Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Komitmen Islam terhadap kemerdekaan individu dengan jelas membedakannya dari


sosialisme atau sistem apapun yang menghapuskan kebebasan individu. Saling rela tak
terpaksa antara penjual dan pembeli, menurut semua ahli hukum Islam, adalah
merupakan syarat sahnya transaksi dagang. Persaratan ini bersumber dari ayat Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu memakan harta salah seorang diantaramu
dengan jalan yang tidak benar; dapatkanlah harta dengan melalui jual beli dan saling
merelakan” (QS. 4:29).

Satu-satunya sistem yang sesuai dengan semangat kebebasan dalam way of life Islam ini
adalah sistem dimana pelaksanaan sebagian besar proses produksi dan distribusi barang-
barang serta jasa diserahkan kepada individu-individu atau kelompok-kelompok yang
dibentuk dengan sukarela, dan dimana setiap orang diijinkan untuk menjual kepada, dan
membeli dari siapapun yang dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua
belah pihak.

Kebebasan berusaha, berlawanan dengan sosialisme, memberikan kemungkinan untuk


hal itu dan diakui oleh Islam bersama-sama dengan unsur-unsur yang mendampinginya,
yaitu pelembagaan hak milik pribadi.

Al-Qur’an, As-Sunnah, dan literatur fiqh penuh dengan pembahasan yang terperinci
tentang norma-norma yang menyangkut pencarian dan pembelanjaan harta benda pribadi
dan perdagangan, dan jual beli barang-barang dagangan, disamping pelembagaan zakat
dan warisan.

Yang pasti tidak akan dibahas dengan demikian terperinci seandainya pelembagaan hak
milik pribadi atas sebagian besar sumber-sumber daya yang produktif tidak diakui oleh
Islam. Karena itu, peniadaan hak milik pribadi ini tidak dapat dipandang sesuai dengan
ajaran Islam.

Mekanisme pasar juga dapat dipandang sebagai bagian integral dari sistem ekonomi
Islam, karena di satu pihak pelembagaan hak milik pribadi tidak akan dapat berfungsi
tanpa pasar.

Dan dilain pihak, pasar memberikan kesempatan kepada para konsumen untuk
mengungkapkan keinginannya terhadap produk barang atau jasa yang mereka senangi
diiringi kesediaan mereka untuk membayar harganya, dan juga memberikan kepada para
pemilik sumber daya (produsen) kesempatan untuk menjual produk barang atau jasanya
sesuai dengan keinginan bebas mereka.

Motif mencari keuntungan, yang mendasari keberhasilan pelaksanaan sistem yang dijiwai
kebebasan berusaha, juga diakui oleh Islam. Hal ini dikarenakan keuntungan memberikan
insentif yang perlu bagi efisiensi pemakaian sumberdaya yang telah dianugerahkan Allah
kepada umat manusia.
Efisiensi dalam alokasi sumber daya ini merupakan unsur yang perlu dalam kehidupan
masyarakat yang sehat dan dinamis. Tetapi karena adalah mungkin untuk menjadikan
keuntungan sebagai tujuan utama, dan dengan demikian membawa kepada berbagai
penyakit ekonomi dan sosial, maka Islam menempatkan pembatasan-pembatasan moral
tertentu atas motif mencari keuntungan, sehingga motif tersebut menunjang kepentingan
individu dalam konteks sosial dan tidak melanggar tujuan-tujuan Islam dalam keadilan
ekonomi dan sosial serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.

Pengakuan Islam atas kebebasan berusaha bersama dengan pelembagaan hak milik
pribadi dan motif mencari keuntungan, tidaklah menjadikan sistem Islam mirip dengan
kapitalisme yang berdasarkan kebebasan berusaha. Perbedaan antara kedua hal itu perlu
difahami dikarenakan oleh dua alasan penting:

Pertama, dalam sistem Islam, walaupun pemilikan harta benda secara pribadi diizinkan,
namun ia harus dipandang sebagai amanat dari Allah, karena segala sesuatu yang ada di
langit dan di bumi sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia sebagai wakil (khalifah)
Allah hanya mempunyai hak untuk memilikinya dengan status amanat. Qur’an berkata:

“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan dibumi” (QS. 2:84).

“Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi dan apa yang ada di dalamnya, kalau kamu
semua tahu? Pasti mereka akan menjawab: Milik Allah. Katakanlah: Kalau demikian,
maukah kamu semua berfikir?” (QS. 23:84-85).

“Dan berilah (bantulah) mereka dari kekayaan Allah yang telah diberikan Allah
kepadamu” (QS. 24:33).

Kedua, karena manusia adalah wakil Allah di bumi, dan harta benda yang dimilikinya
adalah amanat dari-Nya, maka manusia terikat oleh syarat-syarat amanat, atau lebih
khusus lagi, oleh nilai-nilai moral Islam, terutama nilai-nilai halal dan haram,
persaudaraan, keadilan sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan yang
adil, dan menunjang kesejahteraan masyarakat umum.

Harta benda haruslah dicari dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, dan
harus dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang menjadi tujuan penciptaannya.

asulullah saw bersabda:

“Harta benda memang hijau dan manis (mempesona); barangsiapa yang mencarinya
dengan cara yang halal, maka harta itu akan menjadi pembantunya yang sangat baik,
sedangkan barangsiapa yang mencarinya dengan cara yang tidak benar, maka ia akan
seperti seseorang yang makan tapi tak pernah kenyang” (HR. Muslim, dalam Shahih-nya,
2:728). Wallahu a’lam bish-shawab.
BAB II PEMBAHASAN

Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosialyang mempelajari masalah-


masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistim
ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan
(Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh
pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan[2].
Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus
anjuran yang memiliki dimensi ibadah.

Al Qur'an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum
Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit
tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi
dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku
usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:

1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4. Tanggungjawab (responsibility)

Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik,
karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia
adalah kepercayaannya di bumi[2]. Didalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam
sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti "kelebihan"[7]. Dalam
Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 275[8] disebutkan bahwa Orang-orang yang makan
(mengambil) riba. Riba itu ada dua macam : nasiah dan fadhi. Riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhi ialah
penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya
karena orang yang menukarkan mensyarakat.

Karakteristik Utama Ekonomi Islam

Islam sebagai agama wahyu merupakan sumber pedoman hidup bagi seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, seluruh aktivitas yang dilakukan dalam bidang ekonomi Islam
mengutamakan metode pendekatan sistem nilai sebagaimana yang tercantum dalam
sumber-sumber hukum Islam yang berupa Al Quran, Sunnah, Ijma dan Ijtihad.

Sistem nilai tersebut diharapkan dapat membentuk suatu sistem ekonomi Islam yang
mampu mengentaskan kehidupan manusia dari ancaman pertarungan serta timbulnya
perpecahan akibat adanya persaingan dan kegelisahan yang menyebabkan keserakahan
sebagai bentuk krisis dari sistem ekonomi kapitalis dan sosialistik (Muhamad, 2000 : 14-
16). Islam menginginkan suatu ekonomi pasar yang dilandaskan pada nilai-nilai moral.
Segala kegiatan ekonomi harus berdasarkan pada prinsip kerjasama dan prinsip tanggung
jawab.

Karakteristik utama dari sistem ekonomi Islam adalah digunakannya konsep segitiga
(triangle concept) yang memiliki tiga elemen dasar. Adapun ketiga elemen dasar tersebut
adalah Allah SWT, manusia dan alam. Dalam melaksanakan segala aktivitas ekonomi,
maka manusia akan selalu berhubungan dengan manusia lainnya (hablum minannaas).
Sedangkan elemen alam pada konsep segitiga dimaksudkan sebagai wahana atau tempat
yang mampu memberikan dan mencukupi kebutuhan seluruh mahluk hidup, khususnya
umat manusia. Namun demikian, manusia yang telah ditakdirkan sebagai mahluk hidup
yang diberikan akal memiliki kewajiban untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan
hidup dari alam tersebut. Pada akhirnya, keseluruhan hubungan horisontal antara kedua
elemen tersebut harus mengacu pada sebuah garis lurus vertikal, yaitu Allah SWT
(hablum minnallah). Hal tersebut merupakan salah satu bentuk filsafat ekonomi Islam
(Muhamad, 2000 : 17).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam filsafat ekonomi Islam terdapat tiga asas pokok
yaitu sebagai berikut : (Muhamad, 2000 : 19)

