Desy Triyani (202FF05003)
Desy Triyani (202FF05003)
PKPA
Disusun oleh :
NPM : 202FF05003
PRODUKSI
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha
yang telah memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Ketentuan ini tidak berlaku bagi sediaan farmasi yang berupa
obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
produksi sediaan farmasi yangberupa obat tradisional oleh perorangan diatur oleh
Menteri.
Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara
produksi yang baik. Cara produksi yangbaik ditetapkan oleh Mentri.
PEREDARAN
Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan
penyerahan. Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan
memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan
1. Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka
peredaran harus disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan
alat kesehatan.
2. Setiap pengangkut sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka
peredaran, bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan
sediaan farmasi dan alat kesehatan.
IZIN EDAR
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah
memperoleh izin edar dari Menteri. Kecuali sediaan farmasi yang berupa obat
tradisional yang diproduksi oleh perorangan. Izin edar sediaan farmasi dan alat
kesehatan diberikan atas dasar permohonan secara tertulis kepada Menteri.
Permohonan secara tertulis ini disertai dengan keterangan dan/atau data mengenai
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar
serta contoh sediaan farmasi dan alat kesehatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara permohonan izin edar diatur oleh Menteri.
Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin
edar diuji dari segimutu, keamanan, dan kemanfaatan
PENYALURAN
Penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh:
a. Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
menyalurkan sediaan farmasi yang berupa bahan obat, obat dan alat
kesehatan;
b. Badan usaha yang telah memiliki izin sebagai penyalur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan
sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika.
Ketentuan ini dikecualikan bagi perorangan yang menyalurkan sediaan
farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika dengan jumlah komoditi yang
terbatas dan/atau diperdagangkan secara langsung kepada masyarakat. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan diatur
oleh Menteri.
PENYERAHAN
1. Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilakukan untuk digunakan
dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan.
2. Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk digunakan dalam
pelayanan kesehatan dilakukan berdasarkan:
a. resep dokter;
b. tanpa resep dokter.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan diatur olehMenteri.
SANKSI
Alkes
a. Memproduksi dan/atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2 ) butir
d
b. Mengedarkan sediaan farmasi danalat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal9. dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,-(seratus
empat puluh juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun1992 tentang Kesehatan
Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan.
Obat
a. Dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan produk yang tdk
memenuhi persyaratan. Sangsi :pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 80 ayat(4) Undang-
UndangNomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
b. Mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9. dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus
empat puluh juta rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun1992 tentang Kesehatan
Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan.
Obat Tradisional
a. Memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2) huruf b;
b. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai dengan
ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan.
Kosmetik
a. Memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1) dan
ayat (2 )huruf
b. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sesuai dengan
ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
Barang siapa yang dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang tidak mencantumkan penandaan dan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan.
LARANGAN
a. Memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa menerapkan cara
produksi yang baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5;
b. Melakukan pengangkutan sediaan farmsi dan alat kesehatan dalam rangka
peredaran tanpa disertai dengan dokumen pengangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
c. Memasukan sediaan farmasi kedalam wilayah Indonesia tanpa dilengkapi
dengan dokumen yang menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang bersangkutan telah lulus dalam pengujian laboratories sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1);
d. Mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang mengalami kerusakan
kemasan yang langsung bersentuhan dengan produksi sediaan farmasi dan alat
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1);
e. Mengiklankan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang penyerahannya
dilakukan berdasarkan resep dokter pada mediacetak selain yang ditentukan
dalam pasal 32; dipidana dengan denda sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
2. PMK NO. 12 THN 2017
10. Imunisasi tambahan merupakan jenis Imunisasi tertentu yang diberikan pada
kelompok umur tertentu yang paling berisiko terkena penyakit sesuai dengan
kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
11. Imunisasi khusus dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan masyarakat
terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu.
12. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan Imunisasi Program.
13. Penyelenggaraan Imunisasi Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. perencanaan;
b. penyediaan dan distribusi logistik;
c. penyimpanan dan pemeliharaan logistik;
d. penyediaan tenaga pengelola;
e. pelaksanaan pelayanan;
f. pengelolaan limbah; dan
g. pemantauan dan evaluasi.
14. Untuk menjaga kualitas, Vaksin harus disimpan pada tempat dengan kendali suhu
tertentu.
15. Tempat menyimpan Vaksin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diperuntukkan khusus menyimpan Vaksin saja.
16. Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung
jawab dalam penyediaan tenaga pengelola untuk penyelenggaraan Imunisasi
Program di wilayahnya masing-masing. = pengelola program danpengelola
logistic, sudah bersertifikat.
17. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
Imunisasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan secara rutin dan berkala
serta berjenjang kepada Menteri melalui dinas kesehatan provinsi dan dinas
kesehatan kabupaten/kota.
18. Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi cakupan
Imunisasi, stok dan pemakaian Vaksin, ADS, Safety Box, monitoring suhu,
kondisi peralatan Cold Chain, dan kasus KIPI ataudiduga KIPI.
