Anda di halaman 1dari 7

A.

Alternatif Penyelesaian Sengketa

Mengenai Alternatif Penyelesaian Sengketa (“APS”), Pasal 1 angka 10 Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU
Arbitrase dan APS”) memberikan pengertian sebagai berikut

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan
cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Lebih lanjut, Pasal 6 UU Arbitrase dan APS berbunyi:

1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan
dalam suatu kesepakatan tertulis.
3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda
pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator.
4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan
bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak
berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua
belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus
sudah dapat dimulai.
6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang
ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.1
7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final
dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan.
8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat
(6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.

B. Pengertian Mediasi Menurut Para Ahli


Adapun pengertian mediasi menurut para ahli yang diantaranya yaitu:
 Menurut Laurence Bolle
Mediasi merupakan proses pengambilan keputusan dimana pihak dibantu oleh
mediator dalam hal ini upaya mediator untuk meningkatkan proses pengambilan
keputusan dan untuk membantu para pihak mencapai hasil yang mereka inginkan
bersama.

 Menurut J. Folberg Dan A. Taylor


Mediasi merupakan proses dimana para peserta, bersama-sama dengan bantuan dari
orang yang netral, sistematis mengisolasi sengketa dalam rangka untuk
mengembangkan pilihan, mempertimbangkan alternatif dan mencapai penyelesaian
sengketa yang akan mengakomodasi kebutuhan mereka.

 Menurut Garry Goopaster


Mediasi merupakan suatu proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar
yang tidak memihak “imparsial” bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa
untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.

1
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt56d6a120b03b3/alternatif-penyelesaian-sengketa-
secara-online/ Diakses pada tanggal 19 Desember 2019, pukul 14:32.
C. Mediasi Menurut Undang-undang
 Dasar Hukum Mediasi
Dasar hukum penerapan mediasi di Indonesia merupakan salah satu dari
sistem ADR (Administrative Alternative Dispute Resolution), yaitu sebagai berikut:
Pancasila dan UUD 1945, disiratkan dalam filosofinya bahwa asas
penyelesaian sengketa adalah musyawarah untuk mufakat.
Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, penjelasan pasal 3 menyatakan: "Penyelesaian perkara di luar pengadilan,
atas dasar perdamaian atau melalui wasit tetap diperbolehkan".
UU Nomor. 1 Tahun 1974 jo Pasal 39 , UU Nomor.7 Tahun 1989 jo. UU
nomor 3 Tahun 2006 jo. UU nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 65
dan 82, PP Nomor. 9 Tahun 1975 Pasal 31 dan KHI Pasal 115, 131 ayat (2), 143 ayat
(1) dan (2), dan 144.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor.1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal
130 HIR/154 RBg).
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 02 tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 01 tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU Nomor. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

 Tujuan Mediasi

 Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan


 Menghilangkan kesalahpahaman
 Menentukan kepentingan yang pokok
 Menemukan bidang yang bisa saja memperoleh persetujuan dan menyatukan
bidang tersebut menjadi suatu penyelesaian yang dibuat sendiri oleh para
pihak.

 Kelebihan Mediasi

 Proses yang cepat


 Memiliki sifat rahasia
 Tidak mahal
 Adil
 Memberdayakan individu
 Keputusan yang hemat
 Keputusan yang bersifat tanpa mengenal waktu.

 Kekurangan Mediasi

 Sifatnya tidak memaksa


 Mediator kurang terjamin
 Bersiko gagal.

D. Faktor faktor yang mendasari kurang berhasilnya alternatif penyelesaian sengketa di


indonesia.
Damai itu indah, demikian bunyi slogan yang kerap kita jumpai di pinggir jalan.
Keindahan perdamaian memang bisa dirasakan dalam setiap aspek kehidupan. Termasuk
dalam dunia hukum atau peradilan. Menyelesaikan sengketa dengan damai antara lain dapat
ditempuh dengan mediasi dan arbitrase. Para pihak yang lebih menempuh mediasi atau
arbitrase ketimbang pengadilan bisa merasakan manfaatnya secara langsung.
Di antaranya proses penyelesaian sengketa bisa berlangsung dengan cepat. Biaya
yang dikeluarkan juga hemat. Selain itu energi para pihak pun ikut diirit, karena tak perlu
repot-repot pergi bolak-balik ke pengadilan di tiap-tiap tingkatan. Perdamaian adalah jalan
untuk potong kompas sehingga dapat menghemat waktu, biaya, dan energi, tegas seorang
ketua Pengadilan Negeri di Jakarta.
Hal ini juga sinkron dengan sifat putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat
kedua belah pihak. Putusan arbitrase mestinya tidak dapat dilakukan perlawanan sehingga
memberikan kepastian waktu kepada kedua belah pihak (pasal 60 jo pasal 53 UU No.
30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).