1. Asas yang menjelaskan bahwa dunia dan seluruh isinya, termasuk alam semesta,
adalah milik Allah SWT dan berjalan menurut kehendak-Nya.
2. Asas yang menjelaskan bahwa Allah SWT merupakan pencipta semua mahluk
hidup yang ada di alam semesta ini. Konsekuensi yang timbul dari hal tersebut
adalah bahwa seluruh mahluk hidup tersebut harus tunduk kepada-Nya.
3. Asas yang menjelaskan bahwa iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi pola
pikir dan tingkah laku ekonomi manusia menurut horison waktu.

Nilai-Nilai Universal Teori Ekonomi Islam

Bangunan Ekonomi Islam di atas, memiliki nilai-nilai universal yang menjadi dasar
inspirasi untuk mengembangkan teori Ekonomi Islam. Rincian dari nilai-nilai universal
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tauhid (Keesaan Tuhan)

Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Muhammad (2000: 19-21) bahwa tauhid itu
yang membentuk 3 (tiga) asas pokok filsafat Ekonomi Islam, yaitu:

Pertama, dunia dengan segala isinya adalah milik Allah Swt dan berjalan menurut
kehendak-Nya (QS. Al-Ma’idah: 20, QS. Al-Baqarah: 6). Manusia sebagai khalifah-Nya
hanya mempunyai hak khilafat dan tidak absolut, serta harus tunduk melaksanakan
hukum-Nya, sehingga mereka yang menganggap kepemilikan secara tak terbatas berarti
ingkar kepada kekuasaan Allah Swt. Implikasi dari status kepemilikan menurut Islam
adalah hak manusia atas barang atau jasa itu terbatas. Hal ini jelas berbeda dengan
kepemilikan mutlak oleh individu pada Sistem Kapitalis dan oleh kaum proletar pada
Sistem Marxisme.

Kedua, Allah Swt. adalah pencipta semua makhluk dan semua makhluk tunduk kepada-
Nya (QS. Al-An’am: 142-145, QS. An-Nahl: 10-16, QS. Faathir: 27-29, QS. Az-Zumar:
21). Dalam Islam , kehidupan dunia hanya dipandang sebagai ujian, yang akan diberikan
ganjaran dengan surga yang abadi. Inilah ganjaran atas usaha-usaha dunia yang terbatas.
sebagai sesuatu yang sifatnya non moneter, yang tidak dapat dijadikan dan diukur dengan
sesuatu yang pasti, dan ini sulit untuk dimasukkan ke dalam analisis Ekonomi
Konvensional (Tarek El-Diwany, 2003: 160). Sedangkan ketidakmerataan karunia nikmat
dan kekayaan yang diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya merupakan kuasa Allah
Swt. semata. Tujuannya adalah agar mereka yang diberi kelebihan sadar menegakkan
persamaan masyarakat (egalitarian) dan bersyukur kepada-Nya (QS. Al-Ma’un: 1-7, QS.
Al-Hadiid: 7), persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, yakni syirkah dan
qirad atau bagi hasil (QS. Al- Baqarah: 254, QS. Al-Ma’idah: 2). Doktrin egalitarianisme
Islam seperti itu berbeda dengan sistem ekonomi materialistik, hedonis yang proletar
sosialistik dan marxisme.

Ketiga, Iman kepada Hari Kiamat akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia
menurut horizon waktu. Seorang muslim yang melakukan aksi ekonomi tertentu akan
mempertimbangkan akibatnya pada Hari Kemudian. Menurut dalil ekonomi, hal ini
mengandung maksud dalam memilih kegiatan ekonomi dengan menghitung nilai
sekarang dan hal yang akan dicapai di masa yang akan datang. Hasil kegiatan mendatang
ialah semua yang diperoleh, baik sebelum maupun sesudah mati atau extended time
horizon, (QS. Al-Qiyamah: 1-10, QS. Al-Zalzalah: 1-8).

