Al-Ma’un: 1-7, QS.
Al-Hadiid: 7), persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, yakni syirkah dan
qirad atau bagi hasil (QS. Al- Baqarah: 254, QS. Al-Ma’idah: 2). Doktrin egalitarianisme
Islam seperti itu berbeda dengan sistem ekonomi materialistik, hedonis yang proletar
sosialistik dan marxisme.
Ketiga, Iman kepada Hari Kiamat akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia
menurut horizon waktu. Seorang muslim yang melakukan aksi ekonomi tertentu akan
mempertimbangkan akibatnya pada Hari Kemudian. Menurut dalil ekonomi, hal ini
mengandung maksud dalam memilih kegiatan ekonomi dengan menghitung nilai
sekarang dan hal yang akan dicapai di masa yang akan datang. Hasil kegiatan mendatang
ialah semua yang diperoleh, baik sebelum maupun sesudah mati atau extended time
horizon, (QS. Al-Qiyamah: 1-10, QS. Al-Zalzalah: 1-8).
2. ‘Adl (Keadilan)
Allah Swt. adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak
membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara dzalim. Manusia sebagai
khalifah di muka bumi harus memelihara hukum Allah Swt. di bumi, dan menjamin
bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya
semua mendapat manfaat dari padanya secara adil dan baik. Dalam banyak ayat, Allah
Swt. memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah
bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi, apabila hal
itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok
dalam berbagai golongan yang men-dzalimi. Masing-masing berusaha mendapatkan hasil
yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya yang disebabkan kerakusannya
(Adi Warman Karim, 2003: 8-9).
3. Nubuwwah (Kenabian)
Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan Allah Swt., manusia tidak dibiarkan begitu saja
di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para nabi dan rasul untuk
menyampaikan petunjuk Allah Swt. kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik
dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) ke asal-muasal segala
sesuatu, yaitu Allah Swt. Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus
diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
muslim juga percaya terhadap rasul-rasul yang patut mendapatkan ‘penghormatan’,
seperti Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa yang sama juga dengan Muhammad. Makanya, tidak
mengherankan jika kita temukan penganut agama selain Islam yang memiliki prinsip
sama dengan prinsip Islam, seperti misalnya dalam pengenaan haramnya ‘bunga’ (Tarek
El-Diwany, 2003: 161). Namun, untuk umat Islam sendiri, Allah Swt. telah mengirimkan
‘manusia model’ yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi
Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada
umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya adalah:
Pertama, Siddiq (benar, jujur) harus menjadi visi hidup setiap muslim. Dari konsep siddiq
ini muncullah konsep turunan, yakni efektivitas (mencapai tujuan yang tepat dan benar)
dan efisiensi (melakukan kegiatan dengan benar, yakni menggunakan teknik dan metode
yang tidak menyebabkan kemubadziran);
Kedua, Amanah (tanggung jawab, dapat dipercaya, kredibilitas). Sifat ini akan
membentuk kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh tanggung jawab pada setiap individu
muslim. Kumpulan individu dengan kredibilitas dan tanggung jawab yang tinggi akan
melahirkan masyarakat yang kuat. Sifat amanah memainkan peranan yang fundamental
dalam ekonomi dan bisnis, karena tanpa kredibilitas dan tanggung jawab, kehidupan
ekonomi dan bisnis akan hancur.
Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam (siapa memimpin
siapa). Fungsi utamanya adalah agar menjaga keteraturan interaksi (mu’amalah) antar
kelompok –termasuk dalam bidang ekonomi- agar kekacauan dan keributan dapat
dihilangkan, atau dikurangi. Dalam Islam, pemerintah memainkan peranan yang kecil,
namun sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin
perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, dan untuk memastikan supaya tidak
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Semua itu dalam kerangka mencapai
maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariah), yang menurut Imam Al-Ghazali adalah
untuk memajukan esejahteraan manusia. Hal ini dicapai dengan melindungi keimanan,
jiwa, akal, kehormatan, dan kekayaan manusia.