Jika dilihat secara lebih mendalam, yang diuntungkan bukan hanya para pihak yang
bersengketa, melainkan juga para hakim agung yang bertugas di Mahkamah Agung
(MA). Hakim Agung Susanti Adi Nugroho menyatakan mediasi dapat menghambat
perkara yang akan bermuara ke MA. Beban MA itu sangat banyak sekali, perkara
makin lama makin banyak, karena dari bawah naik ke atas, tuturnya.
Ketua MA Bagir Manan juga menyadari hal ini. Bagir bahkan merasa perlu
menyampaikan pesan kepada para hakim tingkat Pegadilan Negeri atau Pengadilan
Tinggi. Saya mohon seluruh hakim dan pimpinan pengadilan sungguh-sungguh terkait
mediasi ini, ujarnya saat pelantikan sejumlah Ketua Pengadilan Tinggi di MA, Selasa
(23/9). Menurut Bagir, bila mediasi berhasil yang diuntungkan bukan hanya
pengadilan, tetapi juga masyarakat banyak. Ada unsur fungsi sosial dalam mediasi,
tambahnya.
Petuah Bagir ini bisa jadi tak lepas dari beleid yang baru dikeluarkan oleh
MA, yaitu Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Perma No. 1 Tahun 2008 ini merupakan penyempurnaan peraturan sebelumnya:
Perma No. 2 Tahun 2003.
Susanti menaruh harapan yang besar terhadap Perma teranyar ini. Ia
menyadari Perma No. 2 Tahun 2003 belum maksimal menghambat perkara yang
masuk ke MA. Ia mencatat perkara yang berhasil di mediasi tak mencapai satu persen.
Karenanya, lanjut Susanti, Perma dirombak dengan mengadopsi metode yang ada di
Jepang. Kalau ini tidak berhasil juga, tak tahu kita mau kemana lagi, ujar hakim
agung yang ikut merumuskan Perma No 1 Tahun 2008 ini.
Susanti memang boleh menaruh harapan besar pada Perma terbaru ini.
Pasalnya, sejumlah kritikan berbagai kalangan terhadap pengaturan mediasi
sebelumnya sudah diakomodir dalam Perma ini.
Dalam proses arbitrase dan mediasi, sifat konfidensialitas lebih terjaga.
Pengusaha yang berperkara tak perlu khawatir perkaranya diketahui publik, misalnya
investor lain. Sebab, proses arbitrase dan mediasi dilakukan tertutup. Lain halnya jika
harus bertarung di muka pengadilan yang terbuka untuk umum.
Selain itu, dalam proses arbitrase, para pihak juga boleh menaruh percaya
kepada arbiter karena mereka umumnya adalah orang yang ahli di bidang yang
dipersengketakan. Para pihak pun dapat menentukan hukum mana yang akan
diberlakukan (choice of law).