2. ‘Adl (Keadilan)

Allah Swt. adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak
membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara dzalim. Manusia sebagai
khalifah di muka bumi harus memelihara hukum Allah Swt. di bumi, dan menjamin
bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya
semua mendapat manfaat dari padanya secara adil dan baik. Dalam banyak ayat, Allah
Swt. memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah
bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi, apabila hal
itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok
dalam berbagai golongan yang men-dzalimi. Masing-masing berusaha mendapatkan hasil
yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya yang disebabkan kerakusannya
(Adi Warman Karim, 2003: 8-9).
3. Nubuwwah (Kenabian)

Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan Allah Swt., manusia tidak dibiarkan begitu saja
di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para nabi dan rasul untuk
menyampaikan petunjuk Allah Swt. kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik
dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) ke asal-muasal segala
sesuatu, yaitu Allah Swt. Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus
diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
muslim juga percaya terhadap rasul-rasul yang patut mendapatkan ‘penghormatan’,
seperti Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa yang sama juga dengan Muhammad. Makanya, tidak
mengherankan jika kita temukan penganut agama selain Islam yang memiliki prinsip
sama dengan prinsip Islam, seperti misalnya dalam pengenaan haramnya ‘bunga’ (Tarek
El-Diwany, 2003: 161). Namun, untuk umat Islam sendiri, Allah Swt. telah mengirimkan
‘manusia model’ yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi
Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada
umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya adalah:

Pertama, Siddiq (benar, jujur) harus menjadi visi hidup setiap muslim. Dari konsep siddiq
ini muncullah konsep turunan, yakni efektivitas (mencapai tujuan yang tepat dan benar)
dan efisiensi (melakukan kegiatan dengan benar, yakni menggunakan teknik dan metode
yang tidak menyebabkan kemubadziran);

Kedua, Amanah (tanggung jawab, dapat dipercaya, kredibilitas). Sifat ini akan
membentuk kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh tanggung jawab pada setiap individu
muslim. Kumpulan individu dengan kredibilitas dan tanggung jawab yang tinggi akan
melahirkan masyarakat yang kuat. Sifat amanah memainkan peranan yang fundamental
dalam ekonomi dan bisnis, karena tanpa kredibilitas dan tanggung jawab, kehidupan
ekonomi dan bisnis akan hancur.

Ketiga, Fathanah (kecerdasan, kebijaksanaan, intelektualitas). Sifat ini dipandang sebagai


strategi hidup setiap muslim, karena untuk mencapai Sang Benar, kita harus
mengoptimalkan segala potensi yang telah diberikan oleh-Nya. Potensi paling berharga
dan termahal yang hanya diberikan pada manusia adalah akal (intelektualita). Implikasi
ekonomi dan bisnis dari sifat ini adalah bahwa segala aktivitas ekonomi harus dilakukan
dengan ilmu kecerdikan, dan pengoptimalan semua potensi akal yang ada untuk
mencapai tujuan. Jujur, benar, kredibel, dan bertanggung jawab saja tidak cukup dalam
berekonomi dan berbisnis. Para pelaku harus pintar dan cerdik supaya usahanya efektif
dan efisien, dan agar tidak menjadi korban penipuan. Konsepnya work hard and smart,
bukan work hard vs work smart.

Keempat, Tabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran) merupakan taktik hidup


muslim, karena setiap orang mengemban tanggung jawab dakwah. Sifat tabligh ini
menurunkan prinsip-prinsip ilmu komunikasi (personal, interpersonal), pemasaran,
penjualan, periklanan, pembentukan opini massa, dan lain-lain.
4. Khilafah (Pemerintahan)

Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam (siapa memimpin
siapa). Fungsi utamanya adalah agar menjaga keteraturan interaksi (mu’amalah) antar
kelompok –termasuk dalam bidang ekonomi- agar kekacauan dan keributan dapat
dihilangkan, atau dikurangi. Dalam Islam, pemerintah memainkan peranan yang kecil,
namun sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin
perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, dan untuk memastikan supaya tidak
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Semua itu dalam kerangka mencapai
maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariah), yang menurut Imam Al-Ghazali adalah
untuk memajukan esejahteraan manusia. Hal ini dicapai dengan melindungi keimanan,
jiwa, akal, kehormatan, dan kekayaan manusia.