19. Pencatatan pelayanan Imunisasi tambahan dan khusus dicatat dan dilaporkan
dengan format khusus secara berjenjang kepada Menteri melalui dinas kesehatan
Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
3. PMK NO. 74 THN 2016
3. Konseling
1. bahwa untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh obat
yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat dan mutu
pada instalasi farmasi pemerintah, perlu dilakukan pengujian terhadap mutu
obat secara berkala;
2. Instalasi Farmasi Pemerintah adalah sarana tempat penyimpanan dan
penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan milik pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam rangka pelayanan
kesehatan.
3. Sampel adalah sejumlah obat yang diambil sesuai dengan tujuan dan prosedur
pengambilan Sampel yang ditetapkan.
4. Uji Mutu adalah pengujian laboratorium yang dilakukan untuk membuktikan
mutu obat selalu konsisten memenuhi standar dan persyaratan
5. BPOM adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang mempunyai tugas
untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.
6. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang
bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
7. Kepala BPOM adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang
mempunyai tugas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
9. Pengaturan penyelenggaraan uji mutu obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah
bertujuan untuk mendukung pemastian mutu obat yang diadakan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
10. Penyelenggaraan uji mutu obat pada Instalasi Farmasi Pemerintah dilakukan
oleh BPOM melalui kegiatan:
a. pengambilan Sampel
b. uji laboratorium
c. pelaporan hasil uji.
11. Obat yang dijadikan Sampel meliputi semua jenis obat terutama obat yang
tercantum dalam formularium nasional dan obat program kesehatan.
12. Setiap pengambilan Sampel harus dibuat Berita Acara Pengambilan Sampel
(BAP), Berita Acara Serah Terima (BAST), dan Surat Bukti Barang Keluar
(SBBK) yang ditandatangani oleh petugas BPOM atau Balai Besar/Balai
POM dan penanggung jawab Instalasi Farmasi Pemerintah dengan
menggunakan contoh Formulir 1, Formulir 2, dan Formulir 3 terlampir.
13. Hasil pelaksanaan uji mutu obat terdiri atas:
a. Memenuhi Syarat (MS)
b. Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
14. Hasil pelaksanaan uji mutu obat, disampaikan kepada:
a. Direktur Jenderal untuk Sampel obat yang diambil pada Instalasi Farmasi
Pemerintah milik kementerian kesehatan
b. kepala dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal untuk Sampel yang diambil di Instalasi Farmasi
Pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
15. Penyampaian hasil pelaksanaan uji mutu obat , disampaikan dengan
ketentuan:
a. secara berkala setiap 3 (tiga) bulan untuk hasil uji mutu obat memenuhi
syarat (MS); dan
b. paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak ditetapkan hasil uji mutu obat
tidak memenuhi syarat (TMS).
16. Terhadap hasil pelaksanaan uji mutu obat tidak memenuhi syarat (TMS),
dilakukan penarikan dan pemusnahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
17. Perintah penarikan dan pemusnahan disampaikan kepada industri farmasi
dengan tembusan Direktur Jenderal atau kepala dinas kesehatan
provinsi/kabupaten/kota.
18. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
dilakukan oleh Menteri, Kepala BPOM, kepala dinas kesehatan provinsi, dan
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing.
19. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 33 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Uji Mutu Obat pada Instalasi
Farmasi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
1167), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
20. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
6. UU NO. 5 THN 1997
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah atau sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.
Dalam UU no. 5 disebutkan bahwa psikotropika terbagi menjadi: Golongan I,
golongan II, golongan III, dan golongan IV. Dalampasal 3 disebutkan tujuan
pengaturan di bidang psikotropika adalah:
1. Menjamin ketersediaan psikotropika untuk pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan
2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika
3. Memberantas peredaran gelap psikotropika
Dalam pasal 4 psikotropika hanya dapat digunakan dalam pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan (golongan I), golongan I dinyatakan sebagai barang
terlarang karena dapat menimbulkan penyalahgunaan. Psikotropika dalam pasal 5
hanya dapat diproduksi oleh pabrik yang telah memiliki izin.
Tindakan administratif, dapat berupa:
1. Teguran lisan
2. Teguran tertulis
3. Penghentian sementara kegiatan
4. Denda administratif
5. Pencabutan izin praktek.
Macam-macam psikotropika:
1. Psikotropika golongan I : Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang
hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalamterapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
2. Psikotropika golongan II: Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
3. Psikotropika golongan III: Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
4. Psikotropika golongan IV: Psikotropika golongan IV adalah psikotropika
yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Penyaluran Psikotropika
Penyaluran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang
besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. Psikotropika
golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi
kepada Lembaga penelitian/Pendidikan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Pemusnahan Psikotropika
Pemusnahan golongan I dilakukan paling lambat 7 hari setelah penyitaan,
pemusnahan wajib dibuat berita acara.