 Hilangkan Gengsi
Bila semua pihak termasuk para hakim menaruh harapan besar terhadap mediasi,
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya, lalu mengapa kegagalan mencapai
kata 'damai' kerap terjadi. Gengsi para pihak yang bersengketa menjadi salah satu alasannya.
Sebenarnya orang tidak mau damai. Apalagi untuk masalah bisnis, ujar Advokat Ricardo
Simanjuntak. Bila perkara sudah didaftarkan, sering kali terdengar ungkapan pantang surut ke
belakang. Namun, meski kerap gagal, Ricardo tetap memandang perlu adanya mediasi.
Syaratnya, mediatornya harus memiliki kualifikasi yang tinggi. Antara lain: lihai
berkomunikasi, paham perkara yang ditangani, pengenalan pribadi para pihak, mendengarkan
para pihak, mengontrol para pihak, menyediakan simulasi penyelesaian, melakukan
pendekatan khusus (kaukus), pandai dalam tata cara penyampaian pesan, dan jangan
mengkonfrontir pengakuan para pihak.
Seputar kualifikasi mediator, advokat Taufik Basari punya pengalaman sendiri. Pada
suatu ketika, Taufik dan kliennya berharap dengan menempuh proses mediasi, sengketa bisa
diselesaikan tanpa harus melalui persidangan di pengadilan. Apalagi, saat itu pihak yang
digugat Taufik pun telah setuju untuk berunding.
Namun, proses mediasi yang berjalan ternyata jauh dari harapan. Taufik
mengisahkan, hakim yang bertindak sebagai mediator, tidak berusaha mencari titik temu atau
memberikan alternatif-alternatif penyelesaian. Selama proses berlangsung, sang hakim hanya
berbicara ngalor-ngidul sambil sesekali mengisap rokok. Satu-satunya 'kegiatan mediasi'
yang ia lakukan hanya berulang kali mendesak para pihak. Sudah pak, damai saja. Akhir
cerita pun bisa ditebak, mediasi gagal.
Susanti menyadari hal ini. Bila kembali ke belakang, ia mencatat dua faktor yang
menghambat proses mediasi. Pertama, seperti kejadian yang dialami Taufik, hakim 'enggan'
melakukan mediasi. Apa memang tak mau atau apa tidak berbakat? kita tidak tahu, tuturnya.
Meski begitu, Susanti tak hanya menyalahkan korpsnya. Menurutnya, advokat juga
bertanggung jawab bila mediasi gagal. Bahkan ia merasa ada yang salah dalam sistem
kepengacaraan kita. Sistem pengacara-pengacara tak mendukung adanya mediasi ini,
tuturnya tanpa menjelaskan sistem apa yang ia maksud. Itu faktor yang kedua.2

 Empat kelemahan

2
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20225/untung-rugi-menggunakan-jalur-alternatif/, Diakses
pada tanggal 19 Desember 2019, pukul 15:23.
Pada dasarnya, arbitrase, mediasi dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya
memberikan manfaat bagi para pihak. Namun, bukan berarti tidak ada titik lemah. Sengketa
yang dimediasi oleh tetua adat dan diselesaikan secara adat relatif tetap terbuka kemungkinan
diketahui masyarakat luas. Kewajiban bagi hakim pengadilan untuk memfasilitasi mediasi
acapkali kurang berjalan di lapangan karena mediator tidak dapat berperan sebagai penengah
karena mediator tidak punya formula alternatif menyelesaikan sengketa. Mediator lebih
banyak menyerahkan proses kepada kedua belah pihak.
Sementara, dalam praktik yang banyak hadir dalam proses mediasi adalah pengacara
atau penasihat hukum. Inilah yang menjadi salah satu kelemahan proses mediasi. Mediasi
hanya efektif bila decision-makers hadir dalam ruangan mediasi karena mereka yang tahu apa
yang mereka terima dan apa yang tidak terima, kata Raymond Lee, mediator Pusat Mediasi
Nasional (PMN).
Gatot Soemartono, dalam bukunya Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (2006)
mencatat empat kelemahan arbitrase.
1. Pertama, arbitrase hanya untuk para pihak yang bonafide. Artinya, arbitrase hanya
cocok untuk pengusaha atau para pihak yang jujur dan dapat dipercaya. Jika salah satu
pihak selalu mencari celah untuk memperkarakan kembali putusan arbitrase, proses
melalui arbitrase justru lebih banyak memakan waktu, biaya, dan tenaga.
2. ketergantungan mutlak pada arbiter. Putusan arbitrase sangat tergantung pada
kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang memuaskan kedua belah
pihak. Asumsi umum arbiter adalah orang yang ahli. Tetapi keahlian saja bukan
jaminan bahwa mereka akan memberikan putusan yang memuaskan dua pihak
sekaligus.
3. tidak ada legal presedence putusan terdahulu. Dalam memutus suatu perkara, arbiter
tidak terikat pada putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase
atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat meskipun di dalamnya terkandung
argumentasi berbobot dari para arbiter. Akibatnya, sangat mungkin terjadi putusan
arbitrase yang saling berlawanan.
4. masalah hambatan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Dalam
praktik, acapkali timbul masalah sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan
arbitrase asing di Indonesia; atau sebaliknya putusan arbitrase Indonesia di luar
negeri. Eksekusi putusan arbitrase sangat menentukan kepercayaan para pihak
terhadapat lembaga itu sendiri. Kalau sulit dieksekusi, tentu mereka akan lebih
memilih pengadilan yang punya aparat eksekusi.

Anda mungkin juga menyukai