5. Ma’ad (Hasil)

Allah Swt. menandaskan bahwa manusia diciptakan di dunia untuk berjuang. Dunia
adalah ladang akhirat, artinya dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan
beraktivitas (beramal shaleh). Perjuangan ini akan mendapatkan ganjaran, baik di dunia
maupun di akhirat. Kebaikan akan dibalas kebaikan, kejahatan akan dibalas dengan
hukuman yang setimpal. Karena itu, ma’ad diartikan sebagai imbalan.

Ciri-ciri Ekonomi Islam (http://aliasppd.tripod.com/ciriekonomiislam.htm)

• Memelihara fitrah manusia .

• Memelihara norma-norma akhlak .

• Memenuhi keperluan-keperluan masyarakat .

• Kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebahagian daripada ajaran agama Islam.

• Kegiatan ekonomi Islam mempunyai cita-cita luhur, iaitu bertujuan berusaha


untuk mencari keuntungan individu, di samping melahirkan kebahagiaan bersama
bagi masyarakat.

• Aktiviti-aktiviti ekonomi islam sentiasa diawasi oleh hukum-hukum islam dan


perlaksanaannya dikawal pula oleh pihak pemerintah

• Ekonomi islam menseimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat


Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam (http://islampeace.clubdiscussion.net/t13-pengertian-
tujuan-prinsip-prinsip-ekonomi-islam)

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:

1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt
kepada manusia.

2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.

3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.

4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh


segelintir orang

5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya


direncanakan untuk kepentingan banyak orang.

6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.

7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)

8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.


Ekonomi liberal adalah teori ekonomi yang diuraikan oleh tokoh-tokoh penemu
ekonomi klasik seperti Adam Smith atau French Physiocrats. Sistem ekonomi klasik
tersebut mempunyai kaitannya dengan "kebebasan (proses) alami" yang dipahami oleh
sementara tokoh-tokoh ekonomi sebagai ekonomi liberal klasik. Meskipun demikian,
Smith tidak pernah menggunakan penamaan paham tersebut sedangkan konsep kebijakan
dari ekonomi (globalisasi) liberal ialah sistem ekonomi bergerak kearah menuju pasar
bebas dan sistem ekonomi berpaham perdagangan bebas dalam era globalisasi [1]yang
bertujuan menghilangkan kebijakan ekonomi proteksionisme.[2]

Sistem ekonomi liberal klasik

Sistem ekonomi liberal klasik adalah suatu filosofi ekonomi dan politis. Mula-mula
ditemukan pada suatu tradisi penerangan atau keringanan yang bersifat membatasi batas-
batas dari kekuasaan dan tenaga politis, yang menggambarkan pendukungan kebebasan
individu.Teori itu juga bersifat membebaskan individu untuk bertindak sesuka hati sesuai
kepentingan dirinya sendiri dan membiarkan semua individu untuk melakukan pekerjaan
tanpa pembatasan yang nantinya dituntut untuk menghasilkan suatu hasil yang terbaik,
yang cateris paribus, atau dengan kata lain, menyajikan suatu benda dengan batas
minimum dapat diminati dan disukai oleh masyarakat (konsumen).

Garis berpaham ekonomi liberal telah pernah dipraktikan oleh sekolah-sekolah di Austria
dengan berupa demokrasi di masyarakat yang terbuka. Paham liberali kebanyakan
digunakan oleh negara-negara di benua Eropa dan Amerika. Seperti halnya di Amerika
Serikat, paham liberal dikenali dengan sebutan mild leftism estabilished.

Ciri ekonomi liberal (wikipedia.com)

• Semua sumber produksi adalah milik masyarakat individu.


• Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki sumber-sumber produksi.
• Pemerintah tidak ikut campur tangan secara langsung dalam kegiatan ekonomi.
• Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya
produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
• Timbul persaingan dalam masyarakat, terutama dalam mencari keuntungan.
• Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar.
• Pasar merupakan dasar setiap tindakan ekonomi.
• Biasanya barang-barang produksi yang dihasilkan bermutu tinggi.