Sanksi Psikotropika
Sanksi psikotropika berkisar denda dari 20 juta sampai 5 milyar dengan
pidana penjara berkisar 3 bulan – 20 tahun sesuai dengan sanksi-sanksi yang
dilanggar baik pemakai, penyalur, ekspor-impor, dan pelabelan psikotropika.
Nama-nama Psikotropika
No. Golongan I Golongan II Golongan III Golongan IV
1. Boram fetamina Amfetamina Amobarbital Allobarbital
2. Etisiklidina Deksamfetamina Buprenofrina Alprazolam
3. Etriptamina Fenetilina Butalbital Amfepramone
4. Mekatinona Metamfetamina Flunitrazepam Bromazepam
5. Psilosibina metilfenidat Pentazosina Brotizolam
6. Tenamfetamine Zipeprol Katina Diazepam
7. tenoksilidina Secobarbital Glutetimida Estazolam
8. Pentobarbital Tetrazepam
9. siklobarbital Triazolam
10. Midazolam
11. Klobazam
12. Metiprilon
7. UU NO. 35 THN 2009
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan.
Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:
Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II dan Narkotika Golongan III.
Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses
produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami
maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat.
Penyaluran narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang
besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi yang sudah memiliki izin
khusus penyaluran Narkotika dari Menteri. Narkotika Golongan I hanya dapat
disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan
tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada kemasan Narkotika, baik
dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika, dapat berbentuk tulisan,
gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada
kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian
dari wadah, dan/atau kemasannya.
Pengawasan narkotika meliputi :
a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika
c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan
d. produksi
e. impor dan ekspor
f. peredaran
g. pelabelan
h. informasi
i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketentuan pidana :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam
bentuk tanaman,narkotika golongan II dan Narkotika golongan III, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Nama-nama obat Narkotika berdasarkan golongan :
NO. Golongan I Golongan II Golongan III
1. Opium Allilprodina Asetildihidrokodeina
2. Tanaman koka Anileridina Dekstropropoksifena
3. Tanaman ganja Benzetidin Dihidrokodeina
4. Heroina Benzilmorfina Etilmorfina
5. etorfina Betameprodina . Kodeina
6. ketobemidona Betametadol Nikodikodina
7. Betaprodina Nikokodina
8. Betasetilmetadol Norkodeina
9. Bezitramida Polkodina
10. Diampromida Propiram
11. Dietiltiambutena Buprenorfina
12. Difenoksin Dll.
13. Metadona
14. Morfin
15. Dll
8. PMK NO. 30 THN 2014
KETENTUAN UMUM
1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi
atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
2. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian,
yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
4. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien.
5. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
6. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker.
7. Standar Kefarmasian adalah pedoman untuk melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada fasilitas produksi, distribusi atau penyaluran, dan
pelayanan kefarmasian.
8. Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam
pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan
farmasi.
9. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien
atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan.
10. Tujuan pengaturan pekerjaan farmasi
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga
Kefarmasian
TENTANG KEFARMASIAN
1. Tenaga kefarmasian terdiri dari apoteker dan TTK
2. Apoteker merupakan Pendidikan profesi setelah sarjana
3. Standar Pendidikan profesi apoteker terdiri dari kemaampuan akademik
dan mengaplikasikan dalam pekerjaan kefarmasian
4. Apoteker harus memiliki sertifikat kompetensi profesi
5. Sertifikat kompetensi profesi berlaku selaama 5 tahun
6. Untuk pengajuan STRA, ijazah dan surat rekomendasi diserahkan kepada
dinas kesehatan kabupaten/ kota untuk memperoleh izin kerja
7. STRA dan STRTTK dikeluarkan oleh Menteri
8. STRA dan STRTTK tidak berlaku karena :
a. Habis masa berlaku
b. Dicabut atas ketentuan perundang-undangan
c. Permohonan yang bersangkutan
d. Yang bersangkutan meninggal dunia
e. Dicabut oleh mentri atau pejabat kesehatan yang berwenang
9. Pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah
sakit hanya dapat dilakukan oleh apoteker dan dibantu oleh TTK yang
sudah memiliki STRTTK
10. Setiap tenaga kefarmasian yang melaakukan pekerjaan kefarmasian di
indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat bekerja
11. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Apotek,
puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit;
12. SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian sebagai
Apoteker pendamping;
13. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di fasilitas
kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah sakit; atau
14. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Kefarmasian
15. Apoteker hanya dapat melakukan praktik di satu apotek atau puskesmas
atau instalasi farmasi rumah sakit
16. Apoteker pendamping hanya dapat malakukan praktik paling banyak 3
apotek atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
KETENTUAN PERALIHAN
1. Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan dan/atau Surat Izin Apoteker
dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan
Pemerintah ini.
2. Asisten Apoteker dan Analis Farmasi yang telah memiliki Surat Izin Asisten
Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan
Pemerintah ini.
3. Apoteker dan Asisten Apoteker yang dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini, maka surat izin untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian
batal demi hukum.
4. Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjadi penanggung jawab Pedagang
Besar Farmasi harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah
ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.