5. Ma’ad (Hasil)
Allah Swt. menandaskan bahwa manusia diciptakan di dunia untuk berjuang. Dunia
adalah ladang akhirat, artinya dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan
beraktivitas (beramal shaleh). Perjuangan ini akan mendapatkan ganjaran, baik di dunia
maupun di akhirat. Kebaikan akan dibalas kebaikan, kejahatan akan dibalas dengan
hukuman yang setimpal. Karena itu, ma’ad diartikan sebagai imbalan.
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt
kepada manusia.
6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
Sistem ekonomi liberal klasik adalah suatu filosofi ekonomi dan politis. Mula-mula
ditemukan pada suatu tradisi penerangan atau keringanan yang bersifat membatasi batas-
batas dari kekuasaan dan tenaga politis, yang menggambarkan pendukungan kebebasan
individu.Teori itu juga bersifat membebaskan individu untuk bertindak sesuka hati sesuai
kepentingan dirinya sendiri dan membiarkan semua individu untuk melakukan pekerjaan
tanpa pembatasan yang nantinya dituntut untuk menghasilkan suatu hasil yang terbaik,
yang cateris paribus, atau dengan kata lain, menyajikan suatu benda dengan batas
minimum dapat diminati dan disukai oleh masyarakat (konsumen).
Garis berpaham ekonomi liberal telah pernah dipraktikan oleh sekolah-sekolah di Austria
dengan berupa demokrasi di masyarakat yang terbuka. Paham liberali kebanyakan
digunakan oleh negara-negara di benua Eropa dan Amerika. Seperti halnya di Amerika
Serikat, paham liberal dikenali dengan sebutan mild leftism estabilished.
Keuntungan
Kelemahan
Selain ada keuntungan, ada juga beberapa kelemahan daripada sistem ekonomi liberal,
adalah:
Perkembangan ekonomi Islam akhir-akhir ini begitu pesat, baik sebagai ilmu
pengetahuan maupun sebagai sebuah sistem ekonomi telah mendapat banyak sambutan
positif di tingkat global. Sehingga dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan, baik
dalam bentuk kajian akademis di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta, dan secara
praktik operasional.
Selanjutnya, lahir UU No. 23 Tahun 1999 direvisi UU No.3 Tahun 2004 tentang
BI, sebagai penanggung jawab otoritas moneter bank syari’ah dan bank konvensional.
Kemudian disusul disahkan UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) dan perkembangan yang sangat signifikan dengan disahkannya undang-
undang no 21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah.
Untuk Pengadilan Agama, ada beberapa agenda untuk memenuhi kebutuhan SDM
tersebut di antaranya yang terkait dengan PT seperti:
1. Membangun SDM dengan Diklat, pelatihan Hakim Pengadilan Agama baik oleh
MA, Perguruan Tinggi, maupun Organisasi Profesi.
Selain itu praktisi LKS mempunyai bekal untuk mempersiapkan materi dalam
mendisain kontrak di LKS. Sedangkan MUI perlu meninjau ulang kualifikasi anggota
DSN dan DPS. Sehingga anggota DSN dan DPS tidak cukup hanya pakar ilmu keuangan
dan perbankan sebagaimana juga tidak bisa hanya ulama dan cendekiawan muslim yang
expert dalam operasional Lembaga Keuangan Syari’ah dan ilmu ekonomi keuangan saja.
Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah
Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli
syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam
membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi
Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam
fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan
oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum,
maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah
khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI
menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia,
khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi
lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula
mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS. Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk
dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi
dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh
karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah.
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara
warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah
ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada
dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip
bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir
(spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh
dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” (mana yang
maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah
dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer
kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat
syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat
bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga
secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah
(validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah
berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan
dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47
fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual
beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang
muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah,
diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran,
pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana
syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan
dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit
tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening
koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter
of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar
Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman
umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
Saran
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika
dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet
muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status
hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan
kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada
kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa
disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada
kesimpulan-kesimpulan isi fatwa.
Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui
hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun
kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim
ke MUI Propinsi.
Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui
workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu
memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya
berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka,
tapi kajian Islam yang komprehensif.