Keuntungan dan kelemahan dari ekonomi liberal

Keuntungan

Ada beberapa keuntungan dari suatu sistem ekonomi liberal, yaitu:


• Menumbuhkan inisiatif dan kreasi masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonomi,
karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah/komando dari pemerintah.
• Setiap individu bebas memiliki untuk sumber-sumber daya produksi, yang
nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
• Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
• Menghasilkan barang-barang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat
antar masyarakat.
• Efisiensi dan efektivitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi didasarkan motif
mencari keuntungan.

Kelemahan

Selain ada keuntungan, ada juga beberapa kelemahan daripada sistem ekonomi liberal,
adalah:

• Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat bilamana birokratnya korup.


• Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.[rujukan?]
• Banyak terjadinya monopoli masyarakat.[rujukan?]
• Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi sumber
daya oleh individu.[rujukan?]
• Pemerataan pendapatan sulit dilakuka karena persaingan bebas tersebut.[rujukan?]
PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

Perkembangan ekonomi Islam akhir-akhir ini begitu pesat, baik sebagai ilmu
pengetahuan maupun sebagai sebuah sistem ekonomi telah mendapat banyak sambutan
positif di tingkat global. Sehingga dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan, baik
dalam bentuk kajian akademis di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta, dan secara
praktik operasional.

Dalam bentuk praktiknya, ekonomi Islam telah berkembang dalam bentuk


kelembagaan seperti perbankan, BPRS, Asuransi Syari’ah, Pegadaian Syariah, Pasar
Modal Syari’ah, dengan instrumen obligasi dan Reksadana Syariah, Dana Pensiun
Syari’ah, Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah, maupun lembaga keuangan publik Islam
seperti lembaga pengelola zakat dan lembaga pengelola wakaf.

Perkembangan aplikasi Ekonomi Islam di Indonesia dimulai sejak didirikannya


Bank Muamalat Indonesia tahun 1992, dengan landasan hukumnya UU Nomor 7 Tahun
1992 tentang perbankan, yang telah direvisi dalam UU nomor 10 tahun 1998.
Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa UU sebagai bentuk dukungan pemerintah
terhadap kemajuan aplikasi ekonomi Islam di Indonesia.

Dengan kemajuan yang dicapai ekonomi Islam tersebut, berimplikasi kepada


banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dengan LKS, maka sangat
dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi Islam. Dalam hal ini akan
diselesaikan oleh PA.

II. Kemajuan dan Tantangan Ekonomi Islam di Indonesia

Perkembangan ekonomi Islam di bidang LKS mengalami kemajuan yang sangat


pesat di Indonesia. Perkembangan ini telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan
di banyak kabupaten/kota.

Kemajuan tersebut juga dialami Pegadaian Syari’ah, kinerjanya tetap signifikan.


Selain terus penetrasi ke daerah, juga berinovasi dengan produk-produk baru. Di tahun
2009 pembiayaan ditargetkan dapat mencapai Rp. 2,8 triliun dengan target 250 gerai.

Di samping itu, perkembangan lembaga keuangan mikro Syariah (BMT) juga


sangat pesat. Akhir 2008, jumlah BMT mencapai 5000-an kantor. Bahkan representasi
BMT Beringharjo Yogyakarta (per November 2008) modalnya sudah mencapai Rp. 28
miliar dengan delapan cabang termasuk di Jawa Timur dan Jawa Barat.

Sedangkan perkembangan lembaga asuransi syariah di Indonesia sampai akhir


2007 terdapat 37 perusahaan asuransi syariah, 3 reasuransi syariah, 5 broker asuransi dan
reasuransi Syariah. Hingga tahun 2009 ini masih akan bergerak tumbuh di kisaran 50-60
persen. Perkembangan tersebut juga dialami oleh pasar modal syariah, lembaga bisnis
syariah seperti lembaga pembiayaan syariah dan lembaga keuangan publik Islam seperti
lembaga pengelola zakat dan lembaga wakaf.

Perkembangan LKS tersebut seiring dengan perkembangan regulasi yang mengatur


operasionalnya. Berturut turut sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia, pemerintah
telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan seperti, UU No. 7 Tahun
1992 tentang perbankan, direvisi dalam UU No. 10 tahun 1998. yang mengatur landasan
hukum dan jenis usaha yang dapat dioperasikan oleh perbankan syari’ah, juga arahan
bagi perbankan konvensional melakukan dual banking system atau konversi.

Selanjutnya, lahir UU No. 23 Tahun 1999 direvisi UU No.3 Tahun 2004 tentang
BI, sebagai penanggung jawab otoritas moneter bank syari’ah dan bank konvensional.
Kemudian disusul disahkan UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) dan perkembangan yang sangat signifikan dengan disahkannya undang-
undang no 21 tahun 2008 tentang perbankan syari’ah.

Kemudian untuk menyelesaikan sengketa di LKS, pemerintah mengeluarkan UU


No. 3 tahun 2006 tentang PA sebagai revisi UU No.7 tahun 1989, yang sebelumnya
diselesaikan di PN atau Badan Arbitrase Syari’ah. Lahirnya UU No. 3 tahun 2006 ini
membawa implikasi baru. Sehingga formalisasi hukum ekonomi Islam di Indonesia
menjadi suatu kebutuhan yang urgen.

III. Urgensi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan


Agama, membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta
benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada pasal 49 point i disebutkan, bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi
syariah.

Amandemen ini membawa implikasi dalam sejarah hukum ekonomi Islam di


Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam
bidang ekonomi syariah diselesaikan di PN yang notabene belum bisa dianggap sebagai
hukum syari’ah. Dalam aplikasinya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini,
penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut
mengacu pada ketentuan KUH Perdata.

Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang


perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat
politik penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di Indonesia.
Akibatnya lembaga perbankan dan lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa
menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah
diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman
teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.

Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi wewenang


absolut hakim PA, maka kehadiran KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) yang
komprehensip menjadi urgen, seperti yang dibuat pemerintahan Turki

Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah. Sehingga hukum ekonomi syariah


memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standar. Hal ini juga
menjadi signifikan karena masalah asuransi syari’ah, reasuransi, pegadaian syari’ah,
reksadana syariah, obligasi syari’ah, pasar modal syariah, dan berbagai institusi lainnya
belum memiliki payung hukum yang kuat.

Kalaupun ada aturan-aturan hukum tersebut tersebar ke berbagai tempat. seperti


Fatwa DSN, regulasi BI, kitab-kitab fiqih dan fatwa-fatwa ulama klasik dan kontemporer.
Sehingga belum menjadi satu dalam bentuk kodifikasi. Kenyataan inilah yang dijawab
MA dengan menghadirkan KHES.

Kehadiran KHES berdasarkan PERMA No 2 Tahun 2008 tanggal 10 September,


layak diapresiasi dan direspon konstruktif dengan melakukan studi kritis terhadap materi
yang ada di dalam KHES yang berisi 4 buku, 43 bab, 796 pasal. Buku I tentang Subyek
Hukum dan Amwal (3 bab, 19 Pasal), Buku II tentang Akad (29 bab, 655 Pasal). Buku III
tentang Zakat dan Hibah (4 bab, 60 Pasal), dan Buku IV tentang Akuntansi Syariah (7
bab, 62 Pasal).

IV. Respon Terhadap Kebijakan Pemerintah

Selain masalah-masalah fundamental di atas, kehadiran KHES, UU No. No 3


tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syari’ah, juga berimplikasi pada lembaga-lembaga terkait seperti Pengadilan Agama,
Program Studi Hukum Islam (Syari’ah), Program Studi Ekonomi Islam, dan Pendidikan
Advokat (Pengacara). Respon lembaga-lembaga tersebut menjadi penting dalam
menyediakan SDM yang mempunyai kualifikasi sesuai tugas dan wewenangnya.

Untuk Pengadilan Agama, ada beberapa agenda untuk memenuhi kebutuhan SDM
tersebut di antaranya yang terkait dengan PT seperti:

1. Membangun SDM dengan Diklat, pelatihan Hakim Pengadilan Agama baik oleh
MA, Perguruan Tinggi, maupun Organisasi Profesi.

2. Bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dengan membuka program S2-S3 dengan


program studi Hukum Bisnis dan Ekonomi Syariah.

3. Sertifikasi Hakim Pengadilan Agama khusus untuk menangani perkara sengketa


Ekonomi Syariah.
Untuk Perguruan Tinggi yang memiliki Program studi Hukum Islam dan Ekonomi
Islam perlu merekonstruksi kurikulumnya dalam rangka penguatan aspek hukum kontrak
ekonomi syari’ah dan hukum material ekonomi syariah. Rekonstruksi ini penting karena
program studi ini akan melahirkan SDM yang berpeluang sebagai Hakim Pengadilan
Agama, Advokat (Pengacara), Praktisi Lembaga Keuangan Syari’ah dan anggota DSN
maupun DPS. Sehingga para Hakim Pengadilan Agama, Advokat (Pengacara) di
Pengadilan Agama tidak gagap dalam menyelesaikan perkara sengketa ekonomi syariah.

Selain itu praktisi LKS mempunyai bekal untuk mempersiapkan materi dalam
mendisain kontrak di LKS. Sedangkan MUI perlu meninjau ulang kualifikasi anggota
DSN dan DPS. Sehingga anggota DSN dan DPS tidak cukup hanya pakar ilmu keuangan
dan perbankan sebagaimana juga tidak bisa hanya ulama dan cendekiawan muslim yang
expert dalam operasional Lembaga Keuangan Syari’ah dan ilmu ekonomi keuangan saja.

Fatwa Ekonomi Syariah di Indonesia

Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah
Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli
syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam
membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi
Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.
Fatwa dengan definisi klasik mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam
fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan
oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum,
maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah
khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI
menjadi rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia,
khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi
lembaga-lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula
mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS. Kaedah dan Prinsip
Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk
dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi
dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh
karena itu, dalam konteks ini diterapkan dua kaedah.

Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara
warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktek yang telah
ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.
Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada
dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip
bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir
(spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh
dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.
Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah” (mana yang
maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah
dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer
kaedah, ”Di mana ada mashlalah, maka di situ ada syariah Allah”. Watak maslahat
syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat
bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.
Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga
secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah
(validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah
berjalan waktu yang cukup dalam implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan
dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan.
Produk Fatwa DSN
Sejak berdirnya tahun 1999, Dewan Syariah Nasional, telah mengeluarkan sedikitnya 47
fatwa tentang ekonomi syariah, antara lain, fatwa tentang giro, tabungan, murabahah, jual
beli salam, istishna’, mudharabah, musyarakah, ijarah, wakalah, kafalah, hawalah, uang
muka dalam murabahah, sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syari’ah,
diskon dalam murabahah, sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran,
pencadangan penghapusan aktiva produktiv dalam LKS, al-qaradh, investasi reksadana
syariah, pedoman umum asuransi syariah, jual beli istisna’ paralel, potongan pelunasan
dalam murabahah, safe deposit box, raha (gadai), rahn emas, ijarah muntahiyah bit
tamlik, jual beli mata uang, pembiayaan pengurusan haji di LKS, pembiayaan rekening
koran syariah, pengalihan hutang, obligasi syariah, obligasi syariah mudharabah, Letter
of Credit (LC) impor syariah, LC untuk export, sertifikat wadiah Bank Indoensia, Pasar
Uang antar Bank Syariah, sertifikat investasi mudharabah (IMA), asuransi haji, pedoman
umum penerapan prinsip syariah di pasar modal, obligasi syariah ijarah, kartu kredit, dsb.
Saran
Struktur dan format fatwa sudah memadai dengan rumusan yang simple. Jika
dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet
muatannya. Namun format fatwa DSN-MUI hanya terbatas memberikan penentuan status
hukum masalah yang difatwakan, belum bersifat ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan
kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, sehingga kurang memberikan bekalan kepada
kalangan di luar para ulama ekonomi syariah. Karena itu disarankan agar setiap fatwa
disertai lampirannya, berupa uraian ilmiyah singkat yang mengantarkan pada
kesimpulan-kesimpulan isi fatwa.
Fatwa ini seharusnya disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui
hukum-hukum ekonomi syariah. Sangat disayangkan pengursu MUI kabupaten kota pun
kadang tidak memiliki buku fatwa ekonomi syariah MUI tersebut. Padahal telah dikirim
ke MUI Propinsi.
Para ulama harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui
workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu
memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya
berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka,
tapi kajian Islam yang komprehensif.

Anda mungkin juga menyukai